Sabtu, 30 Mei 2009

Ceritera tentang pembuangan panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya

Makin lama tampilan panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya makin seram. Gara-gara keasyikan menerima upeti dari si Resekel, tubuh mereka pun semakin menyerupai tubuh monyet dari hari ke hari. Perikemanusiaan pun semakin berkurang pada mereka. Perikemonyetan semakin jelas nampak pada perilaku mereka sehari-hari. Maka tak mengherankan bila mereka pun lebih banyak menghabiskan waktu dinas dengan bercengkerama dengan empat monyet yang sedang dikerangkeng itu. Mereka semakin tidak mampu bekerja sebagai prajurit. Karena itu di markas itu sendiri pun mulai timbul upaya-upaya untuk membuang panglima dan beberapa anak buahnya itu ke luar markas.

Berita tentang perubahan rupa panglima dan beberapa anak buahnya itu cepat beredar ke seluruh pelosok negeri, bahkan berita itu pun sampai juga ke negeri tetangga. Setelah mendengar berita itu raja negeri Serolf Rumit sempat menengok nasib malang yang menimpa panglimanya itu. Tetapi si raja pun tak bisa berbuat apa-apa. Setelah mengetahui penyebabnya, si raja merasa sangat ketakutan. Soalnya, si raja pun suka menerima dan memaksakan upeti-upeti dari berbagai sumber. Pada suatu malam, si raja Serolf Rumit bermimpi bahwa dirinya pun berubah rupa seperti yang terjadi pada panglima itu. Sejak malam itu, si raja Serolf Rumit jadi suka ngoceh sendiri. Kadang-kadang mulutnya berkomat-kamit tak karuan. Tangannya pun sering dipakai untuk menggaruk-garuk kepala sendiri dan kepala orang lain. Perilaku anehnya itu mengundang pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya, "Ada apa dengan raja kita?" Tapi tak ada jawaban atas pertanyaan itu.

Sementara itu nasib panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya makin mengenaskan. Kutukan dewa langit memaksa mereka untuk berevolusi menjadi monyet. Sudah banyak dukun dan orang pintar yang didatangkan dari berbagai penjuru negeri untuk mengembalikan si panglima dan beberapa prajurit bawahannya itu ke sosok manusia, seperti halnya manusia lainnya. Tetapi upaya-upaya tersebut sia-sia saja. Karena itu tiba waktunya bagi panglima tertinggi yang membawahi negeri Serolf Rumit untuk menjatuhkan keputusannya. Tanpa ragu-ragu sang palingma tertinggi memutuskan untuk membuang panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya yang sudah berevolusi menjadi monyet itu ke suatu pulau terpencil. Untuk itu beberapa kapal perang dan sejumlah prajurit pun disiapkan. Segala perlengkapan yang diperlukan dan perbekalan pun disiapkan. Perjalanan ke pulau terpencil itu memakan waktu satu hari satu malam, dan penuh bahaya.

Ketika hari keberangkatan ke pulau itu tiba barulah diketahui bahwa yang berevolusi menjadi monyet bukan hanya panglima dan beberapa prajurit bawahannya, tetapi juga anggota-anggota keluarga mereka masing-masing. Karena itu setiap anggota keluarga mereka pun ikut diangkut ke pulau itu. Melihat itu beberapa prajurit hanya bisa geleng-geleng kepala. Sedangkan seorang prajurit lainnya langsung menasihati rekan-rekannya begini, "Makanya jangan ikut makan uang yang tak halal. Kita perlu menjaga martabat luhur kita sebagai manusia."

Di tengah terpaan hujan badai, beberapa kapal perang dari negeri Serolf Rumit berlayar menuju pulau terpencil dimaksud. Setelah satu hari satu malam berlayar, mereka akhirnya tiba di pulau termaksud. Sebelum menurunkan mantan panglima negeri Serolf Rumit dan beberapa anak buahnya serta anggota-anggota keluarga masing-masing, beberapa prajurit paling jago diturunkan untuk mengamati keadaan di pulau itu. Luas pulau itu 2000 m persegi. Tidak ada manusia yang menghuni pulau itu. Sebagian besar penduduk pulau itu terdiri dari monyet. Selain itu terdapat juga sejumlah ular kobra, kelelawar, tikus, dan beberapa jenis burung.

Berdasarkan pengamatan lapangan dapat disimpulkan bahwa pulau terpencil itu merupakan tempat yang cocok bagi orang-orang yang sudah berevolusi menjadi monyet itu. Karena itu tanpa ragu-ragu, komandan perjalanan pun memerintahkan prajurit-prajurit yang ada untuk segera menurunkan para monyet baru itu ke tempat tinggal mereka yang baru. Setelah misi dianggap sudah berhasil dijalankan kapal-kapal perang itu pun kembali ke markas mereka di negeri Serolf Rumit.

Setelah berada kembali di markas, komandan perjalanan melaporkan kepada panglima yang baru bahwa misi pembuangan itu sudah berhasil dijalankan. Komandan dan prajurit-prajurit yang menjalankan misi itu tidak meminta imbalan apa pun dari panglima mereka yang baru. ***

Selasa, 26 Mei 2009

Ceritera tentang upeti dari seekor monyet untuk panglima negeri Serolf Rumit

 

Selama beberapa tahun terakhir prajurit negeri Serolf Rumit dipimpin oleh seorang panglima yang korup dan lalim. Hobi korupsinya sudah lama dia kembangkan. Dan dari korupsilah dia menumpuk harta kekayaan yang tak terbilang harganya. Dari korupsi, dia membangun sebuah istana di pinggir pantai nan indah di Tukanai, ibukota kerajaan Serolf Rumit. Makin lama dia pun makin mampu bersaing dengan raja Serofl Rumit. Makin lama mereka berdua jadi tahu sama tahu rahasia masing-masing. Sehingga mereka pun memutuskan untuk tidak saling mendahului.

