Rabu, 26 Agustus 2009

Polisi dan Jaksa

 

Harapan masyarakat beradab di kampung Eputobi dan seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya agar kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran dapat dajukan ke Pengadilan Negeri Larantuka tampaknya belum terpenuhi dalam waktu dekat ini, mengingat masih adanya ganjalan di sana sini. Meskipun ganjalan dimaksud seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat jelasnya ujung pangkal perkara pembunuhan tersebut, tetapi di dalam kenyataan itu yang terjadi.

Yang diharapkan oleh keluarga korban dan para pendukungnya adalah adanya koordinasi yang jelas antara pihak polisi dalam hal ini Polres Flores Timur dan pihak Kejaksaan Negeri Larantuka agar perkara kejahatan tersebut dapat berhasil memperoleh status P21. Soalnya, yang terjadi adalah perkara pembunuhan berencana. Kadar kriminalnya tergolong besar, apalagi salah seorang tersangka pelakunya kini berstatus sebagai kepala desa Lewoingu. Citra desa Lewoingu kian terpuruk, jika si tersangka tersebut terus bercokol di kursi kepala desa tersebut. Padahal di bagian lain dari negeri ini, seorang yang berstatus sebagai tersangka pelaku kejahatan besar semacam itu layak dinonaktifkan. Apalagi pelantikannya tempo hari pun bersifat bersyarat. Benarkah semua syarat sudah dia penuhi?

Sungguh tidak etis jika suatu desa dikepalai oleh seseorang yang secara jelas menjadi kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Jika etika politik diabaikan mau dibawa ke mana desa Lewoingu. Kesadaran etislah yang mendorong berbagai pihak, tidak hanya di kawasan Lewoingu, tetapi di kawasan lain di Flores Timur, termasuk di kota Larantuka, terus menanyakan kelanjutan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Mereka terus mendesak pihak keluarga korban untuk tidak mendiamkan kelambanan penanganan perkara tersebut. Ada yang sempat mengatakan, “Kami ini orang lain, tapi kami pun keberatan bila penanganan perkara tersebut terus terkatung-katung.” Dari kalangan kaum berjubah pun muncul dorongan agar pihak keluarga korban terus mengupayakan agar penanganan perkara pembunuhan tersebut bisa berjalan lebih serius dan lancar. Kelambanan penanganan perkara tersebut seperti yang terjadi selama ini dikhawatirkan mengaburkan bahkan ikut menggelapkan aspek-aspek kriminalnya yang sudah terang benderang.

Sampai sejauh ini, pihak keluarga korban masih berusaha dengan sabar menunggu hasil kerja nyata dari para aparat penegak hukum terkait dalam memproses perkara tersebut. Karena hasil kerja mereka belum juga optimal, maka kami menghimbau mereka untuk bekerja lebih serius. Aparat polisi yang bersangkutan di Polres Flores Timur diharapkan benar-benar mengembangkan arah penyidikan mereka ke berbagai orang-orang yang dapat diduga terlibat dalam perkara tersebut, atau yang dipandang mengetahui peristiwa pembunuhan tersebut, berdasarkan informasi dan data-data yang sudah berhasil dikumpulkan. Dengan demikian, mereka bisa mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut. Sebagai misal, aktor intelektual dan penyandang dana proyek kejahatan di Blou itu pun perlu diperiksa secara intensif selama 24 jam.

Yang juga diperlukan adalah suatu tim jaksa yang independen, yang berpengalaman dalam menangani perkara-perkara kriminal besar semacam itu. Jaksa yang di masa lalu sudah biasa dilobi oleh orang-orang dari kubu tersangka jelas tidak perlu dilibatkan dalam proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. Jaksa yang punya pertalian tertentu dengan para tersangka dan kubu tersangka tidak perlu dilibatkan dalam urusan tersebut. Diperlukan suatu tim jaksa independen yang melibatkan pula jaksa-jaksa lain dari luar Kejari Larantuka. Jika perlu datangkan pula jaksa-jaksa independen dari pulau Jawa.

Dalam kesabaran kami untuk menunggu dan menunggu keseriusan para aparatur penegak hukum terkait, baik di Polres Flores Timur maupun di Kejaksaan Negeri Larantuka,  dalam menangani perkara pembunuhan tersebut, kami tetap berpegang pada prinsip bahwa kejahatan besar semacam itu tak patut dibiarkan berlarut-larut penanganannya. ***

Jumat, 14 Agustus 2009

Menyikapi upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou

 

Beberapa anggota polisi yang berusaha mengusut kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli  Ata Maran pernah mengkhawatirkan penyesatan informasi yang dilakukan oleh orang-orang yang pada waktu itu terindikasi sebagai pelaku. Kekhawatiran mereka itu didasarkan pada pengalaman mereka dalam menangani perkara kriminal, dan pada “rapihnya” cara kerja para pelaku, sehingga menimbulkan kesan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Di balik “kerapihan” cara kerja mereka, mereka pun tentu telah menyiapkan segala macam jurus untuk menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan. Salah satu caranya adalah melakukan penyesatan informasi tentang kasus pembunuhan tersebut.

Dari keterangan salah seorang saksi kunci, kita mengetahui bahwa penyesatan informasi itu sudah dilakukan sejak malam kejadian perkara, di Tobi Bele’eng yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditanya tentang apa yang sedang terjadi, para penjahat Eputobi yang mengeroyok Yoakim Gresituli Ata Maran mengatakan bahwa mereka mau ke pesta, tetapi terjadi kecelakaan lalulintas.

Jika benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa tawaran pertolongan ditampik oleh mereka yang berada di tempat kejadian perkara? Kalau benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa korbannya dibiarkan mati di dalam parit yang berjarak beberapa ratus meter dari tempat penghadangan dan tempat awal aksi pengeroyokan dan penganiayaan?

