Rabu, 26 Maret 2008

Jangan biarkan kampung Eputobi di Flores Timur menjadi sarang penjahat


Suka atau tidak suka, kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur telah memiliki geng penjahat. Geng penjahat itu terdiri dari oknum-oknum suku tertentu yang selama ini berambisi menjadi penguasa adat Lewoingu plus oknum-oknum elite politik, yang berambisi untuk melanggengkan sistem pemerintahan yang korup di desa Lewoingu. Geng penjahat ini bermarkas di sebuah rumah di bagian timur kampung Eputobi. Geng ini memiliki tokoh penasihat "spiritual" dan tokoh intlektual. Kepala geng tersebut adalah orang yang seharusnya menjadi pengayom warga kampung Eputobi. Tetapi di dalam kenyataan, dia menjadi perusak kampung halamannya sendiri.

Sampai dengan tahun 2004, dua kelompok itu masih berseberangan kepentingan. Bahkan pernah terjadi konflik di antara mereka. Konflik itu menggiring mereka untuk berurusan dengan aparat kepolisian setempat. Tetapi setelah itu, mereka berhasil membangun koalisi politik yang saling menguntungkan. Mereka saling memberikan dukungan untuk memenuhi ambisi politik mereka masing-masing. Makin lama, kepentingan-kepentingan mereka makin berpadu. Sehingga hubungan di antara mereka pun makin rapat saja. Padahal sebelumnya, mereka sempat saling membenci.

Pembangunan koalisi politik itu dimungkinkan berkat keuletan lobi si tokoh intelektual. Dia menjadi jembatan yang menghubungkan dua kelompok yang sebelumnya sempat berseteru itu. Keuletan itu dia tunjukan, pertama untuk menebus dosa masa lalunya, dan kedua untuk memenuhi ambisinya untuk tampil sebagai penguasa Lewoingu. Apa dosa masa lalunya?

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di masa lalu dia sering berkonflik dengan sesama anggota satu suku. Saya masih menyimpan satu dokumen, yang memperlihatkan betapa seriusnya perseteruan di antara mereka. Dalam suasana konflik semacam itu, dia sempat menyebut salah seorang tokoh penting dalam suku mereka sebagai suanggi. Sehingga hubungan di antara mereka pun sungguh-sungguh memanas, pada waktu itu.

Lantas, selama ini orang ini pun rupanya memendam hasrat untuk menjadi penguasa adat Lewoingu, minimal menjadi penguasa adat Lewowerang. Tidak jelas bagi kita, sejak kapan ambisi ini tertancap dalam dirinya. Yang jelas, selama beberapa tahun terakhir orang ini sangat sibuk menggalang kekuatan dan dukungan untuk merebut kekuasaan adat Lewowerang dari tangan Suku Ata Maran. Baginya, perebutan kekuasaan adat itu merupakan suatu keharusan, karena Suku Ata Maran dianggap tidak berhak menjadi pemimpin tertinggi adat Lewowerang-Lewoingu. Jika skenario ini berhasil, maka dia dan kelompoknya akan melangkah lebih jauh, yaitu merebut kekuasaan adat Lewoingu secara keseluruhan.

Dukungan terhadap ambisinya itu dengan mudah dia peroleh dari para elite politik kampung Eputobi. Soalnya jelas. Sebagian elite politik berasal dari kalangan dia. Elite-elite politik yang berasal dari luar kalangannya mudah diajak untuk bekerja sama, karena selama ini telah terjalin suatu hubungan politik yang saling menguntungkan di antara mereka. Setelah berhasil masuk dalam jaringan politik yang sangat korup, mereka dengan mudah memperoleh keuntungan-keuntungan finansial. Maka tak mengherankan bila mereka pun sama-sama berusaha secara membabi-buta untuk melestarikan sistem kekuasaan yang sangat korup itu.

