Kamis, 24 Desember 2009

Natal dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya

 

Natal telah tiba. Mari kita mengenang kelahiran Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan bersama para bala tentara sorga yang bernyanyi:

“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang bekenan kepadaNya.”

Dan bersama para gembala yang menjumpaiNya di palungan di Betlehem kita memuji dan memuliakan Allah, karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang dikatakan malaikat Tuhan kepada mereka.

Selamat Hari Natal kepada anda semua yang merayakannya. Semoga Salam Natal dariku ini menjumpai anda semua dalam keadaan damai sejahtera adanya.

Selasa, 22 Desember 2009

Posisi jenazah korban yang dibunuh oleh Mikhael Torangama Kelen dkk

 IMAG0008

Gambar di atas memperlihatkan seperti apa posisi jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ketika ditemukan oleh Moses Hodung Werang pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, pukul 09.00 waktu setempat di dalam parit di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT. Gambar ini dibuat berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Moses Hodung Werang.

Perhatikan bahwa posisi jenazah korban seperti orang sedang tidur dengan sisi kiri badan menyentuh lantai parit, wajahnya menghadap ke selatan. Ketika ditemukan kakinya tidak lagi mengenakan sandal. Di bawah kepala korban terdapat genangan darahnya. Luka parah hanya terdapat di kepala dan wajahnya. Tidak terdapat cedera pada bagian badannya yang lain. Kancing celana jeannya terbuka. Ini terjadi, karena kemaluannya pun dikerjai juga oleh salah seorang penjahat. Dengan cara itu dia sungguh-sungguh dipermalukan.

Jenazahnya berada pada posisi yang lebih rendah ketimbang posisi sepeda motor Yamaha Jupiter yang diposisikan dengan rapih di sebelah utara korban. Roda depan sepeda motor itu menyentuh batang lamatoro. Kunci kontak sepeda motor itu dalam posisi off. Dan ketika di-on-kan, posisi giginya dalam keadaan netral. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh, tidak mengalami kerusakan. Setelah diangkat dari dalam parit, sepeda motor itu langsung dapat dikendarai oleh seorang anak muda menuju Pos Polisi Titehena di Lewolaga.

Posisi  jenazah korban dan posisi sepeda motor di dalam parit itu serba rapih. Darahnya tampak pada dinding deker (gorong-gorong) yang berada pada posisi yang lebih tinggi. Darahnya juga ditemukan di pondok milik bapak Stanis Lewoema. Semua ini menunjukkan bahwa kematiannya bukan akibat kecelakaan lalulintas, tetapi karena pembunuhan.

Seorang saksi mata menuturkan bahwa pada Senin malam, 30 Juli 2007 sepeda motor itu berada di pinggir jalan di dekat korban yang sedang terkapar. Petrus Naya Koten menuturkan pula keberadaan saksi itu. Saksi itu pun mengenal Petrus Naya Koten. Ceritera mereka berdua saling bersesuaian.

Setelah berhasil membuat Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi sekarat, para pelakunya menyeretnya dan meletakkan tubuhnya yang telah tak berdaya di dalam parit. Di situ menjelang pagi hari Selasa, 31 Juli 2007, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di dunia ini. Sedangkan sepeda motor Yamaha Jupiter yang dikendarainya pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu baru diturunkan ke dalam parit pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Sebelum diturunkan ke dalam parit, sepeda motor itu diparkir di pinggir jalan sedikit di sebelah timur deker. Untuk menurunkan sepeda motor itu ke dalam parit diperlukan tenaga beberapa orang. Seorang tukang ojek dari kampung Eputobi bertemu dan sempat berbicara dengan dua orang di tempat kejadian perkara. Itu terjadi pada pukul 06.00 waktu setempat, pagi hari Selasa, 31 Juli 2007.

Karena diposisikan, maka posisi jenazah korban dan posisi sepeda motor Yamaha Jupiter itu pun rapih. Semua itu adalah hasil kreasi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Sepandai-pandai dia dkk merekayasa bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas, tetapi tempat kejadian perkara justru berbicara bahwa dia dkknyalah  yang pada Senin malam, 30 Juli 2007, menghabisi orang yang tak bersalah itu.

Dengan melihat gambar terpampang di atas, Mikhael Torangama Kelen dkk tentu ingat akan kesibukan mereka pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, di Blou. Tetapi saya juga yakin bahwa gambar terpampang di atas pun menimbulkan rasa takut yang luar biasa dalam diri mereka, termasuk dalam diri aktor intelektualnya. ***

Jumat, 18 Desember 2009

Sandal Omega berwarna hitam

 

Pada Senin, 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran mengenakan alas kaki berupa sandal merk Omega berwarna hitam. Nomor alas kakinya itu 40. Ketika jenazahnya ditemukan di Blou pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sandal itu tidak ditemukan. Upaya untuk menemukan kembali sandalnya di TKP dan sekitarnya sudah berulangkali dilakukan, tetapi hasilnya nihil. Yang dapat ditemukan adalah beberapa barang bukti seperti kaos dan kain berdarah, kayu pemukul, dan bangku berdarah.

Darah pada beberapa barang bukti tersebut sudah diperiksa di laboratorium forensik Mabes Polri di Denpasar Bali. Hasilnya positif. Artinya, darah pada barang-barang bukti itu sama dengan darah korban. Hasil pemeriksaan ini membenarkan apa yang dikatakan oleh almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran bahwa sebelum diseret dan diletakkan di parit, dia dianiaya di pondok milik pak Stanis Lewoema. Pondok itu berjarak 70 meter dari parit tempat jenazah korban ditemukan pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Tetapi sandal korban tak dapat ditemukan di pondok itu. Hingga kini alas kaki korban raib. Ke mana raibnya sandal korban?

Rupanya ketika disiksa secara kejam di pondok itu, sandal korban sudah dikuasai oleh salah seorang pelaku. Sehari-hari orang ini dekat dengan Mikhael Torangama Kelen. Pada hari Selasa pagi, 31 Juli 2007, orang itu mengenakan sandal merk Omega berwarna hitam. Pada hari-hari sebelumnya dia tidak memiliki sandal dengan merk dan warna tersebut. Setelah banyak orang membicarakan perihal tidak ditemukannya sandal merk Omega, berwarna hitam milik korban, di tempat kejadian perkara, dan ketika pembicaraannya mulai menjurus ke siapa yang memakai sandal itu, sandal itu pun raib dari kaki orang yang menjadi salah satu anggota komplotan Mikhael Torangama Kelen itu. Karena takut ketahuan jejak keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, sandal itu pun dibuangnya.

Raibnya sandal merk Omega berwarna hitam bernomor 40 dari kaki korban atau dari tempat kejadian perkara di Blou, dan kaki siapa yang pernah memakainya menjadi salah satu petunjuk tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Petunjuk tersebut bersesuaian dengan aktivitas-aktivitas orang yang bersangkutan sebelum dan terutama setelah tanggal 30 Juli 2007 sebelum nama empat orang rekannya ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jika anggota-anggota polisi yang datang ke tempat kejadian perkara pada Selasa pagi, 31 Juli 2007 itu memiliki kepekaan profesional, mereka mestinya tidak sampai pada kesimpulan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Apalagi kesimpulan itu dibuat bukan berdasarkan hasil olah TKP dalam arti sesungguhnya. Seorang oknum polisi yang datang ke rumah duka di Eputobi, pada Selasa malam, 31 Juli 2007, membuat kesimpulan semau dia tanpa berusaha menggali informasi sebanyak mungkin dari berbagai pihak. Oknum polisi itu terkenal dekat dengan Mikhael Torangama Kelen dkk. Di kemudian hari oknum polisi itu berusaha melarang seseorang untuk membantu keluarga korban mengungkapkan kasus pembunuhan tersebut.

Untung bahwa di kemudian hari ditemukan adanya bukti-bukti permulaan yang cukup. Maka Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anggota komplotannya ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tentang itu kesaksian-kesaksian yang muncul dalam proses legal formal saling bersesuaian. Dan publik Lewoingu pun tidak beranggapan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng itu menjadi korban salah tangkap. Publik Lewoingu beranggapan bahwa polisi belum bekerja secara optimal sehingga sejumlah orang lain yang juga terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu belum ditetapkan sebagai tersangka. Publik Lewoingu mengetahui bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Publik Lewoingu mengetahui bahwa yang mereka lakukan adalah suatu pembunuhan berencana. Publik Lewoingu mengetahui bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, karena masa penahanan mereka berakhir sedangkan berkas perkara kejahatan mereka belum P21, tetapi keempat orang itu tetap berstatus sebagai tersangka.

Ingat, justru karena raib dari kaki korban dan dari tempat kejadian perkara, maka sandal merk Omega berwarna hitam bernomor 40 itu pun ikut “berbicara” tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur. ***

Sabtu, 12 Desember 2009

Seandainya tak ada mata yang melihat kesibukan para tersangka itu pada Selasa pagi, 31 Juli 2007

 

Seandainya tak ada mata yang melihat kesibukan-kesibukan para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, maka Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dengan mudah bisa menipu publik Lewoingu. Sejak Senin sore hingga Senin malam, 30 Juli 2007, arah pergerakannya dengan sepeda motornya dan pada titik-titik mana dia sempat berada terpantau. Yang juga terpantau adalah aktivitas para tersangka itu pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Pada pagi hari itu, mereka tampil sebagai orang-orang yang sibuk bermondar-mandir Eputobi Blou dengan menggunakan sepeda motor. Ada pula antek-antek Mikhael Torangama Kelen yang pada pagi itu bergerak dari arah barat setelah mereka menghadiri suatu pesta di suatu kampung yang terletak di kaki gunung Lewotobi. Titik temu mereka pagi itu adalah tempat kejadian perkara di Blou.

Keperluan mereka pagi itu ialah memposisikan sepeda motor Yamaha Jupiter yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran dari Lato itu sedemikian rupa agar dapat menimbulkan kesan bahwa kematiannya murni karena kecelakaan lalulintas. Sebelum diposisikan di samping jenazah korban, sepeda motor Yamaha Jupiter itu sempat diparkir di pinggir kebun mente di tepi jalan dekat deker yang di bawahnya jenazah Yoakim Gresitu Ata Maran diletakkan dalam posisi seperti orang sedang tidur. Dua dari mereka bahkan meluncur hingga ke Boru dengan sepeda motor Honda Supra Fit.

Dari Boru Supra Fit itu dipacu dengan kencang kembali ke Blou untuk mencek situasi terbaru di tempat kejadian perkara, lalu ke Eputobi. Pengendaranya mengenakan jaket dan bercelana pendek. Sebelum jam 08.00 pagi hari Selasa itu, pengendara Supra Fit itu ditemukan melintas di ruas jalan di Welo Tobi One’eng. Di jok belakang Supra Fitnya duduk seorang rekannya, yang pada pagi hari itu kepergok muncul dari arah pantai Lewolaga. Saksi mata yang sempat berbicara dengan kedua orang itu menuturkan bahwa dari wajah mereka tampak bahwa kedua orang itu tidak tidur sepanjang malam.  Pada sekitar pukul 08.00 pagi hari Selasa itu, pengendara Supra Fit itu kembali meluncur ke arah Barat bersama pasangannya.

Ketika Kapospol Titehena dan Hodung Werang berada di tempat kejadian perkara Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng muncul secara terang-terangan di tempat kejadian perkara di Blou. Mereka berpura-pura ke Maumere. Kemunculan mereka di tempat kejadian perkara pada jam tersebut itu sesuai dengan skenario yang telah mereka rancang. Akhirnya memang kedua orang itu yang disuruh oleh Kapospol Titehena untuk menyampaikan kabar duka ke Eputobi. Dengan gembira mereka kembali ke Eputobi.

Sekitar pukul 08.00, Selasa, 31 Juli 2007,  salah seorang antek Mikhael Torangama Kelen sudah menyebarkan informasi tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Konga. Padahal jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran baru ditemukan pada pukul 09.00 waktu setempat. Dari mana dia bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalulintas, padahal jenazah korban baru ditemukan oleh Hodung Werang pada pukul 09.00? Jawabannya jelas, yakni dari para pelaku pembunuhan di Blou itu.

Yang nyaris luput dari perhatian publik ialah aktivitas Lambertus Lagawuyo Kumanireng selama berhari-hari setelah tanggal 31 Juli 2007. Dari sore hingga malam dalam hari-hari itu dia sering nonkrong di Blou termasuk di pondok tempat Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya pada Senin malam, 30 Juli 2007. Di pondok itu dia memasang barang-barang tertentu yang dimaksud untuk menutup kasus pembunuhan tersebut. Pada waktu itu, barang-barang yang dia pasang di situ dengan mudah ditemukan di pondok itu. Pada bulan September 2007, dia juga ikut dalam rombongan orang-orang yang pergi ke Riang Kung di desa Dungtana-Lewoingu untuk mengancam dan mengintimidasi Yan Perason yang mereka anggap membantu keluarga korban untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut.

