Minggu, 13 Juli 2008

Apa yang baik dari kampung Eputobi, di Lewoingu, Flores Timur?


Apa yang terjadi di kampung Eputobi, di Lewoingu, Flores Timur, sejak 2006 hingga sekarang ini merupakan salah satu contoh terjadinya implosi, dengan dampak negatif berupa perpecahan sosial dan kerusakan nilai-nilai budaya, yang sangat parah. Di sini implosi diartikan sebagai ambruknya suatu tatanan hidup bersama akibat terjadinya kejahatan internal. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu. Tatanan hidup bersama yang dimaksud di sini adalah tatanan hidup komunitas Eputobi, yang dalam sejarah Lewoingu dikenal sebagai Komunitas Dumbata atau Komunitas Lewowerang.

Setelah berhasil membangun kehidupan bersama yang harmonis selama beberapa abad dalam lintasan sejarah Lewoingu, komunitas yang bermukim di kampung Eputobi itu kini terbelah menjadi dua kelompok, masing-masing dengan sikap mental budaya yang saling bertolak belakang. Kelompok yang satu bermental korup dan karena itu menghalalkan pembunuhan sebagai jalan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan politik dan untuk meraih tujuan-tujuan politik kelompoknya. Sebagian besar dari mereka yang bermental demikian bermukim di blok timur kampung Eputobi. Tetapi ada pula pengikut mereka yang bermukim di blok barat.

Kelompok yang satu lagi menjunjung tinggi nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, rasionalitas, dll. Kelompok ini menentang praktek-praktek korupsi semasa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen. Kelompok ini melawan kejahatan bukan dengan kejahatan, tetapi dengan cara-cara yang rasional, cara-cara orang berbudaya tinggi. Meskipun sering diprovokasi oleh anggota-anggota komplotan penjahat yang membunuh Akim Maran, kelompok ini mampu mengendalikan diri. Jika mereka tidak mampu mengendalikan diri, kekacauan lebih besar bisa melanda kampung Eputobi.

Sebagian besar dari anggota kelompok yang baru saja disebut di atas bermukim di bagian barat kampung Eputobi. Tetapi ada pula anggota mereka yang bermukim di blok timur. Seiring dengan perjalanan waktu, kelompok ini tampil sebagai suatu kekuatan sosial yang membanggakan bukan dalam artian fisik, tetapi dalam artian budaya. Di dalam kelompok ini tetap dirawat dan dilestarikan budaya menghargai kebersamaan (persatuan), kebenaran dan keadilan warisan nenek moyang Lewoingu. Karena itu kelompok ini sering saya sebut sebagai masyarakat beradab Eputobi. Dengan menggunakan kecerdasan dan kearifan kultural khas Lewoingu, mereka mampu menghadapi tantangan dan ancaman dari komplotan penjahat yang bermarkas di blok timur kampung Eputobi itu.

Perlu anda ketahui bahwa di saat pemerintah desa Lewoingu kehilangan kemampuan untuk mengendalikan keadaan seperti yang terjadi sejak meletusnya kekacauan hingga sekarang ini, para warga masyarakat beradab di Eputobi itulah yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kegiatan-kegiatan penting, seperti kegiatan doa, pembangunan fisik seperti merenovasi gereja dan pembangunan gedung serba guna untuk SDK Eputobi, dan kegiatan olah raga. Dalam kehidupan sehari-hari mereka terus membina solidaritas etis di antara sesama anggota kelompok. Secara bersama-sama mereka pun membangun perisai untuk membela diri dari serangan musuh.

Kiranya jelas bahwa apa-apa yang baik tetap tumbuh dan berkembang di kampung Eputobi, di Lewoingu, Flores Timur. Bumi Eputobi masih memiliki tanah yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya kebaikan demi kebaikan. Dan kebaikan pasti akan mengalahkan kejahatan.

Gunakanlah akal budi dan hatimu untuk mengerti bahwa apa-apa yang baik itu yang perlu engkau dukung. ***

Sabtu, 12 Juli 2008

Orang-orang yang terjebak dalam pusaran kejahatan


Kian lama, kian jelas nampak bahwa mereka kian mengisolasi diri dari lingkungan pergaulan masyarakat yang berbudaya dan beradab lebih tinggi di kampung Eputobi di Lewoingu Flores Timur. Jika dulu, mereka sering tampil gagah dan suka show of force (pamer kekuatan), belakangan ini tampilan mereka seperti keong yang tanduknya ditusuk dengan lidi. Jika dulu mereka sering berkoar-koar sebagai orang-orang hebat, kini suara-suara mereka lenyap ditelan bumi. Dan pintu-pintu rumah mereka pun semakin tertutup rapat. Yang mereka lakukan di balik sana adalah menggerutu dan menggerutu, lalu bergumul dengan diri sendiri.

