Senin, 22 September 2008

Pola Disintegrasi Sosial di Kampung Eputobi-Lewoingu, Flores Timur

Menarik memperhatikan apa yang terjadi di kampung Eputobi-Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sejak tahun 2006, kampung itu mulai dilanda disintegrasi sosial. Titik awal disintegrasi itu ditandai dengan pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat oleh sekelompok orang yang berambisi menjadi penguasa tertinggi adat Lewoingu. Pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah bisa terjadi berkat restu kepala desa Lewoingu, waktu itu. Tampak di sini, bahwa sejak awal, gerakan pengacauan tersebut sudah ditunggangi oleh kepentingan politik.

 

Pada tahun 2007, pola disintegrasi sosial di kampung Eputobi nampak makin jelas. Ada pola tribalistik (kesukuan), ada pola politik. Dalam proses perkembangannya sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2008 kedua pola tersebut saling bertumpangtindih. Sehingga kadang-kadang sulit dibedakan mana pola kesukuan, mana pola politik. Tetapi kita tetap dapat melihat garis kesukuan dan garis politik dalam kasus tersebut.

 

Pola Kesukuan

 

Bahwa disintegrasi sosial di kampung Eputobi mengikuti garis kesukuan, itu nampak jelas dari bangkitnya suku Kumanireng Blikopukeng untuk melawan tiga suku keturunan Gresituli, yaitu suku Ata Maran, suku Doweng One'eng, dan suku Lewolein. Meskipun kebangkitan suku ini ditunggangi oleh kepentingan politik, tetapi anggota-anggota suku inilah yang menjadi pemain inti pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat pada tahun 2006. 

 

Tujuan utama kepala suku Kumanireng Blikopukeng dan anggota-anggotanya jelas. Mereka ingin memenuhi agenda yang selama ini tersembunyi, yaitu menjadi penguasa Lewoingu. Tujuan itu terungkap dalam kata-kata Yohakim Tolek Kumanireng Blikopukeng, "Kampung ini milik saya, siapa yang macam-macam akan saya bunuh." Di kemudian hari, Donatus Doni Kumanireng Blikololong, yang menjadi salah satu suporter utama gerakan pengacauan itu, pun sempat memperkenalkan diri sebagai penguasa kampung Eputobi. Dia juga mengatakan bahwa tidak ada satu pun orang di kampung Eputobi yang berani terhadapnya.

 

Mikhael Torangama Kelen yang sedang mengalami krisis kepercayaan memainkan peranan penting dalam gerakan pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah ulayat tersebut. Tanpa restunya, kasus Senin 10 April 2006 tidak perlu terjadi. Sejak awal dia berusaha menunggangi gerakan pengrusakan tersebut. Dengan cara itu dia bermaksud memperkuat posisi politiknya dalam menghadapi kubu oposisi yang mulai memperoleh dukungan politik dari berbagai kalangan warga Eputobi.

 

Faktor Mikhael Torangama Kelen ini yang kemudian menggiring oknum-oknum seperti Geroda Tukan dan Maxi Tukan masuk ke dalam gerakan pengrusakan adat. Tetapi inspirasi bagi kebangkitan gerakan tersebut berasal dari sejarah palsu. Sejarah palsu itu mula pertama dibentangkan oleh seorang tokoh yang di masa lalu gagal memainkan peranan sebagai pakar sejarah Lewoingu. 

 

Berdasarkan sejarah palsu itu, di kemudian hari, pascapelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah ulayat, bangkit pula di kalangan suku Wungung Kweng dan suku Ama Lubur kesadaran diri sebagai Kebele'eng. Padahal selama ini posisi mereka sebagai Kebele'eng tidak pernah dipersoalkan. Tetapi bangkitnya kesadaran diri sebagai Kebele'eng ini disertai dengan langkah penggabungan diri dengan kelompok pengacau adat Lewoingu. Dengan demikian kedua suku ini pun memposisikan diri sebagai lawan terhadap ketiga suku keturunan Gresituli tersebut. Di Eputobi, mereka ikut dalam gerakan untuk menghancurkan formasi Koten, Kelen Hurit, Maran. Itulah sebabnya mengapa adik-adik dari Paulus Dalu Lubur di Eputobi begitu anti terhadap bapak Pius Koten. Bagi mereka, formasi itu, khususnya posisi Koten, tidak sesuai dengan hak kesulungan yang mereka miliki. Mereka lupa, bahwa formasi Koten, Kelen, Hurit, Maran itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama para Kebele'eng Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali.    

 

Melalui jalur perkawinan, ikut bergabung pula ke dalam blok tersebut oknum-oknum tertentu dari suku-suku lain. Sehingga timbul pula perpecahan internal suku-suku tertentu.