Karena sudah saling tahu sama tahu, maka ketika si panglima memaksakan upeti dari rakyat negeri Serolf Rumit, raja pun diam saja seakan-akan tidak terjadi masalah. Padahal si panglima tidak punya wewenang untuk memaksakan upeti dari siapa pun. Maka makin lama si panglima pun makin asyik menikmati hasil jarahannya itu. Sebagian hasil jarahannya dikucurkan ke prajurit-prajurit bawahan yang dia anggap loyal padanya. Mulanya hanya beberapa prajurit yang menerima kucuran tersebut, tapi makin lama makin banyak yang berminat bahkan berusaha untuk memperolehnya juga. Melihat itu, si panglima merasa senang. Dia lantas membiarkan prajurit-prajurit yang bersangkutan untuk berpraktek sendiri-sendiri sesuka hati mereka. Yang penting sama-sama enak.

Kebiasaan si panglima itu diamati dengan baik oleh seekor monyet dari Ibutupe yang selama beberapa tahun terakhir tinggal di Tukanai,  ibukota kerajaan Serolf Rumit. Sepesialisasi monyet yang satu ini adalah mencuri dan merampok harta kekayaan masyarakat Tukanai. Lantas dia pun punya kemampuan satu lagi, yaitu menyamar sebagai manusia, sehingga banyak orang mengira bahwa dia itu manusia, padahal dia adalah seekor monyet.

Karena mampu menyamar menjadi manusia, monyet yang satu ini pun memberi nama untuk dirinya. Namanya, Resekel. Belakangan ini, si Resekel ini makin sering merampok. Aksi-aksi jahatnya ini sangat meresahkan warga kota Tukanai. Karena ulah jahatnya itu, di masa lalu, ratusan warga Tukanai pernah berusaha mengusirnya dari kota mereka. Tetapi tak lama kemudian si Resekel muncul kembali di kota itu. Dan sejak saat itu dia menetap di situ. Sekali-sekali dia membawa hasil rampoknya ke Ibutupe. Pikirnya, “Biar sesamaku di kampung bisa ikut menikmati hasil usahaku di kota.”

Karena mengetahui bahwa kepala monyet di Ibotupe dan beberapa rekannya sedang dikerangkeng di markas prajurit di Tukanai, si Resekel berusaha untuk menolong mereka. Tapi mulanya dia tidak tahu bagaimana caranya. Setelah ingat bahwa si panglima negeri Serolf Rumit itu punya hobi terima suap dan upeti yang bukan haknya, si Resekel mulai merasa yakin bahwa dia dapat menggoda si panglima dengan sejumlah uang hasil curiannya. Tetapi bagaimana caranya dia bisa menemui si panglima?

Melalui seorang prajurit yang sudah dia kenal, dia dipertemukan dengan panglima negeri Serolf Rumit. Ketika pertama bertemu, si panglima merasa kaget, karena yang datang menemuinya adalah seorang manusia yang bertingkah laku seperti monyet. Maka si panglima pun sempat enggan untuk menerimanya. Tetapi karena proposal yang diajukan oleh si Resekel itu sangat menarik, maka si panglima pun akhirnya tak berbuat lain selain menerimanya dengan baik.

Jumlah dana yang ditawarkan dalam proposal itu membuat mata si panglima langsung ijo. Tanpa basa-basi, si panglima menyuruh prajurit yang mendampingi si Resekel untuk memanggil prajurit-prajurit lainnya. Kepada prajurit-prajurit yang bersedia memenuhi panggilannya, si panglima berkata begini, “Proposal ini perlukan kita goalkan. Siapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengamankan permintaan pak Resekel ini.” “Siap pak,” jawab prajurit-prajurit itu dengan mantap.

Isi proposal si Resekel ialah permohonan pembebasan empat monyet yang sedang dikerangkeng di markas itu dengan imbalan uang yang besar jumlahnya. Ketika menyusun proposal itu, si Resekel berpikir, “Biar si panglima dan anak-anak buahnya pun ikut menikmati hasil usahaku.”

Melihat gelagat si panglima dan sejumlah anak buahnya mau menerima proposal dari si Resekel, seorang dewa langit mengutus anak buahnya kepada si panglima untuk mencegah terjadinya transaksi antara kedua belah pihak. Ketika utusan dewa itu membisikkan pesan  dari langit itu kepada kuping si panglima, si panglima langsung membentak dan menyuruh utusan dewa itu pergi dari hadapannya. Utusan dewa langit itu pun langsung lenyap dari ruang pertemuan itu.

Semua kejadian di ruangan itu berada di bawah tatapan mata dewa langit, yang jauh lebih terang dan lebih tajam daripada mata manusia mana pun yang ada di bumi ini. Dan karena pesannya ditampik dengan kasar, maka dewa langit pun membiarkan transaksi di antara si Resekel dan si panglima terjadi. Tetapi apa yang terjadi ketika si panglima dan prajurit-prajurit bawahannya itu menerima uang dari si Resekel? Tubuh mereka pun langsung berubah. Dari pusar ke atas mereka menjadi mirip kera, sedangkan dari pusar ke bawah mereka tetap menjadi manusia. Tetapi mereka sendiri tidak menyadari perubahan itu.

Melihat itu, si Resekel pun tersenyum gembira. Dia merasa memiliki teman-teman baru. Dia lalu menyodorkan tangan untuk menyalami mereka satu per satu sambil berkata, “Terima kasih kawan, anda telah bersedia menjadi sahabat-sahabatku. Dan kalian pun tentu mau menolongku, bukan?” “Tentu kawan, tunggu saja tanggal mainnya.” Begitu jawab si panglima dan prajurit-prajurit bawahannya yang telah berubah rupa dengan mantap. “Pokoknya, jangan lupa sama kawan-kawan kita yang dikerangkeng itu.” Begitu pesan si Resekel ketika hendak pamit dari si panglima.

Sejak hari itu juga, si panglima dan sejumlah prajurit bawahannya itu melihat dan memperlakukan empat monyet yang dikerangkeng di markas itu sebagai teman-teman yang perlu dibantu agar cepat keluar dari markas itu. Satu kali dalam satu minggu, si Resekel datang menemui rekan-rekannya itu sekaligus memberikan upeti-upeti tambahan bagi mereka. “Biar segala urusannya jadi lebih lancar.” Begitu pikir si Resekel.

