Rabu, 25 Juni 2008

Mereka yang bermimpi tentang pembebasan


Beberapa waktu lalu, masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya di Flores Timur diresahkan oleh isu pembebasan empat tersangka pelaku pembunuhan Akim Maran, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Isu itu sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu, yang selama ini sibuk berkasak-kusuk untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Mereka yang menghembuskan isu itu secara jelas menyebutkan, bahwa empat orang tersangka itu akan dibebaskan pada hari Selasa, 17 Juni 2008.

Melalui SMS, isu pembebasan itu dengan cepat berhembus ke mana-mana. Jumat pagi, 13 Juni 2008, saya mendapat pertanyaan, "Benarkah empat orang tersangka itu akan dibebaskan pada tanggal 17 Juni 2008?" Pertanyaan itu saya jawab dengan mengatakan, bahwa saya belum memperoleh informasi tentang pembebasan itu. Tetapi setahu saya, berkas perkara pembunuhan Akim Maran itu sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Jika urusan-urusan administrasinya sudah beres, empat orang tersangka itu akan dialihkan statusnya menjadi tahanan kejaksaan. Sumber formal di Larantuka belum memberikan informasi tentang pembebasan empat tersangka itu. Meskipun demikian, saya akan mencek benar atau tidaknya informasi tentang pembebasan itu kepada sumber formal dimaksud.

Di kampung Eputobi dan sekitarnya, isu pembebasan itu disambut dengan reaksi yang berbeda-beda. Di kalangan masyarakat beradab sempat timbul rasa resah. Rasa resah di hati mereka baru sirna setelah mereka memperoleh informasi bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk tetap berstatus sebagai tersangka. Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu tidak akan dibebaskan pada hari Selasa, 17 Juni 2008.

Tetapi reaksi girang muncul dari keluarga para tersangka dan pihak-pihak tertentu di Eputobi. Isu pembebasan itu mereka telan mentah-mentah. Maka pesta penyambutan pun langsung mereka rancang. Senin malam, 16 Juni 2008, pesta mulai digelar di rumah Mikhael Torangama Kelen. Tetapi pesta yang diharapkan memuncak pada hari Selasa, 17 Juni 2008 itu akhirnya lenyap begitu saja. Mereka yang ditunggu-tunggu ternyata tetap menginap di sel Polres Flores Timur. Seketika itu juga sunyi sepi kembali merambat ke seluruh pelosok blok timur kampung Eputobi. Kalau sudah begitu, mereka biasanya jadi enggan tampil di muka umum. Padahal di masa lalu, mereka biasanya gampang membusungkan dada mereka ke mana-mana. Waktu itu kampung Eputobi sering dilanda ketegangan dan konflik akibat arogansi dan premanisme mereka. Pada hari Minggu, 17 Juni 2007, misalnya, Yoakim Kumanireng, yang berjalan di lorong tengah kampung mengatakan begini, "Kampung ini milik saya, siapa yang macam-macam akan saya potong." Sekarang orang ini berstatus sebagai salah seorang tersangka utama pelaku pembunuhan Akim Maran.

Kiranya perlu dicatat di sini, bahwa sejak Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Lorens Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur, situasi kehidupan sehari-hari di kampung Eputobi menjadi lebih baik ketimbang hari-hari sebelumnya. Keadaan akan menjadi lebih baik lagi, jika semua mereka yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut ditangkap, ditahan, untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Jika aparat kepolisian berhasil membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan Akim Maran, maka setiap pelakunya akan dikenai sanksi hukum yang jelas dan tegas.

Penerapan sanksi hukum yang adil dan pasti terhadap para pelaku kejahatan tersebut akan sangat berguna bagi pemulihan keamanan dan ketertiban hidup sehari-hari di kampung Eputobi. Untuk itu, aparat kepolisian negara RI tidak boleh gagal dalam membongkar kasus pembunuhan yang sangat terencana itu. Bahwa terdapat tantangan-tantangan tertentu dalam proses pembongkaran kasus kejahatan tersebut, itu jelas. Tetapi aparat kepolisian RI tidak boleh kalah dalam membekuk pelaku-pelakunya. Selain empat orang tersangka yang kini ditahan di Polres Flores Timur, masih terdapat orang-orang lain yang layak dijadikan tersangka. Para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya sedang menunggu tibanya momen-momen pembekukan para tersangka lainnya oleh aparat kepolisian setempat. Mereka membutuhkan kepastian, bahwa siapa pun yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu dihukum.

Mereka yang layak dijadikan tersangka baru itu berada dalam kelompok yang belakangan ini sering bermimpi tentang pembebasan Mikhael Torangama Kelen dkk. Di antara mereka, ada yang sibuk memaksa saksi kunci untuk mencabut kesaksiannya yang telah dituangkan dalam BAP. Padahal ketika dan selama memberikan kesaksiannya, si saksi kunci berada dalam keadaan sadar dan bebas. Sebelum membubuhkan tanda tangannya pada BAP-nya, dia diberi kesempatan untuk membacanya terlebih dulu dalam keadaan tenang. Tidak ada satu orang pun yang memaksa dia untuk menandatangani BAP-nya. Penilaian pihak tertentu bahwa kesaksian saksi kunci palsu tidak memiliki dasar pijak yang jelas. Penilaian semacam itu bersumber dari rasa marah mereka terhadap saksi kunci yang ternyata berani berbicara di luar skenario yang sudah mereka persiapkan.

