Kamis, 24 September 2009

Ke mana larinya dana dari tanah rantau itu?

 

Adalah Donatus Doni Kumanireng, seorang pensiunan pegawai negeri sipil, yang tinggal di Kupang, NTT, yang pernah tampil sebagai salah seorang penggalang dana, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur karena keterlibatan mereka dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam. 30 Juli 2007. Bermodalkan hanphone, orang ini berusaha menghubungi orang-orang yang dianggapnya dapat memberikan sokongan dana bagi urusan kriminal yang sedang dihadapi oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Permintaan sumbangan dana untuk urusan kriminal tersebut menjangkau pula sejumlah orang di tanah rantau.

Selain Donatus Doni Kumanireng orang lain dalam kubu mereka pun berusaha menggalang dana untuk urusan yang sama. Dalam hal itu mereka tampak kompak. Mungkin karena mereka merasa senasib, maka mereka pun merasa perlu untuk sepenanggungan dalam hal biaya.

Upaya mereka sempat membuahkan hasil. Dana dari tanah rantau, misalnya, mengalir deras ke sebuah rekening di sebuah bank di kota Larantuka, Flores Timur. Pemilik rekening itu adalah seseorang dari kampung Eputobi yang mulutnya terkenal bacot. Tapi hingga kini para perantau pengirim dana itu belum tahu untuk apa saja uang yang mereka kirim sebanyak beberapa kali itu digunakan. Para anggota keluarga mereka yang di kampung Eputobi pun belum tahu berapa banyak uang yang pernah mendarat di rekening tersebut. Mereka juga tidak tahu ke kantong siapa saja uang itu mengalir. Tapi si pemilik rekening tentu tahu ke mana uang itu disebarkan.

Mungkin karena berpegang pada prinsip senasib dan sepenanggungan itu tadi, maka mereka pun, selama ini, berusaha untuk tutup mulut. Tapi yang namanya uang itu tidak hanya dipakai untuk menutup mulut. Uang juga bisa membuat orang buka mulut selebar-lebarnya, apalagi dalam urusan itu terjadi ketidakadilan, atau terjadi penyalahgunaan.

Ikut bergotong royong untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya adalah cara yang selama ini ditempuh oleh sejumlah orang baik yang bermukim di kampung Eputobi maupun yang bermukim di luarnya, termasuk yang merantau ke negeri orang. Tetapi yang namanya kejahatan itu tak bisa ditutup-tutupi. Di Boru, ibukota kecamatan Wulanggitang, sekian tahun lalu, misalnya, suatu kasus pembunuhan yang melibatkan oknum polisi tertentu sebagai pelakunya coba ditutup rapat.  Tetapi upaya itu akhirnya sia-sia. Tiga tahun kemudian, kasus kejahatan itu akhirnya terungkap seluruhnya. Oknum polisi yang terlibat itu pun ditindak tegas. Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak membutuhkan oknum polisi yang merangkap sebagai penjahat itu.

Makin lama makin kelihatan bahwa faktor fulus itu berbicara banyak dalam urusan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek kejahatan di Blou dan hal-hal terkait sesudahnya. Kekuatan fulus itu pula yang sempat disinggung oleh kepala komplotan penjahat Eputobi itu dalam suatu pertemuan yang digelar di Polres Flores Timur pada bulan Oktober 2007.

Tetapi hendaklah diingat, bahwa siapa yang bermain uang dia akan mati oleh uang. Siapa yang ikut menyumbangkan uangnya untuk urusan tersebut pun akan terkena akibat buruknya. Sedangkan di antara yang menerima uang haram itu pun ada yang sudah merasakan akibatnya yang mengerikan. Ceritera mengerikan itu dengan sendirinya akan terulang pada setiap mata rantai aliran dana-dana yang dipakai untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. ***

Sabtu, 19 September 2009

Dari Mana Datangnya Dana “Proyek Blou?”

