Kamis, 18 Desember 2008

Ada Apa Dengan Polres Flores Timur?

Pertanyaan semacam itu sering muncul belakangan ini. Pertanyaan itu dipicu oleh lambannya penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Bukan hanya masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya yang mengajukan pertanyaan semacam itu. Sejumlah pemerhati di beberapa kota di NTT pun mengajukan pertanyaan yang sama. Di antara mereka ada yang sangat khawatir kalau kasus kejahatan itu ditangani dengan cara yang tidak serius, akhirnya perkaranya pun menjadi gelap, lantas lenyap begitu saja.

Kekhawatiran semacam itu punya alasan yang jelas. Memang, sebelumnya sudah ada preseden, di mana orang dibilang mati karena kecelakaan lalulintas, padahal sepeda motor yang dikendarai korban tetap dalam keadaan utuh alias tidak mengalami kerusakan. Mana ada kecelakaan lalulintas yang melibatkan sepeda motor, tetapi sepeda motornya tetap dalam keadaan utuh? Sebelum kematian Akim Maran, ada kejadian yang semacam itu di Flores Timur. Nasib penanganan kasus dimaksud dan kasus Doni tidak jelas hingga kini. Sehingga kepercayaan masyarakat di Flores Timur terhadap keseriusan Polres Flores Timur dalam menangani kasus-kasus semacam itu kian meluntur.

Ketika kasus pembunuhan Akim Maran meletus, banyak orang sempat pesimis bahwa kasus kejahatan itu dapat diungkap oleh Polres Flores Timur. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa di situ pun bermain oknum-oknum polisi nakal. Tetapi setelah mengetahui bahwa pihak keluarga korban terus berusaha mengungkap kasus pembunuhan tersebut, dan terutama setelah empat tersangka pelakunya berhasil ditangkap dan ditahan di sel Polres Flores Timur, mereka yang tadinya pesimis menjadi optimis, bahwa kasus pembunuhan Akim Maran dapat diproses ke pengadilan, dan siapa pun pelakunya akan dihukum. Penangkapan Mikhael Torangama Kelen dkk pada Jumat 18 April 2008 itu merupakan hasil kerja tim penyidik Polda NTT.

Tetapi rasa khawatir dan pesimisme kembali menyergap mereka, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng, akhirnya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, konon demi hukum. Di kota Larantuka, sejumlah kalangan mengeluhkan cara kerja aparat kepolisian Polres Timur yang asal-asalan dan tidak jelas itu. "Masa perkara yang sudah begitu jelas, bisa jadi begini penanganannya?" Begitu keluh mereka.

Orang lantas bertanya, "Ada apa dengan Polres Flores Timur, sehingga perkara pembunuhan yang sudah jelas ujung pangkalnya itu ditangani dengan cara yang tidak jelas?" Jawaban atas pertanyaan ini jelas. Di sana masih bercokol beberapa oknum polisi nakal. Anda tentu masih ingat bahwa menjelang akhir September 2007 dan awal November 2007, ada upaya-upaya formal oleh oknum-oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut. Namun upaya itu akhirnya gagal.

Kapolres Flores Timur AKBP Syamsul Huda punya tekad yang jelas. Beliau bertekad untuk membawa perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran ke pengadilan negeri Larantuka. Namun masih terdapat ganjalan di sana sini. Maka penanganan perkara pembunuhan tersebut pasca-16 Agustus 2008 cenderung berjalan di tempat. Tetapi tidak ada ceritera tentang penghentian pemrosesan perkara kejahatan tersebut, karena Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak akan membiarkan kejahatan semacam itu tidak ditangani. Tidak ada ceritera bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak kandung Lamber Liko Kumanireng telah dibebaskan dari tersangka pelaku pembunuhan atas Akim Maran. Isu pembebasan mereka itu dihembus-hembuskan oleh oknum-oknum polisi nakal itu. Selain empat orang Eputobi, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu, masih terdapat beberapa orang lain yang akan diseret ke pengadilan.

Jalan yang ditempuh untuk menangani perkara pembunuhan Akim Maran memang berliku. Tetapi di ujung jalan yang berliku itu nanti anda akan jumpai keruntuhan kerajaan kejahatan yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya. Dan oknum-oknum polisi yang nakal itu pun akan "gigit jari jemari mereka sendiri." ***

Jumat, 12 Desember 2008

Masyarakat Eputobi di Flores Timur dan Gerakan Anti Korupsi

Selasa, 9 Desember 2008, di seluruh dunia diadakan peringatan Hari Anti Korupsi. Di Indonesia, peringatan Hari Anti Korupsi ditandai dengan gerakan masyarakat di berbagai daerah untuk memberantas korupsi. Presiden SBY dan Ibu Negara memperingati Hari Anti Korupsi di lapangan Monas, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung. Dalam kesempatan itu Presiden SBY mencanangkan tekadnya untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Mengatakan tidak pada korupsi adalah pesan pokok iklan partai Demokrat, yang belakangan ini sering ditayangkan televisi.

Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengimbau penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi. Masyarakat diimbau untuk tidak berkolusi dengan penyelenggara negara untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Pada hari Selasa, 9 Desember 2008, kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan didatangi sejumlah pengunjuk rasa yang bergabung dalam Gerakan Rakyat Tangkap Koruptor (Gertak). Mereka menuntut KPK untuk menuntaskan kasus BLBI, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tidak hanya itu. Para demonstran itu pun menuntut KPK untuk menangkap dan menembak mati Liem Sie Liong, Anthony Salim, Usman Atmajaya, dan Samadikun Hartono.

Suka atau tidak suka korupsi merupakan penyakit sosial yang sudah menjadi sangat kronis dan mewabah ke mana-mana. Korupsi tidak hanya menjadi cara elite-elite busuk di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia untuk memperkaya diri. Korupsi juga sudah menjadi cara hidup elite-elite busuk tertentu di daerah, termasuk elite-elite busuk tertentu di daerah pedesaan. Salah satu contonya adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Toranagama Kelen dan rekan-rekannya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur selama kurun waktu 2000 hingga 2007.

Yang mereka praktekan adalah salah satu model korupsi yang kasar dan terang-terangan. Seperti tikus yang kelaparan, apa saja yang layak digerogoti, mereka gerogoti. Termasuk yang digerogoti adalah iuran pasar desa, material bekas TK Demon Tawa yang dicuri pada malam hari lalu dijual untuk kepentingan pribadi mereka. Belum terhitung berapa uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan desa, tetapi akhirnya masuk ke kantong pribadi Mikhael Torangama Kelen dkk. Bahkan honor yang menjadi hak orang lain pun disikatnya juga tanpa ampun. Maka tak usah heran bila hasil audit sementara yang dilakukan oleh Banwasda Fores Timur menunjukkan bahwa jumlah uang yang dikorupsi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk mencapai angka 14 juta rupiah. Angka ini bisa membengkak bila proses audit dilanjutkan.

Proses audit itu diakukan berkat dorongan sekelompok warga kampung Eputobi desa Lewoingu yang punya kepedulian besar akan kebenaran, keadilan dan HAM. Kelompok masyarakat ini memelopori gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa Lewoingu. Mereka mewakili suara para warga Eputobi yang menghendaki terselenggaranya suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa di desa Lewoingu. Meskipun menghadapi tantangan dan ancaman pengganyangan dari Mikhael Torangama Kelen dkk, kelompok yang dimotori oleh sejumlah tokoh muda itu bejuang dengan cara damai. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia kelompok ini tidak berteriak sana, tidak berteriak sini, tidak mengancam sana, tidak mengancam sini. Ini sangat berbeda dengan metode yang dtempuh oleh kubu pemerintah desa Lewoingu, yang beteriak sana beteriak sini seraya membusungkan dada sebagai penguasa politik, yang menebarkan fitnah dan caci maki, yang juga menebarkan ancaman pertumpahan darah terhadap orang-orang atau pihak-pihak lawan politik.

Di seluruh kecamatan Titehena di Flores Timur, hanya di kampung Eputobi bangkit gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan rekan-rekannya. Selain mendapat dukungan dari kelompok masyarakat beradab di kampung Eputobi, gerakan ini pun mendapat simpati dari elite-elite tertentu di tubuh pemerintahan kabupaten Flores Timur. Tetapi di kampung Eputobi pemerintah desa Lewoingu dan antek-anteknya yang sangat korup itu mencap mereka sebagai pengacau. Label pengacau itu mereka gunakan untuk menutup-nutupi praktek-praktek korupsi yang selama itu mereka lakukan.

Berusaha menutup-nutupi praktek korupsi memang sudah menjadi kebiasaan para koruptor. Bahkan mereka pun bisa menggunakan segala macam cara untuk melawan upaya pemerintah dan masyarakat yang bertekad memberantas korupsi. Berbagai kalangan masyarakat di kampung Eputobi pun menjadi saksi hidup kerasnya perlawanan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk terhadap gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi.

Banyak orang tidak menyadari bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, selama dia menjabat sebagai kepala desa, menjadi salah satu sebab terjadinya kerusakan sosial budaya yang parah di kampung Eputobi hingga hari ini. Bahkan pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 itu pun merupakan salah satu bentuk perlawanan paling brutal terhadap gerakan anti korupsi tersebut di atas. Orang yang tidak bersalah itu menjadi korban dari suatu rezim yang korup dan lalim. Celakanya, meskipun Mikhael Torangama Kelen sudah tidak lagi menjadi kepala desa, kaki tangannya masih bercokol dan menjalankan roda pemerintahan desa Lewoingu. Padahal, mereka yang kini bercokol di tubuh pemerintahan desa Lewoingu itu pun merupakan bagian tak terpisahkan dari penyebab terjadinya persoalan-persoalan besar di kampung Eputobi. Itulah sebabnya Kelompok Pencinta Kebenaran, Keadilan, dan HAM dari desa Lewoingu sempat menyatakan penolakan mereka terhadap pengangkatan Damasus Liikuwatang Kumanreng sebagai pelaksana tugas kepala desa Lewoingu.

Gerakan penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa dari suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup tidak mungkin dihasikan kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan real bagi segenap lapisan masyarakat yang bersangkutan. Di dalam kenyataan, pemerintah desa Lewoingu berpihak ke blok timur. Tentang ini seorang anggota polisi pernah nyeletuk, "Repot ya, kalau kepala desanya (masudnya PLTnya) tidak netral. Seharusnya, dia tidak boleh berpihak ke kubu tertentu." Pak polsi itu lalubertanya kepada saya, "Apakah perlu kepala desanya orang dari luar Eputobi?"

Suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup hanya mampu menghasilkan kemajuan semu, keadilan semu, kebaikan semu, dan keadilan semu bagi masyarakat yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, korupsi secara real menyebabkan suatu bangsa terpuruk dan sukar untuk bangkit dari keterpurukannya. Bangsa semacam itu akhirnya mengalami pejajahan secara ekonomi, politik, dan lain-lain bentuk penjajahan.

Menyadari seriusnya dampak-dampak buruk dari korupsi, setiap orang Eputobi-Lewoingu yang waras mestinya mendukung gerakan pemberantasan korupsi yang dimotori oleh sejumlah orang muda di kampung Eputobi, desa Lewoiingu itu. Celakanya, di antara kaum terpelajar Eputobi sendiri pun terdapat orang-orang yang tiada henti membela para koruptor Eputobi itu. Padahal masyarakat Eputobi tidak membutuhkan kepala desa dan aparatur-aparaturnya yang korup. Hanya sesama koruptor yang saling membutuhkan. Yang dibutuhkan masyarakat Eputobi adalah kepala desa yang bersih dan berwibawa, yang mampu membaktikan diri demi kebaikan dan kesejahteraan bagi segenap lapisan masyarakat Eputobi. Jika kepala desanya sendiri menjadi teladan korupsi, maka berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi rusak, persis seperti yang sedang tejadi di kampung Eputobi sekarang ini.

Kiranya jelas bahwa sikap membela dan karena itu membenarkan praktek korupsi tersebut adalah sikap orang tidak bermoral. Sikap semacam itu juga bertentangan dengan tekad presiden SBY untuk meningkatkan upaya-upaya pemberantasan korupsi.Kita perlu terus mendorong agar kelompok masyarakat anti korupsi di kampung Eputobi untuk meneruskan perjuangannya hingga berhasil menyeret para pelaku korupsi di kampung tersebut ke pengadilan.

Jika kasus korupsi di desa Lewoingu tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Larantuka, kasus tersebut dapat dilaporkan ke Jakarta. Tanpa laporan dari masyarakat, pemberantasan korupsi tidak berjalan optimal. Guna menyukseskan program pemberantasan korupsi, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama.***

Sabtu, 22 November 2008

Kata-Kata Tertentu Yang Terucap Pada Selasa Pagi 31 Juli 2007

Kapan dan dari siapa anda memperoleh kabar tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran? Terdapat indikasi-indikasi yang sangat jelas, bahwa para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran sendiri yang mula pertama menyebarkan berita tentang kematiannya di Blou. Juga terdapat indikasi-indikasi yang jelas bahwa pada malam itu juga, berita tentang kematian (baca:pembunuhan) Yoakim Gresituli Ata Maran itu tersiar ke Eputobi dan ke luar Flores.