Dari mulut Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun terungkap suatu kebohongan, yaitu bahwa pada Selasa pagi sebelum pukul 09.00 waktu setempat itu dia dan Mikhael Torangama Kelen dari Maumere. Setelah ditanya, masa’ sebelum jam 09.00 kamu dari Maumere, lalu pada sekitar jam 09.00 kamu mau ke Maumere lagi? Pertanyaan itu membuat Lambertus Lagawuyo Kumanireng diam. Di dalam kenyataan mereka berdua tidak ke Maumere baik pada hari Senin, 30 Juli 2007 maupun pada hari Selasa, 31 Juli 2007. Pada Senin Siang, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berada di Lato. Setelah memastikan bahwa calon korbannya itu berada di Lato, dan setelah dua anggota komplotannya ditugaskan untuk membayang-bayangi pergerakan calon korban itu, dia kembali ke Eputobi. Sore hari itu dia meninggalkan kampung Eputobi dengan menggunakan sepeda motornya. Kepergiannya dari kampung Eputobi itu dilepaskan oleh sejumlah pendukungnya. 

Setelah hari agak gelap baru Petrus Naya Koten menyusul ke lokasi yang telah ditetapkan untuk menjalankan tugasnya. Ada saksi yang melihat kehadirannya di sana. Keberadaan Petrus Naya Koten di situ dan sapaan ramahnya terhadap calon korban merupakan intro dari prosesi pembantaian yang diawali dengan pukulan dari si kepala komplotan penjahat dari kampung Eputobi itu. Setelah mendapat pukulan, korban sempat bertanya, “Mengapa kamu memukul saya?” Si kepala komplotan penjahat itu menjawab, “Kamu keras kepala!”

Dari cara-cara yang mereka perlihatkan tampak bagi kita, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu bukanlah orang-orang yang berani. Jika si kepala komplotan penjahat itu seorang yang berani, dia mestinya berani pula menantang Yoakim Gresituli Ata Maran berduel dengannya, satu lawan satu, atau kalau perlu dua dari pihaknya lawan seorang Yoakim Gresituli Ata Maran di siang hari atau di malam hari. Karena dia itu pengecut, maka ditempuhlah cara-cara pengecut pula untuk menghabisi lawan politiknya itu.

Karena pengecut, maka dia dan anggota-anggota komplotannya terus saja memproduksi kebohongan demi kebohongan dengan harapan dirinya dkk dapat lolos dari jerat hukum. Tetapi siapakah yang mau membiarkan mereka itu tidak dihukum? ***

Jumat, 11 Desember 2009

Mereka tidak mewakili masyarakat Lewoingu

 

Masyarakat Lewoingu dengan tegas menentang dan mengutuk kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Masyarakat Lewoingu juga menentang segala macam upaya yang dilakukan oleh siapa pun untuk menghambat atau untuk menghentikan proses hukum atas para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang, untuk sementara, terdiri dari empat orang itu.

Kalau begitu, siapakah mereka yang berunjukrasa di Mapolres Flores Timur pada Jumat, 13 November 2009 itu? Apakah mereka itu mewakili masyarakat Lewoingu?

Mereka terdiri dari para tersangka dan antek-antek mereka. Berapa pun jumlah mereka, mereka itu merupakan kelompok kecil baik dalam skala kampung Eputobi maupun dalam skala Lewoingu secara keseluruhan. Yang perlu ditegaskan di sini ialah bahwa mereka yang berunjukrasa itu tidak mewakili masyarakat Lewoingu baik dari segi adat maupun dari segi sosial politik. Masyarakat adat Lewoingu sejak zaman kuno hingga kini menentang keras penggunaan cara-cara jahat untuk memenuhi kepentingan politik orang atau kelompok tertentu. Maka menurut hukum adat Lewoingu, pelaku kejahatan apalagi pelaku pembunuhan patut diganjari dengan hukuman mati. Demikian pula masyarakat politik demokratis modern pun mengharamkan penggunaan mentode kejahatan untuk mempertahankan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang. Dalam negara hukum demokratis, seorang pembunuh berencana dapat dikenai hukuman mati.

Kiranya jelas bahwa mereka yang beberapa waktu lalu berunjukrasa di Larantuka untuk menuntut SP3 itu mewakili para penjahat yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Meskipun beberapa dari peserta unjukrasa itu terbilang dalam suku Kebele’eng di Lewowerang-Lewoingu, tetapi mereka bukanlah penentu arah kebijakan adat istiadat Lewowerang-Lewoingu. Sehingga mereka tak bisa menjadi representasi dari masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu, apalagi menjadi representasi masyarakat adat Lewoingu secara keseluruhan.

Untuk menyanggah kekuasaan politiknya yang kian membusuk itu, Mikhael Torangama Kelen membentuk suatu masyarakat adat, yang diketuai oleh seseorang yang sama sekali tidak punya otoritas dan wewenang adat, menurut tradisi adat Lewoingu. Masyarakat adat bentukan Mikhael Torangama Kelen berada di luar tatanan adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Yang dia bentuk itu adalah suatu masyarakat adat politis, yang tidak sesuai dengan masyarakat adat hasil kesepakatan para leluhur Lewowerang-Lewoingu, yang bersokogurukan delapan suku.

Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen pada dasarnya telah mengeluarkan dirinya dan sejumlah orang Eputobi dari arena masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Dengan demikian Lewowerang-Lewoingu dengan pandangan hidup dan nilai-nilai luhurnya, dengan Koke Balenya tidak bisa lagi menjadi kerangka referensi aktivitas sosial budaya mereka. Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen dan para pengikutnya perlu mencari kerangka referensi lain bagi aktivitas sosial adat mereka. Apalagi aktivitas sosial adat mereka selama lebih dari dua tahun terakhir lebih dimotivasi oleh kepentingan untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur. Untuk kepentingan itulah Mikhael Torangama Kelen dkk menghalalkan segala macam cara.

Para leluhur Lewowerang-Lewoingu mengharamkan perilaku barbarik seperti yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Hal ini dengan mudah dapat dilacak dari sejarah Lewowerang-Lewoingu atau dari sejarah Lewoingu secara keseluruhan. Hingga kini perilaku barbarik itu ditentang keras di seluruh kawasan Lewoingu. Para penentangnya adalah kelompok mayoritas yang untuk sementara memilih diam guna memberikan kesempatan kepada para aparatur penegak hukum di Flores Timur memproses kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran secara hukum.

Makin lama makin kentara bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan termasuk para pendukung mereka yang merupakan kelompok kecil di Lewoingu itu tidak lagi memiliki kesadaran akan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini nampak jelas dari kebanggaan akan keberhasilan mereka untuk membunuh salah seorang lawan politik mereka, dan dari segala upaya mereka untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu di Blou.

Dari orang-orang semacam itu sulit bagi kita untuk mengharapkan adanya kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui secara apa adanya perbuatan jahat yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Tanpa sungkan-sungkan sedikit pun, mereka itu bisa mencatut nama Tuhan dan nama lewotana (kampung halaman) untuk membungkus perbuatan jahat mereka. “Mana ada maling yang mengakui dirinya maling? Kalau maling teriak maling, itu ya.” Begitu komentar orang-orang yang telah berpengalaman berurusan dengan maling. 

Jika proses hukum atas para tersangka itu terus diulur-ulur, maka para penjahat itu akan menemukan ruang yang lebih leluasa untuk terus bereksperimen dengan segala macam jurus kebohongan guna memutarbalikkan fakta-fakta hukum. Itu kekhawatiran yang sejak lama muncul dalam benak kelompok mayoritas di Lewoingu. Keseriusan aparatur penegak hukum, terutama Kapolres Flores Timur dan para anggota polisi yang berada dalam lingkup koordinasinya untuk memberantas kejahatan itu hingga tuntas sangat diharapkan oleh mayoritas masyarakat Lewoingu. Selama ini kelompok mayoritas berusaha sabar dan diam. Tetapi sabar dan diam itu tidak bisa diartikan sebagai menyetujui berlarut-larutnya proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. ***

Selasa, 08 Desember 2009

Tanah itu milik Ata Maran, bukan milik anak-anak almarhum guru Dalu Kelen

 

Tanah di depan rumah bapak Pius Koten di kampung Eputobi itu punya tuan. Dan tuannya adalah suku Ata Maran. Almarhum guru Dalu Kelen dan anak-anaknya bukan tuan atas tanah tersebut. Bahwa almarhum guru Dalu Kelen dan keluarganya pernah tinggal di situ, itu karena di atas tanah itu pernah dibangun rumah dinas untuk guru SDK Eputobi. Di rumah dinas itu pernah tinggal almarhum pak guru Ciku de Ornay, pak guru Stanis Lewoema, kemudian almarhum guru Dalu Kelen dan keluarganya. Sebelum dibangun rumah dinas guru, di situ dulu pernah dibangun gereja.

Sebelum meninggal almarhum guru Dalu Kelen pernah membangun rumah pribadi di atas tanah yang diperuntukkan bagi rumah dinas guru SDK Eputobi. Tetapi pembangunan rumahnya itu dia lakukan tanpa izin dari pemerintah desa Lewoingu. Pemerintah desa Lewoingu pada waktu itu tidak mengeluarkan izin pembangunannya karena tanah itu bukan milik guru Dalu Kelen. Tetapi rumah pribadi tetap saja dibangun di atas tanah yang bukan milik pribadinya itu. Ketika hendak membangun rumah pribadinya, guru Dalu Kelen pun tidak pernah meminta izin kepada yang punya tanah. Dia bertindak seakan-akan tanah itu milik pribadinya.

Setelah meninggal, jenazah Bei Kelen, adik kandung dari mantan kepala SDK Eputobi itu dikuburkan di tanah milik suku Ata Maran itu. Padahal di Riang Duli telah disediakan pemakaman umum. Setelah meninggal, jenazah guru Dalu Kelen pun dikuburkan di situ. Demikian pula dengan jenazah isterinya. Tiga jenazah ditanamkan di dalam tanah itu tanpa permisi sedikit pun pada pemilik tanah.

Siapa pun anak dari almarhum dari guru Dalu Kelen tidak berhak atas tanah itu. Tanah itu tetap milik suku Ata Maran. Suku Ata Maran telah menyediakan bidang tanah lain untuk pembangunan rumah dinas guru SDK Eputobi. Maka tanah itu tak perlu lagi dijadikan tanah untuk rumah dinas guru. Jika ada di antara anak-anak dari almarhum guru Dalu Kelen yang belakangan ini berusaha membangun rumah pribadi di tanah itu, yang bersangkutan akan menanggung risiko dari keberaniannya untuk menyerobot tanah yang bukan hak miliknya itu. Tidak akan ada ampun bagi siapa pun yang berani menyerobot tanah milik Ata Maran itu. 

Anak-anak almarhum guru Dalu Kelen harus segera membongkar tiga kubur yang dibangun di tanah itu untuk dipindahkan ke tempat lain yang merupakan milik pribadi mereka. Upaya pembangunan rumah yang sedang dilakukan oleh salah seorang anak dari mantan kepala SDK Eputobi itu harus segera dihentikan. Sudah cukup selama ini kalian numpang tinggal di tanah milik suku Ata Maran. ***

Seandainya hanya Petrus Naya Koten yang menjadi saksi

 

Seandainya hanya seorang Petrus Naya Koten yang menyaksikan peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, banyak orang dengan mudah dapat dikadalinya alias dikibulinya. Tetapi, karena ada saksi yang menyaksikan keberadaannya di tempat kejadian perkara pada malam hari itu, maka kebohongannya langsung kentara ketika dia berusaha menarik kembali kesaksiannya tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Selain itu masih terdapat saksi lain yang menyaksikan keberadaan Yoka Kumanireng bersama beberapa pria (yang tidak terindetifikasi rupanya, karena gelap) di tempat kejadian perkara.

Kesaksian Petrus Naya Koten bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran bersesuaian dengan kesaksian dari saksi yang secara jelas melihat keberadaannya bersama empat pria lain di tempat kejadian perkara. Kesaksian mereka berdua bersesuaian dengan kesaksian saksi yang melihat keberadaan Yoka Kumanireng dan beberapa pria di tempat kejadian perkara di Blou.

Setelah melakukan pembunuhan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu juga sepeda motor berplat nomor DH 3536 WA milik Laurens Dalu Kumanireng dipergoki di parkir di suatu tempat di Doronuro. Di situ dia berpesta tuak bersama seorang rekan “seperjuangannya” dari Eputobi dan teman-teman mereka dari Lewolaga. Pada malam itu, Yoka Kumanireng bersama kakaknya mengendarai sepeda motor GL berwarna hitam.

Dua minggu setelah tanggal 31 Juli 2007, Laurens Dalu Kumanireng berkeinginan untuk menjual sepeda motornya agar dia dapat memperoleh biaya untuk pergi merantau. Tetapi realisasi penjualan sepeda motornya itu tertunda. Di kemudian hari baru keinginan itu direalisasikan. Uang dari penjualan sepeda motornya itu dipakai untuk biaya perjalanannya ke Jakarta. Selama berada di Jakarta hatinya diliputi ketakutan demi ketakutan. Lalu dia pulang ke Eputobi. 