Mereka adalah orang-orang yang tersesat di siang bolong, lalu terjebak dalam pusaran kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007. Yang kumaksud di sini bukanlah para pelaku utama pembunuhan Akim Maran, tapi orang-orang Eputobi yang gampang terperdaya oleh angin sorga yang dihembus-hembuskan oleh si iblis besar berbaju akademis, lalu terseret dalam arus kejahatan yang mengerikan itu. Sedangkan para pelaku utama pembunuhan Akim Maran adalah orang-orang yang sejak lama berbakat sebagai penjahat. Maka ketika salah seorang anggota keluarga dari penjahat Eputobi yang kini ditahan di Polres Flores Timur itu mengira bahwa mereka bukan keturunan penjahat, langsung ketahuan bahwa dia salah besar. Dia rupanya tidak tahu kelakuan senior-seniornya dari keluarganya di masa lalu.

Hembusan angin sorga dari si iblis besar ini pun berhasil mempertautkan kepentingan antara suku Kumanireng Bikopukeng dan suku Kumanireng Blikololong. Padahal di masa lalu kedua pihak itu sering beradu kepentingan. Sejak tahun 2006, mereka mulai bersama-sama mengejar suatu mimpi yang mustahil jadi kenyataan. Mereka bermimpi menjadi pemimpin tertinggi adat Lewoingu. Maka sejarah Lewoingu pun dipalsukan. Demikian pula halnya nasib sejarah pemilikan tanah, khususnya di kampung Eputobi. Rayuan gombal si iblis besar berhasil memacu ambisi mereka untuk mengejar dengan harapan dapat meraih mimpi semu itu.

Si iblis besar itu tak pernah sanggup menggunakan jalan pikiran yang logis. Tapi dia memang punya kelebihan, yaitu kemampuan untuk mengecoh. Orang-orang yang tidak cakap berpikir gampang dia perdaya. Orang-orang yang tidak kuat iman langsung jatuh dalam pelukannya. Itulah kelebihan si iblis besar.

Seorang tua yang tahu maksud tidak baik dari si iblis besar pernah menasihati yunior-yuniornya. Kamu jangan percaya dan jangan pula ikuti apa kata dia, karena dia itu beda dengan kita. Sekarang dia pura-pura baik dengan kita, tapi suatu waktu dia akan menginjak-injak kita. Tapi di antara yunior-yunior itu ada yang tidak percaya akan omongan orang tua. Sikap melawan ditunjukkan dengan kian merapat dan lengketnya dia dengan si iblis besar. Setelah meletusnya kasus pembunuhan Akim Maran barulah dia kelabakan sendiri dan stress. Masih untung bahwa di antara mereka masih terdapat orang-orang yang mau membela kebenaran. Tetapi tokoh-tokoh penting mereka di kampung Eputobi berada dalam pelukan mesra si iblis besar. Saking eratnya pelukan itu sehingga sulit sekali bagi mereka untuk meloloskan diri. Padahal ada saja di antara mereka yang sejak sekian waktu lalu sudah menyadari bahwa mereka menjadi korban dari bualan si iblis besar. Tapi apa daya, tangan, otak, pikiran, dan hati mereka sudah terbelenggu. Hati mereka sudah menjadi kenisah bagi roh jahat.

Yang kasihan adalah orang-orang sederhana, yang karena kurang pengetahuan, kurang ini, kurang itu lalu gampang dipengaruhi oleh angin sorga yang dihembuskan oleh si iblis besar. Mereka akhirnya terpaksa terseret dalam arus yang dengan mudah meluncurkan mereka ke dalam pusaran kejahatan yang sangat mengerikan itu. Mereka mengira, dengan mendukung komplotan penjahat itu nasib hidup mereka akan menjadi lebih baik. Padahal di dalam kenyataan tidak demikian. Mudah-mudahan mereka kini mulai menyadari bahwa mereka pun menjadi korban dari tipu muslihat si iblis besar. Mudah-mudahan, mereka pun mulai menyadari bahwa yang mereka bela bukan kepentingan kesejahteraan mereka sendiri, tetapi nafsu si iblis besar untuk menggenggam kekuasaan di kampung Eputobi dan Lewoingu. Mudah-mudahan mereka pun menyadari bahwa dengan mendukung penjahat-penjahat itu mereka pun melakukan kejahatan pada Senin malam, 30 Juli 2007 dan kejahatan-kejahatan lain, antara lain korupsi.