Upaya penyesatan informasi pertama itu kemudian dilanjutkan dengan upaya pembungkaman mulut orang-orang tertentu yang mengetahui ihwal peristiwa kriminal dengan korban Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Mulut Petrus Naya Koten, misalnya, sering disetel agar perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou itu tidak bocor. Ada saksi yang diancam dibunuh.  Selain itu mereka juga menyebarkan fitnah terhadap keluarga korban, dan menuduh beberapa orang lain sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Padahal pada Senin malam 30 Juli 2007 itu, orang-orang yang mereka kambinghitamkan itu menonton televisi di rumah Yosef Kehuler. Sedangkan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya termasuk Petrus Naya Koten “berpesta ria” di Tobi Bele’eng dan Blou. Atau meminjam istilah Sedu-Doweng Kelen, pada malam itu mereka pusa mang (injak padi) di Blou.

Secara tertulis, penyesatan informasi tentang tragedi Blou itu pernah dilakukan oleh Donatus Doni Kumanireng, baik melalui buku tamu eputobi.net maupun melalui sebuah situs pribadinya. Melalui eputobi.net dia menyesatkan publik dengan mengatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu disebabkan oleh kecelakaan lalulintas. Melalui situs pribadinya, dia menyesatkan publik dengan mengatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu disebabkan oleh kepasa’ (sumpah) yang dilakukan oleh pihak Kumanireng. Apa sih arti suatu sumpah yang tidak didasarkan pada kebenaran?

Secara lebih halus upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou pun nampak dalam tulisan Marselinus Sani Kelen di weblognya. Dalam artikelnya berjudul “Sikap Suku Kelen Terhadap Konflik di Kampung Halaman ‘Desa Lewoingu,’” Sani Kelen mengatakan bahwa kematian saudara Yoakim Gresituli Maran lebih merupakan sebuah sandiwara, ada yang memainkan gitar menabuh gendrang dan yang lain menari. Selain itu dia juga mengatakan bahwa semakin kencang polarisasi itu diciptakan semakin kecil kemungkinan untuk mendapat pelaku kejahatan sesungguhnya.

Dalam “Meretas Batas Diantara Tersangka dan Terpidana,” Marselinus Sani Kelen mengemukakan sejumlah informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.  Dalam tulisannya itu dia antara lain mengatakan bahwa

“Bukti permulaan yang dipakai dalam penangkapan Mikhael Torang Kelen cs adalah didasarkan pada karena keadaan hubungan konflik terbuka yang terjadi dalam proses pemilihan kepala desa. Keadaan itu kemudian diperkuat dengan sebuah kerasukan yang seolah-olah menjelaskan tentang siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu.”

Pernyataan-pernyataan semacam itu jelas ngawur. Penangkapan dan penahanan terhadap Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng pada hari Jumat, 18 April 2008 sore itu didasarkan pada keterangan saksi-saksi. Polisi tidak menggunakan fenomena yang disebutnya kerasukan itu sebagai bukti awal. Jika fenomena tersebut diperhitungkan sebagai bukti awal, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya sudah diciduk polisi pada akhir November 2007. Penetapan Mikhael Torangama Kelen dkk sebagai tersangka pelaku pembunuhan tersebut didasarkan pada bukti-bukti awal yang cukup. Maka sangkaan sebagai pelaku kejahatan tersebut patut dikenakan kepada mereka. Itulah sebabnya, mereka pun disebut tersangka.

Dalam proses penyidikan baik yang dilakukan oleh tim penyidik dari Polda NTT maupun oleh tim penyidik dari Polres Flores Timur, Mikhael Torangama Kelen dkk menyangkali perbuatan jahat yang disangkakan kepada mereka. Tetapi penyangkalan mereka itu bertentangan dengan keterangan saksi-saksi. Pendek kata terdapat alat-alat bukti yang cukup yang menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannyalah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Kecukupan alat bukti itulah yang membuat Kapolres Flores Timur mengatakan bahwa dijamin bahwa keempat tersangka itulah yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kecukupan alat bukti itu pula yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng itu tetap berstatus sebagai tersangka hingga kini. Bahwa keempat tersangka itu dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, itu ya. Alasannya, karena berkas perkara kejahatan yang mereka lakukan belum mencapai status P21. Jadi pernyataan bahwa keempat tersangka itu dibebaskan demi hukum tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam dunia hukum istilah dikeluarkan dari tahanan dan dibebaskan itu beda definisinya. Mana mungkin seorang tersangka dibebaskan demi hukum sedangkan statusnya tetap sebagai tersangka pelaku kejahatan.

Yang juga perlu diperhatikan ialah bahwa hingga kini, berkas perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran belum ditolak oleh pengadilan mana pun yang ada di republik ini. Karena, berkas perkara tersebut belum berhasil diajukan ke pengadilan. Jaksa penuntut umum (JPU) yang bersangkutan pun tidak menolak berkas perkara tersebut. Yang terjadi ialah JPU itu mengembalikan berkas perkara tersebut ke Polres Flores Timur. Pengembalian itu disertai petunjuk-petunjuk perbaikan agar berkas perkara itu layak dinaikkan statusnya menjadi P21. Maka jelas bahwa pernyataan bahwa berkas perkara pembunuhan tersebut ditolak oleh pihak pengadilan itu tidak sesuai dengan kenyataan. 

Jika tidak ditemukan unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh para tersangka, maka proses penyidikan atas kasus pembunuhan tersebut sudah distop di tingkat penyidik. Memang ada upaya dari pihak tersangka untuk memotong proses itu di tingkat penyidik, yaitu dengan cara menuntut SP3 dari Kapolres Flores Timur. Tetapi tuntutan itu tidak dipenuhi berdasarkan alasan-alasan hukum yang jelas.