Setiap menerima upeti tambahan dari si Resekel, wajah si panglima dan sejumlah prajurit bawahannya itu pun makin menyerupai wajah monyet-monyet itu. Pada lengan dan tubuh mereka pun mulai tumbuh bulu-bulu panjang. Penampilan mereka yang berubah drastis itu menjadi bahan tertawaan sehari-hari prajurit-prajurit lainnya yang selama ini tetap berusaha menjadi manusia. *** 

Ceritera tentang kedatangan si anjing hitam ke markas prajurit Serolf Rumit

 

Setelah adegan penangkapan kepala monyet dan empat anak buahnya di kampung Ibotupe, para monyet lainnya menjadi sangat ketakutan dan tak tahu harus berbuat apa. Pada malam setelah terjadi penangkapan, tak ada satu pun monyet yang keluar dari tempat persembunyian mereka. Padahal selama ini, mereka itu tak mengenal siang atau malam, kalau mereka mau melakukan aksi-aksi nakal dan brutal mereka.

Melihat itu, pada suatu hari, datang beberapa monyet tua menemui mereka. Ketika bertemu, mereka sama-sama meneteskan air mata. Tetapi sebenarnya tidak jelas untuk apa mereka itu perlu membasahi bumi dengan air mata mereka. Bumi tidak membutuhkan air mata para monyet itu. Yang dibutuhkan bumi adalah air dari langit, yang memberi kekuatan bagi kelangsungan hidupnya. Yang dibutuhkan adalah air dari langit untuk menyembuhkan luka-luka pada tanah bumi, menumbuhkan tunas-tunas baru yang menyegarkan bumi. Bumi Ibotupe yang dipanggang api prahara membutuhkan air penyejuk. Tak berarti sedikit pun air mata para monyet itu.

Setelah meneteskan air mata mereka masing-masing, para monyet itu berusaha untuk saling menghibur dalam suasana duka lara yang sangat menyayat perasaan mereka. Banyak di antara mereka yang hanya duduk merunduk memandang tanah yang terasa makin panas untuk dipijak. Sementara dahan-dahan pohon pun semakin tak bersahabat dengan mereka.  Tetapi mereka itu masih beruntung, karena masyarakat Ibotupe dan sekitarnya belum mengambil keputusan untuk membasmi mereka satu per satu hingga punah seluruhnya.

Sementara itu di markas prajurit Serolf Rumit, empat monyet yang sedang dikerangkeng di situ sering meneteskan air mata juga, terutama di malam hari ketika kelam malam menyelimuti tempat tinggal mereka yang baru itu. Ada keinginan dalam diri mereka untuk melarikan diri keluar dari markas itu. Tapi keinginan mereka itu tak dapat mereka laksanakan. Dengan terpaksa monyet-monyet itu menjalani hari-hari sunyi sepi di markas itu.

Rasa takut pun terus mencekam mereka. Mereka takut akan kemarahan dewa langit dan raja bumi. Soalnya, ada di antara anggota mereka yang sudah jadi korban cahaya putih yang menyambar wajahnya bagai petir di suatu pagi hari, padahal tak ada hujan badai. Dan amarah raja bumi pun sudah mereka saksikan. Rasa takut sungguh-sungguh mencekam sanubari mereka. Baru kali ini, perasaan mereka disergap rasa takut yang demikian mengerikan itu. Maka di malam-malam yang sepi, mereka pun tak bisa berbuat lain selain membasahi dinding-dinding kelam dengan air mata mereka sendiri.

Ketika dinding-dinding kelam kian membisu, dalam hati, mereka sempat berharap dapat ditengok oleh anggota-anggota keluarga dan rekan-rekan mereka. Tetapi yang diharap-harap tak kunjung datang jua, hingga pada suatu malam berkunjung ke markas itu seekor anjing hitam. Tetapi si anjing hitam itu pun tak bisa mendekati mereka, karena kehadirannya terlanjur diketahui oleh para prajurit yang sedang berjaga di pos mereka.

Kehadiran si anjing hitam disambut dengan lolongan dan gonggongan sahut menyahut anjing-anjing yang sehari-hari berada di markas itu. Tongkrongannya yang berbeda dengan anjing-anjing lainnya cepat mengundang perhatian dari prajurit-prajurit yang sedang berada di markas itu. Karena menimbulkan kegaduhan, si anjing hitam pun diusir pergi, keluar dari markas itu. Maka pergilah si anjing hitam itu, tanpa sempat menyapa empat monyet itu.

Tapi lolongan dan gonggongan anjing-anjing lainnya itu tadi merupakan sinyal bagi empat monyet itu, bahwa yang datang ke markas itu barusan adalah rekan mereka yang satu itu. Mereka tahu bahwa rekan mereka itu punya kebiasaan untuk menjelma menjadi si anjing hitam. Dan kehadirannya selalu ditandai dengan lolongan dan gonggongan anjing-anjing lainnya. Maka ketika mereka mendengar tanda itu, mereka sempat berharap agar rekan mereka bisa datang menemui mereka. Siapa tahu ada info tertentu yang dibawanya. Tapi harapan mereka itu tak bisa menjadi kenyataan.

Pada malam itu juga, si anjing hitam itu langsung kembali ke tempat persembunyiannya di Ibotupe. Tak ada kabar yang dapat dia bawa untuk rekan-rekan mereka yang sedang menunggu kepulangannya. Si anjing hitam itu pun malah jadi ketakutan sendiri, karena masyarakat Ibotupe sudah tahu segala ulah tingkahnya selama ini.

Tak lama setelah kembali ke Ibotupe, si anjing hitam pun kembali menjadi monyet yang kurus kering dengan bulu wajah yang lebih panjang ketimbang bulu di wajah monyet-monyet lainnya. ***

Sabtu, 23 Mei 2009

Ceritera tentang perburuan dan penangkapan empat monyet nakal dan brutal

 

Sejak meletusnya peristiwa penghisapan darah oleh para kelelawar di malam itu, masyarakat manusia di kampung  Ibotupe di negeri Serolf Rumit memutuskan untuk melakukan perburuan besar-besaran terhadap monyet-monyet itu. Soalnya, selain semakin tak tahu diri, monyet-monyet itu pun semakin brutal. Monyet-monyet itulah yang menjelma menjadi kelelawar agar lebih mudah melakukan operasi penghisapan darah manusia. Kebrutalan mereka itu tak lagi dapat dimaafkan.