Titik temu kepentingan antara kedua kelompok itu pada perasaan, bahwa mereka perlu saling mendukung agar tujuan-tujuan politik mereka masing-masing terpenuhi. Apalagi mereka pun menyadari bahwa mereka pada dasarnya memiliki musuh politik yang sama. Bagi mereka, musuh adalah orang atau pihak yang berbeda pandangan politik dengan mereka. Termasuk dalam kelompok musuh adalah orang-orang atau pihak-pihak yang bersikap kritis terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mereka lakukan, dan terhadap ketidaksopansantunan mereka dalam menjalankan kekuasaan politik di desa Lewoingu. Bagi mereka, musuh perlu dienyahkan agar tidak menjadi pengganjal upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka, sekaligus untuk menciutkan nyali para lawan politik, dengan harapan para lawan politik lainnya yang masih hidup tidak berani lagi mengkritisi atau pun menentang praktek-praktek korupsi , kolusi, dan nepotisme yang mereka lakukan.

Rencana untuk menghabisi anggota Suku Ata Maran, dengan kepasa' (sumpah) oleh suku kumanireng misalnya, sudah diakui sendiri oleh penulis "Tanggapan buat Blog Ata Maran." Rencana mereka untuk membunuh Akim Maran, Pius Koten, Dere Hayon, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan pun mereka ungkapkan sendiri setelah mereka berhasil membunuh Akim Maran. Bahkan mereka pun mengungkapkan niat jahat mereka terhadap anak-anak almarhum Akim Maran, dan terhadap orang-orang lain yang diposisikan sebagai musuh politik mereka. Pendek kata, tak jemu-jemunya orang-orang jahat itu mengusahakan segala macam cara untuk menghabisi lawan-lawan politik mereka. Salah satu cara favorit mereka adalah santet. Untuk itu, mereka sibuk berkasak-kusuk mencari dukun-dukun santet di daerah Flores Timur daratan dan di tempat-tempat lainnya. Sekali waktu, mereka mengimpor dukun dari pulau Timor.

Selain meminta bantuan dukun-dukun santet, mereka sendiri memasang kekuatan-kekuatan black magic di jalan raya dan gang-gang di kampung Eputobi, di jalan dari kampung lama ke kampung Eputobi, dan di jalan dari Lewolaga ke kampung Eputobi. Pernah mereka sibuk memasang braha'brika di muka rumah lawan-lawan politik mereka. Braha'brika paling banyak mereka pasang di rumah Bapak Pius Koten. Beberapa waktu lalu Oci Koten dirasuki oleh dua orang praktisi black magic, yaitu AT dan MH. Si AT terkenal dengan kemampuannya berubah wujud menjadi anjing siluman berwarna hitam. Si MK dan LK juga terkenal sebagai praktisi black magic. Si MK belajar black magic dari bapaknya dan dari ARK. Dulu sewaktu belajar terbang pada malam hari, si MK pernah tersangkut di sebatang pohon asam, lalu meminta tolong pada seseorang. Tetapi yang dimintai tolong hanya menertawainya. Lalu masih ada OK, SLK, AH, PK, MKB, SDK, dan lain-lain. Pendek kata, dalam geng penjahat itu berhimpun sejumlah pengguna black magic, yang sehari-sehari merancang serangan maut terhadap orang-orang yang mereka benci.

Tetapi setelah menyadari bahwa cara santet ternyata tak mempan, mereka lalu tak segan-segan untuk melakukan kekerasan fisik. Pada Senin malam, 30 Juli 2007, setelah gagal menggunakan cara santet, geng penjahat itu menghadang dan mengeroyok Akim Maran hingga meninggal dunia. Pembunuhan itu terjadi sesuai dengan skenario yang mereka rancang. Si tokoh "spiritual" dan si tokoh intelektual terlibat dalam rancangan maut itu. Mereka berperan aktif dalam menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagian timur kampung Eputobi menjadi sarang penjahat.