Dengan mengemukakan informasi-informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan tersebut, Marselinus Sani Kelen pun sangat berpotensi menjadi bagian dari upaya penyesatan informasi tentang tragedi Blou. Tampak jelas bahwa memiliki semangat untuk mencari kebenaran saja tidak cukup, kalau anda sungguh-sungguh mau mencari kebenaran. Kebenaran hanya dapat ditemukan jika dalam pencariannya anda bertolak dari fakta-fakta. Dengan kata lain, omongkosonglogi bukanlah ilmu yang relevan dipakai untuk mencari kebenaran, termasuk kebenaran yang berkaitan dengan tragedi Blou. ***

Minggu, 09 Agustus 2009

Siapa yang memaksa Petrus Naya Koten untuk menguburkan kebenaran?

 

Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite. Nama ini menjadi terkenal ke seantero dunia karena keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Berdasarkan keterangan dari seorang saksi kunci, keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara (TKP), pada malam itu tak bisa diragukan lagi. Kehadirannya di TKP menunjukkan keterlibatannya dalam aksi pembunuhan yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen itu.

Berdasarkan indikasi awal yang cukup tentang keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan di Blou, Petrus Naya Koten dimintai keterangan di Mapolres Flores Timur pada hari Kamis, 17 April 2008. Sebelum ke Mapolres Flores Timur, dia sudah diberi pengarahan oleh Mikhael Torangama Kelen dalam suatu pertemuan. Pertemuan itu digelar setelah Mikhael Torangama Kelen dkk, termasuk Petrus Naya Koten mendapat panggilan untuk berurusan dengan penyidik pada hari Kamis, 17 April 2007. Dalam pengarahannya, Mikhael Torangama Kelen menyuruh anggota-anggota komplotannya termasuk Petrus Naya Koten untuk menjawab tidak tahu kepada polisi, jika polisi menanyakan kepada mereka tentang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Di hadapan penyidik, Mikhael Torangama Kelen dan beberapa rekannya yang lain mengatakan tidak tahu tentang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Mulanya, Petrus Naya Koten pun berusaha menerapkan jurus dusta semacam itu. Tetapi pada pukul 14.00 waktu setempat, dia akhirnya berceritera di hadapan penyidik dari Polda NTT, bahwa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Setelah mengungkapkan nama-nama pelaku pembunuhan tersebut, Petrus Naya Koten meminta perlindungan polisi bagi dirinya dan bagi keluarganya. Selain itu dia juga berharap agar kasus kejahatan tersebut dapat dituntaskan dalam waktu tidak terlalu lama sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya. Sejak hari itu, dan selama beberapa waktu, Petrus Naya Koten bermalam di Polres Flores Timur, tetapi statusnya bukan sebagai tersangka. Dia tidak disel. Di kemudian hari Petrus Naya Koten menginap di Weri, selama keterangannya masih diperlukan oleh penyidik.

Proses pemeriksaan atas Petrus Naya Koten berlangsung dengan baik. Sebagai saksi mahkota atau saksi kunci, dia diperlakukan dengan baik, termasuk diberi makan cukup agar badannya tetap fit. Setelah mengungkapkan kebenaran yang disaksikannya dia merasa lebih plong. Tetapi dia mulai goyah setelah sebuah SMS bernada ancaman dari Andreas Boli Kelen masuk ke ponselnya. Kepada penyidik, dia mengungkapkan rasa takutnya. Dia takut dipecat oleh Andreas Boli Kelen yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur. Dia takut kehilangan pekerjaan. Karena itu, dia pun bergelagat untuk menarik kembali keterangan yang telah diberikannya kepada penyidik.

Setelah menyampaikan rasa takutnya itu kepada penyidik, Petrus Naya Koten menyatakan tidak mau menarik kembali keterangannya, karena yang terjadi pada korban adalah pembunuhan. Tetapi ancaman dari Andreas Boli Kelen itu rupanya tetap menghantui pikirannya juga. Sehingga dia pun sempat tidak mau makan, dengan akibat kesehatannya sedikit terganggu. Karena itu dia pun sempat dirawat di Rumah Sakit. Dalam waktu singkat kesehatannya kembali pulih.

Tidak hanya kepada penyidik dari Polda NTT, Petrus Naya Koten memberikan kesaksian seperti tersebut di atas. Kepada penyidik dari Polres Flores Timur pun dia menceriterakan hal yang sama. Dalam pertemuan selama satu jam dengan salah seorang anggota keluarga korban pada tanggal 30 April 2008 di salah satu ruangan di Mapolres Flores Timur, Petrus Naya Koten pun menceriterakan hal yang sama. Pada kesempatan itu dia pun menegaskan bahwa dia tidak akan menarik kembali keterangan yang sudah diberikannya kepada penyidik, meskipun ada upaya dari kubu tersangka untuk mempengaruhi dia guna menarik kembali keterangannya. Dia secara tegas mengatakan bahwa yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran adalah pembunuhan.

Ketika diboyong ke Kupang bersama empat tersangka, Petrus Naya Koten mendapat perlakuan sangat baik. Selama di Kupang dia diinapkan di hotel. Ketika bertemu dengan Mikhael Torangama Kelen dkk di Polda NTT, dia didesak untuk menarik kembali keterangan yang sudah diberikannya kepada penyidik. Menurut salah seorang tersangka, jika Petrus Naya Koten tidak menarik kembali keterangannya, maka ada sembilan orang yang akan mendapat hukuman berat. Desakan dari para tersangka itu disampaikannya kepada salah seorang penyidik. Kepada penyidik itu, Petrus Naya Koten menegaskan sekali lagi bahwa dia tidak mau menarik kembali keterangannya.

Setelah kembali dari Kupang, pendiriannya perlahan berubah. Dengan tinggal di Weri, dia mudah dijumpai oleh orang-orang dari kubu tersangka yang sangat berkepentingan dengan penarikan kembali keterangannya itu. Perhitungan mereka, jika Petrus Naya Koten menarik kembali keterangannya, maka Mikhael Torangama Kelen dkk akan dibebaskan dari sangkaan sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Dalam situasi penuh tekanan itu, Petrus Naya Koten akhirnya menandatangani surat pernyataan penarikan kembali keterangan yang sudah dituangkan dalam BAP. Padahal BAP itu sudah ditandatanganinya.