Mendengar kebrutalan para monyet itu panglima dari negeri tetangga, yaitu negeri Romit pun mengirim beberapa prajuritnya untuk membantu masyarakat Ibotupe. Bantuan itu sungguh diperlukan mengingat panglima dan raja negeri Serolf Rumit sendiri tak mau peduli dengan masalah yang dihadapi masyarakat Ibotupe. Memang raja dan panglima negeri Serolf Rumit yang sekarang ini setali tiga uang. Mereka tidak punya perhatian terhadap kepentingan-kepetingan rakyat biasa, apalagi yang tinggal di kampung-kampung. Bagi mereka, yang penting rakyat masih mau mengantar berbagai upeti bagi mereka.

Maka tak mengherankan bila kedatangan beberapa prajurit dari negeri tetangga itu disambut dengan hangat oleh masyarakat Ibotupe. Tetapi kehadiran mereka tidak disenangi oleh panglima dan raja Serolf Rumit. Meskipun demikian mereka tidak berani mengganggu misi yang diemban oleh prajurit-prajurit dari negeri tetangga itu. Soalnya, kekuatan tempur dari negeri tetangga itu jauh lebih besar ketimbang kekuatan tempur yang dimiliki oleh negeri Serolf Rumit. Mengganggu misi parajurit-prajuri dari negeri tetangga itu sama dengan mengundang bencana datang ke negeri Serolf Rumit. Begitu panglima dan raja Serolf Rumit berpikir. Apalagi sebagian prajurit dari negeri Serolf Rumit pun mendukung misi yang diemban oleh prajurit-prajurit dari negeri tetangga itu.

Setelah tiba di negeri Serolf Rumit, prajurit-prajurit dari negeri Romit tidak langsung lakukan perburuan. Mereka terlebih dahulu menjalin hubungan baik dengan masyarakat Ibotupe dan sejumlah prajurit setempat yang mendukung misi mereka. Kemudian bersama-sama mereka melakukan pengamatan atas segala macam perilaku dan kebiasaan-kebiasaan para monyet yang menghuni kampung Ibotupe itu. Setelah itu barulah mereka melakukan perburuan.

Karena sudah terlatih baik, dan karena sudah berpengalaman dalam berbagai medan tempur yang berat, prajurit-prajurit dari negeri tetangga itu dengan mudah menangkap empat monyet. Memang, sebelum ditangkap empat monyet itu pun berusaha berkelit. Tetapi upaya mereka sia-sia saja. Ikut ditangkap pada hari pertama perburuan adalah kepala gerombolan monyet, yang selama ini terkenal paling nakal dan paling brutal. Selain pandai mencuri harta benda milik manusia, kepala monyet itu pun sering berlaku brutal terhadap manusia.

Penangkapan itu terjadi di suatu sore hari di hadapan kerumunan monyet-monyet lainnya. Menyaksikan adegan penangkapan itu, ada beberapa monyet yang langsung menitikkan air mata, dan ada pula yang lari ke hutan untuk menyembunyikan diri. Yang ikut lari ke hutan adalah seekor monyet jantan dengan wajah berbulu panjang, yang juga terkenal nakal dan brutal juga. Baru kali ini monyet-monyet itu menunjukkan rasa takut mereka. Selama ini mereka menunjukkan diri sebagai hewan-hewan pemberani.

Setelah ditangkap, empat monyet itu dimasukkan dalam satu kerangkeng kecil. Di dalam kerangkeng itu mereka sering berdesak-desakan. Oleh prajurit-prajurit dari negeri tetangga, kerangkeng berisi empat monyet itu dititipkan di markas prajurit negeri Serolf Rumit. Mereka perlu dikerangkeng demi keamanan dan keselamatan hidup masyarakat Ibotupe.

Meskipun tidak terjadi perlawanan dari gerombolan mereka, penangkapan empat monyet itu sempat menimbulkan heboh di berbagai kalangan masyarakat di sekitar Ibotupe. Bagaimana tidak heboh. Selama ini mereka sudah capek dan resah menyaksikan ulah nakal dan brutal para monyet itu. Maka setelah mendengar bahwa akan terjadi penangkapan atas para monyet nakal dan brutal itu, banyak dari mereka pun menyempatkan diri untuk menyaksikan adegan penangkapan itu.

Penangkapan empat monyet itu sedikit melegakan hati para warga kampung Ibotupe, karena dengan demikian gangguan keamanan dan keselamatan diri mereka makin berkurang. Tetapi mereka masih perlu waspada dan berhati-hati, karena masih ada monyet-monyet yang juga nakal dan brutal yang masih berkeliaran di sekitar mereka. Apalagi yang masih berkeliaran itu pun sering mengancam. ***

Jumat, 15 Mei 2009

Ceritera tentang monyet, tikus, kelelawar, dan tupai bloon

 

Entah sejak kapan para monyet itu mulai berdatangan ke  kampung itu. Yang jelas dalam beberapa tahun terakhir, di suatu kampung bernama Ibotupe, di negeri Serolf Rumit bermukim segerombolan monyet. Terkadang para monyet itu pun bisa menjelma menjadi tikus. Di antara mereka ada juga yang bisa menjelma menjadi ular dan anjing hitam. Terkadang mereka juga dapat menjelma menjadi tupai-tupai yang pandai meloncat ke sana ke mari. Selagi menjadi monyet mereka suka merampas apa-apa yang menjadi hak manusia.

Kalau berada di pasar, para monyet itu cepat berubah menjadi tikus-tikus agar lebih mudah menggerogoti apa-apa yang dapat digerodoti. Salah satu barang yang sering mereka gerogoti ialah uang iuran pasar. Jika ada proyek pembangunan fisik di kampung itu, mereka pun cepat berubah rupa menjadi tikus-tikus agar lebih gampang beroperasi di antara kayu-kayu, lembaran-lembaran seng, dan sak-sak semen. Dan ketika tiba musim raskin, tikus-tikus itu pun berpesta pora di lumbung raskin.