Dalam menghadapi situasi buruk semacam itu, kita punya tekad yang jelas: Jangan biarkan kampung Eputobi menjadi sarang penjahat.***

Selasa, 25 Maret 2008

Ayo Polisi RI, Maju Terus Berantas Kejahatan di Flores Timur


Selama beberapa bulan terakhir terjadi reposisi dalam lingkungan kepolisian di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Setelah dilakukan pergantian Kasat Lantas Flores Timur pada tahun 2007, kemudian disusul dengan pergantian Kapospol Titehena, lalu pergantian Kapolsek Wulanggitang, kini terjadi pergantian Kapolres Flores Timur. Pergantian-pergantian semacam itu merupakan hal yang wajar terjadi dalam suatu organisasi yang berusaha mengoptimalkan pelaksanaan tugas kenegaraan secara profesional.

Sebagai warga negara, yang mengharapkan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, kita mendukung sepenuhnya upaya Pimpinan POLRI untuk menyegarkan dan memantapkan kinerja organisasinya, baik di pusat maupun di daerah. Dan kita sepenuhnya mendukung pelaksanaan tugas aparat kepolisian RI dalam memberantas kejahatan. Secara khusus, kita mendukung Bapak Kapolres Flores Timur, yang baru dan setiap anggota kepolisian setempat yang berusaha membongkar tuntas kejahatan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou, yang terletak antara Wairunu dan Lewolaga. Korban kejahatan itu adalah Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Pelaku kejahatan yang menewaskan Akim Maran adalah orang-orang dari kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur. Tiga di antara pelaku kejahatan itu sudah melarikan diri dari kampung Eputobi.

Setelah kematian Akim Maran, pihak keluarga korban, yaitu Keluarga Besar Suku Ata Maran, mempercayakan penanganan kasus kejahatan tersebut kepada pihak Kepolisian setempat. Meskipun terkesan lamban, pihak keluarga korban dan berbagai elemen masyarakat beradab lainnya di Lewoingu dan di Flores Timur tetap memiliki kepercayaan dan harapan yang besar, bahwa Aparat Kepolisian Republik Indonesia akan berhasil membongkar tuntas kasus kejahatan tersebut. Selama berbulan-bulan, para pencari keadilan dan kebenaran di Lewoingu, berharap agar para penjahat Eputobi, yang membunuh Akim Maran itu bisa diamankan dan diproses secara hukum. Kian lama, harapan semacam itu kian membesar, karena kehadiran para penjahat itu dengan segala macam arogansi yang mereka pamerkan selama ini sungguh-sungguh meresahkan warga kampung Eputobi dan sekitarnya. Mereka menghalalkan segala macam cara untuk meneror, mengintimidasi, dan mengancam orang-orang dan pihak-pihak yang berusaha mengungkapkan kebenaran sehubungan dengan kejahatan yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Mereka memaksa warga kampung Eputobi dan sekitarnya untuk mempercayai versi pandangan mereka tentang sebab kematian Akim Maran.

Bagi mereka, kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Dan pandangan ini mereka bela secara mati-matian. Padahal, alasan itu tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan sekitarnya. Apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu tidak pernah terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007 atau pun pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Suatu kecelakaan lalu lintas yang berhasil menewaskan seorang pengendara sepeda motor tentu meninggalkan jejak-jejak yang jelas. Tetapi jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalu lintas di Blou tidak ditemukan. Yang ditemukan di tempat kejadian perkara adalah jejak-jejak terjadinya pembunuhan terencana. Masyarakat Eputobi dan sekitarnya pun sudah mengetahui orang-orang yang membunuh Akim Maran. Dan banyak elemen masyarakat di sana sebenarnya sudah bosan dengan penyangkalan demi penyangkalan, dengan kebohongan demi kebohongan, dengan arogansi demi arogansi yang dipertontonkan oleh para penjahat Eputobi itu.

Di dalam kelompok penjahat itu pun sebenarnya sudah terjadi kejenuhan dengan segala upaya untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Pada hari Minggu, 16 Maret 2008, misalnya, terjadi pemukulan di antara mereka. Gara-gara si PK bilang dia mau membuka apa yang selama ini dirahasiakan, dia dipukul oleh si MK.