Selasa pagi, 31 Juli 2007, sebelum jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di dalam parit di Blou, seorang pendukung setia Mikhael Torangama Kelen telah menyiarkan berita tentang kematiannya ke suatu kampung lain yang termasuk dalam kawasan Lewoingu. Sebelumnya, pada pagi hari yang sama itu, salah seorang tersangka utama berceritera kepada beberapa orang di Eputobi begini,

"Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup kita tidak tahu, mukanya pucat pasi, di Blou dia tergeletak." ("Akim Maran kecelakaan, mata ka mori toi hala', erekeng kuma bura', pe lali Blou nawa.")

Setelah mendengar itu beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di dekat rumah Mikhael Torangama Kelen pun mau meluncur ke Blou. Tetapi Lambertus Lagawuyo Kumanireng berusaha mencegah mereka dengan mengatakan,

"Jangan ke sana, nanti orang menuduh kamu yang melakukan."

Kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng itu disahut Mikhael Torangama Kelen dengan mengatakan,

"Cabe atau jahe sehingga pedas, dengarlah langsung." ("Sili le lia' nele plate, baing ro' mihi").

Pagi-pagi hari Selasa, 31 Juli 2007 itu juga, Sedu dan Doweng, adik kembar dari almarhum guru Pius Dalu Kelen nonkrong di kubur kedua kakak mereka di Eputobi. Selain almarhum guru Pius Dalu Kelen, Bei Kelen juga dikuburkan di situ. Sebelumnya, Sedu dan Doweng tidak pernah nonkrong di situ. Melihat kejadian yang tidak biasa itu, ada yang bertanya kepada mereka,

"Mengapa pagi-pagi sudah duduk di situ?"

Sedu dan Doweng menjawab,

"Tadi malam kami injak padi di Blou." (Wia bau'ung, kame pusa mang lali Blou).

Perlu dicatat bahwa bersama Bei Kelen dan Keba Kelen, Sedu Kelen dan Doweng Kelen adalah pelaku pembunuhan atas bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein pada tahun 1970. Peritiwa pembunuhan itu pun terjadi pada malam hari di bukit Wairewo, Riang Duli-Lewoingu, ketika bapak Biku Lein dan anaknya itu sedang tidur di pondok. Malam itu mereka menjaga ladang mereka dari serangan babi hutan. Setelah beroperasi di bukit Wairewo, pagi-pagi (keesokan harinya) Bei Kelen duduk di muka rumahnya mengipas-ngipas badannya. Pada malam harinya, setelah pulang dari Wairunu, Keba Kelen pun sempat melayat ke rumah duka di Riang Duli. Keempat kakak beradik itu kemudian ditangkap.

Pada Senin malam, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen, keponakan dari keempat pembunuh bapak Biku Lein dan Tube Lein, mengulang perbuatan mereka dengan rancangan yang berbeda. Dengan menggunakan metode kejahatan modern-kontemporer, para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran mendesain kejahatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga dapat timbul kesan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Lantas di Blou ada kebun mente dan ladang padi. Tapi di sana juga ada pondok yang dijadikan tempat penyiksaan dan pembantaian. Waktu kejadiannya pun malam hari. Tetapi pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran bukan hanya dari satu suku. Selain Mikhael Torangama Kelen, terdapat pula pelaku-pelaku dari suku lain, yaitu dari suku Kumanireng. Tiga di antara pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah kakak beradik kandung dari suku Kumanireng Blikopukeng.

Kehadiran Sedu dan Doweng pada Selasa pagi 31 Juli 2007 di kubur Bei Kelen dan Dalu Kelen mengingatkan kita akan penampilan Bei Kelen pada pagi hari 37 tahun yang lalu. Apakah Sedu dan Doweng pun terlibat dalam peristiwa pembunuhan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007? Itu tidak jelas hingga kini. Tapi kiranya jelas, bahwa pada Selasa pagi, sebelum jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di Blou, Sedu dan Doweng, pada dasarnya sudah mengindikasikan bahwa peristiwa yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 serupa dengan peristiwa yang menimpa bapak Biku Lein dan Tube Lein di suatu pondok di ladang mereka di bukit Wairewo pada suatu malam di tahun 1970.

Setelah kematian Yoakim Gresituli Ata Maran, banyak orang tua di Eputobi, Riang Duli, dan Lewolaga langsung teringat akan tragedi kemanusiaan di bukit Wairewo itu. Di Riang Duli, ada seorang tokoh sampai mengatakan begini, "Dulu mereka lakukan terhadap Lewolein. Sekarang mereka lakukan terhadap Ata Maran."


Kalau benar bahwa buah-buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu pun perlu lebih waspada akan terulangnya ulah jahat dari buah-buah dari pohon-pohon yang jahat itu. Apalagi pohon-pohon yang jahat itu makin banyak bertumbuh di kampung Eputobi. ***

Senin, 17 November 2008

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan)

Dalam SMS, mereka tidak lagi berbicara tentang kecelakaan lalulintas sebagai penyebab kematian Akim Maran. Tetapi mereka tetap berusaha menutup-nutupi kenyataan, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dari suku Kumanireng dan lain-lain itu sebagai pembunuh Akim Maran. Sejak beberapa waktu lalu mereka juga mengakui bahwa kematian Akim Maran itu akibat pembunuhan. Tetapi menurut mereka, yang membunuh Akim Maran bukan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Sebagai gantinya, mereka menyebut beberapa nama. Dan mereka pun ingin agar pihak keluarga korban percaya akan informasi yang mereka sampaikan melalui SMS itu. Si pengirim SMS juga menyinggung adanya tiga bukti. Tetapi seperti apa tiga bukti itu tidak disebutkan.

Anehnya nama-nama orang yang mereka sebut sebagai pembunuh Akim Maran dan bukti-bukti versi mereka itu tidak diserahkan kepada pihak berwajib. Malah nama-nama itu diadukan ke RRM. Ya, salah alamat. Jelas bahwa kata-kata mereka itu hanyalah pelipur lara murahan bagi diri mereka sendiri. Semua upaya ini mereka lakukan untuk memenuhi keinginan mereka untuk lolos dari jerat hukum.

Nah siapa yang mau percaya akan kata-kata yang diucapkan oleh para penjahat itu? Pihak Ata Maran dan seluruh lapisan masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya tentu tidak mau dan tidak akan mempercayai kebohongan-kebohongan yang disebarluaskan oleh mereka. Tidak ada satu pun orang berakal sehat di Eputobi dan sekitarnya yang mau dibodohi oleh para penjahat itu. Hanya orang-orang berakal tidak sehat yang menelan bulat-bulat kata-kata mereka itu. Hanya orang-orang yang takut tidak kebagian raskin dan blt yang mengamini kata-kata para penjahat itu. Hanya tikus-tikus yang diberi kesempatan untuk ikut menggerogoti iuran pasar dan uang desa Lewoingu yang percaya pada kata-kata dusta yang diucapkan oleh para penjahat Eputobi itu.

Lantas seperti apa persisnya keinginan para penjahat itu? Jawaban atas pertanyaan ini ada empat. Pertama, pada masa sebelum hari Jumat 18 April 2008, mereka ingin agar perbuatan jahat yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 dengan korban tewas Akim Maran itu tidak perlu dipersoalkan oleh siapa pun. Untuk itu mereka memaksa publik untuk percaya bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Kedua, selama Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya ditahan di Polres Flores Timur, mereka ingin agar saksi mata menarik kembali keterangannya yang sudah di-BAP-kan. Untuk itu mereka memaksakan kehendak mereka pada saksi mata itu. Dengan ini mereka ingin membuktikan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya bukan pembunuh Akim Maran. Ketiga, pasca 16 Agustus 2008, mereka ingin mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pembunuh Akim Maran. Keempat, mereka ingin memaksa pihak keluarga korban untuk percaya akan kebohongan-kebohongan yang selama ini mereka ciptakan dan sebarluaskan. Untuk itu ada orang-orang tertentu yang disuruh untuk melobi RRM di Jakarta. Jika mereka berhasil melobi RRM, mereka bermaksud meminta RRM untuk mengakui bahwa pihak Ata Maran yang salah. Dan karena itu pihak Ata Maran diharapkan mau meminta maaf kepada mereka. Jika ini terjadi, maka, menurut mereka, urusannya selesai.

Terhadap semua itu saya hanya ingin mengatakan, bahwa orang yang sangat bodoh pun tidak akan mau memenuhi permintaan para penjahat itu. Apakah kalian kira, bahwa pihak Ata Maran dan segenap kekuatan pendukungnya begitu bodohnya sehingga mau tunduk pada tekanan kalian yang tidak tahu diri itu? Memang kalian mengira bahwa kalian itu yang menentukan arah perkembangan Lewoingu, sehingga kalian pun ingin mendiktekan pihak Ata Maran untuk mengikuti kehendak kalian?

Lalu, saya pun perlu menambahkan kata-kata seperti ini, "Enyahlah hai para penjahat Eputobi, kalian adalah sampah masyarakat yang tidak berguna bagi kelangsungan dan kelestarian hidup budaya Lewoingu." ***

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

Dalam hari-hari selanjutnya Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan menggencarkan penyebaran kabar bohong tentang sebab kematian Akim Maran. Ikut aktif dalam barisan penyebar kebohongan itu adalah Donatus Doni Kumanireng. Dua minggu setelah kematian Akim Maran, orang ini muncul di Eputobi. Pada tanggal 16 Agustus 2007 dia pun terlibat dalam suatu rapat gelap yang diselenggarakan di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. 

Di kemudian hari Donatus Doni Kumanireng menulis di internet bahwa kematian Akim Maran itu akibat kepasa' (sumpah) yang dibuat oleh pihak Kumanireng pada hari Jumat, 19 Mei 2006. Baginya, karena sumpah Kumanireng itulah maka Akim Maran mengalami kecelakaan dan tewas di Blou. Tampak di sini, bahwa dia sendiri yang membuka mata publik bahwa yang merancang kematian Akim Maran adalah pihak Kumanireng.

Setelah terungkap bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, termasuk beberapa orang dari suku Kumanireng, yang menewaskan Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007, si Donatus Doni Kumanireng pun berjuang keras untuk menutup-nutupinya. Dalam rangka itu dia pun tak segan-segan menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkan pihak keluarga korban dengan kata-kata kotor. Dia juga sibuk memutarbalikkan fakta-fakta tentang sebab terjadinya kekacauan dan kerusakan sosial budaya yang terjadi di kampung Eputobi dan tentang sebab kematian Akim Maran. Pendek kata, dia menggunakan metode "lempar batu sembunyi tangan dan kambing hitam." Tetapi mudah bagi pihak masyarakat beradab di kampung Eputobi untuk membuktikan bahwa Donatus Doni Kumanireng adalah salah satu pentolan dalam gerakan pengacauan dan pengrusakan kampung Eputobi.

Upaya pemutarbalikan fakta-fakta tersebut muncul pula dalam SMS-SMS yang berasal dari kubu komplotan penjahat Eputobi itu. Isi SMS-SMS mereka penuh dengan penghinaan, fitnah dan kata-kata kotor yang dialamatkan kepada pihak keluarga korban kejahatan Senin malam 30 Juli 2007. Meskipun bergonta-ganti nomor, sebagian besar SMS itu berasal dari orang yang itu-itu juga. (Bersambung)

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita temukan dalam kata-kata yang pernah mereka ucapkan. Meskipun tanpa bukti, sejak Selasa pagi, 31 Juli 2007, mereka menyebarkan kabar bahwa Akim Maran itu mati karena kecelakaan lalu lintas. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha mempertahankan kebohongan tersebut. Pada hari Rabu, 1 Agustus 2007, waktu gali kubur, Amsy Making sempat mengatakan begini, "Kene' ini meninggal bukan karena kecelakaan." Mendengar itu, Heri Kelen, anak dari Anis Kelen dan Marta Angin, langsung marah-marah. Dia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Amsy Making. Bagi Heri Kelen, Akim Maran itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Pada hari Minggu, 5 Agustus 2007, seusai misa di gereja stasi Eputobi, Damasus Likuwatang Kumanireng selaku pelaksana tugas kepala desa Lewoingu mengumumkan bahwa kematian Akim Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas, bukan karena yang lain-lain. Dia lantas meminta masyarakat Eputobi untuk tidak membicarakannya lagi. Pernyataan tanpa dasar dan menyuruh masyarakat untuk tidak membicarakan perihal kematian tersebut merupakan bagian dari arogansi pemangku kekuasaan politik di desa Lewoingu. Dalam kata-kata itu tampak tekad untuk menutup-nutupi pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen pada Senin malam 30 Juli 2007. Dengan cara itu, dia berusaha menumpulkan daya kritis masyarakat dalam menghadapi kejahatan besar itu. Sejak awal upaya itu digencarkan, karena keterlibatan aparatur desa dalam proyek kejahatan itu.