Para monyet itu tidak hanya lapar dan haus akan makanan dan minuman, tetapi juga haus darah. Celakanya, yang mereka cari bukan darah binatang tetapi darah manusia. Maklum, darah manusia adalah salah satu minuman kesayangan si kepala monyet. Bagi mereka, darah manusia itu halal untuk diminum. Soalnya, mereka memandang manusia seperti manusia memandang binatang. Sehingga, kapan saja diperlukan, mereka bisa memangsa seorang manusia untuk dihisap darahnya.

Pada suatu malam, berdasarkan perintah si kepala, para monyet itu berubah menjadi vampire (kelelawar). Dengan lincah mereka terbang menuju ke suatu tempat. Rombongan vampire itu dikomandani oleh kepala mereka. Di tempat itu mereka menunggu seorang manusia yang akan melintas pulang ke kampung halamannya.

Dalam gelap malam para vampire itu menunggu dan menunggu. Sambil menunggu mereka mengirim dua rekan mereka untuk memantau posisi calon korban mereka itu. Oh, dia ternyata ada dan pasti akan melintas di tempat mereka sedang berjaga. Begitu informasi yang mereka peroleh dari dua rekan mereka yang melakukan pemantauan.

Benar, akhirnya manusia itu muncul juga di hadapan mereka. Begitu melihat calon korban mereka itu muncul, dengan cekatan mereka pun keluar dari tempat persembunyian di pinggir jalan, lalu meyergapnya. Beramai-ramai mereka menyedot darah manusia itu hingga habis tuntas. Maka matilah anak manusia itu di tempat itu juga. Setelah itu para vampire itu pulang sambil bersorak sorai ke kampung mereka. Mulut dan tangan mereka masih berlumuran darah ketika mereka tiba di rumah kepala mereka. Sepanjang malam itu bau darah korban mereka itu menyebar ke seluruh pelosok kampung itu. Bau darah dari mulut, tangan, dan badan mereka mengundang gonggongan anjing piaraan sesesorang pada tengah malam itu.

Sekembali dari operasi penghisapan darah, mereka kembali menjadi monyet. Pada malam itu para monyet itu berkumpul di rumah kepala monyet. Di situ mereka berpesta, pesta darah bercampur anggur. Pesta itu berlangsung hingga pagi. Apalagi monyet-monyet betina pun menemani mereka untuk berpesta pora.

Pagi-pagi hari berikutnya, si kepala monyet dan beberapa temannya meluncur ke tempat operasi mereka pada malam sebelumnya. Karena hari sudah terang, maka mereka memutuskan untuk tetap tampil sebagai monyet. Mereka bermaksud mencek seperti apa nasib seorang manusia, kalau darahnya habis disedot. Di sana mereka menemukan, bahwa manusia itu sungguh-sungguh sudah tak bernyawa lagi. Dan mereka pun membiarkannya tergeletak di situ.

Setelah menyaksikan dengan mata mereka sendiri nasib korban mereka itu, mereka pun kembali sambil bekata, “Darah satu orang sudah kita nikmati, darah empat orang lagi yang akan kita nikmati.” Sejak pagi itu, mereka membayangkan kenikmatan demi kenikmatan darah manusia yang akan mereka minum pada musim-musim pesta mendatang. 

Tetapi kematian manusia itu segera menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat manusia di kampungnya. Setelah diusut, akhirnya diketahui bahwa yang menyebabkan dia meninggal ialah karena darahnya disedot habis oleh serombongan kelelawar pada malam hari itu. Dan mereka juga akhirnya tahu juga bahwa para vampire itu adalah  jelmaan dari monyet-monyet yang tinggal bertetangga dengan mereka. Mereka juga mengetahui monyet-monyet mana saja yang pada malam itu menjelma menjadi vampire yang menghisap darah manusia itu.

Setelah mengetahui bahwa perbuatan jahat mereka itu diketahui oleh masyarakat manusia, para monyet itu bertekad untuk menjelma menjadi tupai. Mereka berharap, dengan menjadi tupai mereka bisa meloncat dari pohon ke pohon, dari hutan ke hutan, sehingga bisa lolos dari kejaran manusia. Tetapi para manusia tidak mau kehilangan akal. Mereka tidak mau dibodohi oleh tupai-tupai itu.

Empat ekor tupai akhirnya jatuh dari pohon dan berhasil ditangkap, lalu dikerangkeng. Tupai-tupai lainnya masih coba berusaha meloncat ke sana ke mari. Tetapi mereka pun akan jatuh juga. Karena yang namanya tupai itu sudah ditakdirkan begini, “Sepandai-pandai tupai meloncat, sekali waktu akan terjatuh juga.” Apalagi mereka itu adalah tupai-tupai bloon.

Manusia terus memburu tupai-tupai bloon itu hingga satu per satu dari gerombolan mereka akan ditangkap dan dikerangkeng. Seandainya mereka memilih menjadi monyet, atau tikus, atau kelelawar pun mereka itu mudah ditangkap satu per satu, karena mereka adalah binatang-binatang yang bloon. ***

Sabtu, 09 Mei 2009

Dari Manakah Datangnya Fitnah Itu?

 

Fitnah bahwa Ardy Namang dan kawan-kawan sebagai pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007 berasal dari sebuah rumah di Larantuka, Flores Timur. Ke rumah itu si saksi kunci, Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite digadang lalu dikerjai dengan ilmu sihir. Dalam keadaan kerasukan,  Pite Koten berceloteh bahwa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah Ardy Namang dan kawan-kawan. Itu terjadi pada malam hari sebelum keempat tersangka dan si saksi kunci diboyong ke Polda NTT di Kupang.

Perkataan Pite Koten dalam keadaan tidak sadar itu didengar oleh beberapa orang Eputobi dan dua oknum polisi. Demikian tutur seseorang yang menyaksikan kejadian tersebut. Mungkin dua anggota polisi itu dihadirkan sebagai saksi untuk permainan dari dunia kelam itu. Permainan semacam itu sebenarnya dapat dihindari, jika si saksi kunci sungguh-sungguh berada dalam perlindungan polisi. 