Kelompok penjahat itu pun memiliki tokoh intelektual. Tetapi kehadiran tokoh intelektual ini justru seringkali menimbulkan masalah di kampung Eputobi. Masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya sudah tahu betul peran si tokoh intelektual ini. Si tokoh intelektual ini berperan sebagai perancang kejahatan pada Senin malam 30 Juli 2007. Selain itu dia juga terkenal sebagai penghasut anak-anak didiknya untuk membenci dan memusuhi orang-orang dan pihak-pihak yang dianggapnya musuh. Kehadirannya sering ditandai dengan rapat-rapat gelap. Dalam rapat-rapat gelap itu, dia menghasut orang-orangnya untuk memusuhi sekaligus menghakimi pihak lawannya. Di rumahnya sendiri sering diadakan pertemuan hingga larut malam. Hasil terbesar dari rapat-rapat gelap yang dia gelar selama ini adalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou. Dan berkat hasutannya pula, maka anak-anak didiknya pun terus memamerkan taring mereka ke seluruh pelosok kampung Eputobi.

Dalam Pekan Suci pun, anak-anak didiknya berkasak-kusuk mencari ayam jago untuk dipersembahkan kepada si dukun, yang diharapkan memenuhi niat jahat mereka. Bahkan Hari Paskah 2008 pun mereka rayakan dengan cara-cara yang arogan, dengan cara-cara provokatif untuk memancing terjadinya kerusuhan sosial. Untung bahwa pihak yang diprovokasi tidak berhasil terpancing. Gara-gara berulah arogan pada hari Minggu Paskah (23 Maret 2008), mereka pun berurusan dengan aparat kepolisian di Pos Polisi Titehena di Lewolaga.

Memang tindakan tegas polisi terhadap para penjahat itu sangat diperlukan guna mencegah terjadinya kejahatan baru yang lebih mengerikan. Terlalu lama membiarkan penjahat-penjahat yang sudah jelas batang hidungnya itu bebas berkeliaran merupakan suatu tindakan yang tidak terpuji. Berbagai elemen masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya, bahkan di seluruh dunia mendukung setiap upaya nyata aparat kepolisian untuk memberantas kejahatan yang mengerikan itu.

Ayo Polisi RI, maju terus berantas kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat Eputobi, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur itu. Jangan lupa, tangkap tokoh intelektualnya itu. ***

Rabu, 05 Maret 2008

Maju terus, kita bela Romo-Romo MSF di Paroki Lewolaga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur


14 tahun sudah, Romo-Romo (Pastor-Pastor) MSF bekerja di Flores, tepatnya di Paroki Lewolaga dan Lato, di Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Yang sedang bertugas di sana sekarang ini adalah Romo Andris MSF dan Romo Lala MSF. Romo Andris MSF termasuk orang yang sudah makan asam garamnya Lewolaga dan Lato. Bahasa Lamaholot versi paroki Lewolaga dikuasainya dengan baik. Kalau ketemu, saya pun kadang-kadang berbicara dengan Romo Andris MSF dengan bahasa Lamaholot versi Eputobi. Dengan Romo Andris MSF, saya sudah sering bertemu. Sedangkan dengan Romo Lala MSF, saya baru sekali bertemu, yaitu pada bulan Oktober 2007. Pada tahun 2004, saya pernah bertemu dengan Romo Edi MSF, dan Romo Lukas MSF. Dengan Romo Lukas, saya sempat berdiskusi cukup lama. Kami bicara tentang pembinaan keluarga dan tantangan yang dihadapi gereja lokal.

Sebagai Pastor, Romo-Romo MSF berusaha menggembalakan umat Paroki Lewolaga dan Lato dengan baik. Tapi akhir-akhir ini Pekerjaan Pastoral mereka di sana terusik oleh gerakan politik yang dilakukan oleh elite-elite politik tertentu di Eputobi-Lewoingu. Beberapa waktu lalu, dalam suatu rapat, Ketua BPD desa Lewoingu menyampaikan usul agar Romo-Romo MSF disuruh angkat kaki dari Lewolaga. Ketua BPD desa Lewoingu itu bernama Eman Weruin, orang Tuakepa, yang bekerja sebagai guru SD Eputobi, dan karena itu tinggal di Eputobi.