Indikasi bahwa surat pernyataan penarikan kembali keterangannya itu dibuatnya dalam suasana tertekan ialah fakta bahwa yang mengantar surat pernyataan tersebut ke Mapolres Flores Timur adalah San Kweng. Oleh San Kweng, surat itu diserahkan kepada Kasat Reskrim, yang pada waktu itu dijabat oleh Gopal. Di hadapan Gopal, si pembawa surat itu sempat ngomel-ngomel.

Seandainya Petrus Naya Koten itu benar tidak tahu menahu tentang peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, sejak awal pemeriksaan dia tidak perlu menceriterakan bahwa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah Mikhael Torangama Kelen dkk itu. Jika benar dia tidak tahu tentang peristiwa tragis di Blou itu, mengapa dia dengan mudah memberikan kesaksian kepada beberapa orang bahwa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah Mikhael Torangama Kelen dkk?

Jika kepada Arnold Manuk yang beberapa waktu lalu berlibur di kampung Eputobi, dia mengatakan bahwa dia dipaksa untuk mengatakan sesuatu yang tidak dia ketahui, itu merupakan salah satu bentuk kebohongan yang dia lakukan dengan sengaja. Kebohongan semacam itu merupakan akibat logis dari bergurunya dia pada Mikhael Torangama Kelen. Dengan berbohong seperti itu, dia mengira bahwa dia akan lolos dari jerat hukum. Dia lupa bahwa ada saksi kunci lain yang dengan mata kepalanya sendiri melihat keberadaannya di tempat kejadian perkara pada Senin malam 30 Juli 2007. Masa’ dia berada di TKP, berada di hadapan korban yang sedang terkapar tak berdaya di pinggir jalan raya, tetapi dia mengatakan bahwa dia tidak tahu mengenai kejadian itu?

Melalui eputobi.net, kebohongan yang diproduksi oleh Petrus Naya Koten dan mentornya bernama Mikhael Torangama Kelen itu disebarkan ke seantero dunia. Pemutarbalikan fakta-fakta tentang pembunuhan tersebut memang sudah biasa dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Dengan air mata dan kata-kata dusta, mereka berhasil mengecoh orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk urusan kejahatan tersebut.

Kurang pengetahuan tentang seluk beluk urusan kejahatan tersebut membuat orang Eputobi tertentu mudah terpanggil untuk menjadi penyambung lidah tidak bertulang dari Mikhael Torangama Kelen dan Petrus Naya Koten. Padahal sebagai manusia, kita mestinya dipanggil dan dipilih untuk mengatakan kebenaran.

Semakin kebenaran itu ingin dikuburkan, dia akan semakin mampu menyatakan dirinya. Sia-sia anda-anda berkata dusta. Sia-sia pula upaya anda-anda yang berusaha menjadi penyambung lidah tak bertulang dari para penjahat itu. ***

Jumat, 07 Agustus 2009

Lera Wulang tahu siapa saja pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran

Catatan khusus untuk orang-orang yang mau menjadi penyambung lidah Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya

 

Makin sukar bagi pihak keluarga korban dan segenap lapisan masyarakat beradab di Lewoingu untuk berharap agar Mikhael Torangama Kelen berkata jujur tentang perbuatan keji yang dilakukannya bersama anggota-anggota komplotannya di Tobi Bele’eng dan Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran itu direncanakan dengan matang. Dan ketidakjujuran memang sudah dirancang sejak awal. Maka tak mengherankan bila sejak di Tobi Bele’eng kebohongan sudah diproduksi guna menutupi perbuatan biadab yang sedang mereka lakukan pada malam itu. Maka tak mengherankan pula bila nama Lera Wulang dan Tuhan pun digunakannya untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya bersama anggota-anggota komplotannya itu.

Ketika seorang saksi bertanya, apa yang terjadi dengan korban, mereka menjawab bahwa mereka mau ke pesta tetapi terjadi kecelakaan lalulintas. Masa’, terjadi kecelakaan lalulintas, tapi korbannya tidak ditolong, padahal saksi yang bersangkutan bersedia mengantar korban ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Masa’ kecelakaan lalulintasnya terjadi di Tobi Bele’eng, tapi korbannya bisa mengendarai sepeda Yamaha Jupiter hingga berbaring mati di dalam parit di Blou. Padahal waktu di Tobi Bele’eng saja korban sudah terkapar tak berdaya di pinggir kiri jalan raya (dari arah Wairunu ke Lewolaga). Masa’ kecelakaan lalulintasnya terjadi di Tobi Bele’eng, tapi darah korban kok bisa berceceran di sebuah pondok yang terletak dalam kebun mente, yang berjarak 70 meter dari jalan raya?

Mungkinkah Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, padahal saksi mata melihat mereka yang melakukannya di tempat kejadian perkara? Petrus Naya Koten adalah orang pertama yang secara jelas mengungkapkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi tidak hanya Petrus Naya Koten yang menjadi saksi kunci. Masih ada saksi kunci lain yang kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam itu sungguh tidak diharapkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Jika saksi kunci lain melihat kehadiran Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara, di saat korban sedang terkapar tak berdaya di pinggir jalan, apakah kesaksian Petrus Naya Koten di hadapan penyidik dari Polda NTT di Mapolres Flores Timur pada hari Kamis, 17 April 2008, bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu tidak benar? Mustahil tidak benar keterangannya itu. Jelas bahwa keterangan atau kesaksian yang disampaikannya pada hari itu mutlak benar. Dan apakah tidak ada saksi lain lagi yang melihat keberadaan pelaku-pelaku kejahatan tersebut di tempat kejadian perkara? Keliru besar kalau ada yang beranggapan bahwa tidak ada saksi lainnya lagi.