Setelah memberikan kesaksian dengan sadar dan tanpa paksaan di Polres Flores Timur, pada hari Kamis, 17 April 2008, Pite Koten langsung meminta perlindungan polisi bagi dia dan keluarganya. Tetapi perlindungan baginya hanya berlaku sementara. Setelah diizinkan tinggal di Weri, si saksi kunci itu praktis tak lagi mendapat perlindungan dari polisi. Dengan mudah dia dijumpai dan dikuliahi oleh rekan-rekan dan anggota-anggota keluarga empat tersangka yang pada waktu itu ditahan di Polres Flores Timur. Hilir mudik, mereka datang dari Eputobi dan Kupang  untuk menggarapnya. Tujuan utama mereka ialah membuat Pite Koten menarik kembali keterangannya yang telah dituangkan dalam BAP. Di kemudian hari diketahui secara jelas, bahwa pemilik rumah tempat dia tinggal, waktu itu, pun  berkubu ke komplotan penjahat Eputobi itu.

Bersama empat tersangka si saksi kunci itu diboyong ke Polda NTT. Di sana dia sungguh-sungguh mendapat perlindungan khusus dari polisi. Maklum, dia adalah saksi kunci. Di Polda NTT, dia sempat mengeluh bahwa empat tersangka itu menekan dan memaksa dia untuk menarik kembali keterangannya dari BAP. Tetapi kepada penyidik dari Polda NTT dia mengatakan bahwa dia tidak mau menarik kembali keterangan yang diberikannya pada hari Kamis, 17 April 2008 itu.

Karena keempat tersangka terus menekannya, penyidik lalu menyuruh mereka  untuk berdoa. Setelah berdoa, Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng tampak pucat. Guna menanggapi tekanan mereka terhadap si saksi kunci, penyidik menyuruh mereka untuk menulis sendiri surat pernyataan pada kertas bermeterai, yang menyatakan bahwa mereka bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi Mikhael Torangama Kelen yang diharapkan mampu merumuskan pernyataan termaksud tak bisa berbuat apa-apa. Dia dan tiga tersangka lainnya tampak makin pucat dan hanya duduk bengong. Akhirnya pernyataan termaksud gagal dibuat. Mengapa?

Pikiran dan mulut mereka bisa berdusta, tetapi hati dan tubuh mereka tidak bisa berdusta. Jika bahasa hati lebih abstrak, sehingga lebih sukar tertangkap jelas, bahasa tubuh mudah ditangkap, mudah dimengerti juga. Bahasa tubuh mereka pada waktu itu secara jelas menuturkan tentang keterlibatan aktif mereka dalam peristiwa kriminal di Blou.

Setelah mendengar ceritera tentang maksud keempat tersangka untuk membuat pernyataan tersebut di atas, Donatus Doni Kumanireng pun muncul di Polda NTT. Dia mengira bahwa empat tersangka itu akan dibebaskan pada hari itu juga. Sebelum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, dia sudah menyebarkan kabar ke beberapa orang bahwa keempat tersangka akan dibebaskan. Dan dia sendiri yang akan mengantar mereka kembali ke Eputobi. Tetapi dia sendiri menjadi pucat pasi ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa tangan-tangan keempat tersangka itu tetap diborgol ketika mereka diantar ke pelabuhan untuk selanjutnya dibawa kembali ke Larantuka.

Setelah kembali dari Kupang, rekan-rekan dan anggota-anggota keluarga empat tersangka semakin gencar bergerilia untuk menggarap si saksi kunci. Mereka itu pun mulai menggencar kampanye dusta, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak Lamber Liko Kumanireng itu bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Mereka memposisikan keempat tersangka sebagai korban fitnah. Dan keempat tersangka pun mulai mengencangkan jurus dusta. Sehingga terjadilah begini: dusta beranak pinak dusta, hingga membentuk suatu lingkaran setan dusta yang hingga kini coba dipertahankan oleh komplotan penjahat itu.

Jika lingkaran setan dusta terus dipertahankan, fitnah pun dengan sendirinya terus dirawat oleh komplotan penjahat itu. Tetapi coba tanyakan kepada Petrus Naya Koten ketika dia dalam keadaan sadar, “Siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran?” Dijamin, bahwa dia tidak akan menyebut nama Ardy Namang dan kawan-kawan. Kepada penyidik di Polres Flores Timur yang memeriksanya kembali pun dia tidak pernah mengatakan hal itu. Dan orang yang sempat memberikan bantuan hukum baginya malah kaget setelah mengetahui apa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007 berdasarkan kesaksian Pite Koten yang dibacakan dengan suara keras dihadapannya. ***

Coba Buktikan Bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk Bukan Pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran!

 

Belum diajukannya kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran ke Pengadilan Negeri Larantuka sempat memicu timbulnya pikiran pada sejumlah orang di kampung Eputobi, desa Lewoingu bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya rupanya bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Apalagi para penjahat itu pun sempat menyebarkan fitnah bahwa Ardy Namang dkk yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pada Senin malam, 30 Juli 2007, ketika Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sedang beraksi di Blou dan sekitarnya, Ardy Namang dkk berkumpul di rumah Yosef Kehuler di Eputobi. Pada malam itu, mereka menonton televisi sambil menunggu kedatangan Yoakim Gresituli Ata Maran. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang. Keesokan harinya, setelah tersiar berita tentang kematian sahabat mereka itu, mereka sangat sedih dan menyadari arti kejadian aneh yang mereka alami pada Senin malam itu di rumah tersebut.

Fitnah tersebut di atas sempat digenjot ke sana ke mari oleh komplotan penjahat Eputobi itu. Dan hanya orang-orang sangat bodoh yang mempercayai fitnah semacam itu. Tetapi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya serta orang-orang bodoh yang menelan bulat-bulat fitnah itu tidak pernah bisa membuktikan bahwa bukan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Donatus Doni Kumanireng yang selama ini secara membabibuta membantah keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam proyek kriminal Blou tidak pernah bisa membuktikan kebenaran bantahannya.

Bantahan Donatus Doni Kumanireng itu sama sekali tidak didasari bukti-bukti, sehingga tidak memiliki nilai hukum. Bantahan demi bantahan yang dilakukannya itu didasari rasa takut yang menyayat-nyayat hatinya segera setelah meletusnya peristiwa Blou hingga kini. Jika memang sungguh satria, coba dia buktikan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu bukan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Perlu anda ketahui bahwa segala macam omong kosong tentang kasus Blou, yang anda dan rekan-rekan seperjuangan anda sebarkan selama ini sangat menjijikkan. Dikatakan menjijikkan karena anda itu dengan sadar dan sengaja berusaha menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu.