Orang bernama Eman Weruin ini adalah salah satu pendukung setia pemerintah desa Lewoingu. Karena itu dia diangkat menjadi Ketua BPD Lewoingu. Ketua BPD adalah suatu jabatan politik. Jabatan ini tidak patut dipegang oleh seorang guru, seorang pendidik, apalagi kalau dia adalah seorang pegawai negeri sipil. Tetapi guru yang satu ini nekad saja menerima jabatan politik itu. Padahal untuk menjadi anggota BPD, seseorang harus menempuh proses pemilihan anggota BPD. Mereka yang sekarang menjadi anggota BPD Lewoingu, termasuk ketuanya, tidak menempuh proses pemilihan sesuai dengan peraturan yang berlaku di republik ini. Mereka itu diangkat menjadi anggota BPD. Padahal yang namanya anggota BPD itu tak lain adalah wakil rakyat.

Yang patut dicermati adalah gerakan-gerakan politik si Ketua BPD Lewoingu. Gebrakan-gebrakan politiknya terbilang "hebat." Misalnya, pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Oktober 2007, Eman Weruin bersama Ma Kumanireng berkasak-kusuk ke klinik Lewolaga. Untuk apa? Untuk mencari visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran. Sebuah sumber yang mengetahui kasak-kusuk itu menceriterakan bahwa kedua orang itu berkasak-kusuk di Lewolaga sampai subuh hari minggu, tanggal 21 Oktober 2007. Sebelumnya, mereka telah berusaha menemui seorang menteri yang bertugas di klinik Lewolaga untuk mengetahui isi visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran.

Orang-orang yang mengetahui adanya kasak-kusuk oleh Eman Weruin dan Ma Kumanireng itu langsung merasa heran. Pihak keluarga Ata Maran yang berhak mengetahui isi visum dokter saja tidak berkasak-kusuk seperti itu. Orang lain malah berkasak-kusuk untuk mengetahui isi visum tersebut. Apa urusan mereka dengan visum, apa kepentingan mereka dengan visum? Siapa pula yang menyuruh mereka untuk meminta visum tersebut?

Karena gagal memperoleh visum tersebut di klinik Lewolaga, pada hari Senin, tanggal 22 Oktober Eman Weruin pun muncul di Polres Flores Timur di Larantuka. Dia ikut dalam rombongan yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. Mereka menyusul Pite Koten yang sudah mendahului mereka ke Polres Flores Timur untuk mengurus administrasi pengeluaran sepeda motornya yang ditahan sejak hari Selasa, tanggal 2 Oktober 2007 di Polsek Boru. Ceriteranya, Mikhael Torangama Kelen dan Eman Weruin serta kawan-kawan mereka, mau membantu Pite Koten, agar urusannya berjalan sesuai dengan harapan mereka bersama.

Di hadapan Kasat Lantas Flores Timur di Larantuka, Eman Weruin bicara sebagai Ketua BPD Lewoingu seakan-akan dia membawa aspirasi rakyat desa Lewoingu. Inti pembicaraannya, masyarakat Eputobi-Lewoingu ingin mengetahui secara jelas penyebab kematian Akim Maran. Dan dalam rangka itu mereka pun perlu mengetahui visum dokter. Pada hari itu juga, atas nama masyarakat Eputobi, mereka secara lisan meminta Kasat Lantas Flores Timur untukmenjelaskan atau mengumumkan sebab kematian Akim Maran.

