Rabu, 22 April 2009

Kursi Berdarah Itu

 

Kursi kepala desa mestinya menjadi kursi yang terhormat, sehingga layak diperebutkan secara fair. Tapi apa jadinya kursi itu, kalau ia diduduki oleh seorang pembunuh berdarah dingin? Jawabannya: Kursi itu berdarah-darah, dan kian lama kian menyemburkan bau busuk ke seantero jagat. Bau busuk itu menyengat hidung setiap makhluk beradab di jagat raya ini. Dan jelas, kursi itu pun berubah menjadi kursi tidak terhormat.

Itu yang sedang terjadi dengan kursi kepala desa Lewoingu, yang kini diduduki oleh si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin, Mikhael Torangama Kelen. Kursi berdarah dan berbau busuk itu didukung oleh  orang-orang yang di masa lalu menganggap diri dan dipandang  terhormat tetapi kini menjadi sangat  tidak  terhormat. Di antara mereka, ada yang bahkan sempat dipandang sebagai dewa kepintaran, tetapi kini ternyata menjadi dewa  kejahatan dan kebodohan.

Siapa pun yang aktif mendukung pendudukan kursi itu oleh si kepala komplotan penjahat itu layak dimasukkan ke dalam kelompok para penjahat itu. Termasuk dalam kelompok itu adalah oknum-oknum yang dengan gigih berusaha untuk menutup-nutupi peristiwa pembunuhan di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur itu. Nasib oknum-oknum yang bersangkutan dengan sendirinya akan mengenaskan, meskipun barangkali mereka itu lolos dari jerat hukum positif. Tetapi mereka dengan sendirinya akan didera oleh hukum kehidupan di alam semesta ini.

Seorang hakim pernah berkata begini, “Mendukung seorang tersangka pelaku pembunuhan untuk  menduduki jabatan kepala desa  adalah suatu kekeliruan. Orang yang mendukungnya bisa terkena proses hukum.” Seorang hakim tentu berbicara dari aspek hukum. Dan pak hakim itu tentu tahu persis apa yang disebut asas praduga tak bersalah itu.

Orang yang tidak mengerti hukum seringkali menggunakan asas praduga tak bersalah secara ngawur. Sehingga pada akhirnya asas praduga tak bersalah itu pun dijadikan dasar untuk membenarkan kejahatan. Padahal hukum adalah sarana politik untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan faktual bagi setiap warga negara yang membutuhkannya. Demi kebenaran dan keadilan itulah, asas praduga bersalah pun diperlukan dalam suatu proses hukum. Jadi tidak hanya asas praduga tidak bersalah yang diperlukan.

Yang juga penting untuk diperhatikan ialah bahwa apa yang disebut kebenaran dan keadilan itu adalah nilai-nilai moral yang ingin diperjuangkan oleh manusia dan masyarakatnya juga melalui hukum. Ini berarti bahwa hukum baik pada tataran ideal maupun pada tataran praktisnya berdimensi etis. Tanpa etika, tanpa berpegang pada asas-asas moral, hukum, dalam hal ini hukum positif menjadi suatu sarana desktruktif. Tanpa etika, hukum dapat dibelakbelokkan, diputarbalikkan sedemikian rupa sehingga menjadi sarana untuk membenarkan yang jahat dan menjahatkan yang benar. Tanpa etika, hukum dapat dijadikan barang komoditas yang diperdagangkan, yang diperjualbelikan oleh pihak-pihak terkait.

Pertanyaan yang sudah lama menantang rasa ingin tahu berbagai kalangan pemerhati kasus Blou di NTT ialah berapa nilai proyek pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran? Berapa pula kiranya harga untuk kursi yang kian berdarah-darah  itu? ***

Sabtu, 18 April 2009

Ada Apa di Balik Dusta-dusta Itu?

 

Dusta rupanya masih menjadi metode yang diandalkan oleh orang seperti Donatus Doni Kumanireng guna menutupi perbuatan jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou. Dari kata-kata yang sempat terucap dari mulut para pelaku di tempat kejadian perkara pada malam itu, kita bisa mengetahui bahwa dusta itu memang sudah dirancang sejak awal.

Pada malam kejadian  itu, ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi, para pelaku kejahatan itu dengan enteng menjawab bahwa terjadi kecelakaan lalu lintas. Kepada penanya mereka juga menjelaskan bahwa mereka mau ke pesta, tetapi terjadi kecelakaan lalu lintas. Padahal mereka yang ditanya itu sedang mengeroyok dan menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran.