 

Aliansi suku-suku tersebut plus oknum-oknum tertentu dari suku-suku lain ikut membentuk suatu blok politik, yang terkenal dengan sebutan blok timur atau "Jawa Timur." Di dalam kenyataan, blok timur itu bersifat destruktif baik terhadap tatanan adat maupun terhadap tatanan sosial politik kontemporer.

 

Dalam menyikapi kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran anggota-anggota dari kedua suku tersebut pun berada di garda depan sebagai pembela Mikhael Torangama Kelen, orang yang sejak Selasa, 31 Juli 2007 sudah jelas terindikasi sebagai pelaku utama pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Ada anggota suku Wungung Kweng bahkan terlibat juga dalam perencanaan aksi kriminal yang terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007.

 

Menghadapi kekuatan desktruktif dari pihak timur, di barat pun muncul suatu blok sosial. Blok barat ini diperlukan, pertama, sebagai perisai perlindungan dan pertahanan diri dari ancaman kekuatan destruktif dari timur; kedua, sebagai rumah bagi perawatan dan pelestarian nilai-nilai khas Dumbata Lewoingu Sarabiti Waihali sejati; dan ketiga, sebagai wujud dari rasa solidaritas etis, sebagai usaha bersama untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan dalam perkara kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Karena itu, jaringan blok barat atau "Jawa Barat" itu lebih luas ketimbang jaringan blok timur.

 

Bahwa pembentukan blok barat pun mengikuti garis kesukuan, itu jelas. Tetapi dalam perkembangannya, blok barat berfundasikan lebih pada relasi-relasi sosial kamanusiaan. Relasi-relasi semacam ini tidak hanya menjalar ke berbagai wilayah Titehena, tetapi juga ke berbagai kawasan di Flores Timur daratan. Ini tidak mengherankan, mengingat yang terjadi bukan sekedar problem antarsuku atau antarkelompok sosial internal Eputobi, tetapi problem kejahatan kemanusiaan, problem pelanggaran HAM berat.

 

Pola Politik

 

Disintegrasi sosial di kampung Eputobi pun mengikuti garis politik. Pola politik nampak jelas dalam pengelompokan warga Eputobi ke dalam dua kubu dengan orientasi dan kepentingan politik yang saling bertolak belakang.  Yang dimaksud adalah kubu propemerintah desa Lewoingu dan kubu oposisi. Kubu propemerintah terdiri dari kelompok kepentingan kesukuan dan para warga Eputobi yang merasa diuntungkan oleh pemerintah desa Lewoingu periode 2000-2007. 

 

Para warga biasa yang bersangkutan merasa diuntungkan dengan pengadaan beras untuk orang miskin (raskin) dan bantuan langsung tunai (blt). Raskin dan blt adalah program pemerintah pusat untuk membantu keluarga-keluarga Indonesia yang miskin. Program ini diluncurkan sebagai kompensasi  kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Program ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dan kiranya jelas, bahwa raskin dan blt bukan merupakan hasil perjuangan kepala desa.

 

Tetapi di Eputobi, kencang berhembus isu bahwa raskin dan blt adalah hasil perjuangan kepala desa Lewoingu. Ayat-ayat ini sering dinyanyikan di hadapan para penerima raskin dan blt. Di musim kampanye pilkades (Maret 2007), ayat-ayat itu dipakai untuk menjaring dukungan suara. Selain para penerima raskin dan blt, anggota-anggota PEKA (perempuan kepala keluarga) pun berhasil dipengaruhi.

 

Dapat dikatakan wajar bila pemerintah desa Lewoingu memperoleh keuntungan politik dari program raskin dan blt. Tetapi ada hal-hal yang sungguh-sungguh tidak wajar. Yang dimaksud adalah, pertama, praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk.  kedua, pelaksanaan pilkades yang cacat hukum dan cacat moral; ketiga, pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran sebagai jalan pintas untuk memberangus gerakan oposisi di desa Lewoingu.

 

Protes kubu oposisi terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya didasari bukti-bukti nyata. Protes itu disalurkan melalui mekanisme formal yang ada. Dan penilaian oposisi bahwa pelaksanaan pilkades di desa Lewoingu itu cacat hukum dan cacat moral pun didasari bukti-bukti nyata. Itulah sebabnya, Bupati Kabupaten Flores Timur pun sudi mendengarkan masukan-masukan dari kubu oposisi dari desa Lewoingu. Sebagai tindak lanjut, Bupati Flores Timur menunda pelantikan pemenang pilkades 27 Maret 2007.