Sejak awal, perbuatan jahat yang bermotifkan politik itu ingin ditutup rapat. Dan mereka ingin agar masyarakat Eputobi mempercayai kebohongan yang mereka ciptakan dan sebarluaskan itu. Bahkan mereka pun berusaha melarang para warga masyarakat Eputobi untuk membicarakan perihal kematian orang yang tak bersalah itu. Mikhael Torangama Kelen sendiri berusaha keras melarang masyarakat Eputobi untuk percaya akan isi tulisan tentang pembunuhan Akim Maran yang dimuat di koran-koran lokal dan di internet. Dia menyuruh masyarakat Eputobi medengarkan dan mempercayai apa yang dia katakan. Upaya pembodohan masyarakat semacam itu dia lakukan untuk menutup rapat kejahatan yang dia dan teman-temannya lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007.

Dari mulut Evi Kumanireng, kita pun bisa mengetahui bahwa para penjahat itu pun berusaha mencegah pihak keluarga korban untuk mencaritahu sebab sesungguhnya kematian Akim Maran. Yang mereka inginkan, pihak keluarga korban tidak perlu repot-repot mencaritahu sebab-musabab kematian Akim Maran. Menurut Evi Kumanireng, Akim Maran itu mati karena kecelakaan. Pada hari Jumat, 10 Agustus 2007, Evi Kumanireng bertanya begini, "Akim itu mati karena kecelakaan, atau karena Mike (maksudnya Mikhael Torangama Kelen) dan Lambe (maksudnya Lambertus Lagawuyo Kumanireng) yang pukul?" Keesokan harinya, Sabtu 11 Agustus 2007, Evi Kumanireng marah-marah sambil bertanya, "Jadi Mike dan Lambe yang pukul?" Tetapi dua pertanyaannya itu justru menunjukkan kepada kita apa yang ingin mereka sembunyikan.

Kata pukul (benge dalam bahasa Lewoingu) dipakai juga oleh Yanto Lubur pada hari Minggu 12 Agustus 2007. Sambil berteriak, orang ini bertanya, "Akim meninggal, siapa yang pukul?" Lantas Yoakim Tolek Kumanireng pun menggunakan kata pukul itu pada hari Minggu, 19 Agustus 2007. Waktu pesta sambut baru di Wolo, dia sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Di jalan, saya melihat orang jatuh dari sepeda motor hingga masuk ke dalam got. Saya turun lalu memukulnya.".

Patut dicatat bahwa sejak 31 Juli 2007 hingga 19 Agustus 2007 belum ada orang lain di kampung Eputobi yang menyebut nama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng sebagai orang-orang yang memukul Akim Maran hingga tewas. Dan mengapa orang seperti Yanto Lubur dan Yoakim Kumanireng itu pun menggunakan kata yang sama. Dari manakah kata pukul (benge) itu berasal? Tentu dari kenyataan yang menimpa Akim Maran pada Senin malam, 31 Juli 2007. (Bersambung)

Jumat, 31 Oktober 2008

Dari 26 Oktober 2007 ke 2 November 2007 (Bagian Terakhir dari Tujuh Tulisan)


Apa reaksi masyarakat Eputobi dan sekitarnya setelah mendengar pernyataan Kasat Lantas Polres Flores Timur bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas? Dan apa tindak lanjut dari pertemuan tersebut?

Di kubu Mikhael Torangama Kelen timbul kegembiraan. Mereka mengira bahwa urusan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran sudah beres. Ekspresi kegembiraan mereka tampak antara lain dalam bentuk saling jabat tangan di antara mereka. Sambil berjabat tangan, ada yang mengatakan, "Sudah beres."

Mereka merasa posisi mereka lebih kuat ketimbang posisi pihak keluarga korban. Tetapi mereka lupa bahwa rasa kuat itu timbul bukan dari kebenaran , melainkan dari kebohongan demi kebohongan yang terungkap dalam dua kali pertemuan tersebut. Jika di aula Polres Flores Timur mereka berusaha membohongi keluarga korban, di pasar Eputobi, mereka berusaha membohongi masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya. Tetapi mereka lupa, bahwa sebagian besar masyarakat Lewoingu justru tidak percaya akan isi penjelasan Kasat Lantas Polres Flores Timur itu.

Memang di lingkungan masyarakat beradab di Lewoingu sempat timbul rasa khawatir dan tanda tanya. Dikhawatirkan kasus kematian orang yang tidak bersalah itu ditutup begitu saja. Ada yang sempat bertanya-tanya, "Apakah pengusutan atas kasus kematian Akim Maran dihentikan?" Tetapi rasa khawatir mereka kemudian surut setelah mendapat penjelasan bahwa pihak keluarga korban tidak akan membiarkan kasus pembunuhan disertai penganiayaan itu dihentikan begitu saja. Pihak keluarga akan terus berjuang untuk menampakkan kepada publik kebenaran dan keadilan.

Sebelumnya, kami sudah memperoleh informasi dari salah seorang anggota polisi yang bertugas di salah satu unit di Polres Flores Timur bahwa pihaknya tetap bekerja untuk mengusut kasus kriminal tersebut. Di antara polisi senior, ada yang menilai bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan oleh oknum-oknum polisi tertentu itu keliru. Mengapa? Karena, apa yang disebut isi BAP dan Visum Dokter itu mestinya diberikan kepada keluarga korban, bukan diumumkan kepada publik. Ada anggota polisi yang sampai mengatakan begini, "Di seluruh dunia tidak ada polisi yang melakukan hal semacam itu." Anggota polisi yang tahu aturan justru mendorong pihak keluarga korban untuk terus berjuang demi kebenaran dan keadilan.

Sementara itu, perkembangan faktual di lapangan semakin bergerak ke arah yang bertentangan dengan pernyataan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Karena itu dengan tenang, pihak keluarga korban berusaha menghadapi segala macam upaya untuk menghentikan pengusutan kasus kejahatan kemanusiaan itu. Apa pun tantangan dan risikonya, pihak keluarga korban siap menghadapinya.

Langkah-langkah yang ditempuh oleh Kasat Lantas Polres Flores Timur serta segala macam omong kosong yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk justru mendorong pihak keluarga korban untuk memperlihatkan kepada publik apa yang sesungguhnya terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007. Dalam rangka itu pihak keluarga korban pun berusaha mendisain ulang strategi perjuangan seraya mengantisipasi apa tindak lanjut Kapolres Flores Timur pascapertemuan hari Jumat, 26 Oktober 2007 di pasar Eputobi itu.

Pada tanggal 2 Nopember 2007, Kapolres Flores Timur, AKBP Abdul Syukur (NRP 65090581) menerbitkan surat dengan No Pol: B/1492/XI/2007/Res Flotim, Klasifikasi: BIASA, Perihal: Penjelasan masalah Kasus Laka Lantas. Surat itu ditujukan kepada para kepala desa sekecamatan Titehena di Flores Timur. Pada point 2 dalam suratnya, Abdul Syukur mengatakan,

"Sehubungan dengan Rujukan tersebut di atas bersama ini di sampaikan kepada para Kepala Desa bahwa pada hari kamis tanggal 25 Oktober 2007 bertempat di aula Polres Flores Timur telah diadakan pertemuan dengan keluarga korban dan pemerintah desa Lewoingu dalam rangka memberi penjelasan kepada keluarga korban tentang kronologis kejadian kasus Laka Lantas tanggal 30 Juli 2007 yang disampaikan oleh Kasat Lantas Polres Flores Timur, kemudian pada hari jumat tanggal 26 Oktober 2007 bertempat di Pasar Desa Lewoingu dilaksanakan acara yang sama dan di ikuti oleh keluarga korban, Pemerintah Desa Lewoingu dan Masyarakat Desa Lewoingu."

Pada point 3, Abdul Syukur menyatakan,

"Penjelasan kasat lantas tersebut di atas adalah menyampaikan hasil pemeriksaan saksi-saksi, olah TKP, dan Visum Dokter di simpulkan bahwa kejadian kecelakaan Lalu Lintas tanggal 30 Juli 2007 adalah murni kecelakaan Lalu Lintas."

Pada point 4, Abdul Syukur menyatakan,

"Agar para kepala Desa pada kesempatan pertama setelah di terima surat ini menyampaikan kepada masyarakatnya agar di pahami dan di mengerti."

Pada point 5, Abdul Syukur menyatakan,

"Demikian untuk maklum dan atas bantuan serta kerja sama di sampaikan terima kasih."

Dengan isi surat semacam itu Abdul Syukur ikut dalam barisan oknum-oknum polisi yang berusaha sekuat tenaga untuk melakukan kebohongan publik. Bahkan dia pun mengajak kepala desa sekecamatan Titehena di Flores Timur untuk melakukan hal yang sama. Ajakan formal untuk membohongi masyarakat sekecamatan Titehena itu mestinya tidak boleh dilakukan oleh Kapolres Flores Timur.

Dan coba perhatikan, dalam suratnya, Abdul Syukur menyebut tanggal 30 Juli 2007 sebagai tanggal terjadinya kecelakaan lalu lintas, yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Sedangkan menurut K. Melki Bagailan, kecelakaan lalu lintas yang menewaskan Yoakim Gresituli Ata Maran itu terjadi pada hari Selasa, 31 Juli 2007. Dari penyebutan tanggal yang berbeda itu saja, kita bisa melihat adanya upaya formal untuk merekayasa sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu tidak pernah terjadi di Blou, baik pada hari Senin 30 Juli 2007 maupun pada hari Selasa 31 Juli 2007. Karena itu aneh bin ajaib kalau dikatakan bahwa ada empat orang yang menjadi saksi terjadinya kecelakaan lalu lintas versi Kasat Lantas dan Kapolres Flores Timur itu. Kecelakaan lalu lintasnya saja tidak terjadi, bagaimana mungkin ada saksi-saksinya.

Pernyataan Kasat Lantas dan isi surat Kapolres Flores Timur itu membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya besar kepala. Mereka kemudian tampil lebih percaya diri. Padahal sebelumnya, Mikhael Torangama Kelen dkk sangat ketakutan. Mereka takut ditangkap oleh polisi. Seandainya aparat kepolisian setempat menggebrak lebih cepat, Mikhael Torangama Kelen dkk tak bisa mengelak.

Yang jadi pertanyaan ialah, "Mengapa Kasat Lantas dan Kapolres Flores Timur begitu nekadnya untuk melakukan kebohongan publik?" Jawabannya sudah jelas, bukan? ***

Senin, 27 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Keenam)


Mikhael Torangama Kelen dkk serta Kasat Lantas rupanya merasa tidak cukup dengan pertemuan yang diadakan pada Kamis, 25 Oktober 2007 di ruang Ikatara Polres Flores Timur. Mereka pun sepakat untuk menggelar pertemuan di kampung Eputobi pada hari Jumat 26 Oktober 2007. Dengan menggelar pertemuan di kampung Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dkk berharap perkara kematian Yoakim Gresituli Ata Maran dapat ditutup. Dengan demikian dia pun berharap dapat melenggang bebas ke panggung pelantikannya sebagai kepala desa Lewoingu 2007-2013.

Sesuai rencana, Jumat pagi 26 Oktober 2007, Kasat Lantas Flores Timur, K. Melki Bagailan serta timnya, muncul di kampung Eputobi. Sebelum pertemuan, mereka singgah di rumah Mikhael Torangama Kelen. Seusai pasar, pertemuan digelar di pasar desa Lewoingu. Dalam pertemuan pada hari itu, Kasat Lantas menjelaskan apa yang sudah dijelaskan di ruang pertemuan Ikatara pada hari Kamis, 25 Oktober 2007, di hadapan perwakilan keluarga korban dan sejumlah tamu yang tak diundang itu. Bedanya, dalam pertemuan di kampung Eputobi itu, Kasat Lantas membacakan seluruh isi BAP dan Visum Dokter. Dalam pertemuan pada hari Kamis, 25 Oktober 2007 di Polres Flores Timur, hanya sebagian isi BAP dan Visum Dokter yang dibocorkan kepada para peserta pertemuan.

Yang dimaksud BAP dalam pertemuan itu adalah Berita Acara Pemeriksaan atas Marse Kumanireng, Moses Hodung Werang, Belebang Hayon (Bang Hayon), dan Ito de Ornay. Oleh Kasat Lantas, keempat nama tersebut dijadikan saksi kecelakaan lalu lintas yang, menurut versinya, terjadi pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Padahal tidak ada satu pun kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada hari Selasa pagi, 31 Juli 2007 di Blou. Juga tidak ada satu pun kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007. Marse Kumanireng tidak pernah menyaksikan terjadinya kecelakaan lalu lintas pada Senin malam 30 Juli 2007 atau pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Demikian pula halnya dengan Moses Hodung Werang, Bang Hayon, dan Ito de Ornay. Jadi kecelakaan lalu lintas itu hanya ada dalam imajinasi Kasat Lantas dan Mikhael Torangama Kelen dkk, tetapi tidak ada dalam kenyataan. Kebohongan terjadi ketika apa yang tidak terjadi dikatakan terjadi. Kebohongan juga terjadi ketika nama orang-orang yang tidak melihat terjadinya sesuatu dijadikan saksi untuk terjadinya sesuatu itu.