Seandainya benar terjadi kecelakaan lalu lintas, korbannya mesti ditolong. Itulah etika yang berlaku di jalan raya. Apalagi di tempat kejadian perkara pada malam itu terdapat cukup banyak orang. Di situ terdapat juga lima sepeda motor. Dengan sarana transportasi yang ada, mereka bisa membawanya ke klinik terdekat, yaitu di Lewolaga. Tetapi di dalam kenyataan mereka tidak menolong korban yang bersangkutan. Soalnya jelas, di dalam kenyataan tidak terjadi kecelakaan lalu lintas di tempat kejadian perkara. Yang terjadi adalah aksi penghadangan, pengeroyokan serta penganiayaan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Pite Koten hadir di situ dan menyaksikan adegan jahat tersebut. Apakah Pite Koten masih sanggup menyangkali kesaksian awal yang dibuatnya sendiri dengan sukarela? Itu terserah dia. Yang jelas statusnya bukan sekedar saksi kunci, tetapi juga tersangka. Diadukan atau tidak diadukan dia ke pihak berwajib oleh pihaknya Donatus Doni Kumanireng, Pite Koten itu dengan sendirinya menjadi tersangka.

Sampai kapan pun pihak Donatus Doni Kumanireng tidak akan mengadukan Pite Koten ke pihak berwajib, karena pengaduan itu akan membuka jalan bagi pihak berwajib untuk menjerat pengadunya. Itulah sebabnya Pite Koten dijadikan sahabat dan saudara yang perlu dirawat dan dilindungi oleh para pelaku kejahatan tersebut. Di situ berlaku, “Sesama penjahat dilarang saling menyenggol.”

Lantas di mana Donatus Doni Kumanireng berada ketika Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya beraksi di Blou dan sekitarnya pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Jawabannya, dia berada di Kupang. Apakah dia tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu di Blou dan sekitarnya? Jawabannya, hanya Tuhan yang tahu. Mestinya, dia sendiri pun tahu jawabannya. Tetapi karena dia sudah lupa, maka dia sendiri tidak tahu lagi apa yang sesungguhnya terjadi di Blou dan sekitarnya pada malam itu.

Dari mana dia tahu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas? Jawabannya, hanya Tuhan yang tahu. Mestinya, dia sendiri juga tahu apa jawabannya. Tetapi karena dia sudah lupa, maka dia pun tidak tahu lagi dari mana sumbernya. Yang jelas, di kemudian hari dia pun mengakui bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu akibat pembunuhan. Tetapi dia tidak mau secara jujur mengakui bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di kemudian hari dia  tampil sebagai corong yang secara sengit menyuarakan dusta demi dusta tentang peristiwa Blou.

Dusta paling anyar yang terucap dari mulutnya ialah tentang alasan penetapan Mikhael Torangama Kelen dkk sebagai tersangka dan tentang timbulnya blok-blok di kampung Eputobi itu. Penetapan dan penangkapan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng itu bukan berdasarkan rekaman video dan tulisan. Pernyataannya di buku tamu  eputobi.net itu menunjukkan ketidaktahuan dia tentang proses hukum yang menyebabkan Mikhael Torangama Kelen dkk itu ditetapkan sebagai tersangka.

Selama ini Donatus Doni Kumanireng tidak terlibat sedikit pun dalam proses investigasi atas kasus kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pengetahuannya tentang kasus kejahatan tersebut berasal dari kalangan dia sendiri dan dari sumber-sumber lain yang tidak dapat diandalkan. Maka terjadilah penggelapan informasi-informasi, pemutarbalikkan fakta-fakta, termasuk pemutarbalikan fakta-fakta tentang sebab terjadinya perpecahan sosial budaya di kampung Eputobi itu. Perpecahan itu terjadi bukan berdasarkan asumsi bahwa Mikhael Torangama Kelen membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, tetapi berdasarkan dua fakta. Pertama, fakta terjadinya pengrusakan tatanan adat di Eputobi oleh segerombolan pengacau adat pada tahun 2006. Kedua. berdasarkan fakta bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jika Donatus Doni Kumanireng merasa diri benar, mengapa dia itu tidak berani datang ke Polres Flores Timur di Larantuka atau ke Polda NTT di Kupang untuk mempersoalkan kepada pihak Reskrim alasan penetapan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Hingga kini Mikhael Torangama Kelen dkk itu tetap berstatus sebagai tersangka. Tim penyidik di Polres Flores Timur dan tim penyidik Polda NTT tidak mencari tersangka baru di luar komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, orang yang anda sebut sebagai kades Lewoingu itu. Akan muncul para tersangka baru dari kelompok anda, bukan dari pihak lain.

Perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut sudah jauh melampaui pengetahuan Donatus Doni Kumanireng. Muncul perkembangan-perkembangan baru yang memperjelas posisi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai tersangka pelakunya. Polisi tidak melakukan salah tangkap terhadap Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Jika Donatus Doni Kumanireng merasa bahwa polisi melakukan salah tangkap, coba beranikan diri anda untuk menggugat polisi yang dianggap melakukan salah tangkap itu. Jangan anda hanya berkoar-koar menyebarkan dusta demi dusta yang membodohkan banyak orang. Proyek pembodohan yang anda garap selama ini tidak berarti bagi masyarakat beradab di kawasan Lewoingu dan sekitarnya. Mereka memiliki pengetahuan dan kecerdasan, sehingga mereka pun tidak mau dikadali atau dikibuli oleh pendusta-pendusta yang tidak tahu diri.

Kegigihan Donatus Doni Kumanireng dalam menyebarkan dusta demi dusta tentang kasus Blou dan tentang apa yang terjadi di kampung Eputobi menimbulkan pertanyaan, “Ada apa di balik dusta-dustanya itu?” Jawabannya, Tuhan dan masyarakat beradab di Eputobi tahu jawabannya. ***

18 April Satu Tahun Yang Lalu

 

18 April satu tahun yang lalu jatuh pada hari Jumat. Pada hari itu, masyarakat Eputobi, Riang Duli, Riang Kung, Lewolaga, dan Bokang menjadi saksi penangkapan atas Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Mereka ini ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Peristiwa pembunuhan itu terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou.

Penangkapan keempat orang itu dilakukan berdasarkan alasan yang cukup, yaitu berdasarkan keterangan dua orang saksi. Yang satu saksi kunci, yaitu Petrus Naya Koten. Dan yang lain adalah saksi pendukung yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini.

Pada malam kejadian itu, Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite memainkan peranan penting. Tanpa partisipasi aktifnya dalam proyek pembunuhan itu, ceriteranya menjadi lain. Dia adalah Yudas Iskariot yang menjual Yoakim Gresituli Ata Maran kepada Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Beberapa bulan setelah kejadian tersebut, dia pun memperoleh uang sebanyak Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dengan cara memeras keluarga korban. Isterinya bernama Vero Hayon terlibat dalam proyek pemerasan itu. Setelah memperoleh uang darah itu, dia sempat linglung dan duduk terpekur sendirian di malam hari pada kubur ibu Waha Koten.

Setelah diperiksa di Polres Flores Timur pada hari Kamis, 17 April 2008, Pite Koten diinapkan di sana. Ini yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berlaku seperti cacing kepanasan pada Kamis malam itu. Memang aneh. Pite Koten yang menginap di Polres Flores Timur, kok mereka yang lain itu yang panik dan ketakutan. Memang sejak awal kejadian, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya mengawasi secara ketat mulut dan perilaku sehari-hari Pite Koten. Mereka takut kalau Pite Koten kelepasan ngomong, lalu terbongkarlah rahasia kejahatan mereka bersama  di Blou itu. Ma Kumanireng yang kini menjadi narapidana pernah memukul salah seorang anak dari suku Kebele’eng Kelen, karena anak itu memberi isyarat untuk membuka rahasia itu.

Dalam rangka menghadapi panggilan polisi, pagi-pagi Lambertus Liko Kumanireng sudah bertandang ke rumah Pite Koten untuk membisikkan omongan-omongan tertentu kepadanya. Pite Koten juga dilibatkan dalam rapat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. Dalam rapat itu Mikhael Torangama Kelen mengarahkan anggota-anggota komplotannya untuk mengatakan tidak tahu, jika penyidik menanyakan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Informasi itu diperoleh dari Pite Koten.

Apa yang terjadi pada Yoakim Gresituli Ata Maran sehingga dia pun tewas di Blou diceriterakan dengan jelas oleh Pite Koten, meskipun dia sendiri tidak dapat menyebutkan satu per satu nama setiap orang yang hadir dan terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu. Tetapi nama empat orang yang dijadikan tersangka itu dia sebut secara eksplisit. Selain itu satu nama lagi pun sempat terungkap juga.