Lalu di mana Petrus Naya Koten berada setelah ikut berjuang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran pada malam itu? Keberadaan dia malam itu tidak jelas. Tetapi sebelum pukul 07.00 WITA hari Selasa, 31 Juli 2007, dia sudah berada di kantornya, yaitu di SMP Negeri Boru. Pokoknya, ketika kepala sekolah SMP Negeri Boru tiba, Petrus Naya Koten sudah berada di tata usaha sekolah itu. Biasanya Petrus Naya Koten tiba belakangan daripada tibanya kepala sekolah tersebut. Terdapat indikasi yang jelas, bahwa pagi hari itu dia diantar dengan sepeda motor Supra Fit oleh salah seorang tersangka ke SMP Negeri Boru. Menurut seorang saksi, si pengantarnya itu mengenakan celana pendek dan jaket, yang dikenakannya sejak Senin malam, 30 Juli 2007. Sekitar pukul 07.00 pagi hari Selasa, 31 Juli 2007, si pengantar itu kepergok melintas di Hokeng dari arah Boru.

Pada sekitar pukul 13.00 WITA Selasa, 31 Juli 2007, Petrus Naya Koten kembali muncul di rumahnya di kampung Eputobi. Dalam perjalanan pulang dari kantornya di Boru ke Eputobi dia sempat bersama dengan beberapa orang yang mau melayat jenazah korban. Mereka naik  kendaraan umum yang sama. Tetapi kepada polisi Petrus Naya Koten pernah menjelaskan bahwa pada siang hari itu dia pulang dari kebunnya. Padahal dia tidak punya kebun. Jelas dia berbohong. Kebohongan itu dia lakukan setelah dia berhasil dipengaruhi untuk menarik kembali keterangan di BAP pertamanya.

Sejak malam kejadian perkara itu, gerak gerik dan mulut Petrus Naya Koten diawasi oleh sesama rekan “seperjuangannya” di Blou. Soalnya, mereka takut kalau-kalau Petrus Naya Koten kelepasan lidah lalu membuka rahasia Blou. Sebagai kamuflase, Petrus Naya Koten dibiarkan menjalin hubungan baik dengan pihak keluarga korban, terutama selama dua minggu di bulan Oktober 2007 sewaktu saya berada di kampung Eputobi untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas perkara pembunuhan di Blou itu. Tetapi sandiwara yang dimainkannya itu tak berhasil.

Sepuluh hari setelah saya meninggalkan kampung Eputobi untuk kembali ke Jakarta, Petrus Naya Koten dengan mantap kembali ke pelukan erat Mikhael Torangama Kelen. Sejak hari itu juga dia tak mau lagi berkontak dengan pihak keluarga korban. Padahal sebelumnya dia sering berkeluh kesah kepada saya tentang kesulitan mencari uang setoran untuk membayar cicilan sepeda motornya kepada dealer di Maumere. Setelah saya meninggalkan kampung Eputobi, dia dan isterinya sempat mencatut nama saya untuk meminta uang kepada keluarga korban termasuk kepada isteri korban.  Selama saya berada di kampung Eputobi, dia tidak berani meminta-minta uang semacam itu. Apa yang dia dan isterinya lakukan itu merupakan suatu bentuk pemerasan, terutama pemerasan terhadap isteri korban yang pada waktu itu masih dalam keadaan duka.

Dia baru bertemu lagi dengan salah seorang keluarga korban pada tanggal 30 April 2008 di Mapolres Flores Timur. Dalam pertemuan yang bersifat kekeluargaan yang berlangsung sekitar satu jam itu, dia mengungkapkan kembali kesaksiannya yang sudah disampaikan dengan sukarela kepada penyidik sebanyak lebih dari satu kali. Dalam pertemuan itu dia menegaskan bahwa yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran adalah pembunuhan yang dilakukan oleh empat tersangka itu. Dan dia berharap agar kasus pembunuhan itu cepat ditangani oleh aparat kepolisian agar hatinya tidak lagi dibebani oleh perkara kejahatan itu.

BAPnya ditandatanganinya di hadapan pengacaranya. Tidak ada orang yang memaksa dia untuk memberikan kesaksian bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran. Tidak ada pula orang yang memaksa dia untuk menandatangani BAP. Dalam proses penyidikan dia pernah dikonfrontir dengan keempat tersangka. Meskipun keempat tersangka berusaha menyangkal dan berusaha pula untuk menekan dia untuk menarik kembali keterangannya, dia tetap berpegang pada kesaksiannya tersebut di atas. Selama berada di Polda NTT pun, dia berkata bahwa dia tidak mau menarik kembali keterangannya yang sudah disampaikannya kepada penyidik.

Karena ngotot menekan Petrus Naya Koten, Mikhael Torangama Kelen pernah disodori alat-alat tulis untuk merumuskan sendiri surat pernyataan di atas meterai bahwa dirinya dan ketiga kakak beradik kandung itu tidak melakukan pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Sebelumnya, keempat tersangka itu disarankan untuk berdoa terlebih dahulu agar mereka dapat membuat pernyataan secara jujur. Tetapi hingga usai waktu yang disediakan baginya untuk merumuskan pernyataan dimaksud, si Mikhael Torangama Kelen tidak mampu merumuskan sepatah kata pun pada kertas yang telah disediakan itu.

Setelah kembali dari Kupang dan setelah menandatangani BAP, Petrus Naya Koten mulai dipengaruhi untuk menarik kembali kesaksiannya yang sudah di BAP-kan itu. Dia menandatangani pernyataan penarikan kembali keterangannya itu di atas meterai. Dan orang bernama San Kweng itu yang membawa surat pernyataannya itu kepada Gopal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Flores Timur. Heheee, siapakah gerangan yang berada di balik surat pernyataan penarikan kembali keterangan Petrus Naya Koten itu?

Sebelumnya Andreas Boli Kelen yang pada waktu itu masih menjabat sebagai kepala dinas pendidikan Flores Timur berusaha membungkam mulut Petrus Naya Koten melalui SMS. Petrus Naya Koten sendiri yang memperlihatkan isi SMS itu kepada penyidik dari Polda NTT. Untuk apa upaya kotor semacam itu coba dilakukan, kalau benar bahwa Mikhael Torangama Kelen bukan menjadi salah satu pelaku pembunuhan di Blou itu? Di hari-hari awal pemrosesan perkara itu di Mapolres Flores Timur ada yang berusaha menyuap penyidik agar prosesnya dihentikan. Upaya penyuapan itu coba dilakukan melalui seorang oknum polisi. Tetapi upaya itu tidak berhasil dilakukan, karena pihak yang diincar untuk disuap itu menolak disuap. Itulah kehebatan anggota-anggota polisi RI yang mau bekerja berdasarkan standar-standar etika profesi mereka.

Upaya-upaya anggota-anggota polisi yang tidak mau disuap itu untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut mendapat resistensi sejak awal hingga kini oleh oknum-oknum polisi tertentu. Padahal sebagai sesama anggota polisi dari negara RI, mereka mestinya bahu membahu, bekerja sama guna membongkar kasus kejahatan itu hingga tuntas dan menyeret para pelakunya ke  pengadilan. Tetapi seperti itulah kenyataan yang terjadi di lapangan.

Pada bagian akhir dari tulisan ini saya ingin mengatakan begini: Kebohongan Petrus Naya Koten itu kebohongan orang yang secara polos mau berbohong. Hanya orang-orang bodoh yang mau dikadali oleh kebohongan semacam itu. Dan karena saking pintarnya, orang seperti Marsel Sani Kelen pun mau memposisikan diri sebagai amplifier dari kebohongan Petrus Naya Koten itu.

Hai Marsel Sani Kelen beranikah anda untuk dikonfrontir dengan polisi Marsel Hale dan polisi Buang Sine yang namanya anda sebut di blog anda itu? Saya yakin anda tidak berani. Mikhael Torangama Kelen saja tidak berani membuat surat pernyataan bahwa dirinya dan tiga anggota komplotannya itu bukan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, apalagi anda yang tidak tahu apa-apa tentang seluk beluk proses penanganan perkara kejahatan tersebut tapi banyak bicara. ***

Minggu, 06 Desember 2009

Jangan hanya bicara tentang praperadilan!

 

Setelah mundur dari ring polemik sejarah Lewoingu, Marselinus Sani Kelen kini coba bertarung di ring perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Dalam suatu artikel berjudul “PRA-PERADILAN Patutkah Penahanan Mikhael Torang Kelen cs dipraperadilkan” dia mengatakan bahwa pihak tersangka dapat mempraperadilkan aparat kepolisian Polres Flores Timur berdasarkan sejumlah alasan yang dapat dibaca dalam http://marsel-sani-kelen.blogspot.com.

Alasan-alasan yang dikemukakan dalam situs pribadinya itu patut disimak dengan teliti oleh Kapolres Flores Timur, oleh Kasat Reskrim Polres Flores Timur, oleh tim penyidik Polres Flores Timur, oleh Kapolda NTT, oleh Direktur Reskrim Polda NTT, dan oleh polisi Marsel dan polisi Buang. Dengan menyimak isi tulisannya itu secara cermat, kami yakin para polisi yang bersangkutan dengan mudah menemukan adanya ketidaksesuaian antara sejumlah pernyataannya dengan fakta-fakta yang berkaitan dengan pemrosesan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jika pernyataan-pernyataannya yang mengandung tuduhan itu benar adanya, kami harap dia bersedia mengambil langkah-langkah konkret untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur. Menempuh langkah konkret itu lebih baik bagi dia dan bagi para tersangka yang dia bela. Bukankah di pengadilanlah tempat dia dapat membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhannya itu?

Jangan anda hanya bicara tentang praperadilan hai Marsel Sani Kelen. Coba tunjukkan keberanianmu sebagai pembela para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu dengan menggugat Polres Flores Timur melalui mekanisme praperadilan seperti yang anda bicarakan dalam tulisan anda itu. Kalau anda sendiri tidak punya nyali untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur, suruh saja si Mikhael Torangama Kelen untuk melakukannya. Masa’ sebagai seorang kepala desa, dia tidak punya nyali untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur sebagai salah satu institusi penegak hukum? Bukankah selama ini dia sering berteriak ke sana ke mari bahwa tanganya bersih dari darah orang yang tidak bersalah itu? ***

Jumat, 04 Desember 2009

Ke Istana Ponsiri Larantuka mereka coba mengadu nasib

 

Rasa cemas kian menghantui hati para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dan para pendukung setia mereka setelah mereka kian terjepit oleh fakta bahwa proses hukum atas perkara pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen dkk itu tak dapat dihentikan. Namun karena masih ada celah waktu sebelum berkas perkara pembunuhan itu dinyatakan P21, maka mereka masih coba mengadu nasib. Ke mana mereka berusaha mengadu nasib?

Mereka mengirim utusan mereka untuk bersafari ke Lewotobi yang terletak di kaki gunung Lewotobi, ke Boganatar dan Hikong di Kabupaten Sika. Lalu beberapa di antara mereka pun coba mengadu nasib ke Istana Ponsiri di kota Larantuka. Tetapi safari mereka itu pun berbuntut pada kekecewaan, karena tak ada satu pun pihak yang ingin mereka mintakan bantuan itu bersedia membantu mereka.

Safari mereka ke Lewotobi bertujuan untuk menemui seorang orang “pintar.” Tetapi  upaya mereka itu tidak membuahkan hasil, karena orang “pintar” itu memang pintar. Kepintarannya diperlihatkan dengan ketegasan sikapnya untuk menolak bekerjasama dengan para tersangka itu. Safari ke Boganatar dan Hikong pun menemui jalan buntu. Rupanya makin lama makin banyak orang yang menyadari bahwa kejahatan itu tak patut dibenarkan dan dibela. Dengan menggunakan sedikit saja akal sehat, orang bisa sampai pada kesadaran bahwa membela kejahatan merupakan suatu perbuatan jahat.

Karena upaya mereka mencari balabantuan dari tempat lain tak membuahkan hasil, maka mereka pun nekad mengayunkan langkah kaki mereka menuju Istana Raja Larantuka di Ponsiri. Mereka ingin menghadiahi raja seekor ayam jago. Ayam jago pun pernah mereka hadiahkan kepada oknum aparatur penegak hukum tertentu di Larantuka.

Ketika mereka tiba di Istana Ponsiri, sang putera mahkota kerajaan Larantuka berada di Kota. Karena itu tamu-tamu tak diundang itu disuruh menunggu. Karena merasa bahwa kedatangan mereka diterima, mereka mengira bahwa permintaan mereka akan dikabulkan. Tetapi setelah yang punya istana secara tegas menolak permintaan mereka, mereka pun mundur teratur. Mereka pulang ke Eputobi dengan rasa kecewa yang mendalam.