Kasat Lantas kemudian memproses surat undangan kepada pihak keluarga dan unsur-unsur pemerintah desa Lewoingu untuk hadir dalam pertemuan pada hari Kamis, 25 Oktober 2007 di Polres Flores Timur di Larantuka. Surat undangan itu ditandatangani oleh Kapolres Flores Timur. Dan jadilah pertemuan pada hari tanggal tersebut di Polres Larantuka. Dalam pertemuan itu, sebagian isi visum dokter dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibocorkan kepada orang-orang yang tidak berhak untuk mengetahuinya. Pada kesempatan itu juga mereka dan oknum-oknum polisi yang bersangkutan bersepakat untuk mengadakan pertemuan di Eputobi pada hari Jumat, 26 Oktober 2007. Tujuannya ialah untuk mengumumkan kepada masyarakat Eputobi dan sekitarnya bahwa kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Dalam pertemuan di Eputobi itu, seluruh isi visum dan BAP perkara kematian Akim Maran dibacakan hingga tuntas. Pembacaan tersebut mengundang tepuk tangan meriah dari pihak Mikhael Torangama Kelen dan Eman Weruin.

Beberapa bulan kemudian, Eman Weruin merasa perlu membuat gebrakan lain lagi. Kali ini jurus politiknya diarahkan kepada Romo-Romo MSF yang bekerja di Paroki Lewolaga dan Lato. Dalam suatu rapat, dia menyuarakan maksud buruknya, yaitu menyuruh Romo-Romo MSF itu angkat kaki dari Lewolaga. Suara Eman Weruin dalam rapat itu merupakan representasi dari suara kelompoknya, yaitu kelompok yang memerintah di Eputobi-Lewoingu.

Sudah menjadi rahasia umum di sana, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan itu melawan pejabat gereja setempat. Nasihat pastoral Romo Kepala Paroki Lewolaga ditantang. Kerja gotong royong merenovasi gereja Eputobi diboikot. Halaman gereja Eputobi, yang merupakan wilayah agama, seringkali dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik yang bernada hasutan kepada para warga Eputobi untuk saling membenci, saling bermusuhan, saling berkelahi. Kalau anda pehatikan ceritera pertengkaran dan perkelahian di Eputobi selama beberapa tahun terakhir, anda akan menemukan suatu pola yang sering terulang. Orang-orang di Eputobi itu sering berantem dan berkelahi pada hari Minggu, setelah kepala desa mereka mengumumkan sesuatu di halaman depan gereja stasi Eputobi itu. Setelah mendapat siraman rohani di dalam ibadat sabda atau misa di gereja, di halaman depan gereja sudah menunggu suatu kekuatan politik praktis yang siap menghancurkan kekayaan rohani itu.

Menggunakan halaman gereja Eputobi sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan politik merupakan suatu kekeliruan yang sudah selayaknya segera dikoreksi. Wilayah politik harus dipisahkan dari wilayah agama. Halaman gereja bukanlah panggung politik. Halaman gereja adalah panggung di mana nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dipertontonkan dan ditumbuhkembangkan. Di situ rasa persaudaraan Kristiani berdasarkan Kasih Kristus mestinya direalisasikan. Halaman gereja bukanlah tempat duduk umat beragama untuk mendengarkan pidato politik kekuasaan. Pesan politik apa pun hendaknya disampaikan kepada masyarakat Eputobi melalui media yang lain. Jika tidak, nilai-nilai kehidupan religius dirusak dari waktu ke waktu oleh kekuatan-kekuatan politik praktis yang tidak manusiawi itu.

Sebagai warga gereja Katolik, kita mesti mendukung tugas pelayanan pastoral yang diemban oleh Romo-Romo MSF di Lewlolaga dan Lato. Hanya para anti-Kristus yang berusaha menyuruh para pewarta Injil Kristus itu untuk angkat kaki dari Lewolaga. Kita tidak boleh membiarkan rencana buruk itu terjadi.

Sebagai orang yang beriman pada Kristus, kita harus maju terus pantang mundur bela Romo-Romo MSF dalam mengemban tugas pewartaan Injil Kristus di Paroki Lewolaga dan Lato.***

Minggu, 02 Maret 2008

Maju terus, pantang mundur berantas korupsi


Maju terus, terus korupsi? Jangan. Korupsi itu perbuatan jahat yang tak pantas untuk dilakukan oleh manusia yang bermoral. Dari segi hukum, korupsi itu perbuatan melawan hukum. Karena itu, di negara hukum, orang-orang yang terbukti melakukan korupsi ditindak secara hukum.