Kesaksian Pite Koten itu didukung oleh saksi pendukung. Maka penangkapan atas Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng itu pantas dilakukan. Penangkapan yang terjadi pada hari Jumat, 18 April 2008 itu disertai ratap tangis anggota-anggota keluarga tersangka. Evi Kumanireng yang biasa bermulut tajam, pada hari itu tidak berkutik. Dia menangis tersedu-sedu menyaksikan suaminya diciduk polisi dan dinaikkan ke dalam mobil tahanan. Setelah duduk dalam mobil tahanan, si Mikhael Torangama Kelen sempat berkata bahwa dia pergi bersama lewotana (kampung halaman). Entah lewotana mana yang mendukung kejahatan yang dia lakukan.

Dari segi adat Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen itu berasal dari lapisan yang tidak memiliki otoritas dan wewenang adat. Sejak zaman dulu, nenek moyang yang menurunkannya sudah berulah tidak sopan di kampung lama, dalam upacara adat. Maka tak mengherankan bila nenek moyangnya itu pun diusir dari namang (pelataran di antara dua komunitas Lewoingu). Untuk menyelamatkan diri mereka berlindung ke Lewolein. Itulah sebabnya, mereka itu pun tinggal bersama Lewolein di Riang Duli.  Karena bapaknya menjadi kepala sekolah di Eputobi, mereka tinggal di Eputobi dan menumpang di tanah milik Ata Maran. Dengan cara licik, hak atas tanah itu ingin mereka ambil-alih. Tetapi upaya itu tidak akan dibiarkan terus terjadi. Tanah itu tidak layak diperuntukkan bagi orang yang tidak tahu diri. Tiga kubur yang terletak di tanah itu harus segera dibongkar juga. Kubur itu harus dipindahkan segera ke tanah milik Mikhael Torangama Kelen. Anda tidak punya hak apa pun atas tanah itu.

Setelah empat tersangka itu ditangkap, pada hari Jumat sore hingga malam, para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi melakukan ronda sekaligus mengawasi gerak-gerik Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Pada siang dan malam hari itu Lambertus Lagawuyo Kumanireng sangat ketakutan. Dia takut ditangkap juga. Malam hari dia baru muncul di rumahnya. Sejak mulai gelap dan pada malam itu rumahnya sepi dan gulita. Karena koordinasi yang lemah, Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak jadi ditangkap. Padahal orang ini pun perlu ditangkap.  

Setelah penangkapan Mikhael Torangma Kelen, dalam acara makan bersama di rumah suku Kumanireng Blikololong, Lambertus Lagawuyo Kumanireng bilang begini, “Kita harus makan yang banyak supaya saya tidak ditangkap polisi.” Karena panik dan ketakutan, orang ini menempuh segala macam cara untuk menutup perbuatan jahatnya bersama Mikhael Torangama Kelen dkk. Selain Mikhael Torangama Kelen, orang ini menjadi salah satu operator lapangan dari ide-ide yang ditelorkan dari pulau seberang. Untuk sementara, dia berhasil menghindari diri dari cidukan polisi. Tapi cepat atau pun lambat dia akan terkena jerat hukum juga. Pokoknya banyak hal menarik akan terjadi di Eputobi di hari-hari mendatang.***

Melawan Kejahatan, Siapa Takut?

 

Menentang atau melawan kejahatan dalam diri sendiri dan dalam masyarakat merupakan salah satu tugas utama orang beragama. Dalam pembaruan janji baptis pada Malam Paskah, umat katolik menyatakan sanggup melawan kejahatan tersebut. Apakah janji tersebut pun diperbarui oleh kepala komplotan penjahat Eputobi dan anggota-anggota komplotannya, yang hadir dalam upacara Malam Paskah yang baru lalu? Apakah janji tersebut pun diperbarui oleh penyandang dana dan aktor intelektual mereka?

Jawabannya: hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, sejak meletusnya peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya menjadi penakut. Mereka takut ditangkap oleh polisi. Mereka takut akan kejahatan yang mereka lakukan. Mereka takut melawan kejahatan yang terjadi dalam diri mereka dan dalam masyarakat mereka.