Dalam pertemuan itu Kasat Lantas pun membaca seluruh isi Visum Dokter yang dibuat pada hari Selasa pagi, 31 Juli 2007 di Puskemas Lewolaga. Visum Dokter menunjukkan bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran mengalami luka sangat parah hanya di kepala dan wajahnya. Tulang tengkorak remuk. Tengkorak belakang terlepas dari posisinya. Ada robekan menyilang dari pipi kanan melewati mata kanan sampai alis mata kanan bagian atas. Mata kiri sangat memar, bengkak, dan berwarna biru. Pipi kiri juga memar dan bengkak sampai dekat ujung hidung. Bibirnya juga sangat memar. Dan darah keluar dari mulut dan hidungnya. Cedera berat di kepala dan wajah korban itu terjadi akibat hantaman benda keras tumpul. Tidak ada satu pun kata dalam Visum Dokter yang menyebutkan bahwa cedera pada kepala dan wajah korban itu akibat kecelakaan lalu lintas.

(Sebagai tambahan, patut pula dicatat di sini bahwa pada hari Minggu, 21 Oktober 2007, Ma Kumanireng mendesak Kepala Puskemas Lewolaga untuk memberikan kepadanya Visum Dokter atas jenazah almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi permintaan itu ditolak. Siapa yang berada di balik upaya mencari tahu Visum Dokter itu?)

Isi Visum Dokter mengindikasikan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran bukan karena kecelakaan lalu lintas. Tetapi Kasat Lantas Polres Flores Timur secara tegas menyatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas. Pernyataan Kasat Lantas ini disambut dengan tepuk tangan meriah dan sorak gembira oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Mereka merasa gembira karena pembunuhan yang mereka rancang dan mereka lakukan itu akan tertutup secara formal. Itu perkiraan mereka.

Dalam sesi tanya jawab, Simon Dalu Kumanireng, Yohanes Ola Kumanireng, Geroda Tukan, Mikhael Torangama Kelen, Eman Werong Weruin, dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng angkat bicara mewakili kelompok mereka. Selain mereka, seorang mantan guru bernama Boli Manuk pun ikut bersuara.

Simon Dalu Kumanireng bilang begini, "Ada orang-orang tertentu yang menuduh anak kami Yoakim Kumanireng dan adiknya membunuh Yoakim Maran. Kami keluarga Kumanireng akan menuntut orang-orang tersebut ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik." Padahal sampai dengan tanggal 26 Oktober 2007 itu belum ada tuduhan seperti yang mereka maksudkan itu. Mikhael Torangama Kelen dan Yoakim Kumanireng pernah melapor beberapa orang dari pihak keluarga korban ke Pos Polisi Titehena di Lewolaga dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tetapi di Pos Polisi tersebut, pada hari Rabu, 26 September 2007, Mikhael Torangama Kelen dan Yoakim Kumanireng gagal membuktikan kebenaran isi laporan mereka itu. Mereka hanya merasa dituduh.

Yohanes Ola Kumanireng bilang begini, "Kami merasa tidak aman. Kami merasa diteror. Saya minta kepada polisi untuk menghadirkan Plasidus Nuba Maran, karena suratnya kepada polisi benar-benar meresahkan kami. Plasidus Maran, Yustina Maran, dan Rafael Maran adalah orang-orang bukan warga desa ini. Mereka itu pendatang. Mereka hanya membuat warga desa menjadi tidak aman." Di kemudian hari, tuduhan itu dibantah sendiri oleh salah seorang dari kelompok mereka. Orang yang membantah itu sampai mengatakan, "Bagaimana mau damai kalau kita nilai mereka seperti itu." Kata-kata itu dia ucapkan, karena di dalam kenyataan, ketiga orang anak Bernardus Sani Ata Maran itu bukan pendatang dan tidak pernah menjadi pengacau kampung Eputobi. Pendek kata, tidak ada satu pun anak Bernardus Sani Ata Maran dan Yosefina Muko Kumanireng, yang menjadi pengacau di kampung Eputobi dan di mana pun mereka berada.

Geroda Tukan mengatakan begini, "Kami merasa tidak aman. Kami merasa diteror. Anak kami dituduh membunuh Yoakim Maran. Kami minta pihak yang menuduh anak kami agar memberikan bukti-bukti atas tuduhan tersebut. Setiap kali kami bepergian ke desa-desa lain, orang-orang di sana pasti berbicara tentang kasus ini. Saya minta kepada bapak polisi agar memberikan penjelasan kepada warga desa sekitar supaya mereka bisa tahu bahwa kematian Yoakim Maran karena kecelakaan lalu lintas." Yang jadi pertanyaan ialah mengapa anda dan pihak anda harus merasa tidak aman, ketika mendengar orang berbicara tentang kasus kematian orang yang tidak bersalah itu? Adakah peraturan yang melarang orang untuk membicarakan kasus pembunuhan semacam itu?

Mikhael Torangama Kelen menyinggung isi spanduk yang dipasang di San Do Minggo, Larantuka yang mengimbau orang agar jangan mengendarai kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk. Dan kepada keluarga korban, dia juga berpesan begini, "Jika keluarga korban belum puas dengan penjelasan ini, silahkan melapor kepada polisi di Kupang atau di Jakarta. Saya menyarankan kepada orang-orang yang belum puas supaya melakukan sumpah adat." Beranikah si Mikhael Torangama Kelen ini disumpah secara adat? Atau, beranikah si Mikhael Torangama Kelen ini disumpah menurut agama? Jawabannya jelas, dia tidak berani?

Eman Werong Weruin mengatakan, "Ada oknum-oknum tertentu yang berusaha untuk menggagalkan pelantikan kepala desa terpilih. Oknum-oknum tersebut memberikan informasi secara lisan dan tertulis kepada Kabag Tatapem bahwa kematian Yoakim Maran ada kaitannya dengan proses pemilihan kepala desa Lewoingu. Oleh karena itu, saya mohon kepada oknum-oknum tersebut supaya menghentikan usaha-usahanya dalam menggagalkan pelantikan kepala desa terpilih." Perlu dicatat, bahwa orang ini adalah guru SDK Eputobi. Tanpa melalui proses pemilihan, dia diangkat menjadi ketua BPD Lewoingu. Kasak-kusuknya untuk membela Mikhael Torangama Kelen terbilang luar biasa. Peraturan mana yang membenarkan, pengangkatan seorang guru, seorang pegawai negeri sipil untuk menjadi ketua BPD?

Lambertus Lagawuyo Kumanireng mengatakan bahwa kita ini kakak-beradik, dan bersaudara ipar satu sama lain. Karena itu kita ini tidak boleh saling membenci dan saling bermusuhan. Setiap manusia pasti mempunyai kesalahan. Oleh karena itu kita harus melupakan masa lalu dan saling memaafkan. Lalu dia juga berpesan begini, "Jangan lagi melempar bola panas." Bicara tidak saling membenci dan tidak saling bermusuhan itu mudah sekali. Tetapi dia sendiri sangat iri dan membenci Yoakim Gresituli Ata Maran.

Dalam sejarah Lewoingu, sukunya si Lambertus Lagawuyo Kumanireng itu bersaudara dengan sukunya Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi di mana si Lambertus Lagawuyo Kumanireng bersembunyi ketika Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal? Lantas begini, dalam urusan yang berkaitan dengan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, anda kok begitu sibuknya mengintimidasi dan mengancam orang-orang yang dianggap membantu pihak keluarga korban untuk membongkar kasus kejahatan tersebut. Mengapa anda mengancam memotong seorang saksi dengan parang? Mengapa anda pun menjadi sangat tidak tenang setelah barang-barang bukti kejahatan Senin malam 30 Juli 2007 ditemukan dan dibawa ke kampung Eputobi? Mengapa anda sendiri yang melempar bola panas ke sana kemari, ke seluruh pelosok kampung Eputobi, lalu anda berpesan kepada orang lain untuk tidak lagi melempar bola panas? Bukankah anda juga, yang pernah mengeluarkan ancaman, "Kalau kepala desa terpilih tidak dilantik akan terjadi pertumpahan darah."

Sementara itu suara yang tampak netral datang dari pak Boli Manuk. Mantan guru ini mengatakan bahwa kasus kematian Yoakim Maran benar-benar meresahkan warga desa Lewoingu. Oleh karena itu, saya minta kepada polisi agar segera menangani kasus tersebut."

Selama pertemuan itu berlangsung pihak keluarga korban tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ini sesuai dengan kesepakatan yang dibuat sebelum pertemuan itu diselenggarakan. Tidak mengeluarkan kata-kata dalam pertemuan semacam itu bukan berarti bahwa pihak keluarga korban menyetujui apa yang dikatakan oleh Kasat Lantas. Apa yang dikatakan oleh Kasat Lantas baik dalam pertemuan di Polres Flores Timur di Larantuka maupun dalam pertemuan di kampung Eputobi justru mendorong pihak keluarga korban untuk memperlihatkan kepada publik bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena pembunuhan. *** (Bersambung)

Sabtu, 18 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Kelima)

Setelah dilobi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, Kapolres Flores Timur mengeluarkan surat undangan kepada Lurah Balela, Larantuka dan kepada kepala desa Lewoingu. Isi surat undangan bertanggalkan 23 Oktober 2007 adalah: "Mohon kehadiran anggota keluarga korban, pada hari Kamis 25 Oktober 2007, di aula Ikatara Polres Flores Timur untuk mendapatkan penjelasan tentang penanganan kasus laka lantas yang terjadi pada hari Selasa tanggal 31 Juli 2007 di jalan negara jurusan Larantuka-Maumere tepatnya di Blou desa Lewolaga, kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur." Anggota keluarga korban yang diundang adalah: 1) Rafael Raga Ata Maran, 2) Plasidus Nuba Ata Maran, 3) Yustina Ata Maran, 4) Elisabet Lein, 5) Anisetus Singo Tukan, 6) Yosep Torang Kehluer, 7) Pius Keluang Koten, 8) Maria Immakulata Lito Kumanireng.

Oleh PLT kepala desa Lewoingu, surat undangan itu diubah perihalnya menjadi panggilan polisi. Padahal konotasi "panggilan polisi" berbeda dengan konotasi "undangan kapolres." Surat yang sudah diubah perihalnya itu ditujukan kepada 1) Yosep Torang Kehuler, 2) Pius Keluang Koten, 3) Anisetus Singo Tukan, 4) Maria Immakulata Lito Kumanireng. Surat ini mereka terima pada hari Rabu sore 24 Oktober 2007.

Kamis 25 Oktober 2007 sebelum pukul 10.00 waktu setempat orang-orang yang diundang itu sudah berada di depan aula Ikatara Polres Flores Timur. Pada pukul 10.01 pertemuan dimulai di ruang Ikatara bagian dalam. Pertemuan dipimpin oleh Kasat Lantas Polres Flores Timur, K. Melki Bagailan. Kasat Lantas didampingi oleh seorang Polwan bernama Romakia dan polisi Agus Kuswanto (di sebelah kanan) dan Kapospol Titehena, Fransiskus R. L. (di sebelah kiri). Pokok pembicaraannya adalah "penjelasan tentang penanganan kasus laka lantas yang terjadi pada hari Selasa 31 Juli 2007 di jalan negara jurusan Larantuka-Maumere tepatnya di Blou desa Lewolaga, kecamatan Titehena, kabupaten Flores Timur."

Di saat pertemuan akan dimulai Kasat Lantas mengizinkan sejumlah orang yang tidak diundang memasuki ruang pertemuan. Protes pihak keluarga korban atas kehadiran tamu-tamu tak diundang itu tidak digubris oleh Kasat Lantas. Rupanya sebelum pertemuan, Kasat Lantas sudah bermain mata dengan tamu-tamu tak diundang itu. Tamu-tamu tak diundang itu terdiri dari 1) Damasus Likuwatang Kumanireng (PLT kepala desa Lewoingu), 2) Lambertus Lagawuyo Kumanireng, 3) Kristianus Noe Kumanireng alias Ma Kumanireng, 4) Emanuel Werong Weruing, 5) Laurensius Kwen, 6) Paulus Suban Kwen alias Pote Kwen, 7) Clara Lito Kwen, 8) Mikhael Torangama Kelen.

Dalam pertemuan itu, Kasat Lantas melakukan hal yang pada dasarnya tidak patut dilakukan oleh seorang anggota polisi. Kasat Lantas Polres Flores Timur bernama K. Melki Bagailan itu membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)di hadapan peserta pertemuan itu. Selain itu, dia juga membacakan Visum Dokter terhadap jenazah Akim Maran. Padahal BAP dan Visum Dokter itu bersifat rahasia. Dalam proses penyelidikan atau penyidikan, hanya polisi dan keluarga korban yang boleh mengetahuinya.