Justru karena kesaksian-kesaksian itu otentik dan akurat, maka tak ada jalan lain bagi kubu penjahat Eputobi itu untuk melobi oknum-oknum penegak hukum tertentu guna menggagalkan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Jika seorang JPU yang bersangkutan mau dilobi berulangkali oleh kubu tersangka pembunuhan tersebut, mampukah dia mempelajari secara cermat dan menilai secara objektif isi dari berkas perkara kejahatan yang dilimpahkan oleh Polres Flores Timur ke Kejaksaan Negeri Larantuka? Sesuai hukumkah, jika JPU yang bersangkutan mengendapkan berkas perkara pembunuhan tersebut hingga dua bulan lamanya di Kejaksaan Negeri Larantuka?

Belakangan ini Mikhael Torangama Kelen semakin sibuk berusaha mencuci tangannya yang berlumuran darah korban yang dibunuhnya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Dan dia mengira bahwa urusannya sudah beres, sehingga dengan mudahnya dia pun menggunakan nama Lera Wulang dan nama Tuhan untuk menutup perbuatannya yang sangat keji itu. Proses hukum atas kasus kejahatan tersebut terus berjalan. Dan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang melakukan kejahatan tersebut akan diseret ke pengadilan. Pada akhirnya pengakuan dari para tersangka sendiri tidak diperlukan, karena tersedia cukup alat bukti.

Dengan metode apa pun anda berusaha mencaritahu siapa saja pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, maka anda dengan mudah menemukan jawaban yang jelas. Jawabannya: Empat orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu plus beberapa teman mereka yang belum ditetapkan sebagai tersangka.

Memang, Lera Wulang dan Tuhan tahu siapa saja yang beraksi di Tobi Bele’eng dan Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007 hingga menewaskan Yoakim Gresituli Ata Maran. Lera Wulang dan Tuhan tahu persis bahwa apa yang dikatakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan Petrus Naya Koten, seperti dilansir di eputobi.net itu merupakan kebohongan besar. Apa yang tidak dapat dilihat oleh manusia dapat dilihat oleh Lera Wulang dan Tuhan, apalagi apa yang dapat dilihat dengan mata manusia.

Dan satu hal lagi, jika untuk mempertahankan kebohongannya Mikhael Torangama Kelen berani menantang pihak keluarga korban agar dirinya dan anggota komplotannya itu disumpah menurut adat atau pun menurut agama, pada saatnya nanti dia dkk itu akan disumpah. Biar mereka rasakan sendiri akibat buruk dari kebohongan yang selama ini mereka rawat itu. ***

Selasa, 04 Agustus 2009

Itu sepeda motor saya, dan bagaimana keadaan bapak?

 

Selasa siang, 31 Juli 2007, seusai bekerja di SMP Negeri Boru, Petrus Naya Koten kembali ke Eputobi dengan menggunakan angkutan umum. Dalam perjalanan ke Eputobi itu naik pula beberapa orang yang mau melayat jenazah korban ke rumah duka. Petrus Naya Koten yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007 itu tentu tahu siapa yang meninggal di Eputobi pada hari itu. Ketika tiba di depan Pos Polisi Titehena di Lewolaga Petrus Naya Koten sempat mengarahkan kedua matanya ke sepeda motornya yang sedang diparkir di halaman kantor polisi tersebut. Lalu kepada para penumpang yang lain dia berkata, “Itu sepeda motor saya ada di sana dalam keadaan utuh.” Kata-kata ini dia gunakan hanya untuk berbasa-basi, karena sejak Senin malam dia sudah tahu bahwa sepeda motornya tidak diapa-apakan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Sekitar pukul 13.00 waktu setempat dia tiba di rumahnya di Eputobi, dengan raut muka tanpa semangat.

Siang itu kampung Eputobi benar-benar dilanda kesedihan, dan dicekam ketegangan. Meskipun ada tawa bangga di kubu para penjahat, tetapi mereka pun dilanda ketakutan dan kepanikan, apalagi mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri kehadiran banyak orang di rumah duka. Dalam suasana semacam itu, mereka tetap bersikap bermusuhan dengan pihak barat. Ada satu orang tua dari kalangan mereka, yang sedianya mau melayat ke rumah duka. Tetapi karena dilarang oleh kepala sukunya, maka niat itu pun diurungkan. Lagi pula, siapa yang butuh layatan dari kalangan penjahat itu?

Pada Selasa malam, 31 Juli 2007, di saat keluarga korban diliputi duka yang mendalam, datang dua anggota polisi dari Polsek Boru di rumah duka di kampung Eputobi. Tanpa basa basi, seorang dari mereka berkata kepada isteri korban,”Keadaan bapak ialah mabuk berat.” Mendengar itu isteri korban hanya diam saja. Karena tidak ada tanggapan dari isteri korban, polisi yang tidak tahu situasi itu bertanya, “Bagaimana keadaan bapak dari Lato?” Tetapi pertanyaan itu pun tidak dijawab oleh isteri korban. Polisi itu lalu mengulang kata-kata, “Keadaan bapak mabuk berat.” Di secarik kertas, polisi itu menulis, “Keadaan bapak mabuk berat.”

Yang aneh dari kejadian itu ialah bahwa polisi itu langsung mengarahkan agar isteri korban mengatakan bahwa ketika meninggalkan Lato, suaminya berada dalam keadaan mabuk berat. Setelah dicek di Lato, diketahui bahwa ketika meninggalkan Lato, Yoakim Gresituli Ata Maran tidak berada dalam keadaan mabuk berat. Kata-kata mabuk berat itu kemudian menjadi kata-kata favorite di kalangan para penjahat Eputobi itu untuk menutup-nutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 itu. ***

Senin, 03 Agustus 2009

Dari Blou ke Puskesmas Lewolaga, lalu ke Eputobi

 

Setelah menyuruh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng menyampaikan kabar tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran ke Eputobi, Fransiskus Raga L. pun mengatur proses pengevakuasian jenazah korban tersebut dan sepeda motor yang dikendarainya dari Lato pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada waktu itu di TKP hadir pula beberapa orang lain, selain Hodung Werang.