Apa pun upaya mereka untuk memobilisasi dukungan untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou itu akan sia-sia belaka. Orang-orang berakal sehat tak akan pernah mau menjadi pahlawan bagi mereka. ***

Kamis, 26 November 2009

Mengamati respons masyarakat terhadap empat kasus pembunuhan sadis di NTT

 

Semangat untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, masih coba dipupuk oleh sejumlah orang Eputobi di Flores Timur. Upaya semacam itu sulit ditemukan padanannya dalam kehidupan masyarakat beradab di mana pun di dunia ini.

Tak perlu anda mencari pembandingnya jauh-jauh ke luar kawasan NTT. Di NTT dalam kurun waktu dua tahun yaitu 2007-2009 terjadi empat pembunuhan sadis. Pertama, pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Flores Timur pada Senin malam, 30 Juli 2007. Kedua, pembunuhan atas Paulus Usnaat di Kefa TTU pada tanggal 2 Juni 2008. Ketiga, pembunuhan atas Romo Faustinus Sega Pr di Olakile, Nagekeo, Flores pada bulan Oktober 2009. Jenazah korban ditemukan pada Senin, 13 Oktober 2008. Keempat, pembunuhan atas Yohakim Langoday pada 19 Mei 2009 di Lewoleba, Lembata.

Respons masyarakat setempat terhadap pembunuhan atas Romo Faustinus Sega Pr jelas. Masyarakat menuntut polisi untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan tersebut. 2000 orang turun ke jalan. Mereka mendesak aparat kepolisian setempat menyelidiki dan menyidik perkara pembunuhan tersebut. Kerjasama antara penyidik dari Polda NTT dan Polres Nagekeo membuahkan hasil. Setelah proses penanganannya menempuh jalan yang cukup berliku, berkas perkara pembunuhan itu kini memperoleh status P21. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara tersebut, tidak terjadi aksi unjukrasa dari pihak tersangka untuk menuntut polisi menerbitkan SP3.

Selain perkara Nagekeo, perkara pembunuhan atas Yohakim Langoday pun kini sudah berhasil memperoleh status P21. Terbongkarnya kasus pembunuhan tersebut pun terjadi berkat kerjasama yang baik antara penyidik dari Polda NTT dan Polres Lembata. Dukungan masyarakat setempat atas pengungkapan kasus pembunuhan tersebut jelas. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara tersebut tidak terjadi aksi unjukrasa dari pihak tersangka untuk meminta SP3. 

Dua perkara pembunuhan yang hingga kini belum berhasil memperoleh status P21 adalah perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Flores Timur dan perkara pembunuhan atas Paulus Usnaat di Kefa, TTU. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara pembunuhan di Kefa itu tidak terjadi aksi unjukrasa oleh pihak tersangka untuk meminta SP3.  Masyarakat setempat justeru mendukung polisi untuk mengungkap kasus tersebut.

Kerjasama penyidik Polda NTT dan Polres Flores Timur berhasil mengungkap kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Empat orang yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Flores Timur. Karena berkas perkara tersebut belum memperoleh status P21, sedangkan masa penahanan para tersangka telah habis, maka empat tersangka itu pun dikeluarkan dari sel. Penyidik telah berusaha melengkapi berkas perkara tersebut dengan alat-alat bukti yang cukup, tetapi Jaksa Penuntut Umum (JPU), Gerson A. Saudila SH masih juga mengembalikannya ke penyidik. 

Maklum, selama pemrosesan perkara pembunuhan tersebut, pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran beberapa kali berhasil melobi Gerson A. Saudila. Salah seorang yang sibuk melobi si JPU adalah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Jika seorang JPU bersedia menemui orang-orang dari pihak tersangka, sebanyak beberapa kali, mungkinkah dia bisa memberikan penilaian yang objektif atas berkas perkara pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang tersangka itu? 

Karena merasa dibantu oleh oknum-oknum aparat penegak hukum tertentu, maka para tersangka pun berusaha tampil percaya diri seakan-akan bukan mereka yang telah menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Demikian pula halnya dengan para pendukung mereka yang terdiri dari orang-orang yang gampang dimanipulasi untuk mendukung upaya para tersangka untuk menutup-nutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan. Mereka inilah yang dimanfaatkan oleh para tersangka untuk melakukan aksi unjukrasa guna menuntut SP3. Upaya pemanfaatan tersebut dapat terjadi mengingat kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah orang yang oleh Bupati Kabupaten Flores Timur direstui menjadi kepala desa Lewoingu. Sebagai kepala desa, si tersangka yang satu itu dengan mudah menggunakan kaki tangan dan berbagai sumber daya politik yang ada untuk mengerahkan para pendukungnya untuk menuntut SP3.

Tetapi mereka lupa bahwa terdapat bukti-bukti hukum yang memadai bagi pengajuan perkara pembunuhan tersebut ke Pengadilan Negeri Larantuka. Bahwa hingga kini berkas perkara tersebut belum diajukan ke pengadilan, itu bukan karena penyidik belum mampu melengkapinya dengan alat-alat bukti yang cukup, melainkan karena penilaian aneh si JPU atas isi berkas tersebut. Sebelum mengembalikannya untuk kelima kalinya ke penyidik, berkas perkara pembunuhan itu dipendam selama dua bulan lebih di lacinya. Jelas bahwa pemendaman selama dua bulan lebih itu bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku di negara ini.

Yang mendukung para tersangka menuntut SP3 hanya segelintir orang, yang karena tidak tahu seluk beluk proses hukum yang sedang berjalan, maka gampang dimanipulasi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Selama ini, daya kritis-rasional mereka telah ditumpulkan oleh anggapan yang salah yang mengatakan bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang berjasa dalam mengadakan raskin dan blt. Maka tak mengherankan bila mereka itu pun dengan mudah dapat disesatkan dengan berbagai informasi yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang berkaitan dengan pemrosesan perkara pembunuhan tersebut. Mereka telah dijadikan pion-pion yang dimainkan dan dapat dikorbankan demi kepentingan si pecatur.

Untung bahwa mayoritas masyarakat Lewoingu tidak mau terkecoh oleh politik kotor si kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Mayoritas masyarakat Lewoingu yang mencakup beberapa desa itu mendukung upaya Kapolres Flores Timur dan para penyidik untuk menyeret Mikhael Torangama Kelen dkk ke Pengadilan Negeri Larantuka. Kelompok mayoritas di Lewoingu menentang keras kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk dan mengutuk dengan keras pula upaya-upaya para penjahat itu untuk menutup-nutupi perbuatan jahat mereka. Selama ini kelompok mayoritas berusaha menahan amarah, karena mereka masih berharap bahwa aparat kepolisian setempat dapat menyeret para tersangka itu ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Selama ini masyarakat sudah cukup dikecewakan dengan metode penanganan berlarut-larut atas suatu perkara pembunuhan yang demikian jelas ujung pangkalnya itu.

Perlu juga diketahui bahwa berbagai kalangan di luar kawasan Lewoingu pun mengutuk kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu. Sejak awal hingga kini mereka memberikan dukungan moral kepada pihak keluarga korban dan berharap para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dapat diseret ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. ***

Sunyi sepi masih menyelimuti kubu tersangka

 

Sunyi sepi masih menyelimuti kubu timur, kubunya Mikhael Torangama Kelen. Ya, setelah menggelar aksi unjukrasa yang sia-sia di Mapolres Flores Timur beberapa waktu lalu, suasana di kubu tersebut pun kontan berubah. Mereka yang biasa overacting belakangan ini menjadi serba pendiam. Tampaknya rasa ketar ketir masih saja menghantui mereka. Entah sampai kapan suasana semacam itu mencekam rasa mereka. Yang jelas hati dan rasa mereka tersayat oleh kenyataan bahwa penetapan, penangkapan, dan penahanan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran didasari oleh alasan-alasan hukum yang memadai. Maka siapa pun yang berusaha membatalkan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut pada dasarnya melakukan kejahatan.

Selama ini, para tersangka dan para pendukung mereka telah menempuh berbagai cara untuk menghentikan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam rangka itu mereka berusaha mendekati dan berkooperasi dengan oknum-oknum polisi tertentu. Tanpa sungkan-sungkan antek-antek Mikhael Torangama Kelen pun melobi JPU yang menangani perkara pembunuhan tersebut. Mereka juga menuduh orang-orang lain sebagai pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tidak hanya itu, mereka juga berusaha mengkriminalisasi keluarga korban. Upaya mereka itu bergema pula dalam sikap dan suara oknum-oknum polisi tertentu dalam menyikapi perkara pembunuhan tersebut. Oknum-oknum polisi tertentu pun pernah berusaha menggertak pihak keluarga korban. Melalui upaya tersebut, mereka berharap keluarga korban dapat ditekan. Mereka lupa bahwa keluarga korban tak akan bisa digertak oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Bagi kami, maju terus pantang mundur demi kebenaran dan keadilan merupakan harga yang mustahil ditawar-tawar lagi. Seperti apa lagu komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, itu tak berpengaruh terhadap langkah-langkah perjuangan kami. Siapa pun dan pihak mana pun yang mereka libatkan dalam upaya mereka untuk  menutup-menutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan, itu akan sia-sia.

Dan jangan lupa bahwa penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen pun dapat diproses secara hukum. Ingatlah baik-baik bahwa penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu merupakan suatu fakta. Dua kasus kejahatan itu akan menjerat Mikhael Torangama Kelen. Antek-anteknya yang lain pun dapat digugat berdasarkan elemen-elemen kriminal yang selama ini mereka sebarluaskan. 

Karena lambannya gerak proses penanganan perkara kejahatan yang mereka lakukan, selama ini para tersangka dan antek-antek mereka sering memamerkan taring dan membusungkan dada seraya terus berusaha memutarbalikkan fakta-fakta. Mereka merasa berada di atas angin. Mereka merasa bahwa mereka bisa menggagahi hukum. Tetapi setelah mengetahui bahwa berkas perkara pembunuhan di Nagekeo dan di Lewoleba sudah berstatus P21, Mikhael Torangama Kelen dan antek-anteknya pun merasa ketar ketir. Mereka diselimuti rasa takut. Dalam keadaan semacam itu, mereka masih coba bertaruh melalui aksi unjukrasa. Tapi hasil dari aksi unjukrasa itu adalah kekecewaan dan frustrasi. Maka tak mengherankan bila sunyi sepi pun menyelimuti kubu para tersangka itu, hingga kini.***

Kamis, 19 November 2009

Setelah berunjukrasa, mereka kecewa dan frustrasi

 

Ketika hendak berangkat ke Larantuka, pada Jumat pagi, 13 November 2009, mereka tampak ceria. Mereka merasa yakin bahwa tuntutan SP3 yang mereka usung akan berhasil dipenuhi oleh Kapolres Flores Timur. Mereka adalah para tersangka dan para kaki tangan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu. Pada hari itu mereka mengenakan kostum hitam-hitam, sesuai dengan kelamnya hati mereka selama ini.

Di Mapolres Flores Timur, mereka menggelar aksi unjukrasa. Di situ, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan San Kweng angkat bicara. Di situ, Mikhael Torangama Kelen “menyanyikan” lagu lamanya bahwa tangannya bersih, dirinya bersih. Di situ, lagi-lagi dia mencatut nama lewotana untuk menutup-nutupi tangannya yang berlumuran darah, darah orang tidak bersalah, yang dihabisinya di Blou, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Di situ, dia memamerkan diri sebagai orang yang semakin tidak tahu diri.

Di situ, San Kweng pun lagi-lagi tampil sebagai seorang pembela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Di situ dia pun “menyanyikan” lagu kambing hitam, bahwa pembunuh sesungguhnya masih bebas berkeliaran. Dia menuduh penyidik (penyidik dari Polda NTT) melakukan salah tangkap. Ya, setelah lama tak bersuara, dia muncul kembali ke permukaan. Tetapi di Mapolres Flores Timur pada hari itu, dia hanya asbun alias asal bunyi. Dengan asbunnya itu dia ingin tampil sebagai pahlawan bagi para tersangka.

Yang masih bebas berkeliaran adalah empat tersangka, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng plus beberapa orang kaki tangan Mikhael Torangama Kelen, yang pada malam kejadian itu berada di TKP dan sekitarnya untuk mensukseskan pelaksanaan proyek kejahatan yang telah dirancang melalui serangkaian rapat. Beberapa di antara mereka yang dimaksud itu berpartisipasi aktif dalam aksi unjukrasa tersebut.