Selain itu Kasat Lantas menyatakan bahwa kematian saudara Yoakim Gresituli Ata Maran adalah murni kecelakaan lalu lintas. Pernyataannya ini merupakan ulangan atas pernyataannya yang disampaikan dalam suratnya kepada keluarga korban (surat tanggal 12 Oktober 2007). Padahal tidak terjadi kecelakaan lalu lintas di Blou pada Selasa pagi, 31 Juli 2007 atau pada Senin malam, 30 Juli 2007. Jadi jelas bahwa K. Melki Bagailan melakukan kebohongan untuk memenuhi permintaan Mikhael Torangama Kelen dkk. Tentu ada sesuatu yang membuat seorang Kasat Lantas mau mengeluarkan pernyataan tanpa dasar semacam itu.

Lalu seperti apa perilaku tamu-tamu tak diundang itu? Kehadiran mereka lebih untuk merecoki jalan pertemuan. Dalam sesi tanya jawab dan usul saran, mereka pun bersuara. Tetapi mereka mengarahkan pembicaraan ke masalah lain, yaitu masalah pelantikan kepada desa terpilih atas nama Mikhael Torangama Kelen, yang tertunda-tunda. Mereka mendesak dan meminta Kapolres menyurati Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Flores Timur agar pelantikan kepala desa Lewoingu terpilih segera dilaksanakan.


Mikhael Torangama Kelen sendiri menyatakan begini, "Saya minta keluarga (maksudnya keluarga korban), kalau ada bukti silahkan proses, tetapi ingat, semua ini tergantung pada modal. Siapa yang punya uang, yang benar bisa jadi salah dan yang salah bisa bisa jadi benar." Si Mikhael Torangama Kelen juga menyarankan, "Saya minta pihak kepolisian untuk memfasilitasi kami melakukan sumpah adat di kampung."

Kata-katanya itu jelas pada dirinya sendiri, karena itu tak perlu ilmu tafsir yang canggih untuk mengerti artinya. *** (Bersambung)

Jumat, 17 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Keempat)

Beberapa kali Petrus Naya Koten mengeluh kepada saya tentang sepeda motornya yang ditahan di Polsek Wulanggitang di Boru sejak hari Selasa 2 Oktober 2007. Katanya, "Kalau sepeda motornya ditahan, saya kesulitan mencari uang untuk membayar cicilan kreditnya." Dia juga berceritera bahwa sisa kreditnya sekitar Rp 3 juta rupiah. Dia khawatir, kalau cicilannya mandeg, sepeda motornya ditarik oleh dealer. Oleh karena itu dia meminta bantuan saya untuk mengurus agar sepeda motor itu dapat dipinjam pakai untuk mengojek.

Waktu ditemui di kantornya di Polres Flores Timur, Kasat Lantas sendiri mengatakan bahwa soal pinjam pakai itu dapat diproses asal pemilik sepeda motor mengajukan permohonan ke Kasat Lantas Polres Flores Timur. STNK asli sepeda motor itu akan tetap ditahan. Kepada pemilik sepeda motor akan diberikan surat yang untuk sementara berfungsi sebagai pengganti STNK. Untuk itu, Petrus Naya Koten datang menemui saya. Dia meminta bantuan saya untuk membuat surat permohonan dimaksud. Tetapi karena ada kesibukan lain, saya meminta bantuan saudara saya untuk menyusun surat permohonan yang diperlukannya.

Dengan membantu dia, dia pun diharapkan akan mau diajak ke Maumere untuk mencek kembali informasi sangat penting yang pernah dia ceriterakan kepada beberapa orang di kampung Eputobi. Jika informasi itu dapat diperoleh dari sumbernya, maka jalan ke arah pembongkaran hingga tuntas kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran lebih terbuka. Sebelumnya, Petrus Naya Koten sempat menyanggupkan diri ke Maumere bersama dua atau tiga orang saudara kami untuk mencek kembali informasi termaksud. Tetapi pada hari yang telah ditentukan, dia sendiri yang membatalkannya. Pembatalannya yang bersifat mendadak itu menimbulkan tanda tanya. Mengapa dia mengurungkan niatnya ke Maumere?

Setelah surat permohonannya diajukan, Petrus Naya Koten diminta untuk menemui Kasat Lantas di Polres Flores Timur pada hari Senin 22 Oktober 2007. Maka pada pagi hari ini dia bersiap diri untuk pergi ke kota Larantuka. Sebelum naik angkutan umum, Petrus Naya Koten kelihatan serius brdiskusi dengan Mikhael Torangama Kelen di pinggir jalan dekat rumah orang yang pada waktu itu berstatus sebagai kepala desa terpilih. Rupanya semua urusan yang pernah dia sampaikan kepada saya dan saudara-saudara saya itu sudah dia laporkan kepada Mikhael Torangama Kelen. Dan karena urusan yang dihadapinya pada hari ini merupakan momen yang dapat menggiring mereka ke urusan pokok yang selama ini mereka usahakan untuk dihindari, maka Mikhael Torangama Kelen pun menyanggupkan diri untuk membantu membebaskan sepeda motor Petrus Naya Koten dari tahanan. Sebelum naik angkutan umum, Mikhael Torangama Kelen berpesan kepada Petrus Naya Koten, "Engkau lebih dulu ke atas, nanti saya menyusul." Di sepanjang jalan menuju kota Larantuka Petrus Naya Koten tidak bersuara apa-apa. Dia hanya duduk termenung. Padahal di dalam angkutan umum itu terdapat orang-orang yang dia kenal baik.

Menjelang siang, Mikhael Torangama Kelen dan beberapa temannya muncul di Polres Flores Timur. Sedangkan batang hidung Petrus Naya Koten tidak kelihatan di sana. Padahal pada hari itu dia perlu mengurus izin pinjam pakai sepeda motornya yang ditahan di Polsek Boru. Tidak jelas di mana dia menyembunyikan diri. Tetapi jelas, bahwa Mikhael Torangama Kelen yang menangani urusannya itu dengan Kasat Lantas Polres Flores Timur. Kesempatan itu dipakai oleh Mikhael Torangama Kelen dkk untuk membuat kesepakatan untuk mengadakan suatu pertemuan di Polres Flores Timur pada hari Kamis, 25 Oktober 2007. Seorang intel menceriterakan bahwa pada hari itu, Mikhael Torangama Kelen juga melobi Kapolres Flores Timur. Hasil lobi dengan Kasat Lantas dan Kapolres Flores Timur nampak jelas beberapa hari sesudahnya.

Yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa sejak Senin 22 Oktober 2007 itu, Petrus Naya Koten memutuskan hubungan dengan keluarga Ata Maran. Sejak hari itu dia mulai menampakkan secara jelas di mana sesungguhnya posisi dia dalam kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Kecurigaan beberapa orang di Eputobi selama itu tentang keikutsertaan dia dalam pelaksanaan proyek Mikhael Torangama Kelen di Blou mulai menemukan jawabannya. Sejak hari itu, dia pun tak mampu lagi membangun relasi-relasi sosial yang baik dengan berbagai pihak di blok barat kampung Eputobi.

Yang jadi pertanyaan ialah, "Mengapa si Mikhael Torangama Kelen sampai harus memasang badan untuk Petrus Naya Koten?" Jawabannya mudah ditemukan. Mikhael Torangama Kelen takut kalau Petrus Naya Koten membuka apa yang selama ini mereka rahasiakan bersama. Karena itu, Mikhael Torangama Kelen yang maju menghadapi Kasat Lantas untuk membereskan urusan sepeda motor itu sambil mencari-cari peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

Anda harus ingat, dalam jaringan mereka, Petrus Naya Koten merupakan mata rantai yang paling lemah. Sehingga dia ini sering diingatkan untuk berhati-hati agar apa yang menjadi rahasia itu tidak sampai bocor oleh kelengahannya. *** (Bersambung)

Kamis, 16 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Ketiga)

Pagi hari Jumat, 12 Oktober 2007, saya memperjelas batas tanah di sebelah timur rumah Anis Kelen. Dengan cara itu, kami harap Anis Kelen dan isterinya tidak lagi menambah-nambah halaman rumah mereka ke sebelah timur. Tanah tempat tinggal mereka itu bukan tanah milik Anis Kelen. Di situ dia pada dasarnya hanya numpang tinggal. Tetapi penumpang yang satu ini kadang-kadang bertindak seperti pemilik sah atas tanah itu.

Siang hari itu, saya pun berkesempatan bertemu dengan Petrus Naya Koten alias Pendek Pite, orang yang hingga hari itu masih saya percayai sebagai saudara, dan sebagai sahabat dekat almarhum Akim Maran. Kepada saya dia masih saja mengeluh tentang penahanan sepeda motornya di Polsek Wulanggitang di Boru. Tentang penahanan sepeda motornya itu, seorang rekannya pernah berguyon, yang masuk bui malah sepeda motor, bukan pelaku-pelakunya. Sebagai salah satu barang bukti utama, sepeda motor memang layak ditahan untuk kepentingan pengusutan perkara kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007. Tetapi bagi Pendek Pite, penahanan sepeda motor itu merugikan dirinya, karena sehari-hari sepeda motor itu dipakai untuk mencari uang.

Di balik keluhannya itu sebenarnya tersembunyi suatu rasa takut. Ya, dia takut berurusan dengan polisi. Rasa takutnya itu mulai terbaca pada hari Selasa, 2 Oktober 2007. Tetapi pada waktu itu saya belum menaruh perhatian pada pertanyaan, "Mengapa orang ini harus takut berurusan dengan polisi?" Pada waktu itu, saya hanya berusaha menolong mengurus administrasi sepeda motornya yang ditahan itu. Namun di kemudian hari, tepatnya pada Senin, 22 Oktober 2007, jawaban atas pertanyaan tersebut datang sendiri. Kejadian pada hari Senin pagi itu memudahkan kita untuk menemukan salah satu mata rantai baru dalam jaringan penjahat yang menewaskan Akim Maran.

Apa yang terjadi pada hari Senin, 22 Oktober 2007? Kita akan melihatnya pada bagian keempat dari rangkaian tulisan berjudul "Oktober 2007."

Sabtu, 13 Oktober 2007 adalah hari persiapan akhir bagi anak-anak SDK St. Pius X yang akan menerima Komuni Pertama pada hari Minggu, 14 Oktober 2007. Persiapan akhir ditandai dengan doa bersama oleh umat basis di rumah anak yang akan menerima Komuni Pertama. Di tempat tinggal Epeng Maran, anak laki-laki dari almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran, pun diadakan doa bersama. Doa bersama itu dihadiri pula oleh anggota-anggota keluarga dari Riang Duli dan dari Lewolaga.

Misa Komuni Pertama di gereja Eputobi, pada hari Minggu 14 Oktober 2007, berlangsung meriah. Namun di tengah kemeriahan itu timbul pula rasa duka di hati sebagian umat, karena mereka menyaksikan Epeng Maran yang tidak didampingi oleh ayah kandungnya sendiri. Melihat Epeng Maran, mereka ingat akan Akim Maran, yang mati secara amat mengenaskan di Blou, akibat kebiadaban sejumlah orang Eputobi. Banyak air mata lantas bertumpah-ruah di gereja itu. Pada hari itu, Epeng Maran didampingi oleh ibunya dan Plasidus Nuba Ata Maran.

Resepsi untuk Epeng Maran diadakan secara sederhana di rumah keluarga Ata Maran di kampung Eputobi. Hadir dalam resepsi itu anggota-anggota keluarga, sanak saudara, dan handai taulan. Sejak hari Sabtu, 13 Oktober 2007 hingga Senin pagi 15 Oktober 2007, di rumah keluarga Ata Maran di Eputobi berkumpul cukup banyak orang.

Mungkin karena itu, maka di pihak orang-orang yang waktu itu terindikasi jelas sebagai pembunuh Akim Maran timbul rasa curiga. Rasa curiga itu terjadi, karena di hati mereka memang sedang menumpuk bangkai kejahatan yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007. Karena merasa takut sekaligus sebagai salah satu bentuk unjuk gigi, di antara mereka ada yang lantas melaporkan soal berkumpulnya anggota-anggota keluarga Ata Maran itu ke polisi. Mereka pikir, cara semacam itu akan mempan untuk menakut-nakuti kluarga Ata Maran. Padahal keluarga Ata Maran tidak akan takut dengan gertakan macam apa pun.

Hari Selasa pagi sekitar pukul 09.00 seorang intel polisi dari Polsek Wulanggitang muncul di rumah keluarga Ata Maran di Eputobi. Katanya, dia ingin mencek ada perkumpulan apa di rumah keluarga Ata Maran. Setelah dijelaskan bahwa yang berkumpul di rumah itu adalah anggota keluarga yang merayakan acara Komuni Pertama anak dari almarhum Akim Maran, polisi itu langsung balik kanan dan pergi. Bersama Kapospol Titehena, intel itu meluncur ke arah Lewolaga dengan sepeda motor.