Di Indonesia, gerakan pemberantasan korupsi yang dipelopori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) patut diacungi jempol. Meskipun hasilnya belum optimal, tetapi kita dengan mudah dapat menyaksikan adanya tekad pemerintah untuk memberantas korupsi. Tekad itu pun tampak jelas dalam hari-hari belakangan ini, ketika Gubernur Bank Indonesia menjalani proses hukum, karena terindikasi terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana negara.

Di Indonesia, korupsi tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di berbagai daerah. Di Flores Timur, misalnya, perkara korupsi yang melibatkan mantan Bupati Kabupaten Flores Timur, Felix Fernandez sedang digelar di pengadilan. Mantan Bupati Flores Timur itu tersandung korupsi senilai Rp 109 juta. Dan sebentar lagi palu keputusan hakim akan diketok di meja hijau pengadilan Larantuka. Jika dalam proses pengadilan terbukti dia melakukan korupsi, dia bisa terkena hukuman penjara selama satu tahun lebih.

Kasus korupsi yang melibatkan Felix Fernandez itu terbilang kecil. Kejaksaan Larantuka pun sedang menangani perkara korupsi di Diknas Flores Timur. Dari pemberitaan media cetak lokal, kita mengetahui bahwa indikasi korupsi yang melibatkan kepala Diknas Flores Timur mencakup dana hampir setengah miliar rupiah. Dalam rangka menentang praktek korupsi di Diknas tersebut, kota Larantuka sempat diguncang aksi demonstrasi pada menjelang akhir September 2007. Para demonstran yang terdiri dari para guru, politisi lokal, dan elemen masyarakat lainnya menggelar aksi demonstrasi persis di depan kantor Diknas Flores Timur. Anggota DPRD, Bachtiar Lamauran membawakan orasinya yang penuh semangat. Di situ kata Lamaholot muna alias monyet diucapkan. Masyarakat di Flores Timur sudah biasa mendengar kata muna diucapkan dalam pidato politik, termasuk dalam pidato Bupati ketika dia melantik seseorang menjadi kepala desa. Jika di Jakarta koruptor dianalogikan dengan tikus, di Flores Timur, koruptor dianalogikan dengan monyet.

Dalam rangka menghadapi aksi demonstrasi di depan kantor Diknas Flores Timur itu, sejumlah orang dari kampung Eputobi pun dikerahkan. Tetapi di hadapan massa demonstran, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun tidak suka dengan aksi demonstrasi yang digelar dengan penuh semarak itu, tetapi mereka terpaksa menyimpan rasa tidak suka dan rasa marah mereka dalam hati masing-masing. Namun mereka tak pernah lupa untuk melampiaskannya.

Nah kepada siapakah mereka melampiaskan rasa marah mereka itu? Apakah kepada para demonstran, atau kepada pembawa orasi yang beraksi di depan kantor Diknas Flores Timur? Tidak. Mana mungkin orang-orang Eputobi itu berani menantang para demonstran? Yang mereka incar adalah sasaran empuk. Di mana? Di mana lagi, kalau bukan di kampung halaman sendiri, Eputobi.

Setelah kembali dari kota Larantuka, mereka pun menyusun strategi untuk melampiaskan rasa amarah mereka akibat aksi demonstrasi menentang korupsi di Diknas Flores itu. Dua sasaran empuk ditetapkan dengan mudah. Kedua sasaran itu adalah Yose Kehuler dan Sis Tukan. Pada malam minggu, 29 September 2007, dua orang perempuan yang dibekingi oleh sekelompok orang dari bagian timur kampung Eputobi menyerang Yose Kehuler dengan kata-kata kasar penuh penghinaan. Tak lama kemudian, Sis Tukan pun dikatai-katai. Salah satu perempuan penyerang adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak Demong Tawa. Yang satunya lagi adalah isteri seorang guru yang mengajar di SD Eputobi.