Ketika hendak dievakuasi baru diketahui bahwa kancing atas celana jeansnya yang dikenakan korban terbuka. Alas kaki yang dikenakan korban raib, entah ke mana. Menurut kesaksian beberapa orang, sandal korban itu sempat dipakai oleh salah seorang pelaku. Luka hanya terdapat di kepala dan wajah. Bagian tubuhnya yang lain dalam keadaan baik.

Dalam proses evakuasi itu diketahui pula bahwa sepeda motor itu tidak mengalami kerusakan. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh. Kunci kontaknya dalam keadaan off. Ketika kunci kontaknya di-on-kan, tampak bahwa gigi pengatur kecepatannya dalam keadaan on. Seorang anak muda bernama dari Lewolaga mengendarai sepeda motor Yamaha Jupiter itu, kemudian memarkirnya di halaman Pos Polisi Titehena di Lewolaga.

Dari Blou, jenazah korban dibawa ke Puskesmas Lewolaga untuk divisum. Banyak orang yang datang menyaksikan proses visum tersebut. Dari proses visum dapat diketahui bahwa cedera parah pada kepala dan wajahnya itu akibat hantaman benda keras tumpul. Artinya, korban meninggal bukan karena kecelakaan lalulintas. Model luka pada tubuh orang yang mengalami kecelakaan lalulintas, termasuk lakalantas tunggal sangat berbeda dengan luka-luka pada kepala dan wajah korban tersebut.

Dari Puskemas Lewolaga, jenazah korban dibawa ke rumah duka di kampung Eputobi, desa Lewoingu. Ketika jenazah korban memasuki kampung Eputobi dari arah timur, muncul seorang tua bernama Ola Kumanireng. Kepalanya mengenakan topi. Tangan kirinya memegang parang, tangan kanannya memegang tombak. Dengan tombak, orang ini menikam tanah sebanyak tiga kali, kemudian melambai-lambaikan parang dengan tangan kirinya. Aksi semacam itu terbilang nyentrik dan aneh. Tetapi tidak jelas apa artinya. Yang jelas pada suatu hari di bulan Juli 2007, sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran dibunuh di Blou, orang tua yang satu ini mengancam membuat Yoakim Gresituli Ata Maran dan Pius Keluang Koten terkapar di tanah. Setelah Yoakim Gresituli Ata Maran dibunuh, dia mengatakan, “Gresituli sudah mati, tinggal Raga dan Nuba.”

Tibanya jenazah korban di rumah duka, yaitu rumah keluarga Ata Maran di Eputobi disambut dengan isak tangis oleh anggota-anggota keluarganya dan oleh rekan-rekan seperjuangannya, serta oleh orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Sementara suasana tawa ria nampak di kalangan para penjahat yang telah menghabisinya. Orang-orang jahat itu bahkan sempat merasa bangga, seakan-akan mereka telah memenangkan suatu peperangan.

Ke rumah duka itu datang banyak orang dari seluruh kawasan Lewoingu dan kampung-kampung sekitarnya, juga dari kota Larantuka untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Yoakim Gresituli Ata Maran. Sejumlah antek Mikhael Torangama Kelen pun datang ke rumah duka. Tetapi kehadiran mereka di situ lebih sebagai mata-mata bagi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di antara mereka itu, ada yang pernah mengandalkan rezeki hidupnya dari Yoakim Gresituli Ata Maran dan dari keluarga Ata Maran. Bahkan seorang praktisi black magic, yang menjadi salah satu mitra terdekat Mikhael Torangama Kelen pun hadir di rumah duka.

Siang hari itu, Selasa, 31 Juli 2007, datang pula ke TKP beberapa anggota polisi dari Polsek Boru. Ceriteranya, mereka mau melakukan penyelidikan di TKP. Tetapi hasilnya tidak jelas hingga kini. Di kemudian hari seorang polisi yang datang ke TKP itu mengatakan kepada saya, di Polsek Boru, bahwa yang terjadi di Blou pada waktu itu adalah kecelakaan lalulintas. Padahal di situ tidak terdapat jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalulintas.

Jelas bahwa polisi itu terkecoh oleh bekas ban sepeda motor terseret di pinggir jalan raya yang dimulai sekitar 11 meter dari posisi deker (dari arah barat ke timur). Bekas seretan ban sepeda motor itu berakhir sekitar tujuh meter sebelum deker di bok halus di Blou itu, dan arah ban sepeda itu selanjutnya adalah ke badan jalan, bukan ke pinggir kiri jalan raya. Pada titik dimulainya seretan ban itu terletak sebuah batu, yang tampaknya baru saja diambil dari dalam semak di sebelah kiri jalan raya itu.

Kiranya perlu dicatat di sini, bahwa bekas seretan ban sepeda motor itu adalah hasil kreasi dari salah seorang anggota komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. Tiga bulan sebelum hari Senin malam 30 Juli 2007, orang itu sudah berlatih jatuh dari sepeda motor di dekat deker tempat jenazah korban ditemukan itu. Latihan itu dilakukan setelah mereka berencana membunuh tiga orang lawan politik mereka, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yoseh Kehuler, dan Sis Tukan. Orang itu menjadi salah satu pelaku penghadangan pada Senin malam. 30 Juli 2007. Orang itu pun muncul bersama temannya di TKP pada Selasa pagi, 31 Juli 2007 sekitar pukul 06.00 waktu setempat. (Bersambung

Hodung Werang dan ceritera tentang penemuan jenazah korban

 

Moses Hodung Werang adalah seorang petani asal Balaweling, Solor, tinggal di Lewolaga. Dia adalah orang yang pada Selasa pagi 31 Juli 2007 menemukan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, dalam perjalanan pulangnya dari Watololong ke Lewolaga. Ceritera penemuan jenazah korban pembunuhan itu dimulai dari pantulan cahaya dari dalam parit di bawah deker. Tertarik oleh pantulan cahaya itu, dia pun bergerak ke arah sumbernya. Ternyata pantulan cahaya itu berasal dari sebuah sepeda motor yang terletak di bawah sana, di dalam parit. Dan dia pun merasa kaget, ketika matanya pun menangkap sesosok orang yang tergeletak di situ dalam keadaan tidak bernyawa. Tetapi dia tidak tahu siapa nama orang itu. Jam penemuan jenazah korban itu, menurut Hodung Werang, 09.00 waktu setempat.