Apa hasil unjukrasa yang mereka gelar di Mapolres Flores Timur itu? Hasilnya nihil. Setelah mengalami sendiri apa yang sesungguhnya terjadi dalam aksi unjukrasa itu, para pengunjukrasa pulang dengan rasa kecewa berat. Dengan wajah letih lesu loyo tanpa semangat mereka kembali ke Eputobi pada hari Jumat sore minggu yang lalu. Tak ada senyum yang mengembang di bibir mereka. Setelah kembali ke Eputobi, keluh kesah dan rasa kecewa pun diungkapkan satu per satu dari mulut sejumlah peserta aksi unjukrasa. Di antara mereka ada yang secara tegas mengatakan kecewa dengan aksi unjukrasa yang tidak berguna itu. Lalu di antara sesama peserta aksi unjukrasa pun ada yang saling berkelahi hanya karena kata-kata yang dianggap memalukan. Rasa frustrasi pun menyergap mereka setelah mereka menggelar aksi unjukrasa di Larantuka.

Suasana muram di kubu Mikhael Torangama Kelen terus menjalar hingga ke hari Sabtu dan Minggu. Jumat malam, 13/11/2009 rasa getir dan ketar ketir benar-benar meresapi seluruh diri mereka. Karena masih dilanda rasa kecewa berat (frustrasi), kerja bakti pada hari Sabtu 14/11/2009 pun dibatalkan. Ibadat hari Minggu, 15/11/2009 pun hanya dihadiri oleh para umat dari kubu barat. Dalam dua hari itu, suara mereka raib seperti ditelan bumi. Padahal biasanya suara mereka itu nyaring terdengar ke mana-mana. Selama ini, dengan suara, mereka sering menyindir dan meledek para lawan politik mereka dari kelompok barat.

Para warga kelompok “jabar” yang selama ini lebih banyak memilih jalan diam hanya menjadi penonton setia semua keanehan perilaku para pembela kejahatan itu. ***

Sabtu, 14 November 2009

Sejumlah orang berkostum hitam berunjukrasa di depan Mapolres Flores Timur

 

Rasa prihatin kembali timbul di sejumlah kalangan di kota Larantuka, terutama di kalangan yang selama ini berharap agar para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu diseret ke pengadilan, setelah mereka mengetahui adanya aksi unjukrasa untuk menuntut SP3 atas perkara pembunuhan atas orang yang tidak bersalah itu. Selama ini mereka dengan setia memberikan dukungan moral kepada pihak keluarga korban untuk maju terus pantang mundur memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Selama ini, hati nurani mereka berkata bahwa pihak keluarga korban telah diperlakukan secara tidak adil oleh oknum-oknum aparatur penegak hukum tertentu.

Kepada mereka yang berkomentar tentang aksi unjukrasa yang dilakukan oleh pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresitu Ata Maran, pada hari Jumat, 13/11/2009 itu, pihak keluarga korban mengatakan bahwa, “Biar saja mereka itu berunjukrasa. Toh unjukrasa yang mereka gelar itu tidak berpengaruh atas upaya polri dalam menjalankan tugas mereka sebagai aparatur penegak hukum. Polri terus berupaya untuk membawa kasus pembunuhan itu ke pengadilan negeri Larantuka.” 

Di kampung Eputobi hingga tadi malam (Jumat malam, 13/11/2009) timbul pula pertanyaan-pertanyaan dari kubu barat tentang di mana unjukrasa itu digelar dan apa tuntutan para pengunjukrasa itu. Pertanyaan-pertanyaan mereka sudah dijawab secara jelas. Mereka perlu memperoleh informasi yang jelas dan benar agar mereka tidak dikecoh oleh berbagai informasi menyesatkan yang dengan sengaja dialirkan oleh pihak tertentu. Apalagi upaya penyesatan masih saja terjadi hingga kini.

Selama ini pihak barat di kampung itu sudah mengambil sikap yang jelas, yaitu tidak bersekutu dengan para tersangka dan tidak mau ikut-ikutan menjadi pembela kejahatan. Bersama keluarga korban, mereka pun berusaha memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan tanpa kenal lelah. Beberapa di antara mereka malah sempat dijadikan kambing hitam oleh pihak tersangka dan karena itu mereka pun dijadikan objek kegiatan spionase yang dilakukan oleh pihak tertentu.  Aktivitas spionase itu dilakukan oleh sejumlah orang yang berusaha sekuat tenaga untuk mengganjal proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam rangka itu, mereka pun menggunakan jasa praktisi ilmu hitam (dukun) tertentu. Berdasarkan petunjuk si praktisi ilmu hitam, beberapa di antara mereka meletakkan barang-barang hitam di makam korban di Riang Duli, dengan maksud dapat menutup jalan ke arah pengungkapan hingga tuntas perkara pembunuhan tersebut.

Tapi siapa yang dapat menutup jalan yang mustahil dapat ditutup itu? Sehitam apa pun dukun yang mereka andalkan, ia tak sanggup menutup jalan bagi pengungkapan perkara pembunuhan tersebut. Sehitam apa pun warna kostum yang dikenakan oleh para pengunjukrasa yang beraksi di depan Mapolres Flores Timur pada Jumat, 13 November 2009, mereka tidak akan mampu menutup kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk itu. ***

Jumat, 13 November 2009

Menunggu laporan penggunaan dana pembangunan desa Lewoingu

 

Catatan penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen di masa lalu secara rapih dibuat oleh kubu oposisi di desa tersebut. Catatan itu menuturkan bahwa orang yang memerintah di desa Lewoingu pada periode 2000-2006 dan kebablasan hingga 2007 itu mampu menggunakan uang desa Lewoingu semaunya sendiri. Mungkin karena itu, maka orang-orang di sekitarnya pun pernah ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Ketika kubu oposisi di desa itu mempersoalkannya, Mikhael Torangama Kelen dkk bereaksi keras. Segala cara coba mereka tempuh untuk menutupi perbuatan kotor tersebut. Beberapa orang dari kubu oposisi yang tidak menyalahgunakan uang desa Lewoingu pernah dilaporkan ke Polsek Boru. Buntut dari laporan tersebut adalah terungkapnya pengakuan dari kubu Mikhael Torangama Kelen bahwa selama itu mereka menggunakan uang iuran pasar untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Iuran pasar itu dipungut dari setiap pengunjung dan para pedagang yang berjualan di pasar desa Lewoingu pada setiap hari Jumat.

Ketika konflik politik meruncing pasca pilkades 2007, dan ketika kubu Mikhael Torangama Kelen terdesak oleh tekanan kubu oposisi, jalan kriminal pun mereka rancang guna membungkam pihak oposisi. Pada awal April 2007, salah seorang dari kubu Mikhael Torangama Kelen mencari calon pembunuh untuk menghabisi tiga orang tokoh oposisi yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Tetapi orang yang dihubungi untuk proyek kejahatan itu secara tegas menolak tawaran tersebut. Karena tidak berhasil merekrut calon pembunuh bayaran, maka Mikhael Torangama Kelen sendiri yang memimpin aksi pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Orang yang pada awal April 2007 berusaha merekrut calon pembunuh bayaran itu pun terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. 

Lawan politiknya itu sudah pergi ke dunia lain. Sekarang tak ada satu tokoh pun dari kubu oposisi yang duduk dalam pemerintahan desa Lewoingu. Tak ada satu pun anggota DPD yang berasal dari kubu oposisi. Sehingga tak ada lagi pengawasan bagi jalannya pemerintahan di desa itu. Tak ada lagi mata yang secara langsung mengawasi penggunaan dana pembangunan desa itu. Tak ada lagi tangan-tangan yang mencatat penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu.

Seorang staf Bangdes pernah menginformasikan bahwa dari provinsi NTT didrop dana pembangunan sebesar Rp 100 juta rupiah untuk tiap desa di NTT untuk tahun anggaran yang sebentar lagi akan berakhir. Pengadaan dana sebesar itu bukan hasil perjuangan kepala desa, tetapi merupakan dana dari pemerintah Indonesia untuk memacu pembangunan desa-desa di Indonesia.  Porsi terbesar dari dana itu adalah untuk pembangunan desa. Sedangkan sisanya, paling banyak 30% untuk honor para aparatur desa yang bersangkutan selama satu tahun. Penggunaan dana itu perlu dipertanggungjawabakan oleh kepala desa yang bersangkutan.

Yang jadi pertanyaan ialah untuk apa saja dana itu digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk? Benarkah dana itu digunakan untuk peningkatan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat desa Lewoingu?

Ketika Mikhael Torangama Kelen dan para pendukungnya berkeluh kesah tentang adanya warga dari kubu barat yang tidak berpartisipasi dalam kerja bakti di desanya, salah seorang dari kubunya berkomentar, “Wajar saja kalau mereka di sebelah sana (=kubu barat) tidak ikut kerja bakti. Raskin pun hanya kita yang pakai. Datang uang sedikit dari atas pun hanya kita yang dapat.”

Terlepas dari adanya komentar semacam itu, dana pembangunan tersebut sudah digunakan. Tepat sasaran atau tidak penggunaannya tak diketahui oleh pihak oposisi.  Bocor atau tidak penggunaannya belum ada yang tahu. Tetapi hal berikut ini perlu dicatat, yakni bahwa di masa lalu Mikhael Torangama Kelen pernah membuat laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Isi laporan keuangannya penuh dengan rekayasa. Karena itu secara tegas, kubu oposisi pada waktu itu menilai bahwa isi laporannya itu penuh dengan kebohongan. Itulah sebabnya laporan pertanggungjawabannya itu ditolak oleh BPD Lewoingu pada tahun 2007. Berdasarkan laporan dan permohonan dari BPD Lewoingu itulah, maka Mikhael Torangama Kelen diaudit oleh Banwasda Flotim. Hasil audit sementara menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta rupiah. Angka ini belum termasuk penyalahgunaan uang iuran pasar desa Lewoingu oleh anak-anak buahnya. Angka itu pun bisa membengkak, jika proses audit dilanjutkan hingga tuntas.

Salah satu syarat pelantikannya pada Rabu, 16 Januari 2008, ialah bahwa dia harus mengembalikan uang yang disalahgunakannya itu dalam tempo enam puluh hari. Tetapi belum jelas hingga kini apakah uang yang disalahgunakannya itu sudah dikembalikan ke kas desa Lewoingu atau belum. Seandainya dia sudah berhasil mengembalikannya, pengembalian uang tersebut tak dapat menghapus perbuatan korupsi yang dilakukannya. Korupsi adalah perbuatan pidana yang perlu diproses secara hukum. 

Selanjutnya kita tunggu seperti apa isi laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan dana pembangunan tersebut di atas. ***

Minggu, 08 November 2009

Bunderan HI dan panggung ganyang korupsi

 

Saya baru saja kembali dari Bunderan HI, Jakarta. Hampir tiga jam lamanya saya berada di situ, membaur dengan ribuan orang yang berpartisipasi dalam aksi damai dukung KPK alias aksi ganyang korupsi. Para peserta terdiri dari pria wanita, tua muda, besar kecil. Di situ mereka menyatukan tekad untuk mengganyang korupsi sebagai syarat untuk membangun Indonesia yang lebih sehat. 

Selain disuguhi orasi-orasi politik dari beberapa aktivis anti-korupsi, para peserta juga dihibur dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh sejumlah artis seperti Once Dewa, Erwin Gutawa, Oppie Andaresta dan grup band Slank. Beberapa peserta pun diberi kesempatan untuk naik ke panggung untuk menyampaikan aspirasi. Para peserta dibuat tertawa oleh seorang ibu yang naik ke panggung dan keseleo lidah. Ketika seorang pembawa acara bertanya kepadanya, “Kita datang ke sini untuk mengganyang…..?” Ibu itu dengan mantap mengatakan “Untuk mengganyang KPK.” Mendengar itu para hadirin pun tertawa. Tetapi si ibu pun segera menyadari bahwa dia melakukan kesalahan. Dia kemudian meminta maaf, dengan mengatakan, “Maaf, saya salah.” Pembawa acara kemudian menanyakan lagi kepadanya, “Kita datang ke sini untuk mengganyang……?” Kali ini si ibu menjawab dengan tegas, “Untuk mengganyang korupsi.”

Untuk mengganyang korupsi itulah, ribuan orang rela berdiri di bawah terik panas selama beberapa jam. Mereka mengibarkan bendera-bendera dan menampilkan spanduk-spanduk serta poster-poster yang isinya antara lain mengganyang korupsi, mengganyang koruptor, tolak kriminalisasi kewenangan KPK, berantas mafia penegak hukum, facebookers peduli keadilan, hidup cuma sementara jangan nodai diri dengan korupsi. Dalam suatu aksi yang terbilang teatrikal, seorang aktivis menunggang boneka buaya biru. Di belakangnya, dua aktivis yang berdiri di sebuah mobil pickup memancangkan gambar Anggodo yang berpakaian polisi. Sebelumnya, gambar tersebut sempat ditampilkan di panggung orasi. Seraya menunjuk pada gambar itu seorang aktivis yang sedang berorasi bertanya kepada para hadirin, “Apakah anda mau Kapolri kita seperti ini?” “Tidak!” Jawab para hadirin. Aksi di Bunderan HI itu pun dimeriahkan dengan teriakan, cicak Jaya, koruptor mati, presiden bangun.