 

Masih terpampang jelas kata-kata Mikhael Torangama Kelen di www.eputobi.net. Begini kata-katanya,

“Nong Tuang, terus terang, dari hati yang dalam, lera wulang di matang noiro`, go berani bersumpah demi hidupku, demi lewotanah, demi keluarga dan anak istriku, kame bengo Aking hala! Demi Nama TUHAN! (membuat tanda salib).Untung go´eng apa… bengo Aking? Memang dia termasuk lawan politik, tetapi itu normal dalam kehidupan demokrasi. Lalu waktu peeng go di kepala desa terpilih kae. Kenapa go mesti ka´ang rona mata? Kejahatan apa yang ia lakukan terhadap saya sehingga ia pantas dibunuh? Nong Tuang (sambil menitikkan airmata)….., Saaaaaaaakiiiiit sekali hati ini, karena diperlakukan tidak adil. Saya alami sendiri betapa kejamnya nasib hidup ini. Kita mudah sekali dijebloskan dan dituduh seenaknya oleh orang-orang yang berkuasa ataupun beruang menjadi pelaku kejahatan yang tidak kita ketahui. Untung iman kami masih kuat dan kami masih percaya akan Lera Wulang Tanah Ekan yang terbuka matanya melihat penderitaan kami, penderitaan keluarga, penderitaan istri dan anak-anak kami. Meskipun kami alami juga perlakuan tidak adil dari pihak Gereja, yang kesannya menutup telinga terhadap suara kami. Kalau memang Yoakim itu benar-benar dibunuh, kami dukung sepenuhnya usaha pihak berwajib untuk menemukan siapa penjahat yang sebenarnya!”

Kata-kata itu diungkapkan di hadapan seorang pastor bernama Arnold Manuk, pada tanggal 17 Juli 2009 di Eputobi. Meskipun mengaku berbicara secara terus terang dan dari hati yang dalam, yang dia ucapkan pada hari itu adalah suatu kebohongan besar. Apa yang diucapkannya itu merupakan bagian dari suatu prosesi kebohongan yang sejak lama dirancang untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum. Lera Wulang mana yang tidak mengetahui perbuatan sangat keji yang dilakukannya bersama anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007? Tuhan mana yang tidak mampu melihat kebiadaban yang mereka lakukan di Blou pada malam itu?

Jika benar tidak ada untung yang ingin dia peroleh, untuk apa dia begitu sibuknya mengkoordinasikan aksi pembunuhan tersebut? Sebuah sumber dari lingkaran dalamnya sendiri pernah bertutur bahwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran itu direncanakan dalam rapat-rapat yang digelarnya dari rumah ke rumah. Persiapan akhir untuk pelaksanaan aksi pembunuhan itu dilaksanakan pada hari Minggu siang, 29 Juli 2007, di kampung lama. Jejak-jejak adanya persiapan itu masih nampak jelas pada hari Jumat, 3 Agustus 2007. Salah satu pentolan mereka pun mengakui adanya persiapan itu. Salah seorang peserta pun mengakui adanya acara itu di kampung lama. Dan orang yang menyumbangkan uangnya untuk acara di kampung lama itu pun dengan mudah dilacak.

Sebelumnya mereka pun pernah berkumpul di sebuah rumah di perumnas Maumere. Hadir dalam pertemuan itu seorang pria berjenggot. Seorang saksi mata menuturkan bahwa pria berjenggot itu adalah seorang dukun. Tetapi ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa pria berjenggot itu bukan seorang dukun. Entahlah…… Yang jelas kepada pria berjenggot itu mereka berceritera tentang masalah yang mereka hadapi di kampung Eputobi. Yang mereka maksud dengan masalah adalah penolakan sebagian warga Eputobi atas hasil pilkades yang diselenggarakan pada hari Selasa, 27 Maret 2007. Kepadanya, mereka meminta bantuan agar masalah yang mereka maksudkan itu dapat diatasi.

Setelah mengetahui adanya penolakan sebagian warga atas hasil pilkades tersebut, mereka pun mulai merancang skenario-skenario tertentu untuk melawan kubu oposisi. Skenario pembunuhan atas beberapa tokoh lawan politik mulai dirancang, setelah pelantikan kepala desa terpilih ditunda. Penundaan itu dilakukan oleh bupati Flores Timur berdasarkan alasan-alasan yang kuat.  Dalam masa penundaan itu, Lambertus Lagawuyo Kumanireng pernah mengeluarkan ancaman, dengan mengatakan, “Jika kepala desa terpilih tidak dilantik, maka akan terjadi pertumpahan darah.” Ancaman itu dikeluarkan pada bulan Mei 2007.