Dan coba tanyakan pula kepada Andreas Boli Kelen, mengapa dia perlu mengirim SMS ke hp Petrus Naya Koten, kalau Mikhael Torangama Kelen bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran? Kalau memang tidak terlibat, mengapa para anggota komplotan penjahat itu sibuk mengancam orang-orang yang berusaha mengungkap kasus pembunuhan tersebut? Kalau benar  tidak terlibat, mengapa ada saksi yang diancam? Kalau benar tidak terlibat mengapa si JPU kok perlu dilobi beberapa kali sebelum tanggal 16 Agustus 2008? Kalau benar tidak terlibat, mengapa Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng kok begitu sibuknya mondar-mandir Eputobi-Blou pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sebelum tersiar berita tentang penemuan jenazah korban di Blou? Kalau tidak terlibat, mengapa para penjahat itu kok sudah tahu tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou sebelum jenazahnya ditemukan, konon oleh Moses  Hodung Werang?

Membuktikan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu mudah. Yang membuat proses penanganan perkara itu berjalan lamban dan menjadi rumit ialah keengganan, kekurangseriusan aparat kepolisian setempat untuk mengungkap hingga tuntas seluruh aspek kriminal dari kasus Blou. Wajarkah sejumlah orang yang terindikasi terlibat dalam peristiwa Blou belum juga diperiksa secara intensif hingga hari ini? Perlu diketahui bahwa anggota-anggota polisi yang profesional menyaksikan amburadulnya cara penanganan kasus Blou itu dengan rasa prihatin yang mendalam. Lantas benarkah pengembalian berkas perkara pembunuhan tersebut oleh si JPU didasari alasan-alasan hukum yang dapat diandalkan? 

Coba buktikan saja bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya bukan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Coba buktikan itu di hadapan adat, agama, dan hukum!  ***

Jumat, 08 Mei 2009

Nasib Berkas Perkara Pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran

 

Setelah dua bulan lebih diendapkan di Kejaksaan Negeri Larantuka, berkas perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran dikembalikan ke Polres Flores Timur pada hari Rabu, 6 Mei 2009, oleh JPU yang bersangkutan. Hingga, Rabu siang, 6 Mei 2009, pihak keluarga korban masih memperoleh informasi dari Polres Flores Timur bahwa berkas tersebut masih berada di Kejaksaan Negeri Larantuka.

Keesokan harinya, Kamis, 7 Mei 2009, ketika pihak keluarga korban mencek nasib berkas itu ke Kejaksaan Negeri Larantuka, diperoleh jawaban bahwa berkas itu sudah dikembalikan ke Polres Flores Timur pada hari Rabu, 6 Mei 2009. Ketika pihak keluarga korban mengontak Kapolres Flores Timur, diperoleh jawaban bahwa benar berkas tersebut sudah dikembalikan. Tetapi apakah pengembaliannya disertai dengan petunjuk atau tidak disertai dengan petunjuk, belum jelas hingga kini. Tentang hal itu, pihak keluarga korban memperoleh dua informasi yang berbeda. Informasi yang satu menyebutkan bahwa pengembalian berkas itu tidak disertai dengan petunjuk. Informasi lainnya menyebutkan bahwa pengembalian berkas itu disertai dengan petunjuk.

Jika benar bahwa pengembalian berkas perkara pembunuhan tersebut tidak disertai dengan petunjuk-petunjuk perbaikan, maka ini hanya mempertegas amburadulnya cara kerja si JPU. Seorang JPU mestinya tahu persis bahwa jika berkas perkara kriminal itu memang belum layak memperoleh status P21, berkas itu tidak boleh dipendam hingga dua bulan lebih di kantornya. Jika masih terdapat kekurangan-kekurangan, berkas itu dikembalikan ke Polres Flores Timur dalam tempo dua minggu. Dan pengembaliannya pun perlu disertai dengan petunjuk-petunjuk tentang kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki oleh tim penyidik.

Seandainya pengembalian berkas itu disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk perbaikan pun dapat menimbulkan pertanyaan, mengapa si JPU memendamnya hingga dua bulan lebih di kantornya. Padahal dua bulan lebih adalah masa yang dapat dipakai oleh tim penyidik di Polres Flores Timur untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dimaksud. Tetapi di dalam kenyataan, masa dua bulan lebih itu berlalu tanpa arti bagi pemantapan penanganan perkara kejahatan tersebut.

Hingga kini, pihak keluarga korban belum memperoleh informasi yang jelas tentang sikap Ketua Kejaksaan Negeri Larantuka terhadap apa yang dilakukan oleh JPU yang bersangkutan. Tetapi seorang jaksa yang berpengalaman dalam menangani perkara pidana, secara jelas, mengatakan bahwa penahanan hingga lebih dari dua bulan berkas perkara pembunuhan itu bertentangan dengan hukum. Jika setelah dua minggu JPU yang bersangkutan tidak mengembalikan berkas itu ke penyidik, pihak penyidik bisa berinisiatif berkoordinasi dengan si JPU untuk menyerahkan para tersangka dan barang-barang bukti ke kejaksaan yang bersangkutan.

Selama ini tidak jelas seperti apa koordinasi antara penyidik Polres Flores Timur dan JPU yang bersangkutan untuk mengamankan proses pengajuan perkara kejahatan besar itu ke pengadilan. Dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan, sudah selayaknya jika kedua pihak itu punya tekad yang sama untuk mengajukan perkara tersebut ke pengadilan. Tetapi di dalam kenyataan, mereka kelihatannya seperti orang-orang yang bermain pimpong.

Bagi yang ingin terus bermain pimpong, teruslah bermain. Yang jelas, perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran terus diusut hingga tuntas. Empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tetap berstatus sebagai tersangka. Dalam pengusutan lebih lanjut akan muncul tersangka-tersangka baru. ***

Jumat, 01 Mei 2009

Pecat Mikhael Torangama Kelen Sebagai Kepala Desa Lewoingu!