Yose Kehuler diserang secara verbal oleh kedua perempuan itu karena dia dianggap ikut berunjuk rasa di depan kantor Diknas Flores Timur. Padahal kehadiran Yose Kehuler di sana karena kantornya terletak bersebelahan dengan kantor Diknas tersebut. Seandainya Yose Kehuler ikut berdemonstrasi pun, apakah ada orang lain punya hak untuk melarangnya? Di Jakarta, para bawahan pun bisa mendemo atasannya. Karyawan dan dosen di suatu universitas, misalnya, dapat menyampaikan aspirasi mereka kepada pimpinan mereka melalui demonstrasi. George Bush, presiden negara adikuasa AS pun sering didemo dan dia tak marah-marah. Soalnya dia tahu, bahwa demonstrasi adalah suatu mekanisme demokrasi.

Kalau pada hari terjadinya demonstrasi itu, Yose Kehuler berada di Larantuka, Sis Tukan berada di Lewolaga. Di Lewolaga Sis Tukan sibuk membuat video acara 75 tahun perutusan MSF di Jawa dan 14 tahun di Flores. Kedua perempuan itu, yang didukung oleh sekelompok orang yang bersembunyi dalam gelap di rumah Meti Lubur, menghantam Sis Tukan dengan kata-kata kasar penuh penghinaan.

Untung bahwa kedua orang yang diserang itu tidak membalas dengan cara yang sama. Dengan tenang, mereka menghadapi kedua penyerang itu beserta para beking mereka. Seandainya, Yose Kehuler dan Sis Tukan bereaksi emosional, bisa jadi timbul mala petaka. Soalnya, jangan lupa, bahwa nama Yose Kehuler dan Sis Tukan pun masuk dalam daftar orang-orang yang ingin dihabisi oleh penjahat-penjahat Eputobi, yang telah berhasil membunuh Akim Maran.

Tetapi pada hari-hari belakangan ini, pihak yang mencela dan menghina Yose Kehuler dan Sis Tukan, pada hari Sabtu malam, 29 September 2007 itu sedang direpotkan dengan kasus korupsi yang melibatkan orang yang pada 2000-2007 menjadi kepala desa Lewoingu. Soalnya, beberapa waktu lalu sudah terbit permintaan dari Bupati kepada Camat Titehena di Flores Timur untuk memfasilitasi pengembalian uang sebanyak Rp 14 juta lebih yang disalahgunakan oleh si kepala desa tersebut dan kawan-kawannya. Angka Rp 14 juta lebih itu diperoleh dari hasil audit sebagian yang dilakukan oleh Banwasda Flores Timur terhadap kepala desa Lewoingu periode 2000-2007. Angka itu dapat membengkak, jika proses audit dilanjutkan.

Yang perlu dicatat ialah, bahwa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala desa Lewoingu periode 2000-2007, dan kawan-kawannya itu mudah diproses secara hukum, karena perbuatan korupsi itu akhirnya diakui sendiri oleh pihak yang bersangkutan. Sejak kasus itu dicuatkan di media cetak daerah, ada saja orang dari pihak koruptor Eputobi, yang bilang, bahwa mereka dapat mencari uang untuk mengembalikan uang desa Lewoingu yang telah mereka pakai itu. Ini merupakan salah satu bentuk pengakuan yang polos dari orang-orang desa, yang sudah mulai pintar mencuri uang rakyat.

Tetapi anda jangan lupa, bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang tak bisa dihapuskan setelah uang yang dikorupsi dikembalikan oleh si koruptor. Pengembalian uang yang dikorupsi justru merupakan suatu bukti bahwa terjadi kejahatan korupsi. Karena itu, proses hukum perlu dijalani oleh si koruptor.

Dalam rangka itu, kita perlu mengatakan kepada para warga Eputobi yang mencintai keadilan dan kebenaran untuk maju terus, pantang mundur berantas korupsi. Jangan takut dengan siapa dan apa pun. Biar anjing-anjing sering menggonggong dan melolong di siang atau di malam hari di Eputobi atau di mana pun, kita maju terus berantas korupsi. Jangan biarkan para koruptor Eputobi terus berpesta pora dengan uang hasil korupsi.***