Mulanya tiga orang tokoh oposisi diincar untuk dihabisi. Ketiga tokoh oposisi yang diincar adalah Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Kemudian mereka juga mengincar bapak Pius Keluang Koten dan bapak Dere Hayon. Target pertama dan utama mereka adalah Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah Yoakim Gresituli Ata Maran berhasil dihabisi, pada Senin malam, 30 Juli 2007, tiga orang dari kubu penjahat itu mengeluarkan pernyataan yang sama di tempat yang berbeda, “Satu sudah, empat orang lagi akan menyusul.” Empat orang yang mereka maksudkan adalah bapak Pius Keluang Koten, bapak Dere Hayon, Yosef Kehuler dan Sis Tukan. Pernyataan tersebut dibuat di Konga, di lokasi permukiman dekat Wolo, dan di sebuah rumah makan di Larantuka. Setelah Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal dari kota Kupang pun muncul ancaman melalui sms kepada salah seorang anggota keluarga korban, “Kamu menunggu giliran.” Anda tentu bisa menebak siapa pengirim sms yang isinya berupa ancaman itu.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui dua hal. Pertama, pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran itu berencana. Rencana pembunuhan tersebut mencakup rekan-rekan seperjuangannya. Kedua, pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran itu bermotifkan politik. Kiranya jelas bahwa dengan menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen ingin meraih keuntungan politik pribadi dan kelompoknya.

Lantas siapa yang memperlakukan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya secara tidak adil? Orang-orang berkuasa mana yang seenaknya menuduh dia dan kawan-kawannya sebagai pelaku pembunuhan tersebut dan menjebloskan mereka ke dalam sel Polres Flores Timur? Orang-orang beruang mana yang melakukan hal semacam itu terhadapnya? Apakah anda mengira bahwa penetapan anda dan kawan-kawan anda sebagai tersangka dan penjeblosan kalian ke dalam sel di Polres Flores Timur itu tidak ada dasar hukumnya? Hal itu terjadi berdasarkan alasan-alasan hukum yang jelas dan memadai.

Dan siapakah yang menawarkan uang kepada calon pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan? Orang dari kubu penjahat itu sendiri yang berceritera tentang siapa yang menyediakan dana bagi orang-orang yang mau membunuh ketiga orang tersebut? Ingat baik-baik bahwa dalam ceritera itu, kepala desa disebut sebagai penyedia dana bagi orang-orang yang mau dibayar untuk melakukan pembunuhan atas tiga orang tersebut di atas. Bukankah karena uang, maka orang-orang di sekitar Mikhael Torangama Kelen pun dengan penuh gairah  berpartisipasi aktif dalam proyek pembunuhan tersebut?

Kami berharap anda tidak perlu terus menerus berusaha berkelit dengan segala macam cara. Makin lama makin jelas terungkap siapa dari pihak mana yang pernah berusaha menyuap anggota-anggota polisi yang secara serius berusaha mengusut perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran itu hingga tuntas. Upaya itu dilakukan melalui seorang oknum polisi. Tetapi anggota-anggota polisi yang bersangkutan secara tegas dan berani menentang upaya penyuapan tersebut. Suatu hari di Polres Flores Timur, dua orang dari kubu penjahat itu pernah berceritera bahwa mereka sudah biasa bertamu ke rumah oknum polisi tertentu. Hal itu mereka lakukan setelah meletus peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, terutama setelah kasus kejahatan tersebut heboh di media massa lokal.

Pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi suatu proyek yang menggiurkan bagi para penjahat itu. Untuk mensukseskan pelaksanaan proyek itu dana dari beberapa sumber dikucurkan. Sebagian dana berasal dari urunan para simpatisan dan pendukung kelompok penjahat itu, sebagiannya lagi berasal dari uang panas, sebagiannya lagi dari pinjaman, dan sebagiannya lagi berasal dari uang siluman.

Dana tersebut dipakai untuk biaya operasional perencanaan, untuk biaya operasional pelaksanaan, dan untuk biaya operasional dan lain-lain pascapelaksanaan proyek kejahatan tersebut. Dana itu dikucurkan pula ke pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu mereka untuk menutup-nutupi perkara pembunuhan tersebut. Sebagian dari dana itu nyaris dipakai untuk menyuap anggota-anggota polisi yang bekerja secara profesional dan tanpa pamrih berusaha membongkar kasus kejahatan tersebut hingga tuntas. Pihak penjahat itu mengira bahwa setiap polisi dapat disuap. Mereka lupa bahwa di republik ini masih terdapat anggota-anggota polisi yang antisuap, yang bersih dan berwibawa.