Pihak keluarga Ata Maran kemudian menanyakan alasan kedatangan intel itu kepada Kapolsek Wulanggitang di Boru. Ketika ditanya tentang siapa yang menyuruh intel itu datang ke rumah keluarga Ata Maran di Eputobi, Kapolsek hanya menjawab, "Itu perintah dari atas." Tapi dari atas mana, tidak disebutkannya secara jelas. Mungkin saja, yang dimaksud dari atas itu dari Polres Flores Timur.

Yang jelas sampai dengan Oktober 2007, mereka yang terindikasi sebagai pembunuh Akim Maran masih menjalin hubungan "mesra" dengan oknum-oknum polisi tertentu. ***(Bersambung)

Jumat, 10 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Kedua)

Minggu 7 Oktober 2007, tak ada misa di gereja Eputobi. Yang ada ibadat sabda. Saya pun menghadiri ibadat sabda itu. Seusai ibadat sabda, saya bersama dua orang saudara saya mampir ke kubur anak pertama dari almarhum Akim Maran. Kuburnya terletak di tengah kampung Eputobi. Dari situ kami mampir ke rumah bapak Doweng Kelen. Di rumah bapak Doweng Kelen, kami ngobrol cukup lama dalam suasana santai. Hadir pula dalam obrolan itu bapak Sani Manuk.

Seusai makan siang, kami ke Lato, ibu kota kecamatan Titehena. Di Lato kami menjaring informasi bahwa sekitar jam 13.00 waktu setempat Senin 30 Juli 2007, Akim Maran dan Marse Kumanireng tiba di tempat Nebo. Pada hari itu di rumah bapak Jewani Hayon diselenggarakan Nebo untuk almarhumah ibu Maria Ose Sogen. Seorang saksi mata menceriterakan, bahwa waktu tiba di acara Nebo itu, Akim Maran kelihatan kurang tenang. Dia sering keluar masuk rumah. Ini merupakan hal yang tidak biasa bagi mereka yang sudah mengenalnya secara dekat.

Tampaknya kekurangtenangan penampilan Akim Maran pada siang hari itu berkaitan dengan kenyataan, bahwa di Lato pada siang hari itu juga berkumpul dan berkeliaran orang-orang Eputobi yang selama ini memusuhi, membenci, dan mengincarnya. Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya hadir di sana. Mikhael Torangama Kelen sempat dipergoki berdiri di gang dekat acara Nebo diselenggarakan. Seraya bercekak pinggang selama beberapa saat dia melihat ke arah rumah tempat Nebo diselenggarakan. Salah satu anggota komplotannya, yaitu Yoka Kumanireng sempat makan di acara Nebo itu. Di Lato, mereka membayang-bayangi Akim Maran secara ketat, sejak siang hari hingga sore dan malam, termasuk ketika dia bersama Marse Kumanireng menempuh perjalanan dari Lato hingga Bokang.

Pada hari Selasa pagi, 9 Oktober 2007, di kampung Eputobi, orang bernama Yoka Kumanireng, sambil memegang linggis, berpesan begini: "Bilang mereka yang di sebelah sana (maksudnya mereka yang di sebelah barat), jangan lagi lewat ke sini (maksudnya: kalau bepergian ke arah timur, jangan lagi lewat di jalan yang termasuk wilayah timur). Kalau mereka lewat ke sini, saya akan memukul mereka." Salah satu kebiasaan orang ini adalah mengancam orang tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, kalau sedang berkumpul, termasuk dalam kumpulan untuk doa bersama, bapak anak itu sering berceritera sendiri kepada orang-orang lain bahwa anaknya dituduh membunuh Akim Maran. Padahal tidak ada orang yang bertanya kepada dia tentang hal tersebut.

Pada hari Selasa ini juga saya bertemu dengan bapak Moses Hodung Werang, orang yang pada Selasa pagi, 31 Juli 2007 menemukan jenazah Akim Maran di Blou. Pagi itu dia berjalan kaki dari arah Wairunu ke Lewolaga. Di dekat sebuah deker di Blou, matanya menangkap pantulan cahaya dari dalam parit, di sebelah kiri jalan. Dia lalu mendekat untuk melihat barang apa yang terdapat di sana, sehingga dapat memantulkan cahaya. Ternyata di bawa sana terdapat sebuah sepeda motor. Tidak hanya itu. Di sebelah kanan sepeda motor itu, agak di bawah, dia melihat seseorang tergeletak dalam keadaan tidak bernyawa. Pada waktu itu dia belum mengetahui bahwa orang yang sudah tak bernyawa itu adalah Akim Maran.

Dia kemudian bergegas ke Lewolaga untuk melaporkan penemuannya itu ke Pos Polisi Titehena. Bersama polisi, dia kembali ke Blou. Waktu itu baru dia mengetahui bahwa orang yang sudah tak bernyawa itu adalah Yoakim Gresituli Ata Maran. Sekitar lima belas menit kemudian, muncul Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng dari Eputobi dengan sepeda motor, tanpa mengenakan helm. Melihat kehadiran polisi di situ, Mikhael Torangama Kelen berusaha tancap gas. Tetapi setelah Kapospol Titehena meniupkan peluitnya tanda berhenti, Mikhael Torangama Kelen pun menghentikan sepeda motornya. Kepada polisi itu dia mengaku mengenal siapa orang yang sudah tak bernyawa itu. Bunyi komentar Mikhael Torangama Kelen di Blou ialah "Ini baru rasa." Komentar ini merupakan lanjutan kata-kata dia kepada Akim Maran pada Senin malam 30 Juli 2007, "Kamu keras kepala." Dia yang mengatur semua strategi, mulai dari penghadangan hingga pengeroyokan yang menyebabkan kematian Akim Maran. Pagi itu, dia bersama Lambertus Lagawuyo Kumanireng berpura-pura baru tahu tentang kematian Akim Maran. Padahal merekalah yang menjadi penyebab kematian orang yang tak bersalah itu.

Pada hari Rabu, 10 Oktober 2007, saya berada di Polres Flores Timur. Kasat Reskrim yang kami temui siang itu memberikan respons yang kurang jelas tentang penanganan kasus pembunuhan Akim Maran. Kepada Kasat Reskrim saya menyampaikan harapan agar kasus pembunuhan itu sungguh-sungguh diusut hingga tuntas.

Kamis, 11 Oktober 2008, bersama seorang kakak, saya ke Boru untuk menemui lagi Kapolsek Wulanggitang. Pada hari itu Kapolsek Wulanggitang kelihatan kurang bersemangat. Ketika saya menegaskan bahwa kasus kematian Akim Maran perlu diusut hingga tuntas oleh aparat kepolisian, karena terdapat indikasi-indikasi yang jelas bahwa kematiannya akibat pembunuhan, pak Kapolsek itu pun mengatakan bahwa mungkin juga dia meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Dari pertemuan kedua dengan pak Kapolsek Wulanggitang di Boru, saya lantas berani berkesimpulan bahwa tak ada tekad yang jelas dari aparat kepolisian setempat untuk mengusut hingga tuntas kasus kematian Akim Maran. Bahkan terdapat upaya dari oknum-oknum polisi tertentu untuk menggiring publik untuk mempercayai isu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas. Salah seorang yang mau dperalat untuk menyebarkan isu yang tidak berdasar itu adalah pelaksana tugas kepala desa Lewoingu, bernama Damasus Likuwatang Kumanireng Blikopukeng. Di depan gereja Eputobi, pada hari Minggu, 30 September 2007, seusai ibadat sabda, dia sendiri menjelaskan, bahwa polisi menyuruh dia untuk menyampaikan hal tersebut kepada warga Eputobi. Di Lewolaga, pada hari Rabu 26 September 2007, Kapospol Titehena sempat mengatakan bahwa informasi bahwa kematian Akim Maran karena kecelakaan lalu lintas itu berasal dari polisi. Hal yang sama pernah disampaikan pula oleh seorang intel Polres Flores Timur kepada saya.

Di tingkat Polres Flores Timur, hanya bagian intel yang sempat serius melakukan pengusutan atas perkara kematian Akim Maran. Tetapi seperti apa hasil kerja mereka, tidak jelas hingga kini. *** (Bersambung)

Kamis, 09 Oktober 2008

Oktober 2007 (Bagian Pertama)

Oktober 2008 sudah berlangsung seminggu lebih. Di kampung Eputobi, bulan Oktober 2008 diawali dengan upacara Komuni Pertama (Sambut Baru) untuk 20 orang anak SDK St. Pius X. Pesta Sambut Baru dirayakan secara sederhana. Hingga memasuki minggu kedua Oktober 2008, tak ada kehebohan yang menonjol di kampung Eputobi. Memang tetap ada keprihatinan dan keresahan di kalangan masyarakat beradab, keprihatinan dan keresahan akan lambannya gerak maju proses penanganan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi hidup toh tetap harus dijalani.

Lambannya penanganan perkara kejahatan kemanusiaan Senin malam 30 September 2007, mengingatkan saya akan apa-apa yang terjadi pada bulan Oktober 2007. Pada hari Selasa 2 Oktober 2007, saya bersama seorang kakak kandung saya ke Boru untuk menanyakan perkembangan penanganan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran kepada Kapolsek Wulanggitang. Di kantor Polsek Boru, Petrus Naya Koten dan anaknya sudah menunggu kedatangan kami. Sebelumnya dia memang meminta bantuan saya untuk mengurus administrasi sepeda motornya yang ditahan di Polsek Boru sejak tanggal 2 Oktober 2007.

Waktu saya bersama kakak saya bertemu Kapolsek Boru, Petrus Naya Koten pun hadir. Dari pertemuan dengan Kapolsek Boru pada hari itu, saya dapat mengetahui bahwa kasus pembunuhan Akim Maran tidak mendapat perhatian yang layak dari aparat kepolisian setempat. Informasi yang dimiliki oleh Kapolsek Boru pada hari itu hanya sebatas laporan dari intelnya. Pada hari Sabtu, 4 Agustus 2007, intel itu mengatakan kepada saya, Akim Maran itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Padahal intel itu sendiri belum melakukan penyelidikan secara luas dan mendalam tentang sebab sesungguhnya kematian Akim Maran.

Di luar pertemuan dengan Kapolsek Boru, saya sempat berdiskusi dengan seorang anggota polisi, yang pada hari Selasa 31 Juli 2007, setelah jenazah Akim Maran ditemukan, datang ke Blou. Polisi muda itu mengatakan kepada saya bahwa menurut pengamatannya, yang terjadi di Blou adalah kecelakaan lalu lintas. Tetapi ketika kepada dia saya bertanya, "Kalau terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa sepeda motor yang dikendarai korban dari Lato tidak mengalami kerusakan," polisi itu tidak bisa menjawab.

Bersama polisi itu, kami lalu memeriksa kondisi sepeda motor Yamaha Jupiter (milik Petrus Naya Koten) yang pada Senin malam 30 Juli 2007 dikendarai oleh Akim Maran dari Lato menuju kampung Eputobi. Keadaan sepeda motor itu, sejauh tampak di mata saya, dan sejauh yang dituturkan oleh pemiliknya sendiri kepada saya, cocok dengan apa yang pernah disampaikan oleh arwah Akim Maran sendiri. Sepeda motor itu tidak mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan pengendaranya tewas di tempat kejadian perkara. Diskusi dengan polisi itu lalu berhenti di tempat kami memeriksa keadaan sepeda motor itu.

Keesokan harinya, Rabu, 3 Oktober 2007, pukul 17 waktu setempat, di Hokeng, seorang biarawati SSps menyampaikan kepada salah seorang kakak korban, bahwa salah seorang pelakunya berkulit hitam, bertubuh pendek. Ciri itu mengacu pada salah seorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dia adalah orang yang pada Senin malam, 30 Juli 2007 memalang sepeda motor GL hitam yang dikendarainya di tengah jalan di tikungan sebelum Tobi Bele'eng untuk menghentikan gerak maju sepeda motor yang dikendarai oleh Akim Maran. Akim Maran yang berusaha lolos dari hadangan para penjahat itu menabrak sepeda motor si hitam pendek itu. Bersama sepeda motor GL hitamnya, si hitam pendek itu jatuh ke aspal.

Sejak Selasa 31 Juli 2007, si hitam pendek tidak keluar rumah, karena menderita sakit kepala yang hebat. Lebih dari satu minggu dia tidak keluar rumah. Di kemudian hari, seorang intel yang memantau gerak-geriknya menceriterakan bahwa bagian belakang kepala dan leher si hitam pendek itu terluka. Untuk menyembuhkan sakitnya jasa Mari' Sogen diminta. Menurut Mari' Sogen, si hitam pendek itu cedera karena dipukul oleh nitung (hantu?) di Waidang pada tahun 2004. Mendengar omongan Mari' Sogen itu, orang-orang pada tertawa geli. Masa' nitung bisa memukul orang hingga cedera, apalagi pukulannya itu terjadi pada tahun 2004 dan lukanya baru terjadi pada bulan Agustus 2007.