Karena takut, maka mereka pun berusaha menempuh segala macam cara untuk menghindari diri dari tanggungjawab hukum. Salah satu pentolan mereka, bernama Donatus Doni Kumanireng, sempat tampil sebagai corong yang sengit menyuarakan kebohongan-kebohongan guna menutupi kejahatan tersebut. Dia termasuk orang yang sangat takut melawan kejahatan yang terjadi dalam dirinya sendiri dan yang terjadi dalam masyarakat Eputobi. Kini seluruh lapisan masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu, juga di Flores Timur sedang menanti datangnya hari penghakiman baginya. Ya, setelah rekan seperjuangannya, Andreas Boli Kelen dijadikan calon narapidana, para pemerhati kasus Blou pun berharap agar si corong dusta itu menjalani proses hukum.

Kelambanan cara kerja aparat kepolisian Polres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan tersebut memberi kesempatan yang luas kepada si corong itu untuk berkoar-koar menyebarkan kebohongan demi kebohongan guna menutupi kasus kejahatan tersebut. Dengan congkak dia menyebarkan fitnah dan penghinaan yang luar biasa hebat terhadap pihak keluarga korban dan para leluhur Ata Maran. Padahal tanpa bantuan dan perlindungan Ata Maran, tidak ada sama sekali ceritera tentang Kumanireng Blikololong. Tanpa Ata Maran, mustahil Kumanireng Blikololong menjadi salah satu kebele’eng di Lewoingu.

Untung bahwa sebagian anggota suku Kumanireng Blikololong masih ingat akan sejarah persaudaraan (hubungan kekeluargaan) antara Ata Maran dan Kumanireng Blikololong. Tetapi si corong dusta itu dengan sengaja melupakannya. Lupa sejarah membuat orang berlaku seenak-enaknya sendiri. Lupa sejarah membuat orang merusak masyarakatnya sendiri. Lupa sejarah membuat orang bertingkah laku aneh dalam masyarakatnya. Lupa sejarah membuat orang berbuat jahat. Lupa sejarah membuat Donatus Doni Kumanireng Blikololong memproklamasikan diri sebagai penguasa kampung Eputobi. Mungkin karena itu, maka dia pun mati-matian mendukung pelanggaran adat yang terjadi pada Senin, 10 April 2006, di Eputobi. Lupa sejarah membuat orang menjadi angkuh dan berlaku arogan.

Kiranya perlu dicatat di sini, bahwa Donatus Doni Kumanireng itu  berasal dari lapisan Kumanireng Blikololong yang tidak memiliki kewenangan adat. Begitu pula halnya dengan Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Yang memiliki wewenang adat resmi adalah lapisan Kumanireng Blikololong yang menempati rumah suku mereka (lango’ bele’eng).

Meskipun berani memproklamasikan diri sebagai penguasa kampung Eputobi, si corong dusta itu takut melawan kejahatan dengan korban orang yang tidak bersalah, Yoakim Gresituli Ata Maran. Jika dia benar penguasa kampung Eputobi, dia mestinya berani melawan kejahatan tersebut. Dengan kata lain, jika dia benar penguasa kampung Eputobi, dia mestinya berani membela kebenaran.

Memang kampanye dusta yang dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng dan rekan-rekan seperjuangannya berhasil membuat sejumlah orang di Eputobi menjadi orang-orang yang takut melawan kejahatan. Mereka terdiri dari orang-orang yang secara membabibuta mendukung posisi Mikhael Torangama Kelen, bukan karena dia itu berkata dan berlaku benar, tetapi semata-mata karena mereka itu mudah diperdaya dengan blt,  raskin, dan dana proyek pembangunan desa. Padahal blt, raskin, dan anggaran pembangunan desa yang bernilai seratus juta rupiah itu bukan hasil perjuangan kepala desa, melainkan program pemerintah pusat yang perlu diterapkan di setiap desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Untung bahwa di kampung Eputobi masih terdapat banyak orang yang berani melawan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepribadian yang kuat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Lewoingu, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai universal.

Sementara itu terdapat orang-orang yang menyatakan diri netral. Tetapi mereka ini sebenarnya terdiri dari orang-orang yang takut melawan kejahatan juga. Tidaklah etis bila dalam menghadapi kejahatan yang demikian besarnya itu anda-anda mengambil sikap netral. Dengan bersikap netral anda-anda pada dasarnya memberi toleransi pada kejahatan tersebut.

Orang-orang yang bermoral tidak netral dalam menghadapi kejahatan. Orang-orang yang bermoral berpihak pada kebenaran. Karena itu kebenaran pun berpihak pada orang-orang bermoral itu. ***