Di Bunderan HI siang ini, komunitas CICAK (Cinta Indonesia Cinta KPK) menyatakan keberaniannya melawan buaya. Ini tampak dari logo spanduk yang bergambarkan seekor buaya dan seekor cicak, bertuliskan, “Saya cicak berani melawan buaya.” Dari hadirin yang berdiri di pinggir bunderan air mancur sempat terdengar suara yang mengatakan, “Cicak bisa menelan buaya.”  Siang ini CICAK menuntut tegaknya keadilan. Untuk menegakkan keadilan para pemimpin bangsa ini perlu bertindak tegas terhadap para koruptor. Selama para pemimpin bangsa ini tidak mampu bertindak tegas terhadap para koruptor, keadilan tak dapat ditegakkan.

Bagi saya, apa yang disuarakan oleh CICAK pada Minggu siang, 8 November 2009 ini representatif. Suara mereka mewakili keinginan dan harapan rakyat Indonesia yang selama ini mendambakan terwujudnya keadilan sosial yang real. Keadilan sosial yang real itu tak mungkin diwujudkan bila praktek-praktek korupsi masih terus berkembang biak dan menjadi buaya-buaya yang secara ganas mencaplok apa-apa yang menjadi hak rakyat Indonesia. ***

Jumat, 06 November 2009

Ada perkembangan baru atau tidak?

 

Belakangan ini pertanyaan tersebut di atas sering diajukan kepada saya. Yang mengajukannya adalah saudara-saudara di kampung Eputobi dan sekitarnya. Sudah lama mereka menunggu hasil kerja nyata dari aparat kepolisian Polres Flores Timur dalam mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Sudah lama mereka pun diresahkan oleh kelambanan proses penanganan perkara kejahatan tersebut. Sudah cukup lama mereka juga diresahkan oleh kecongkakan para tersangka pembunuh orang yang tak bersalah itu.

Kepada pihak keluarga korban, mereka sering mengingatkan untuk tidak menunda dan menunggu terlalu lama. Maka tak mengherankan bila mereka pun mengajukan lagi dan lagi pertanyaan semacam itu. Kepada mereka, saya hanya dapat memberikan jawaban bahwa perkara itu terus ditangani. Sekarang ini sedang diusahakan agar berkas perkara tersebut dapat memperoleh status P21.

Lalu saya juga menambahkan bahwa Kejati di Kupang sudah diganti. Kasat Reskrim Polres Flores Timur pun sudah diganti. Pergantian yang terjadi di dua instansi penegak hukum itu diharapkan dapat membuka ruang yang lebih jelas bagi kemantapan proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. Diharapkan Kasat Reskrim yang baru dapat memberikan dukungan yang kuat bagi Kapolres Flores Timur untuk mengungkap hingga tuntas perkara kejahatan tersebut. Keseriusan Kapolres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan tersebut tak perlu diragukan.

Jawaban semacam itu belum tentu memuaskan hati mereka yang mengajukan pertanyaan tersebut. Soalnya, selama ini mereka sudah mengalami sendiri bahwa pergantian beberapa pejabat di Polres Flores Timur belum juga memberikan dorongan efektif bagi pengungkapan kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Padahal kasus pembunuhan tersebut berada pada posisi yang demikian benderang. Salah satu pertanyaan besar yang sering mengemuka adalah mengapa orang-orang lain dari kubu tersangka, yang terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut belum juga dipanggil dan diperiksa secara intensif oleh penyidik di Polres Flores Timur.

Masyarakat yang mengikuti perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut dari awal dengan mudah menyaksikan terjadinya keganjilan demi keganjilan. Jangan dikira bahwa masyarakat tidak tahu mengapa keganjilan-keganjilan itu dapat terjadi. ***

Selasa, 03 November 2009

Eputobi menjadi ajang spionase

 

Penanganan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran yang lamban telah membuka ruang bagi pihak tertentu untuk menjadikan kampung Eputobi sebagai ajang spionase alias tempat yang empuk bagi kegiatan mata-mata. Tetapi arah kegiatan spionase tersebut tidak jelas hingga kini. Laporan terbaru dari kampung Eputobi menyebutkan bahwa aktivitas spionase yang terjadi di kampung itu berjalan cukup intensif sekaligus ekstensif.

Dari pantauan yang selama ini dilakukan, ditemukan bahwa jaringan spionase itu melibatkan elemen-elemen yang berpihak kepada para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Juga ditemukan bahwa yang dimata-matai adalah orang-orang tertentu dari kubu “jabar” alias kelompok barat di kampung itu.  Padahal orang-orang termaksud sama sekali bukan pelaku kejahatan, bukan pula penyebab masalah yang meresahkan warga Eputobi.

Berdasarkan informasi dan fakta-fakta yang dapat dihimpun, saya menyarankan para warga kelompok barat agar lebih hati-hati, lebih waspada terhadap aktivitas spionase tersebut, karena arah dari aktivitas tersebut tidak jelas. Yang perlu lebih diwaspadai adalah musuh dalam selimut, yang diperalat untuk membela kepentingan kelompok tertentu yang bertentangan dengan upaya pihak keluarga korban untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Berbagai macam cara telah coba ditempuh oleh para tersangka untuk menutup-nutupi kejahatan sangat besar yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Namun sampai sejauh ini upaya-upaya mereka itu gagal. Si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu sendiri sebenarnya sudah tahu bahwa upaya dia dan rekan-rekannya untuk memutarbalikkan fakta-fakta kriminal yang ada sudah mengalami kegagalan. Sumpah adat apa pun yang mereka lakukan selama ini, dan yang akan mereka lakukan di masa mendatang tidak akan berhasil memenuhi keinginan mereka. Sumpah semacam itu akan menjadi bumerang yang memangsa diri mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka dan para suporter mereka masih terus coba bertaruh dengan waktu, dengan harapan dapat memutarbalikkan fakta-fakta kriminal yang mereka lakukan.  Dalam rangka itu, mereka berupaya agar orang-orang yang selama ini mereka kambinghitamkan itu dapat dijerat oleh hukum.

Mereka lupa bahwa pihak keluarga korban dan berbagai aliansi strategisnya tidak akan membiarkan kasus kejahatan besar itu ditutup oleh siapa pun. Bagi kami, melawan kejahatan merupakan suatu kewajiban moral. Apa pun hambatan yang ditemukan dalam penanganan perkara kriminal tersebut merupakan bagian dari tantangan yang perlu diatasi. Kami sudah tahu persis, mengapa perkara kriminal tersebut terhambat pemrosesannya. Akan tiba waktu, semua itu terungkap. Dan siapa pun orang atau pihak yang terlibat dalam upaya penghambatan itu pun akan terkena tindakan hukum.

Selama menunggu tiba saat penghakiman bagi para tersangka pelaku pembunuhan tersebut dan mereka yang berusaha menghambat penanganan perkara kejahatan tersebut, anda perlu berhati-hati agar tidak menjadi korban dari aktivitas spionase yang sedang gencar dilakukan di kampung Eputobi itu. ***

Minggu, 01 November 2009

Tumbangnya sebatang pohon hitam

 

Tumbang sudah pohon hitam itu, setelah cukup lama dia tumbuh di tanah yang tidak menghendaki kehadirannya. Hanya karena alam terlanjur merestui kelahirannya, maka tanah kering itu pun mau menjadi tempat baginya untuk bertumbuh. Padahal tanah kering itu pun telah lama mengeluhkan ketidakbergunaan kehadirannya. Dia telah menjadi beban bagi bumi yang diciptakan untuk menumbuhkan kebaikan.

Dia adalah buah dari pohon yang tak baik, maka ketika menjadi benih dan tumbuh, dia pun tumbuh menjadi pohon yang liar, tak sesuai dengan hukum alam yang telah digariskan untuk mendukung kehidupan di bumi ini. Maka dia pun dibiarkan menjadi pohon yang hitam legam agar gampang dikenal ciri anehnya. Dia terlanjur tumbuh di mata jalan, sehingga banyak mata pun bisa memandangnya.

Karena hitam warnanya, maka dia pun menjadi tempat berteduh burung-burung gagak dan ular beludak hitam. Tapi tak ada terkukur yang berani hinggap di situ, meskipun dahan-dahan dan ranting-rantingnya kerap mengundang mereka untuk mampir. Tak seekor ayam pun yang mau menjadikan dahan dan rantingnya sebagai tempat untuk bermalam.

Dia pernah menjadi sebatang pohon yang tampil gagah perkasa di antara pohon-pohon lainnya. Batangnya yang keras membuat dia tampil kokoh seakan tak ada satu pun badai yang dapat mematahkannya, apalagi menumbangkannya. Cukup lama dia bertahan melawan garangnya panas dan kencangnya deru badai musim hujan. Kilatan petir dan gemuruh guntur pun seakan tak berpengaruh padanya. Dengan batang, dahan-dahan, dan ranting-rantingnya yang keras, dia sering mengancam mematahkan pohon-pohon lainnya.  Dia pun pernah mengangkat sumpah untuk mematahkan pohon-pohon lain. Daun-daunnya sering menghembuskan api amarah kepada mereka itu.

Pada suatu malam si pohon hitam bersama beberapa pohon hitam lainnya menantang sebatang pohon yang baik. Dengan garang dia ingin mematahkan pohon yang baik itu. Tapi sia-sia usahanya itu. Malam-malam selanjutnya dia masih mencoba dan mencoba lagi memenuhi keinginannya itu. Tapi setiap dia coba mendekati pohon yang baik itu, dia pun langsung mundur. Melihat usahanya yang tak kenal lelah itu, pada suatu malam, pohon yang baik itu berpura-pura membiarkan dirinya untuk dipatahkan olehnya. Tetapi ketika dia coba melakukannya, bukannya batang pohon yang baik itu yang patah, melainkan batangnya sendiri yang patah.

Di tanah kering berbatu-batu hitam, pada malam itu juga, pohon kering itu pun patah. Batangnya yang patah jatuh menimpa bumi, disambut dengan tawa ria oleh burung-burung malam. Para tikus pun datang untuk menyaksikan apa yang terjadi dengannya.  Beramai-ramai mereka berkata, dia telah patah, dia telah tumbang. Mungkinkah bumi berkenan menumbuhkannya kembali? Begitu tanya beberapa di antara mereka. Mendengar pertanyaan semacam itu, yang lain langsung menjawab, mustahil. Pada batangnya yang tergeletak di tanah kering berbatu-batu para tikus itu kemudian bernyanyi sambil menari-nari, dan berseru, hai pohon hitam, engkau akan lenyap untuk selama-lamanya. Pada malam itu para tikus berpesta pora.

Ketika fajar menyingsing, para tikus itu membubarkan diri. Mereka kembali ke lubang persembunyian mereka masing-masing. Ketika datang cahaya baru di suatu pagi hari, pohon-pohon lain di sekitarnya tak melihat lagi keberadaannya. Dan mereka pun berkata bersahut-sahutan, dia telah tumbang, dia telah tumbang. Sehingga gunung gemunung dan bukit-bukit di sekitarnya pun bisa mendapat kabar tentang tumbangnya pohon hitam itu. Ya pohon hitam itu telah tumbang. Demikian kata mereka.  Biarlah dia tumbang, kata mereka bersahut-sahutan.

Tapi di sekitarnya, masih berdiri pohon-pohon hitam lainnya. Gerutu dan keluh kesah datang silih berganti dari mulut-mulut mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang berkuasa untuk menumbuhkannya kembali. Setelah diam sejenak di hadapan batangnya yang rebah tak berdaya di muka bumi, bersama-sama mereka lalu berseru, dia telah tumbang. Dalam waktu singkat batangnya yang patah itu pun hancur musnah. Dan bumi pun segera melupakan keberadaannya selama-lamanya. ***

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sepak terjang si cincin permata biru

 

Si cincin permata biru. Itulah julukannya. Cincin permata biru yang menghiasi jari manisnya itulah, yang membuat dia dijuluki demikian. Dengan cincinnya itu, dia tampil penuh gaya. Dengan stelan hitam-hitam dia sering membaluti bodinya yang terbilang ceking. Kalau sudah begitu, tampilannya tampak seram, meski senyum pun sering tersungging di bibirnya.

Jika tampilannya saja sudah seram, apalagi sepak terjangnya. Kala siang dia menggunakan kedua kakinya untuk berjalan, kala malam dia menggunakan sayap-sayapnya untuk terbang seraya menaburkan benih-benih hitam di seluruh pelosok kampungnya. Dia adalah burung malam yang tiada henti memburu mangsa yang sedang terlelap. Terkadang dia pun bisa menyalak dan menggonggong seperti anjing. Seperti anjing pemburu, kaki-kakinya tiada henti berlari mengejar mangsanya. Tak lupa taring-taringnya pun kerap dipamerkan.