Intel yang sama juga menceriterakan bahwa setelah mulai pulih dan bisa keluar rumah, si hitam pendek selalu mengenakan helm dan jeket, yang kerahnya dbiarkan menutupi seluruh bagian lehernya, termasuk ketika dia ke pesta dan ke pasar. Selama mengikuti pesta helm tetap menutupi kepalanya dan kerah jeket pun tetap menutupi seluruh batang lehernya. Untuk apa? Untuk menutupi luka di kepala dan di lehernya itu. Itu juga berarti untuk menutupi perbuatan jahat yang dilakukannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Luka di kepala dan lehernya itu merupakan cap yang menandakan keterlibatannya sebagai salah satu pelaku utama pembunuhan Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Pada minggu pertama bulan Oktober 2007 itu keadaan di kampung Eputobi sunyi sepi dari arogansi-arogansi orang-orang yang sejak Selasa 31 Juli 2007 terindikasi sebagai pembunuh Akim Maran. Sebelumnya, arogansi mereka bukan main-main. *** (Bersambung)

Sabtu, 04 Oktober 2008

Apa Implikasi Logis dari Perbuatan Merusak Adat?

Tindakan pengrusakan adat yang terjadi di kampung Eputobi pada tahun 2006 (kasus TK Demon Tawa), pada tahun 2007 (kasus upacara adat di kampung lama dengan menyalahgunakan barang-barang pusaka yang bukan milik para pelaku upacara itu), dan pada tahun 2008 (kasus sumpah adat), merupakan pelanggaran berat, menurut hukum adat Lewoingu, khususnya menurut hukum adat Lewowerang. Dengan terlibat pula dalam peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, pada Senin malam, 30 Juli 2007, bobot pelanggaran yang dilakukan oleh gerombolan pengacau Lewoingu itu menjadi berlipat ganda.

Yang tidak disadari oleh banyak orang ialah bahwa upaya pengacauan seperti yang terjadi di Eputobi itu nyaris merembet ke Lewolaga. Di antara pentolan-pentolan pengacau di Eputobi itu, ada yang sempat menghasut antek-anteknya di Lewolaga untuk tidak mengakui Ata Maran dan De Ornay sebagai Kebele'eng Rahayang (Pemimpin Tertinggi Adat di Lewoingu). Gerakan yang secara keras anti terhadap kepala desa Lewolaga yang sekarang sempat muncul. Gerakan ini semacam antitesa terhadap gerakan oposisi di Eputobi. Untung bahwa upaya untuk mengacaukan masyarakat Lewolaga itu dapat diredam sejak dini. Tetapi salah satu pentolannya masih sibuk berkasak-kusuk hingga kini.

Para pengacau memang mampu mengacaukan masyarakat. Jika mereka tidak mampu mengacaukan masyarakat, mereka tidak perlu disebut pengacau. Para pembunuh mampu membunuh orang. Jika mereka tidak mampu membunuh orang, mereka tidak perlu disebut pembunuh. Para pengacau dan penjahat mampu juga menipu. Jika mereka tidak mampu menipu, mereka tidak perlu disebut penipu.

Tetapi mereka tidak mampu menyadari bahwa siapa yang mengacaukan masyarakat akan dikacaubalaukan hidupnya; siapa yang bermain pedang akan dimakan oleh pedangnya; dan siapa yang menipu akan ditipu. Selain itu, siapa yang merusak suatu tatanan adat dengan sendirinya tersingkir dari tatanan adat yang bersangkutan. Siapa yang merusak persatuan sosial budaya, dia tersingkir dari arena persatuan itu. Dia tak pantas lagi menjadi bagian yang sah dari persatuan itu.

(Lalu dapat ditambahkan, siapa yang menyuap akan kehabisan uang. Siapa yang disuap dapat uang suap, tetapi akan dipecat dari pekerjaannya, lalu dibui seperti yang dialami oleh jaksa Urip Tri Gunawan).

Sangat penting bagi kita untuk memperhatikan, bahwa tatanan adat Lewoingu adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewoingu. Tatanan adat Lewowerang adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewowerang. Tatanan adat Lewolein adalah hasil kesepakatan para nenek moyang Lewolein. Tanpa kesepakatan luhur itu tak mungkin ada Lewolein, tak mungkin ada Lewowerang, tak mungkin ada Lewoingu.

Kesepakatan itu didasari pada prinsip moral yang bahwa persatuan itu lebih baik bagi manusia Lewoingu ketimbang hidup sendiri-sendiri seperti di zaman pra Lewoingu. Keamanan, keadilan, dan kesejahteraan lebih terjamin dalam suatu tatanan sosial budaya yang dibentuk bersama ketimbang ketimbang dalam kesendirian. Dalam persatuan, persoalan-persoalan hidup lebih mudah ditanggulangi ketimbang dalam kesendirian.

Sebelum berdirinya Lewoingu, persatuan sudah menjadi fundasi moral bagi berbagai komunitas adat Lamaholot. Hingga kini, prinsip moral itu mereka junjung tinggi. Haram bagi mereka untuk mencabik-cabik persatuan adat yang disimbolkan dengan Koke-Bale. Tak ada satu orang pun dalam komunitas mereka yang bangkit untuk mempersoalkan posisi-posisi dan tugas-tugas adat.Tidak ada suku yang bangkit melawan suku-suku lain untuk merebut posisi-posisi adat tertentu. Sebagai makhluk adat, setiap mereka taat pada asas-asas adat yang telah berlaku dari generasi ke generasi sejak tatanan adat mereka terbentuk. Tugas mereka ialah merawat dan melestarikan nilai-nilai luhur, tata adat yang baik warisan nenek moyang mereka.

Jika di Lewoingu, khususnya di Eputobi ternyata bangkit sejumlah orang yang berusaha secara sistematis untuk melakukan pengrusakan tatanan adat, itu berarti mereka mau menarik diri dari arena persatuan yang dulu disepakati oleh para nenek moyang Lewoingu. Tampak jelas bahwa mereka tidak lagi membutuhkan hidup bersama dalam tatanan sosial budaya Lewoingu.

Dengan membunuh orang yang tidak bersalah itu, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka menunjukkan diri sebagai makhluk barbarik, yang sungguh-sungguh tak pantas untuk diterima dalam tatanan adat masyarakat beradab Lewoingu. Yang juga tak pantas lagi menjadi bagian yang sah dari masyarakat beradab Lewoingu ialah mereka yang mendukung dan membenar-benarkan pengrusakan adat dan pembunuhan orang yang tidak bersalah itu.

Jadi implikasi logis dari perbuatan merusak adat Lewoingu, khususnya perbuatan merusak adat Lewowerang ialah bahwa mereka yang merusak itu tidak lagi menjadi bagian yang sah dari komunitas adat Lewowerang. Itu berarti, mereka pun tidak lagi menjadi bagian yang sah dari masyarakat adat Lewoingu. Jika para pengacau itu mau membentuk suatu tatanan adat baru bagi kelompok mereka, tak pantas Lewowerang atau Lewoingu menjadi kerangka refenrensinya.

Dengan memisahkan diri dari tatanan adat Lewowerang atau pun Lewoingu, mereka dengan sendirinya kehilangan hak dan wewenang adat mereka dalam konteks Lewoingu. ***

Jumat, 03 Oktober 2008

Kapolri Baru, Harapan Baru

Pada Selasa siang, 30 September 2008, presiden Susilo Bambang Yudhoyono , di Istana Negara, melantik dan mengambil sumpah Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri sebagai Kapolri (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesiai). Jenderal Bambang Hendarso Danuri menggantikan Jenderal Sutanto yang memasuki usia pensiun. Sebelum dilantik menjadi Kapolri, pak Bambang Hendarso Danuri menjabat sebagai Kepala Bagian Reskrim Mabes Polri.

Kapolri baru mempunyai komitmen untuk memprioritaskan upaya peningkatan pelayanan bagi masyarakat dan melanjutkan program kerja Kapolri sebelumnya. Untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat, Kapolri akan melakukan perbaikan internal, terutama perilaku. Kapolri menyatakan akan mempercepat proses transformasi dengan mengedepankan perubahan kultur aparat Polri.

Selain itu Kapolri baru juga berjanji melanjutkan program kerja Kapolri sebelumnya, dengan memberi prioritas pada upaya penanganan kasus judi, narkotika, terorisme, traficking, kejahatan jalanan, kejahatan yang berpotensi merugikan kekayaan negara seperti korupsi, pembalakan liar, penambangan liar, dan penangkapan ikan secara liar.

Sebagai warga negara RI, kita berharap agar Kapolri yang baru mampu menterjemahkan komitmen verbal itu ke dalam langkah-langkah nyata. Yang diperlukan adalah langkah-langkah nyata yang mendorong peningkatan mutu kinerja aparat kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Mutu kerja aparat kepolisian tergantung dari mutu manusianya. Dan mutu manusia tergantung dari mutu moralnya. Bermutu atau tidak bermutunya moral seseorang dapat dilihat dari perilakunya.

Yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia, baik yang bermukim di daerah perkotaan maupun yang bermukim di daerah pedesaan, adalah polisi yang profesional dan bermoral. Dikatakan profesional kalau seorang polisi mampu bekerja sesuai dengan standar-standar keahlian dalam bidangnya. Sebagai misal, dia cakap dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan atas suatu perkara kriminal; dia juga cakap dalam menggunakan teknik-teknik yang secara efektif dapat membongkar hingga tuntas perkara kriminal yang ditanganinya; dll. Polisi yang profesional berinisiatif melakukan penyelidikan atas suatu perkara kriminal yang terjadi, tanpa perlu menunggu datangnya desakan, misalnya dari pihak keluarga korban atau dari media massa.

Selain dituntut untuk bekerja secara profesional, seorang polisi juga dituntut untuk menjunjung tinggi etika profesi dan prinsip-prinsip moral dasar, seperti kebenaran, keadilan, tanggung jawab, disiplin, dll. Seorang polisi yang taat pada etika profesi dan prinsip-prinsip moral dasar tidak mau menerima suap, tidak mau melakukan korupsi, tidak mau bekerjasama dengan pelaku kejahatan untuk menutup-menutupi kejahatan yang dilakukannya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di tubuh Polri sendiri masih terdapat cukup banyak oknum polisi yang kurang bahkan tidak profesional dan gagap moral. Mereka itu tidak hanya terdapat di Jakarta, tetapi terdapat juga di daerah-daerah pelosok, termasuk yang bertugas di Flores sana.

Kita berharap, komitmen Kapolri yang baru untuk membenahi kultur kerja aparat kepolisian secara efektif dapat memperbaiki juga perilaku polisi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk yang bertugas di Flores. Dan pak Kapolri tentu paham betul, bahwa memperbaiki perilaku itu harus dimulai dari upaya-upaya nyata untuk memperbaiki cara pikir sikap mental anggota-anggota Polri.

Komitmen Kapolri tersebut di atas menerbitkan harapan baru akan lahirnya generasi Polri yang sungguh-sungguh profesional dan bermoral. Paling kurang, kita berharap agar citra Polri menjadi lebih baik ketimbang di masa lalu.

Pada akhirnya, sebagai warga kampung Eputobi-Lewoingu, kita juga berharap agar pak Kapolri pun sungguh-sungguh mau membantu Polda NTT dan Polres Flores Timur untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan komplotannya itu. Yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran adalah pembunuhan terencana. Ujung pangkal dari perkara kriminal tersebut sudah jelas. Tetapi karena lambannya gerak penanganannya oleh aparat kepolisian setempat menyebabkan prosesnya menjadi mengambang.

Kepada pak Kapolri, kami ingin menyampaikan bahwa dikeluarkannya empat orang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dari sel Polres Flores Timur menimbulkan keresahan yang mendalam di hati para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi-Lewoingu di Flores Timur.

Kami berharap, negara Republik Indonesia tidak ikut dikalahkan oleh tipu daya para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Membiarkan perkara kejahatan kemanusiaan itu tidak ditangani secara tuntas sama artinya dengan membiarkan negara RI ikut dipermainkan oleh penjahat-penjahat kelas kampung itu.

Selamat Bertugas Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Doa dari segenap lapisan masyarakat beradab dari kampung Eputobi-Lewoingu di Flores Timur, NTT menyertai pelaksanaan tugas bapak sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. ***

Senin, 22 September 2008

Pola Disintegrasi Sosial di Kampung Eputobi-Lewoingu, Flores Timur

Menarik memperhatikan apa yang terjadi di kampung Eputobi-Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sejak tahun 2006, kampung itu mulai dilanda disintegrasi sosial. Titik awal disintegrasi itu ditandai dengan pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat oleh sekelompok orang yang berambisi menjadi penguasa tertinggi adat Lewoingu. Pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah bisa terjadi berkat restu kepala desa Lewoingu, waktu itu. Tampak di sini, bahwa sejak awal, gerakan pengacauan tersebut sudah ditunggangi oleh kepentingan politik.