Posisi jenazah korban, seperti dituturkan oleh Hodung Werang, adalah seperti orang sedang tidur dengan sisi kiri badan menyentuh lantai. Kepalanya di sebelah timur, mukanya menghadap ke arah selatan. Tepat di bawah kepalanya terdapat genangan darah. Darahnya tampak masih segar. Tangan kanannya sedikit menjorok ke selatan, tangan kirinya lurus mengarah ke kedua pahanya. Ketika ditemukan dalam parit itu korban tidak mengenakan alas kaki. Sandal yang pada telapak dalamnya bertuliskan OMEGA, yang dikenakannya waktu dia ke Lato tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP). Beberapa sentimeter di sebelah utara jenazah korban terdapat sebuah sepeda motor yang diposisikan menghadap ke timur. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh, tidak mengalami kerusakan.

Dari situ dia bergegas ke rumahnya di Lewolaga, kemudian ke Pos Polisi Titehena yang berjarak beberapa ratus meter dari tempat tinggalnya. Dia melaporkan penemuannya itu tadi ke Kapospol Titehena yang waktu itu dijabat oleh Fransiskus Raga L. Bersama Kapospol Titehena dan seorang anggota polisi lainnya, Hodung Werang kembali ke Blou. Sekitar 09.30, mereka tiba di tempat jenazah korban ditemukan.

Kapospol yang datang ke (TKP) itu rupanya tidak membawa perlengkapan seperti police line dan alat tulis. Setelah menyadari bahwa alat tulis diperlukan, baru dia menyuruh seorang bawahannya untuk mengambilnya di kantornya. Tetapi bagaimana dengan police line? Tidak jelas apakah Pospol Titehena memiliki police line atau tidak memilikinya. Yang jelas Fransiskus Raga L. sama sekali tidak memasang police line untuk mengamankan TKP.

Dengan kamera ponsel, polisi itu membuat beberapa gambar. Salah satu gambar memperlihatkan bekas ikatan tali di pergelangan tangan korban. Ada pula gambar yang dibuat dari arah utara, sehingga yang nampak jelas adalah sepeda motor Yamaha Jupiter milik Petrus Naya Koten itu. Sedangkan jenazah korban terhalang oleh sepeda motor itu.

Sekitar lima belas menit setelah Kapospol Titehena berada di TKP di Blou, muncul sebuah sepeda motor dari arah Lewolaga. Pengendara sepeda motor Supra Fit itu adalah Mikhael Torangama Kelen, yang pada waktu itu berstatus sebagai kepala desa terpilih untuk Lewoingu. Di jok belakang sepeda motor itu duduk Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Mereka tidak mengenakan helm (helmet). Ketika melintas di TKP, pengendara sepeda motor itu bergelagat untuk tancap gas. Tetapi sempritan Kapospol Titehena akhirnya menghentikan sepeda motor itu.   

Ketika ditanya mau ke mana, Mikhael Torangama Kelen dengan enteng menjawab bahwa mereka mau ke Maumere. Fransiskus Raga L. lalu mengajak Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng melihat jenazah korban yang sedang tergeletak di parit. Kepada Mikhael Torangama Kelen, Fransiskus Raga L. bertanya, “Kenal jenazah siapa itu?” Mikhael Torangama Kelen menjawab, “Kenal.” Kemudian, Mikhael Torangama Kelen pun mengatakan, “Ini baru rasa.”

Fransiskus Raga L. kemudian menyuruh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng untuk menyampaikan tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou kepada keluarganya (kepada keluarga korban) di kampung Eputobi. Dengan senang hati, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng meluncur kembali ke Eputobi. Di Horotiwang, Lambertus Lagawuyo Kumanireng beberapa kali mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke atas sebagai ekspresi kegembiraan. Begitu tutur seorang saksi mata.

Setelah tiba di kampung Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak menyampaikan berita tersebut kepada keluarga korban. Mereka hanya berpura-pura membicarakan penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran kepada sesama mereka, yang sebelumnya sudah sama-sama tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan orang yang jenazahnya ditemukan di dalam parit di Blou itu. Dari mulut ke mulut kabar duka itu kemudian merambat secara terbuka, hingga akhirnya sampai juga ke rumah keluarga korban.

Sesudah tiba di Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng tidak kembali lagi ke Blou, apalagi ke Maumere. Pada hari itu, mereka tidak bermaksud ke Maumere. Jawaban bahwa mereka mau ke Maumere itu tadi hanyalah suatu tipuan. Mereka hanya mau jalan-jalan lagi ke Blou untuk melihat lebih jauh seperti apa nasib korban sekaligus mereka juga bermaksud menghilangkan jejak kriminal mereka. Duet antara kedua orang ini yang menentukan “kesuksesan” operasi kriminal yang digelar pada Senin malam, 30 Juli 2007. (Bersambung)

Minggu, 02 Agustus 2009

31 Juli dua tahun yang lalu

 

Selasa pagi, 31 Juli 2007 diawali dengan kesibukan-kesibukan yang tidak biasa di kubu pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Sejak sebelum fajar merekah ada yang sibuk mencari kayu, di daerah Berobang, ada yang mondar-mandir Eputobi Blou. Dia yang  pura-pura mencari dan mengumpulkan kayu di Berobang itu kemudian kembali ke Eputobi dengan sebuah sepeda motor ojek. Begitu turun dari ojek, dia pun langsung berceritera tentang Yoakim Gresituli Ata Maran yang sedang tergeletak dengan wajah pucat pasi di Blou. Dia bilang, mati atau hidup orang itu dia tidak tahu.