Yang juga ikut terseret ke dalam pusaran kejahatan itu adalah oknum-oknum guru tertentu. Ada yang mengajar di SDK Eputobi. Ada yang mengajar di TK Eputobi. Mereka adalah contoh tipikal dari orang-orang yang berperan tidak sesuai dengan status sosial mereka. Sebagai guru, mereka itu pendidik dengan tugas utama membudayakan kepribadian anak-anak muda melalui proses belajar formal. Sesuai dengan tugas itu, mereka mestinya menjadi panutan baik di sekolah maupun di masyarakat. Tetapi di dalam kenyataan mereka malah sibuk berkasak-kusuk untuk membela penjahat-penjahat itu. Ada guru senior yang mengeluh, bahwa kelakuan oknum-oknum guru yang besangkutan sungguh-sungguh keterlaluan. Guru-guru semacam itu sebaiknya dipindahkan saja ke tempat lain. Ini untuk menyelamatkan kepentingan pendidikan, kepentingan generasi muda Lewoingu.

Si iblis besar berhasil menjebak puluhan orang Eputobi ke dalam pusaran kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007. Angin sorga yang dihembuskannya menyusahkan banyak orang, banyak kalangan. Tapi si iblis besar merasa diri paling benar. Bahkan dia pernah mengira bahwa dirinya dilindungi oleh Tuhan. Di kalangan komplotan penjahat Eputobi, si iblis besar dipandang sebagai pejuang, pembela kebenaran dan keadilan. Memang si iblis besar itu pandai menyamar. Dia bisa menyamar menjadi malaikat.

Untung bahwa tak satu pun warga masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya yang mau terkecoh oleh angin sorga yang dihembus-hembuskan oleh si iblis besar itu. Mereka terus berdoa dan berupaya agar si iblis besar itu cepat tenggelam ke dasar paling dalam dari naraka. Karena hanya di situlah terdapat tempat yang paling pantas baginya. ***

Selasa, 08 Juli 2008

Orang-orang yang tidak berhatinurani


Setelah membaca kisah penganiayaan yang dialami oleh Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran), dan terutama setelah menyaksikan sendiri seperti apa ulah tingkah empat pelakunya yang ditahan di Polres Flores Timur, ada saja orang yang menyatakan rasa jijik mereka. Mereka jijik melihat sikap angkuh penjahat-penjahat Eputobi itu. Mereka juga merasa jijik ketika melihat salah seorang penjahat yang tangannya diborgol tapi malah tertawa. "Mereka itu tidak tahu malu." Begitu kata-kata yang sempat terlontar dari mulut sejumlah orang yang menyaksikan adegan itu.

Sebelumnya seorang rohaniwan sempat menyinggung bahwa di kampung Eputobi terdapat pembunuh berdarah dingin. Setelah membunuh orang, mereka merasa tenang-tenang saja, mereka tidak merasa bersalah. Padahal kejahatan yang mereka lakukan adalah kejahatan sangat besar. Membunuh orang yang tidak bersalah adalah suatu perbuatan yang amat sangat biadab.

Yang jadi pertanyaan ialah, "Dari mana datangnya kebiadaban yang amat sangat itu?" Tentu tidak dari mata lalu turun ke hati, karena di situ orang tak lagi bermain dengan hati. Kebiadaban semacam itu justru menunjukkan adanya orang-orang yang amat sangat biadab. Dan mana ada orang amat sangat biadab yang mampu melakukan sesuatu berdasarkan hati nuraninya. Kiranya jelas bahwa para pembunuh Akim Maran adalah orang-orang yang telah kehilangan hati nurani mereka masing-masing. Karena itu rasa kemanusiaan pun tak lagi ada dalam diri mereka. Mereka mengalami mati rasa. Maka mereka pun merasa bangga akan kejahatan yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Kematian orang yang tidak bersalah itu bahkan sempat mereka rayakan sebagai suatu pesta kemenangan politik. Lalu mereka pun berusaha untuk menutup-nutupi perbuatan jahat mereka itu dengan segala macam cara. Untuk itu pula, tiada hentinya mereka ulang-alik mencari dukun yang mau diajak untuk berkomplot dengan mereka. Jelas, bahwa kebiadaban yang sangat mengerikan itu datang dari orang yang tak lagi berhatinurani.

Sungguh memprihatinkan bahwa di suatu kampung kecil bernama Eputobi di Lewoingu, Flores Timur, telah tumbuh komplotan penjahat. Kepala kompolotan itu kini meringkuk di tahanan Polres Flores Timur. Selain empat orang yang kini telah dijadikan tersangka utama, anggotanya terdiri dari oknum-oknum aparatur desa Lewoingu dan sejumlah orang kampung yang telah kehilangan hati nurani mereka masing-masing. Selama masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen (2000-2007), di desa Lewoingu, mereka itu memperoleh keuntungan finansial, baik melalui proyek-proyek tertentu maupun melalui praktek-praktek korupsi. Para pendukung dan simpatisan mereka terdiri dari para praktisi black magic dan orang-orang miskin. Karena miskin, hati mereka gampang ditaklukkan dengan uang dan bantuan-bantuan material lain. Padahal bantuan-bantuan itu bukan berkat jasa pemerintah desa Lewoingu.