Perlu anda ketahui bahwa sebelum hari Kamis, 17 April 2008, Mikhael Torangama Kelen mengadakan rapat di rumahnya. Rapat itu dihadiri oleh mereka (termasuk orang yang kemudian menjadi saksi kunci)yang dipanggil ke Polres Flores Timur untuk dimintai keterangan. Dia menyuruh mereka untuk mengatakan "tidak tahu" jika polisi menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kematian Akim Maran. Jurus dusta memang sudah mereka rancang sejak awal. Maka tuduhan bahwa saksi kunci memberikan keterangan palsu pun langsung mereka lontarkan, setelah mereka mengetahui bahwa dia ternyata tidak mengikuti skenario rancangan mereka. Selain dari Mikhael Torangama Kelen, tekanan terhadap saksi kunci pun datang dari Andreas Boli Kelen. Kemudian saksi kunci itu ditekan-tekan pula oleh seseorang yang menginginkan agar keterangannya yang sudah dituangkan dalam BAP-nya itu dicabut.

Bersama rekan-rekannya yang kian lama kian terkenal sebagai peracik jurus tipu muslihat untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum, orang yang menghasut saksi kunci untuk mencabut keterangannya dalam BAP-nya itu belakangan ini asyik bermimpi tentang pembebasan Mikhael Torangama Kelen dkk dari tahanan Polres Flores Timur. Biarlah mereka itu terus bermimpi. Cepat atau lambat, ada di antara mereka itu yang akan bermimpi tentang pembebasan dirinya sendiri. Waktu itu dia dan mereka yang lainnya akan bermimpi dari balik terali besi.

Itu adalah konsekuensi logis dari segala macam kasak-kusuk mereka untuk menutup-nutupi kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007 itu.***

Senin, 02 Juni 2008

Otak-otak kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007 dan rasa takut yang menghantui mereka

Sinar matahari pagi muncul dari arah timur. Tetapi tidak setiap orang yang tinggal di blok timur kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur mengalami terang. Di antara mereka, ada yang sejak lama berjalan dari gelap ke gelap. Sejak beberapa tahun lalu, makin banyak orang yang tinggal di blok itu yang terjebak dalam gelap malam. Mereka lantas lebih suka bermain dalam gelap ketimbang dalam terang-benderang. Bagi mereka, malam kelam pekat itu lebih baik ketimbang siang hari yang bermandikan cahaya matahari.

Dalam kelam pekat, tumbuh dan berkembang kuasa-kuasa gelap. Ketika kuasa-kuasa gelap berpadu dengan kuasa politik dan uang, maka dengan mudah terbentang jalan-jalan kelam dan sungai-sungai hitam legam. Dalam hati mereka yang berjalan dalam gelap tumbuh subur rasa iri dan benci terhadap siapa saja yang dianggap musuh. Dan tak ada lagi hari mereka, yang berlalu tanpa rancangan maut untuk orang-orang yang, menurut mereka, pantas untuk dilenyapkan. Dalam gelap, mereka tumbuh dan berkembang menjadi makhluk-makhluk haus darah, darah demi kekuasaan politik. Dalam gelap malam di daerah Tobi Bele'eng dan Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur, pada Senin malam, 30 Juli 2007, mereka berhasil membuktikan diri sebagai penumpah darah yang amat buas.

Yang mereka tumpahkan di sana adalah darah Yoakim Gresituli Ata Maran, orang yang tidak bersalah. Dia hanyalah korban dari mereka yang kebelet nafsu untuk memiliki kekuasaan dan harta duniawi. Kematiannya dirancang sebagai suatu proyek. Maka tak heran, bahwa dalam komplotan penjahat itu pun terdapat otak, penyandang dana, pelaksana, para pendukung, dan para pelindung.

Otak kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007 itu terdiri dari tiga orang. Dua orang sudah jelas sosoknya. Satu lagi masih tersamar. Sosoknya bakal menjadi lebih jelas, cepat atau lambat. Satu dari dua otak yang sudah jelas sosoknya itu, selama ini, terkenal sibuk ke utara ke selatan, ke timur ke barat untuk menggarap lahan-lahan tertentu. Kesibukan semacam itu mulai nampak pada pertengahan Agustus 2007. Otak yang satu lagi, sibuk beroperasi di belakang layar, juga untuk menggarap lahan-lahan tertentu. Dari belakang layar, si otak yang satu ini sempat mengeluarkan ancaman terhadap seseorang, yang dianggap mendatangkan rugi bagi komplotannya. Mereka yang tidak kuat mental mau tunduk pada tekanan semacam itu. Mereka yang serakah akhirnya mau menjual martabat diri mereka.