Rekan-rekannya yang ke Blou punya tugas khusus, yaitu memposisikan sepeda motor Yamaha Jupiter sesuai dengan petunjuk dari pulau seberang. Sebelum diposisikan di dekat jenazah korban, sepeda motor itu sempat di parkir di pinggir jalan, sedikit di sebelah timur deker. Sepeda motor itu diletakkan di sebelah utara jenazah korban pada posisi yang lebih tinggi daripada posisi jenazah. Posisinya sedikit miring ke utara, menghadap lurus ke timur, dengan roda depan menempel pada batang lamatoro. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh, tidak mengalami kerusakan. Kunci kontaknya dalam keadaan off. Ketika kunci kontaknya di-on-kan, tampak jelas bahwa gigi pengatur kecepatannya dalam keadaan netral.

Pagi hari itu sekitar pukul 06.00 ada seorang tukang ojek dari kampung Eputobi yang sedang menuju Bokang sempat berhenti dipinggir kiri jalan di dekat tempat jenazah korban tergeletak. Untuk apa? Dia kebelet pipis, maka dia berhenti untuk membuang air yang tidak diperlukan oleh tubuhnya. Di situ dia bertemu dengan dua orang, satu dari Eputobi, satu dari Lewolaga. Ketika ditanya, “Pagi-pagi kok sudah di sini, dari mana?” Kedua orang itu menjawab, kami baru dari pantai melihat jerat kera. Padahal di situ tidak dipasang satu pun jerat kera. Kedua orang itu baru dari Lewotobi, berhenti sejenak di Konga, lalu berhenti lagi di Blou, sebelum meneruskan perjalanan mereka ke Lewolaga dan ke Eputobi.

Pagi hari itu sebelum pukul 07.00 waktu setempat, Mikhael Torangama Kelen yang bercelana pendek  kepergok melintas sendirian dengan sepeda motornya di ruas jalan di Hokeng dari arah Boru. Pagi itu sebelum pukul 07.00 waktu setempat Petrus Naya Koten sudah tiba di kantornya di SMP Negeri Boru. Ketika kepala SMP tersebut tiba, Petrus Naya Koten sudah berada di situ. Pada hari-hari sebelumnya  Petrus Naya Koten tiba di kantornya setelah kepala sekolah tersebut tiba. Hingga kini belum jelas di mana keberadaan Petrus Naya Koten sepanjang hari Senin malam, 30 Juli 2007 hingga pagi hari Selasa, 31 Juli 2007. Pada malam itu dia tidak menampakkan batang hidungnya di rumahnya di kampung Eputobi. Pada pagi hari Selasa, 31 Juli 2007 pun orang itu tidak kelihatan berada di rumahnya.

Pagi hari itu, seorang anak muda disuruh mencari sepeda motor milik Petrus Naya Koten. Selain mencari ke tempat tinggal Yoakim Gresituli Ata Maran, anak muda itu pun pergi ke sekitar rumah Mikhael Torangama Kelen untuk menanyakan sepeda motor tersebut. Di situ dia memperoleh jawaban dari Yano Beoang, “Motor itu berada di bawah sana di batu-batu besar di sana.” Memang, tak jauh dari tempat jenazah korban ditemukan terdapat pantai berbatu-batu besar berwarna hitam. Pantai itu bernama Waigema. 

Sebelum pukul 08.00 waktu setempat, Mikhael Torangama Kelen bersama Lambertus Lagawuyo Kumanireng berhenti di Welo Tobi One’eng. Di situ mereka sempat berbicara dengan seseorang yang sedang ke kebun. Mereka berdua mengenakan jaket. Tampilan mereka pagi itu tidak rapih. Dari wajah mereka nampak jelas bahwa mereka tidak tidur tadi malam.

Sekitar pukul 08.00 pagi Selasa 31 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen bersama Efi Kumanireng meninggalkan Eputobi. Mereka meluncur ke arah barat. Di belakang mereka terdapat Damasus Likuwatang Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek. Lalu dibelakangnya lagi ada angkutan umum bernama Melani Indah. Di dalamnya terdapat Geroda Tukan.

Pagi itu, di Konga, sebelum tersiar berita tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di Blou itu, ada orang Eputobi yang sudah memberitakan kepada seseorang bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalulintas. Orang itu juga bilang bahwa akan ada empat orang lagi yang menyusul, yaitu Pius Koten, Dere Hayon, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Hal yang sama diungkapkan pula oleh seorang orang Eputobi dari kalangan penjahat itu di sebuah kampung yang terletak di sebelah timur kampung Eputobi pada pagi hari itu juga. Sebelum pukul 09.00 waktu setempat pagi itu, di ibukota provinsi NTT pun ada orang yang sudah bicara tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pagi hari itu sebelum tersiar berita tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, suasana di kampung Eputobi tampak lengang yang mencekam ditingkahi suara lolongan anjing. Suasana semacam itu tidak terjadi sebelumnya di kampung itu.

Ada pula kejadian lain yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yaitu kehadiran Sedu Kelen dan Doweng Kelen di kubur mantan guru Dalu Kelen dan adiknya bernama Bei Kelen. Pagi-pagi dua saudara kembar itu sudah nonkrong di situ, sehingga mengundang pertanyaan dari orang-orang yang melihat keberadaan mereka di situ. Ketika ditanya untuk apa pagi-pagi sudah berada di situ, salah satu dari mereka menjawab, “Wia bau’ung kame pusa mang lali Blou” (Tadi malam kami injak padi di Blou).  (Bersambung)