Meskipun kecil nilainya, tetapi barang-barang material itu rupanya lebih bernilai bagi mereka ketimbang nilai seorang anak manusia. Maklum, mereka sering berada dalam keadaan terdesak dalam hal ekonomi. Sehingga mereka pun ikut-ikutan mengidolakan seorang penjahat sebagai dewa penolong. Bersama para penjahat itu mereka akhirnya terus menapaki lorong-lorong gelap di kampung Eputobi hingga kini. Di antara mereka, ada pula yang kini ikut-ikutan berharap-harap cemas agar si penjahat itu cepat dibebaskan, biar dia dapat tampil lagi sebagai dewa penolong. Karena itu, mereka pun berusaha keras untuk ikut menutup-nutupi kejahatan besar yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan itu. Tanpa disadari, mereka pun menjadi bagian dari kawanan penjahat itu.

Komplotan penjahat itu terbentuk berdasarkan nasihat dari si tokoh intelektual. Biaya operasional sehari-hari disuplai oleh si penyandang dana. Dukungan politik, mereka peroleh dari oknum elite politik tertentu. Sejak tahun 2006, si tokoh intelektual sibuk membolisasi dukungan. Sejak tahun itu pula si penyandang dana sudah menyebarkan fitnah tentang Akim Maran hingga ke Larantuka. Dia memfitnah Akim Maran sebagai pengacau di kampung Eputobi. Fitnah itu pun sempat sampai ke seorang kepala sekolah dan elite politik tertentu di kota Larantuka. Sedangkan si elite politik merasa keki karena salah satu permainannya diketahui. Melalui jalur tertentu si elite politik menjadi dekat dengan si penyandang dana. Lama kelamaan mereka menjadi sohib dan saling membutuhkan. Bertiga, mereka adalah otak di balik pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Memang menarik juga kalau kita mencermati perilaku mereka. Keterlibatan tiga orang itu sebagai otak kejahatan tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa sekolah yang tinggi tidak berkorelasi dengan kepribadian yang baik. Demikian pula usia yang bertambah tua tidak berkorelasi dengan kebijaksanaan. Kasus kejahatan itu secara gamblang menuturkan kepada kita bahwa pendidikan tinggi yang pernah dikenyam secara formal oleh seseorang tidak menjadi garansi baginya untuk memperoleh kebeningan hati nurani. Yang lulusan perguruan tinggi tidak selalu lebih berhati nurani ketimbang seorang buta huruf di kampung Eputobi. Jelas sekali, bahwa hati mereka telah digelapgulitakan oleh nafsu mereka akan kekuasaan dan harta. Dalam hati mereka yang gelap akhirnya bercokol iblis demi iblis.

Hati yang gelap adalah hati tanpa nurani (hati tanpa terang, tanpa cahaya). Hati sebagai inti kepribadian mereka masing-masing tidak lagi memancarkan terang atau cahaya ilahi. Sehingga perilaku mereka pun tidak lagi didasarkan pada hukum moral, yaitu pedoman tentang baik buruk manusia sebagai manusia.

Orang yang berhatinurani, tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sadar betul bahwa yang baik harus dilakukan, sedangkan yang buruk tidak boleh dilakukan. Seandainya dia pun melakukan yang buruk, dia mau mempertanggungjawabkannya. Sebagai manusia, dia merasa malu untuk melakukan yang buruk atau pun yang jahat.

Di seluruh dunia terjadi bahwa orang-orang yang tidak berahtinurani yang menjadi pengacau. Di mana mereka berada di situ terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Di mana mereka berada di situ terjadi kejahatan demi kejahatan. Karena tidak berhatinurani, mereka pun mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang amat sangat mengerikan.

Di suatu kampung kecil bernama Eputobi, di Lewoingu, di Flores Timur, orang-orang yang tidak berhatinurani, selain mengacaukan kehidupan sehari-hari, juga melakukan kejahatan yang amat sangat mengerikan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Karena iri hati dan benci, mereka membunuh orang yang tidak bersalah apa-apa, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang terlibat dalam kejahatan itu bukan hanya orang-orang kampung yang bersekolah rendah, tetapi mereka yang bersekolah tinggi.

Mereka itulah yang kini menjadi musuh utama masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya. Siapa pun mereka harus kita hadapi. Kita punya tekad yang sangat bulat untuk menghancurkan seluruh basis kekuatan mereka satu per satu. Kejahatan tak boleh dibiarkan merajalela. ***