Selama ini, dua otak ini tampil penuh percaya diri, bahkan sempat amat perkasa. Baru belakangan ini tampilan mereka mulai berubah. Setelah sadar bahwa hukum tak bisa lagi dipermainkan dan tak ada lagi lahan yang bisa digarap, dua otak ini mulai kelihatan cemberut. Kebiasaan jalan-jalan berubah menjadi kebiasaan "diam di rumah." Mulut yang biasa banyak bercuap berubah menjadi mulut orang sakit gigi. Tapi di belakang layar, ada yang tetap berjalan, yaitu kasak-kusuk mengubah pendirian saksi kunci. Tak lupa, jurus perdukunan pun terus mereka mainkan. Tapi siapa yang takut dengan permainan primitif itu?

Lantas ada satu aktivitas baru di kalangan mereka, yaitu mencari kebenaran dan keadilan. Ini merupakan reaksi mereka atas ditahannya empat tersangka pelaku pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah berkomplot untuk melakukan perbuatan yang tidak benar dan tidak adil, kini mereka berdoa memohon kebenaran dan keadilan dari Tuhan. Doa itu dipanjatkan tanpa rasa sungkan. Meskipun rasa malu sempat timbul dalam diri orang yang kini terbelenggu, mereka merasa diri berada pada posisi yang benar dalam perkara kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007.

Bagi mereka, yang salah adalah pihak keluarga korban yang berusaha sekuat tenaga membongkar kasus kejahatan tersebut. Selain itu saksi kunci pun mereka pandang bersalah, hanya karena dia mau mengungkapkan apa yang dilihat dengan matanya sendiri. Melalui SMS, mereka menyebarkan informasi bahwa saksi kunci akan jadi tersangka karena memberikan kesaksian palsu. Mungkin karena sering dicekoki dengan informasi-informasi yang salah, maka ada saja orang dari kalangan mereka yang terus terbuai oleh mimpi tentang pembebasan empat tersangka itu dalam waktu dekat. Mimpi indah mereka sekarang ini ialah bahwa sangkaan yang dikenakan pada empat orang tersangka itu tidak terbukti. Padahal proses penyidikan dari waktu ke waktu semakin memperjelas posisi mereka sebagai tersangka sekaligus semakin membuka ruang bagi terungkapnya tersangka-tersangka baru.

Kini otak-otaknya itu semakin dihantui rasa takut. Mereka takut akan dijadikan tersangka. Mereka takut dihukum. Mereka takut harga diri mereka akan ambruk begitu saja. Maka mereka dan bagian dari jaringan mereka pun sibuk mengiklankan diri sebagai orang-orang saleh yang benar melalui internet dan melalui SMS. Bahkan tanpa sungkan-sungkan mereka pun merasa diri sebagai korban kesaksian palsu dan penyebaran kebencian. Padahal mereka itu yang telah menjadikan orang yang tidak bersalah itu korban. Dan mereka itu pula yang dengan gagah berani menyebarluaskan kebencian baik secara lisan maupun secara tertulis terhadap pihak keluarga korban yang dengan sekuat tenaga berjuang untuk mengungkap sebab sesungguhnya kematian anggota keluarganya itu.

Makin lama makin jelas, bahwa mereka ingin tetap berjalan dari gelap ke gelap, dari dusta ke dusta. Kalau begitu, masyarakat beradab di seluruh pelosok Lewoingu dan sekitarnya pun perlu waspada akan kemungkinan mereka berjalan dari kejahatan ke kajahatan. Kewaspadaan perlu dimantapkan, karena yang kita hadapi adalah suatu komplotan orang-orang yang sungguh-sungguh jahat. Perjuangan memberantas kejahatan itu belum usai. Masih ada tantangan dan halangan yang harus kita hadapi. Kehidupan memanggil kita untuk berani memikul tugas berat penuh risiko itu di pundak kita.

Andai saja aparat kepolisian setempat bekerja lebih gesit, sesuai dengan standar profesionalisme yang seharusnya mereka miliki, siapa pun yang terlibat dalam peristiwa kejahatan yang sangat mengerikan itu, termasuk otak-otaknya, sudah dibekuk satu per satu.

Lebih cepat memang lebih baik. Tetapi cara pelan-pelan pun terkadang lebih mantap hasilnya. Ada suara yang makin lama makin jelas mengatakan, "Satu per satu mereka yang terlibat dalam peristiwa kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007 itu, termasuk otak-otaknya, akan ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman sesuai dengan bobot kejahatan mereka masing-masing."

Segera setelah berhasil berkomplot melakukan kejahatan, mereka dihantui oleh rasa takut yang sangat mengerikan. Itulah sebabnya ulah tingkah mereka selama ini pun tampak beringas dan seperti cacing kepanasan. Tetapi satu per satu mereka dari komplotan penjahat itu akan punah terpanggang bara matahari kehidupan ini.

Itulah risiko kalau mereka memilih berjalan dari gelap ke gelap. Itulah risiko dari pilihan mereka untuk meminum air dari sungai yang hitam legam, selama ini. Itulah risiko dari kenekadan mereka untuk menerima piala darah orang yang tak bersalah itu. ***