 

Pada tahun 2007, pola disintegrasi sosial di kampung Eputobi nampak makin jelas. Ada pola tribalistik (kesukuan), ada pola politik. Dalam proses perkembangannya sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2008 kedua pola tersebut saling bertumpangtindih. Sehingga kadang-kadang sulit dibedakan mana pola kesukuan, mana pola politik. Tetapi kita tetap dapat melihat garis kesukuan dan garis politik dalam kasus tersebut.

 

Pola Kesukuan

 

Bahwa disintegrasi sosial di kampung Eputobi mengikuti garis kesukuan, itu nampak jelas dari bangkitnya suku Kumanireng Blikopukeng untuk melawan tiga suku keturunan Gresituli, yaitu suku Ata Maran, suku Doweng One'eng, dan suku Lewolein. Meskipun kebangkitan suku ini ditunggangi oleh kepentingan politik, tetapi anggota-anggota suku inilah yang menjadi pemain inti pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat pada tahun 2006. 

 

Tujuan utama kepala suku Kumanireng Blikopukeng dan anggota-anggotanya jelas. Mereka ingin memenuhi agenda yang selama ini tersembunyi, yaitu menjadi penguasa Lewoingu. Tujuan itu terungkap dalam kata-kata Yohakim Tolek Kumanireng Blikopukeng, "Kampung ini milik saya, siapa yang macam-macam akan saya bunuh." Di kemudian hari, Donatus Doni Kumanireng Blikololong, yang menjadi salah satu suporter utama gerakan pengacauan itu, pun sempat memperkenalkan diri sebagai penguasa kampung Eputobi. Dia juga mengatakan bahwa tidak ada satu pun orang di kampung Eputobi yang berani terhadapnya.

 

Mikhael Torangama Kelen yang sedang mengalami krisis kepercayaan memainkan peranan penting dalam gerakan pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah ulayat tersebut. Tanpa restunya, kasus Senin 10 April 2006 tidak perlu terjadi. Sejak awal dia berusaha menunggangi gerakan pengrusakan tersebut. Dengan cara itu dia bermaksud memperkuat posisi politiknya dalam menghadapi kubu oposisi yang mulai memperoleh dukungan politik dari berbagai kalangan warga Eputobi.

 

Faktor Mikhael Torangama Kelen ini yang kemudian menggiring oknum-oknum seperti Geroda Tukan dan Maxi Tukan masuk ke dalam gerakan pengrusakan adat. Tetapi inspirasi bagi kebangkitan gerakan tersebut berasal dari sejarah palsu. Sejarah palsu itu mula pertama dibentangkan oleh seorang tokoh yang di masa lalu gagal memainkan peranan sebagai pakar sejarah Lewoingu. 

 

Berdasarkan sejarah palsu itu, di kemudian hari, pascapelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat, bangkit pula di kalangan suku Wungung Kweng dan suku Ama Lubur kesadaran diri sebagai Kebele'eng. Padahal selama ini posisi mereka sebagai Kebele'eng tidak pernah dipersoalkan. Tetapi bangkitnya kesadaran diri sebagai Kebele'eng ini disertai dengan langkah penggabungan diri dengan kelompok pengacau adat Lewoingu. Dengan demikian kedua suku ini pun memposisikan diri sebagai lawan terhadap ketiga suku keturunan Gresituli tersebut. Di Eputobi, mereka ikut dalam gerakan untuk menghancurkan formasi Koten, Kelen Hurit, Maran. Itulah sebabnya mengapa adik-adik dari Paulus Dalu Lubur di Eputobi begitu anti terhadap bapak Pius Koten. Bagi mereka, formasi itu, khususnya posisi Koten, tidak sesuai dengan hak kesulungan yang mereka miliki. Mereka lupa, bahwa formasi Koten, Kelen, Hurit, Maran itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama para Kebele'eng Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali.    

 

Melalui jalur perkawinan, ikut bergabung pula ke dalam blok tersebut oknum-oknum tertentu dari suku-suku lain. Sehingga timbul pula perpecahan internal suku-suku tertentu.

 

Aliansi suku-suku tersebut plus oknum-oknum tertentu dari suku-suku lain ikut membentuk suatu blok politik, yang terkenal dengan sebutan blok timur atau "Jawa Timur." Di dalam kenyataan, blok timur itu bersifat destruktif baik terhadap tatanan adat maupun terhadap tatanan sosial politik kontemporer.

 

Dalam menyikapi kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran anggota-anggota dari kedua suku tersebut pun berada di garda depan sebagai pembela Mikhael Torangama Kelen, orang yang sejak Selasa, 31 Juli 2007 sudah jelas terindikasi sebagai pelaku utama pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Ada anggota suku Wungung Kweng bahkan terlibat juga dalam perencanaan aksi kriminal yang terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007.

 

Menghadapi kekuatan desktruktif dari pihak timur, di barat pun muncul suatu blok sosial. Blok barat ini diperlukan, pertama, sebagai perisai perlindungan dan pertahanan diri dari ancaman kekuatan destruktif dari timur; kedua, sebagai rumah bagi perawatan dan pelestarian nilai-nilai khas Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali sejati; dan ketiga, sebagai wujud dari rasa solidaritas etis, sebagai usaha bersama untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan dalam perkara kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Karena itu, jaringan blok barat atau "Jawa Barat" itu lebih luas ketimbang jaringan blok timur.

 

Bahwa pembentukan blok barat pun mengikuti garis kesukuan, itu jelas. Tetapi dalam perkembangannya, blok barat berfundasikan lebih pada relasi-relasi sosial kamanusiaan. Relasi-relasi semacam ini tidak hanya menjalar ke berbagai wilayah Titehena, tetapi juga ke berbagai kawasan di Flores Timur daratan. Ini tidak mengherankan, mengingat yang terjadi bukan sekedar problem antarsuku atau antarkelompok sosial internal Eputobi, tetapi problem kejahatan kemanusiaan, problem pelanggaran HAM berat.

 

Pola Politik

 

Disintegrasi sosial di kampung Eputobi pun mengikuti garis politik. Pola politik nampak jelas dalam pengelompokan warga Eputobi ke dalam dua kubu dengan orientasi dan kepentingan politik yang saling bertolak belakang.  Yang dimaksud adalah kubu propemerintah desa Lewoingu dan kubu oposisi. Kubu propemerintah terdiri dari kelompok kepentingan kesukuan dan para warga Eputobi yang merasa diuntungkan oleh pemerintah desa Lewoingu periode 2000-2007. 

 

Para warga biasa yang bersangkutan merasa diuntungkan dengan pengadaan beras untuk orang miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (blt). Raskin dan blt adalah program pemerintah pusat untuk membantu keluarga-keluarga Indonesia yang miskin. Program ini diluncurkan sebagai kompensasi  kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Program ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dan kiranya jelas, bahwa raskin dan blt bukan merupakan hasil perjuangan kepala desa.

 

Tetapi di Eputobi, kencang berhembus isu bahwa raskin dan blt adalah hasil perjuangan kepala desa Lewoingu. Ayat-ayat ini sering dinyanyikan di hadapan para penerima raskin dan blt. Di musim kampanye pilkades (Maret 2007), ayat-ayat itu dipakai untuk menjaring dukungan suara. Selain para penerima raskin dan blt, anggota-anggota PEKA (perempuan kepala keluarga) pun berhasil dipengaruhi.

 

Dapat dikatakan wajar bila pemerintah desa Lewoingu memperoleh keuntungan politik dari program raskin dan blt. Tetapi ada hal-hal yang sungguh-sungguh tidak wajar. Yang dimaksud adalah, pertama, praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk.  kedua, pelaksanaan pilkades yang cacat hukum dan cacat moral; ketiga, pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran sebagai jalan pintas untuk memberangus gerakan oposisi di desa Lewoingu.

 

Protes kubu oposisi terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya didasari bukti-bukti nyata. Protes itu disalurkan melalui mekanisme formal yang ada. Dan penilaian oposisi bahwa pelaksanaan pilkades di desa Lewoingu itu cacat hukum dan cacat moral pun didasari bukti-bukti nyata. Itulah sebabnya, Bupati Kabupaten Flores Timur pun sudi mendengarkan masukan-masukan dari kubu oposisi dari desa Lewoingu. Sebagai tindak lanjut, Bupati Flores Timur menunda pelantikan pemenang pilkades 27 Maret 2007.

 

Tetapi menurut Mikhael Torangama Kelen dkk, penundaan pelantikan tersebut didalangi oleh Akim Maran dkk. Bagi mereka, sepak terjang oposisi mengacaukan kampung Eputobi, suatu tuduhan yang tidak dapat mereka buktikan hingga hari ini. Tuduhan bahwa Akim Maran dkk itu pengacau kampung Eputobi semakin digencarkan oleh kubu propemerintah pada musim penundaan pelantikan kepala desa terpilih. Seorang orang Eputobi, pensiunan pegawai negeri sipil yang tinggal di Weri sempat mengirim sepucuk surat ke Eputobi untuk menasihati adiknya untuk menjauhkan diri dari Akim Maran, karena Akim Maran adalah pengacau. Tetapi adiknya tidak mau mengikuti nasihat kakaknya. Karena, adiknya tahu persis bahwa tuduhan itu tidak sesuai dengan kenyataan.

 

Mikhael Torangama Kelen dkk mulai mengalami frustrasi setelah menyadari bahwa batas masa penundaan pelantikan kepala desa terpilih untuk Lewoingu semakin tidak jelas. Lobi mereka ke kantor Bupati Flores Timur pun seringkali mentok.  Sedangkan di kampung Eputobi sendiri, kubu oposisi semakin mampu memantapkan posisi. Rasa frustrasi itu kemudian diterjemahkan ke dalam rencana jahat terhadap tokoh-tokoh oposisi. Rencana jahat itu terungkap dari mulut Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong yang mengatakan, "Kalau kepala desa terpilih tidak dilantik, akan terjadi pertumpahan darah." Dan ada lima orang yang darahnya ingin mereka tumpahkan, yaitu Akim Maran, bapak Pius Koten, bapak Dere Hayon, Yose Kehuler, dan Sis Tukan.

 

Darah Akim Maran akhirnya benar-benar mereka tumpahkan di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Pembunuhan Akim Maran itu bermotifkan politik dan direstui oleh kepala suku Kumanireng Blikopukeng. Untuk menghilangkan jejak, komplotan penjahat itu membungkus perbuatan jahat mereka dengan isu kecelakaan lalu lintas. Masa' yang meninggal Yoakim Gresituli Ata Maran, kok yang sibuk menyebarkan isu bahwa kematiannya murni karena kecelakaan lalu lintas adalah Mikhael Torangama Kelen dkk. Sebelum jenazah Akim Maran ditemukan oleh bapak Moses Hodung Werang, salah seorang anggota komplotan penjahat itu sudah menyebarkan berita di Konga, bahwa Akim Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

 

Oleh blok timur, kematian Akim Maran diharapkan dapat melumpuhkan gerakan oposisi. Dengan demikian, mereka berharap, jalan bagi pelantikan kepala desa terpilih dupermulus. Tetapi di dalam kenyataan posisi oposisi justru makin diperkuat dan nasib pelantikan kepala desa terpilih makin terkatung-katung. Apalagi makin lama makin menjadi rahasia umum bahwa Mikhael Torangama Kelen terindikasi sebagai pelaku utama pembunuhan Akim Maran. Di dalam kenyataan, pembunuhan Akim Maran berhasil mempertajam polarisasi politik ke dalam dua blok. Yang satu blok timur, yang lain blok barat. Karena, tekanan dari kekuatan tertentu di tingkat kabupaten, Bupati Flores Timur pada hari Rabu 16 Januari 2008, melantik secara bersyarat Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Pelantikan bersyarat itu memparparah perpecahan sosial politik di desa Lewoingu.

 

Komponen-komponen yang membentuk blok timur, yang kemudian dsebut "Jawa Timur" terdiri dari aliansi suku-suku tersebut di atas plus para advonturir politik plus para warga biasa yang takut kehilangan peluang untuk meperoleh raskin dan blt jika si kepala desa terpilih gagal dilantik. Sedangkan komponen-komponen yang membentuk blok barat, yang kemudian disebut "Jawa Barat" (termasuk "Jalur Gaza") terdiri dari Koten, Kelen, Hurit, Maran plus suku-suku yang secara tradisional bersekutu dengan keempat suku tersebut. Di dalamnya terdapat sayap politik, yang dengan gigih memperjuangkan terwujudnya suatu model pemerintahan desa Lewoingu, yang bersih, berwibawa, bermoral, dan berperi kemanusiaan.

 

Di dalam kenyataan, seluruh aparatur pemerintahan desa Lewoingu menjadi kekuatan inti  blok Timur. Dari perspektif politik mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa pemerintah desa Lewoingu menjadi sumber perpecahan sosial politik di kampung Eputobi desa Lewoingu. ***