Suatu malam setelah berputar-putar keliling kampung, dia mendarat sejenak pada ranting pohon asam. Dari situ dia memandang ke utara, ke selatan, ke timur, dan ke barat. Tapi tak ada satu pun yang dapat dilihatnya. Ketika memandang ke bawah, dia melihat banyak kucing dan anjing yang sedang menanti kejatuhannya dari pohon asam itu. Maka dikuatkanlah hatinya untuk bertahan di ranting pohon itu. Dia lalu coba menghitung berapa jumlah kucing dan anjing yang sedang menantinya di bawah sana. Tapi dia tak sanggup menghitungnya hingga tuntas. Tiba-tiba dia sadar bahwa mereka yang di bawah sana itu adalah jelmaan para korban dari keganasan sepak terjangnya selama ini. Wah…., ternyata sudah banyak juga korbanku. Begitu katanya dalam hati. 

Ternyata banyak sudah jatuh korban akibat sepak terjangnya. Kata orang-orang sekampung, dia sudah menyusahkan banyak orang. Jika sepak terjang si cincin permata biru itu tidak dihentikan, maka lebih banyak orang lagi bakal disusahkannya juga. Soalnya, si cincin permata biru kian tak mengenal ampun. Di rumah tetangganya dia menimbun banyak barang legam. Anak seorang saudaranya dihajarnya juga. Belakangan ini dia pun sibuk melakukan operasi untuk mengganyang seorang gadis yang dibencinya. Padahal tak ada salah gadis itu padanya.

Tapi kini, rahasia kekuatannya mulai terkuak satu per satu. Dan banyak orang mulai merasa yakin, bahwa kaki-kakinya akan remuk, dan sayap-sayapnya pun akan patah. Bahkan tak akan ada belulang yang tersisa pada raganya. Dia tak akan sanggup melawan derasnya aliran waktu. ***

Jumat, 23 Oktober 2009

Pembaca blog atamaran

 

Seorang teman lama pernah berceritera kepada saya bahwa dia selalu membaca tulisan-tulisan saya di blog atamaran (atamaran.blogspot.com). Sejumlah orang Lewoingu yang melek internet pun sering mengakses blog tersebut. Di Larantuka dan Kupang blog atamaran cukup dikenal. Sejumlah angota polisi di Kupang dan di Larantuka pun sering membaca tulisan-tulisan yang disajikan dalam blog atamaran. Sejumlah tulisan di blog ini pun dengan mudah menyebar ke alamat situs-situs internet lainnya.

Setelah di blog atamaran dibuka kolom diskusi sejarah Lewoingu, tidak sedikit orang yang memperoleh manfaat dari tulisan-tulisan tentang sejarah lewoingu yang disajikan dalam kolom tersebut. Ada rekan-rekan dosen yang dengan setia membaca artikel-artikel tentang sejarah itu. Dengan demikian mereka juga terus mengikuti polemik sejarah Lewoingu.

Siang ini Jumat 23/10/2009 seorang rekan dosen senior menemui saya dan berceritera bahwa dia sudah mencetak semua artikel sejarah Lewoingu yang saya tulis. Sebagian artikel tersebut sudah dia baca, sebagiannya lagi akan dia baca. Dosen senior yang satu ini pun sering mengakses www.eputobi.net melalui jaringan internet gratis di kantornya. Kepadanya saya bertanya, “Anda membacanya di mana, di eputobi.net atau di blog saya?” “Di eputobi.net dan di blog atamaran.” Begitu jawabnya. 

Seorang rekan dosen senior lain pernah bertanya, bagaimana dengan polemik sejarah itu. Kepadanya saya mengatakan, “Saya terus siap berpolemik dengan siapa saja tentang sejarah Lewoingu.” Mendengar itu, dia tersenyum sambil memberikan semangat, “Bagus, maju terus demi kebenaran.”  Dosen senior yang satu itu pernah menyimak isi beberapa tulisan dari lawan-lawan polemik saya. Rekan dosen yang satu ini dikenal sebagai pembaca yang hebat.  Setelah membaca, dia biasanya memberikan catatan-catatan kritis. Dan kalau sedang berkumpul, kami sering beradu argumentasi tentang masalah-masalah yang dipandang perlu untuk didiskusikan.

Beberapa orang lain yang mengikuti polemik sejarah Lewoingu pun bertanya, “Mengapa lawan-lawan polemikmu kok tidak meneruskan polemik?” “Entahlah, tempohari mereka menggebu-gebu, tetapi di tengah jalan suara mereka tiba-tiba menghilang, entah kemana. Mungkin mereka sedang menyelam untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mereka perlukan untuk menanggapi tulisan-tulisan saya. Selanjutnya kita tunggu saja.” Begitu jawab saya.

Apreasi terhadap isi artikel-artikel tentang sejarah Lewoingu yang terpampang di blog atamaran biasanya datang dari para pembaca bukan orang Lewoingu. Di antara pembaca yang berasal dari kalangan orang Lewoingu, ada yang malah berkasak-kusuk untuk menghentikan diskusi sejarah Lewoingu seraya memberikan komentar yang overdosis berdasarkan rasa tidak sukanya atas apa yang didiskusikan. Komentar paling mutakhir atas isi tulisan saya dilatarbelakngi oleh semangat mempolitisasi kata-kata tertentu yang saya gunakan dalam diskusi sejarah Lewoingu. Tak lupa dia pun membunyikan nada ancaman. Orang yang bersangkutan mungkin mengira bahwa saya adalah seorang anak kecil yang gampang tunduk oleh gertakan semacam itu.

Gertak sambal semacam itu mengingatkan saya akan apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir. Orang-orang dari kubu timur, yaitu kubu pro pelaku kejahatan sering mengeluarkan ancaman dan gertakan terhadap para warga kubu barat. Ancaman pembunuhan dan ancaman kekerasan lainnya, ancaman tidak boleh membeli raskin, dan ancaman lainnya sering mereka lontarkan kepada kelompok barat di kampung Eputobi. Dua anggota kelompok timur yang berjubah pun menggunakan mimbar gereja St. Yosef Eputobi untuk mengeluarkan kata-kata yang mestinya tidak patut diucapkan oleh orang-orang seperti mereka. Beberapa orang dari kubu pro kejahatan itu pun pernah meneror orang-orang tertentu dari pihak barat dengan caci maki yang sungguh-sungguh keterlaluan. Kesukaan orang-orang semacam itu pun disalurkan melalui sms dan internet.

Tidak hanya itu. Kekerasan fisik seperti mencekik dan menempeleng orang yang dianggap masuk dalam kelompok lawan pun mereka lakukan. Lantas rumah seorang tokoh kubu barat pun pernah dihajar dengan batu. Terdapat indikasi bahwa pelakunya adalah salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Kekerasan macam itu terjadi ketika Donatus Doni Kumanireng berada tak jauh dari rumah tersebut. Belakangan ini orang-orang pro tersangka pelaku pembunuhan tersebut diperalat sebagai mata-mata oleh pihak tertentu. Yang mereka mata-matai adalah orang-orang tertentu dari kubu barat. Pihak tertentu itu punya kepentingan untuk menggagalkan upaya penegakkan hukum atas perkara kejahatan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu.

Pada dasarnya orang-orang dari kubur timur itu tidak suka dengan diskusi. Maka tak usaha heran, ketika ada di antara mereka yang memaksakan diri untuk terlibat aktif dalam diskusi sejarah Lewoingu mereka asal bicara. Keterlibatan mereka dalam diskusi bukan untuk mencari kebenaran rasional tapi untuk mewujudkan agenda-agenda politik kelompok mereka di kampung Eputobi. Dalam rangka itu mereka dengan tekun mengakses pula blog atamaran.

Ya, pembaca blog atamaran terdiri dari kawan maupun lawan. Suka atau tidak suka, orang-orang yang selama ini merasa alergi dengan diskusi sejarah Lewoingu pun mau membaca juga artikel-artikel yang terpampang di kolom diskusi sejarah Lewoingu di blog atamaran. Orang yang pernah mempertanyakan arti polemik sejarah Lewoingu pun ternyata tetap saja menjadi pembaca setia artikel-artikel tentang sejarah Lewoingu di blog atamaran. Setelah membaca, di kalangan mereka itu pun timbul diskusi hangat, terkadang penuh dengan kekesalan. ***

Kamis, 22 Oktober 2009

Di Sukutukang, Flores Timur, beberapa praktisi black magic mengakui dosa-dosa mereka

 

Hampir tiga bulan sudah rumah seorang gadis di Sukutukang sering dikunjungi tamu dari berbagai kalangan. Ada yang datang ke situ untuk memohon kesembuhan dari penyakit atau sakit yang sedang diderita, ada yang memohon agar bisa memiliki keturunan (anak), dll. Pendek kata, mereka yang datang ke situ punya tujuan masing-masing. Dari Eputobi pernah datang sepasang merpati yang sedang dilanda kebingungan.

Pernah mampir pula ke rumah gadis itu beberapa orang Sukutukang, yang selama ini terkenal sebagai pengguna black magic, ilmu hitam. Untuk apa mereka datang ke situ, hanya mereka sendiri yang tahu. Yang jelas ketika berada di rumah gadis itu, segala macam kartu rahasia yang selama ini mereka mainkan terbuka satu per satu, bukan oleh orang lain tetapi oleh mulut mereka sendiri. Di hadapan gadis itu, segala macam kekuatan black magic yang selama ini mereka gunakan sebagai senjata pemusnah orang-orang yang tidak mereka sukai menjadi tidak berarti apa-apa. Dan dari mulut mereka masing-masing meluncur pengakuan tentang aksi-aksi jahat yang pernah mereka lakukan. Di antara mereka yang mengaku dosa itu terdapat seseorang yang pernah dimintai bantuannya oleh salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kejadian semacam itu menjadi bahan pembicaraan hangat baik di Sukutukang maupun di kampung-kampung sekitarnya. Orang-orang yang mengetahui kejadian itu mengakui bahwa tak ada satu pun praktisi black magic di Sukutukang dan sekitarnya yang mampu menandingi “ilmu” yang dimiliki oleh gadis itu. Kehadirannya menimbulkan kengerian tersendiri bagi orang-orang yang mengandalkan kuasa gelap sebagai kekuatan hidup mereka masing-masing.

Kengerian itu pernah dirasakan sendiri oleh sepasang merpati dari kampung Eputobi. Tetapi belum ada informasi tentang apa reaksi mereka setelah mereka sendiri mengalami resistensi yang sangat kuat dari suatu kekuatan yang jauh lebih tinggi di suatu rumah di Sukutukang itu. Mestinya kejadian itu bisa menjadi pemicu kesadaran pada diri mereka untuk segera mengakui kesalahan besar, yang sudah menjadi rahasia umum itu. Karena sudah menjadi rahasia umum, maka di Eputobi pun sempat timbul omongan tentang para pelaku pembunuhan tersebut begini, “Kalian mau mengaku dosa atau tidak mau mengaku dosa, kami sudah tahu dosa kalian.”

Sia-sia kalian berusaha untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang kalian lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Dan sia-sia pula segala macam kuasa gelap yang selama ini kalian andalkan itu. ***

Senin, 19 Oktober 2009

Ke Sukutukang mereka pernah coba mengadu nasib

 

Berbagai cara ingin ditempuh oleh Mikhael Torangama Kelen dkk untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Jalan ke Sukutukang pun pernah mereka coba tempuh, beberapa waktu lalu. Sebelum meluncur ke sana, Mikhael Torangama Kelen dan Evi Kumanireng berharap akan memperoleh  bantuan sesuai keinginan mereka.

Tetapi di Sukutukang kedua orang itu menjadi tak berkutik. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun mereka tak mampu. Padahal di kampung Eputobi, kedua orang itu terkenal boros dengan kata-kata yang “aduhai” rasanya. Di Sukutukang dunia mereka menjadi terbalik. Di situ tak ada kata yang dapat mereka ucapkan. Di situ pun tak ada senyum yang bisa mengembang di bibir mereka masing-masing. Di situ tangan-tangan mereka pun tak kuasa untuk saling menepuk.

Masih segar dalam ingatan banyak orang yang hadir di pasar Eputobi, pada hari Jumat, 26 Oktober 2007, tentang tepuk tangan dan sorak kegembiraan di kubu Mikhael Torangama Kelen setelah mereka mendengar pernyataan K. Melki Bagailan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Seusai pertemuan yang digelar untuk menyebarkan kebohongan itu, mereka saling berjabat tangan. Di antara mereka ada yang mengeluarkan kata-kata, “Sudah beres.” Sebelum dan sesudah pertemuan itu, K. Melki Bagailan dan anggota-anggota timnya beramahtamah di rumah Mikhael Torangama Kelen. Di situ senyum ceria saling mengembang.

Oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, hari-hari sesudah pertemuan itu diisi dengan banyak usaha untuk menumbuhkan rasa percaya diri, untuk menimbulkan kesan bahwa bukan mereka yang melakukan perbuatan sangat keji di Blou pada malam itu. Untuk itu, mereka tak segan-segan mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pelaku kejahatan yang sangat mengerikan itu. Di gereja St. Yosef Eputobi, para tersangka itu pun dengan enteng membawa kaki mereka ke depan untuk menerima komuni dari imam yang mempersembahkan misa. Lantas dengan congkak, Mikhael Torangama Kelen pun pernah mengatakan begini, “Biar kalian sembahyang seraya tengadah ke langit dan membungkuk ke tanah pun, kalian tak akan membuat saya masuk bui.” Lantas kepada Arnold Manuk yang sedang berlibur di Eputobi, dia pun sempat menyatakan diri sebagai bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran seraya mengeluarkan air matanya. Suara “alim” dan air matanya pada hari itu berhasil mengecoh orang yang berada di hadapannya itu. Dalam upacara 17 Agustus 2009 di lapangan sepak bola di Eputobi, dia pun sempat melontarkan tuduhan terhadap orang lain sebagai pengacau kampung Eputobi. 

Tetapi di Sukutukang pada suatu hari lain, segala macam kecohan yang selama ini dia mainkan tak sanggup dia perlihatkan. Berbagai ilmu dan jurus yang selama ini dia andalkan pun tak mampu dia kerahkan. Mirip boneka, kedua orang itu membisu, mematung, tanpa suara, tanpa kata-kata di rumah yang asing bagi mereka itu. Yang punya rumah tahu mengapa keadaan demikian dapat terjadi pada kedua orang itu. Kepada mereka, dia hanya berkata begini, “Saya tidak perlu mengatakan kepada kalian kesalahan apa yang kalian lakukan. Pulang saja dulu, dan pikirkan baik-baik. Kalau punya kesalahan terhadap orang-orang lain, akui kesalahan kepada orang-orang yang bersangkutan dan minta maaf kepada mereka.”

Mendengar itu, kedua orang itu pun mundur teratur dari rumah itu, tanpa suara, tanpa kata. Mereka kembali ke Eputobi, ke kampung yang telah mereka legamkan dengan segala macam cara. Tapi apakah Mikhael Torangama Kelen sadar akan kesalahan (baca kejahatan) sangat besar yang dia dkk telah lakukan itu? ***

Kamis, 15 Oktober 2009

Penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu perlu dilaporkan ke pihak berwajib

 

Di Polres Flores Timur, seorang anggota polisi pernah menyinggung tentang informasi mengenai adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen. Entah dari mana informasi itu dia peroleh, yang jelas perbuatan menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen telah dikonfirmasi oleh Ketua Banwas Daerah Flores Timur di kantor Bupati Flores Timur pada bulan Januari 2008. Jumlah uang yang disalahgunakan oleh Mikhael Torangama Kelen mencapai angka Rp 14 juta. Angka ini diperoleh dari hasil audit sementara yang dilakukan oleh Tim Banwasda Flores Timur. Angka itu bisa jadi membengkak, jika pekerjaan audit tersebut diteruskan hingga tuntas. Tetapi di dalam kenyataan, pekerjaan audit itu berhenti di tengah jalan. Usul agar proses audit atas Mikhael Torangama Kelen dilanjutkan tidak mendapat tanggapan hingga kini.

Sebelum Kepala Banwasda Flores Timur menyampaikan laporan tentang hasil audit tersebut, di Bagian Tata Pemerintahan di kantor Bupati Flores Timur, sudah terjadi kasak-kusuk oleh oknum-oknum staf tertentu untuk menggoalkan rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pada bulan Oktober 2007, seorang staf di bagian tersebut mengusulkan begini, “Jadwal pelantikan kepala desa Lewoingu sudah disusun. Biarlah dia dilantik dahulu. Setelah itu baru diturunkan lagi.” Usul aneh itu dia kemukakan setelah dia mendengar informasi bahwa Mikhael Torangama Kelen terindikasi melakukan korupsi dan terlibat dalam perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Ketika keberatan atas rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen ingin disampaikan kepada Bupati Flores Timur, seseorang yang mengaku diri sebagai protokoler, dengan kasar menanggapi bahwa Mikhael Torangama Kelen itu telah dipilih oleh warga, jadi rencana pelantikan itu tak bisa dibatalkan. Dari nada pembicaraannya, tampak jelas bahwa si protokoler yang satu ini bersemangat membela orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Semangat semacam itu tentu dipicu oleh faktor tertentu.

Mengetahui adanya indikasi praktek korupsi dan keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam peristiwa pembunuhan tersebut, seorang pejabat di lingkungan kantor Bupati Flores Timur berusaha untuk mengkensel kalau perlu membatalkan rencana pelantikan tersebut. Tetapi pada akhirnya suaranya tidak diindahkan oleh para pengambil keputusan politik di kantor daerah Flores Timur itu. Pejabat yang bersangkutan malah tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Ini aneh tapi nyata.

Bupati yang sebelumnya terkesan konsisten dengan pelaksanaan peraturan terkait dan berusaha menjalankan pemerintahan secara bersih dan berwibawa, malah menyetujui usul pelantikan tersebut. Padahal Bupati sendiri sudah mengetahui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala desa Lewoingu pada Selasa, 27 Maret 2007 itu cacat hukum, bahwa Mikhael Torangama Kelen secara jelas terindikasi melakukan korupsi, dan bahwa Mikhael Torangama Kelen juga terindikasi menjadi tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Bupati Flores Timur itu mundur dari konsistensi dan tekadnya tersebut. Bersama rombongannya, pada hari itu, dia meluncur ke Eputobi untuk melantik Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pelantikan itu bersyarat. Salah satu syaratnya ialah bahwa dalam tempo enam bulan, Mikhael Torangama Kelen harus mengembalikan uang sebesar Rp 14 juta yang disalahgunakannya itu.  Apakah syarat itu sudah dipenuhi atau belum dipenuhi, tidak jelas hingga kini.

Penyelesaian ala Bupati Flores Timur itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi, juga berlawanan dengan semangat presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberantas korupsi. Yang seharusnya dilakukan oleh Simon Hayon pada waktu itu ialah menunda atau kalau perlu membatalkan pelantikan tersebut, dan meneruskan kasus penyalahgunaan uang oleh Mikhael Torangama Kelen itu ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Tetapi hal itu tidak dia lakukan, sehingga dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari.

Dari metode penyelesaian tersebut, orang dapat belajar bahwa melakukan korupsi tidak apa-apa, kalau ketahuan, ya diaturlah sedemikian rupa agar tidak perlu diproses secara hukum, yang penting uang yang sudah dikorupsi dapat dikembalikan. Padahal pernah terjadi di Sumatra Utara, seorang pejabat dipenjara karena mengkorupsi uang sebesar Rp 1 juta. Ada sejumlah kepala desa pun dipenjara gara-gara menyalahgunakan raskin dan mengorupsi uang bantuan langsung tunai dan uang-uang lainnya.

Setelah mendengar bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu bukan sekedar isu, anggota polisi itu tadi pun mengusulkan agar masyarakat Eputobi melakukan unjuk rasa di kantor Bupati untuk memprotes pelantikan orang itu sebagai kepala desa Lewoingu. Sebelum usul itu dikemukakan, perwakilan dari kubu oposisi desa Lewoingu sudah berulang kali menyampaikan protes mereka secara terhormat ke Bupati Flores Timur. Mereka menolak rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu berdasarkan alasan hukum dan moral yang jelas. Tetapi upaya mereka itu akhirnya tidak mendapat tanggapan positif dari Bupati Flores Timur.

Anggota polisi yang bersangkutan pun merasa heran dengan langkah Bupati Flores Timur yang mengaktifkan kembali seorang tersangka pelaku pembunuhan berencana itu sebagai kepala desa Lewoingu pada tanggal 23 Januari 2009. Keputusan Simon Hayon untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu itu dibuat tanpa koordinasi dengan Kepala Polres Flores Timur. Keputusan Bupati tersebut mengecewakan berbagai pihak dan kalangan yang menghendaki tegaknya kebenaran dan keadilan di bumi Flores Timur.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa kasus kejahatan seperti korupsi itu dapat ditangani secara hukum. Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, kasus penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu dapat dilaporkan ke pihak berwajib, baik kepada kantor kepolisian setempat maupun ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Jika laporan tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari pihak berwajib setempat, laporan dapat disampaikan ke aparat penegak hukum yang lebih tinggi, yaitu ke Kupang dan ke Jakarta. Dalam rangka itu perlu dibangun kerja sama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepudulian real atas pemberantasan korupsi dari bumi Nusantara. Ingatlah bahwa daya rusak korupsi itu jauh lebih besar ketimbang terorisme.

Saya berharap ada anggota polisi di Polres Flores Timur yang membaca tulisan ini, sehingga tahu bahwa Mikhael Torangama Kelen itu tidak hanya terlibat dalam perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Dia jelas terindikasi melakukan korupsi. Upaya pembongkaran kasus korupsi yang dilakukannya oleh kubu oposisi di desa Lewoingu pada tahun 2007, menjadi salah satu alasan tersembunyi di balik pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Oh ya, ada lagi informasi yang perlu diketahui, yaitu bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang di masa lalu pernah memimpin aksi pengeroyokan terhadap seorang anggota polisi di Boru. Orang ini juga menjadi penyebab terjadinya perkelahian antara kampung Eputobi dengan kampung Leworook sekian tahun lalu.

Saya berharap tulisan ini dapat mendorong anggota-anggota polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk mulai menaruh perhatian real pada kasus korupsi tersebut. Dari situ, anda-anda dengan mudah menemukan kaitan logis antara kedua kasus tersebut. ***

Kamis, 24 September 2009

Ke mana larinya dana dari tanah rantau itu?

 

Adalah Donatus Doni Kumanireng, seorang pensiunan pegawai negeri sipil, yang tinggal di Kupang, NTT, yang pernah tampil sebagai salah seorang penggalang dana, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur karena keterlibatan mereka dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam. 30 Juli 2007. Bermodalkan hanphone, orang ini berusaha menghubungi orang-orang yang dianggapnya dapat memberikan sokongan dana bagi urusan kriminal yang sedang dihadapi oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Permintaan sumbangan dana untuk urusan kriminal tersebut menjangkau pula sejumlah orang di tanah rantau.

Selain Donatus Doni Kumanireng orang lain dalam kubu mereka pun berusaha menggalang dana untuk urusan yang sama. Dalam hal itu mereka tampak kompak. Mungkin karena mereka merasa senasib, maka mereka pun merasa perlu untuk sepenanggungan dalam hal biaya.

Upaya mereka sempat membuahkan hasil. Dana dari tanah rantau, misalnya, mengalir deras ke sebuah rekening di sebuah bank di kota Larantuka, Flores Timur. Pemilik rekening itu adalah seseorang dari kampung Eputobi yang mulutnya terkenal bacot. Tapi hingga kini para perantau pengirim dana itu belum tahu untuk apa saja uang yang mereka kirim sebanyak beberapa kali itu digunakan. Para anggota keluarga mereka yang di kampung Eputobi pun belum tahu berapa banyak uang yang pernah mendarat di rekening tersebut. Mereka juga tidak tahu ke kantong siapa saja uang itu mengalir. Tapi si pemilik rekening tentu tahu ke mana uang itu disebarkan.

Mungkin karena berpegang pada prinsip senasib dan sepenanggungan itu tadi, maka mereka pun, selama ini, berusaha untuk tutup mulut. Tapi yang namanya uang itu tidak hanya dipakai untuk menutup mulut. Uang juga bisa membuat orang buka mulut selebar-lebarnya, apalagi dalam urusan itu terjadi ketidakadilan, atau terjadi penyalahgunaan.

Ikut bergotong royong untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya adalah cara yang selama ini ditempuh oleh sejumlah orang baik yang bermukim di kampung Eputobi maupun yang bermukim di luarnya, termasuk yang merantau ke negeri orang. Tetapi yang namanya kejahatan itu tak bisa ditutup-tutupi. Di Boru, ibukota kecamatan Wulanggitang, sekian tahun lalu, misalnya, suatu kasus pembunuhan yang melibatkan oknum polisi tertentu sebagai pelakunya coba ditutup rapat.  Tetapi upaya itu akhirnya sia-sia. Tiga tahun kemudian, kasus kejahatan itu akhirnya terungkap seluruhnya. Oknum polisi yang terlibat itu pun ditindak tegas. Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak membutuhkan oknum polisi yang merangkap sebagai penjahat itu.

Makin lama makin kelihatan bahwa faktor fulus itu berbicara banyak dalam urusan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek kejahatan di Blou dan hal-hal terkait sesudahnya. Kekuatan fulus itu pula yang sempat disinggung oleh kepala komplotan penjahat Eputobi itu dalam suatu pertemuan yang digelar di Polres Flores Timur pada bulan Oktober 2007.

Tetapi hendaklah diingat, bahwa siapa yang bermain uang dia akan mati oleh uang. Siapa yang ikut menyumbangkan uangnya untuk urusan tersebut pun akan terkena akibat buruknya. Sedangkan di antara yang menerima uang haram itu pun ada yang sudah merasakan akibatnya yang mengerikan. Ceritera mengerikan itu dengan sendirinya akan terulang pada setiap mata rantai aliran dana-dana yang dipakai untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. ***