 

Tetapi menurut Mikhael Torangama Kelen dkk, penundaan pelantikan tersebut didalangi oleh Akim Maran dkk. Bagi mereka, sepak terjang oposisi mengacaukan kampung Eputobi, suatu tuduhan yang tidak dapat mereka buktikan hingga hari ini. Tuduhan bahwa Akim Maran dkk itu pengacau kampung Eputobi semakin digencarkan oleh kubu propemerintah pada musim penundaan pelantikan kepala desa terpilih. Seorang orang Eputobi, pensiunan pegawai negeri sipil yang tinggal di Weri sempat mengirim sepucuk surat ke Eputobi untuk menasihati adiknya untuk menjauhkan diri dari Akim Maran, karena Akim Maran adalah pengacau. Tetapi adiknya tidak mau mengikuti nasihat kakaknya. Karena, adiknya tahu persis bahwa tuduhan itu tidak sesuai dengan kenyataan.

 

Mikhael Torangama Kelen dkk mulai mengalami frustrasi setelah menyadari bahwa batas masa penundaan pelantikan kepala desa terpilih untuk Lewoingu semakin tidak jelas. Lobi mereka ke kantor Bupati Flores Timur pun seringkali mentok.  Sedangkan di kampung Eputobi sendiri, kubu oposisi semakin mampu memantapkan posisi. Rasa frustrasi itu kemudian diterjemahkan ke dalam rencana jahat terhadap tokoh-tokoh oposisi. Rencana jahat itu terungkap dari mulut Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong yang mengatakan, "Kalau kepala desa terpilih tidak dilantik, akan terjadi pertumpahan darah." Dan ada lima orang yang darahnya ingin mereka tumpahkan, yaitu Akim Maran, bapak Pius Koten, bapak Dere Hayon, Yose Kehuler, dan Sis Tukan.

 

Darah Akim Maran akhirnya benar-benar mereka tumpahkan di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Pembunuhan Akim Maran itu bermotifkan politik dan direstui oleh kepala suku Kumanireng Blikopukeng. Untuk menghilangkan jejak, komplotan penjahat itu membungkus perbuatan jahat mereka dengan isu kecelakaan lalu lintas. Masa' yang meninggal Yoakim Gresituli Ata Maran, kok yang sibuk menyebarkan isu bahwa kematiannya murni karena kecelakaan lalu lintas adalah Mikhael Torangama Kelen dkk. Sebelum jenazah Akim Maran ditemukan oleh bapak Moses Hodung Werang, salah seorang anggota komplotan penjahat itu sudah menyebarkan berita di Konga, bahwa Akim Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

 

Oleh blok timur, kematian Akim Maran diharapkan dapat melumpuhkan gerakan oposisi. Dengan demikian, mereka berharap, jalan bagi pelantikan kepala desa terpilih dupermulus. Tetapi di dalam kenyataan posisi oposisi justru makin diperkuat dan nasib pelantikan kepala desa terpilih makin terkatung-katung. Apalagi makin lama makin menjadi rahasia umum bahwa Mikhael Torangama Kelen terindikasi sebagai pelaku utama pembunuhan Akim Maran. Di dalam kenyataan, pembunuhan Akim Maran berhasil mempertajam polarisasi politik ke dalam dua blok. Yang satu blok timur, yang lain blok barat. Karena, tekanan dari kekuatan tertentu di tingkat kabupaten, Bupati Flores Timur pada hari Rabu 16 Januari 2008, melantik secara bersyarat Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Pelantikan bersyarat itu memparparah perpecahan sosial politik di desa Lewoingu.

 

Komponen-komponen yang membentuk blok timur, yang kemudian dsebut "Jawa Timur" terdiri dari aliansi suku-suku tersebut di atas plus para advonturir politik plus para warga biasa yang takut kehilangan peluang untuk meperoleh raskin dan blt jika si kepala desa terpilih gagal dilantik. Sedangkan komponen-komponen yang membentuk blok barat, yang kemudian disebut "Jawa Barat" (termasuk "Jalur Gaza") terdiri dari Koten, Kelen, Hurit, Maran plus suku-suku yang secara tradisional bersekutu dengan keempat suku tersebut. Di dalamnya terdapat sayap politik, yang dengan gigih memperjuangkan terwujudnya suatu model pemerintahan desa Lewoingu, yang bersih, berwibawa, bermoral, dan berperi kemanusiaan.

 

Di dalam kenyataan, seluruh aparatur pemerintahan desa Lewoingu menjadi kekuatan inti  blok Timur. Dari perspektif politik mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa pemerintah desa Lewoingu menjadi sumber perpecahan sosial politik di kampung Eputobi desa Lewoingu. ***