 

Anda mengenal Antasari Azhar? Dia adalah ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kini dia diduga terlibat kasus pembunuhan atas Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Dan tak lama setelah dia diduga terlibat dalam kasus pembunuhan berencana itu, beredar informasi bahwa dia pun nonaktif dari posisinya sebagai ketua KPK.

Nonaktifnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK tentu didasari alasan yang cukup. Dalam kasus ini asas praduga tak bersalah tentu berlaku baginya juga. Tetapi tentu tidak baik, jika seseorang yang diduga terlibat  dalam perkara kriminal besar tetap dipertahankan dalam posisinya sebagai pejabat negara ini. Nonaktifnya Antasari Azhar terkait dengan perlu dijaganya citra KPK sebagai lembaga penegak kebenaran dan keadilan.

Guna menyelamatkan citra KPK, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada Zaenal Arifin Mochtar dan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menerbitkan ketetapan presiden tentang pemberhentian Antasari sebagai Ketua KPK (Kompas, 2/5/2009).

Selain mendesak Polri untuk terus bekerja cepat menangani kasus tersebut, Ketua DPR RI, Agung Laksono juga mengatakan begini, “Kalau pak Antasari mengundurkan diri, lebih baik.” (Kompas, 2/5/2009). Juga disarankan agar KPK menonaktifkan Antasari sampai ada keputusan hukum berkekuatan tetap.

Jika kacamata itu digunakan untuk memandang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, kita dengan mudah menyetujui pemecatan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Demi apa? Ya. demi menyelamatkan citra desa Lewoingu di Flores Timur itu, juga demi menyelamatkan banyak orang dari kubangan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pendek kata, pemberhentian dia sebagai kepala desa Lewoingu diperlukan demi menyelamatkan masyarakat Eputobi dari kehancuran yang lebih parah.

Dari kacamata mana pun, kita dengan mudah melihat bahwa keputusan bupati Flores Timur untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu merupakan suatu kesalahan besar. Dikatakan kesalahan besar, karena Mikhael Torangama Kelen adalah salah satu otak dan pelaku utama  pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Tidak ada alasan hukum dan moral yang membenarkan keputusan bupati Flores Timur itu.

Mendukung apalagi mempertahankan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu sebagai kepala desa Lewoingu merupakan suatu kesalahan besar yang patut segera dikoreksi. Menolak si kepala komplotan penjahat itu sebagai kepala desa Lewoingu seperti yang diperlihatkan oleh  masyarakat beradab di Eputobi merupakan sikap moral terbaik untuk menyelamatkan desa Lewoingu dari kehancuran yang lebih parah. Sikap moral masyarakat beradab itu kiranya perlu diperkuat oleh orang-orang Lewoingu yang berhatinurani jernih. Guna membangun diri secara lebih sehat dan lebih sejahtera, masyarakat beradab di kampung Eputobi tidak membutuhkan peranserta para penjahat itu.

Maka tak ada jalan lain yang perlu ditempuh selain melengserkan si kepala komplotan penjahat itu dari kursi kepala desa Lewoingu. Setuju? Para pengecut dan para petualang politik tentu tak berani menjawab pertanyaan ini. ***  

Membela Kebenaran, Siapa Tak Berani?

 

Nama Pontius Pilatus dicatat dalam Injil sebagai tokoh yang takut berpihak pada kebenaran. Meskipun tidak menemukan satu pun kesalahan yang dilakukan Yesus, Pilatus tak berdaya untuk membebaskan Yesus dari hukuman mati. Gencarnya tekanan yang dilakukan oleh imam-imam kepala dan orang-orang Yahudi yang menuntut hukuman mati bagi Yesus membuat Pilatus memilih mempertahankan posisi aman.

Guna mengamankan posisinya sebagai wali negeri Kaisar Tiberius dia ikut menyalibkan Yesus. Padahal dia sendiri mengakui bahwa Yesus tidak bersalah apa-apa. Jalan kompromi memang kerap dia tempuh, yang penting kepentingannya aman. Meskipun berkuasa untuk mengambil keputusan, dia gagal menggunakan kekuasaannya untuk membela kebenaran, karena dia seorang pengecut. Dia takut menjadi korban amukan dari imam-imam kepala dan orang-orang Yahudi yang membenci Yesus. Dengan demikian, dia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu konspirasi politik yang membunuh Yesus.

Konpirasi model itu dengan mudah kita temukan dalam kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Tanpa konspirasi, pembunuhan itu tidak terjadi. Tanpa konspirasi, kasus pembunuhan itu dapat diungkap hingga tuntas dengan sangat mudah, karena indikasi-indikasi awal yang mengarah pada para pelakunya sangat jelas. Apalagi di kemudian hari pun muncul saksi kunci.

Dalam kasus itu pun  kita dengan mudah menemukan sejumlah orang yang bersikap seperti Pilatus. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang secara jelas tahu tentang rencana dan pelaksanaan pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, tetapi tak berani mengungkapkan kebenaran. Ketidakberanian mereka itu timbul dari rasa takut akan ketidakamanan posisi serta kepentingan mereka masing-masing dalam masyarakat. Demi keamanan kepentingan pribadi mereka masing-masing, mereka berkompromi dengan para penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen itu. Demi keamanan kepentingan mereka masing-masing, mereka membiarkan rencana pembunuhan itu terjadi. Demi kepentingan pribadi mereka, mereka membiarkan pembunuhan itu terjadi, kemudian, seperti yang diinginkan oleh para pelakunya, mereka pun melakukan aksi tutup mulut.

Termasuk dalam barisan Pilatus adalah oknum-oknum yang demi fulus lantas berusaha keras untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut. Mereka inilah yang menjadi penghambat utama kelancaran proses hukum atas kasus pembunuhan tersebut.

Hingga kini, sukar bagi kita untuk mengharapkan para pilatus itu  berpihak pada kebenaran dan berusaha membelanya dengan serius. Soalnya jelas. Mereka itu pengecut. Yang perlu kita lakukan ialah mewaspadai orang-orang semacam itu, karena orang-orang yang tidak berperasaan itulah yang mengizinkan para pembunuh dan pengkhianat melaksanakan keinginan jahat mereka. ***