Anggota-anggota polisi yang bersih dan berwibawa semacam itu yang akan berhasil membongkar hingga tuntas perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. ***

Rabu, 16 September 2009

Berliku, tapi maju terus, pantang mundur

 

Berliku-liku, berkelok-kelok, berputar belit. Terkadang nyaris tak jelas arahnya. Itulah proses penanganan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran selama ini. Dan itu yang membuat para tersangka pelakunya kian berusaha untuk tampil PD alias percaya diri, seakan-akan bukan mereka yang menjadi pelakunya. Untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum, para penjahat Eputobi itu bermain sirkus dengan oknum-oknum tertentu seraya berjudi dengan waktu. Mereka berharap proses penanganannya terus diulur-ulur hingga menjadi gelap gulita urusannya, lalu mengalami kemacetan.

Tetapi mereka lupa bahwa permainan semacam itu tidak akan dibiarkan untuk terus dimainkan. Jalannya penanganan perkara pembunuhan tersebut pada akhirnya akan berada di bawah kendali para anggota kepolisian negara Republik Indonesia yang bekerja secara profesional dan secara tulus ikhlas berusaha memberantas kejahatan tersebut. Sehingga tak ada celah bagi para penjahat itu untuk bermain mata. Yang berlaku adalah prinsip, bahwa kejahatan semacam itu harus diberantas. Tak pantas kejahatan semacam itu dibiarkan untuk tidak ditangani hingga tuntas. Membiarkan kasus kejahatan itu tidak ditangani sama dengan melakukan kejahatan.

Berlarut-larutnya pemrosesan perkara pembunuhan tersebut sempat membuat beberapa pihak merasa pesimis akan keberhasilan penanganannya secara hukum. Bagi mereka yang tidak mau bersabar dan gampang menjadi pesimis, biarlah mereka itu merasa pesimis. Yang jelas ketidaksabaran dan pesimisme mereka tidak akan menggoyahkan tekad keluarga korban dan para pendukung setianya untuk terus bergerak maju bersama aparat kepolisian yang berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan.

Siapa pun yang ingin memperjuangkan kebenaran dan keadilan, diharapkan dapat berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan kejahatan tersebut. Para penakut, pengecut, dan mereka yang bermental kerupuk, serta orang-orang plin-plan hendaknya minggir dari arena perjuangan tersebut. Kehadiran orang-orang semacam itu tidak diperlukan. Dengan mentalitas kerupuk, dengan sikap plin-plan, anda membiarkan kampung Eputobi terus dikuasai oleh komplotan penjahat itu.  Sedangkan mereka yang selama ini telah memposisikan diri sebagai para simpatisan, pendukung, dan pembela setia para penjahat itu dan kejahatan yang mereka lakukan jelas berhadapan dengan seluruh kekuatan masyarakat beradab, bukan saja di kawasan Lewoingu, tetapi juga di luar kawasan Lewoingu.

Kiranya perlu dicatat bahwa dari luar kawasan Lewoingu pun terus muncul desakan agar keluarga korban terus bergerak maju hingga terungkap tuntas berbagai aspek kriminal dari kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Mereka pun terus mengingatkan keluarga korban untuk tidak mendiamkan kasus kejahatan tersebut. Mereka pun merasa heran dengan pembiaran para pelaku pembunuhan tersebut bebas berkeliaran di masyarakat. Mereka juga merasa aneh dengan kenyataan bahwa seseorang yang menjadi otak dan pelaku pembunuhan atas seorang warga kampung Eputobi itu direstui menjadi kepala desa Lewoingu.  Bagi mereka, hal semacam itu tidak patut terjadi.

Dengan direstuinya seorang tersangka pelaku pembunuhan tersebut menjadi kepala desa Lewoingu, bendera kejahatan dibiarkan berkibar di kampung Eputobi. Di situ panji-panji kejahatan seperti korupsi dan pembunuhan dipandang wajar untuk ditegakkan. Di situ, Indonesia sebagai negara hukum tidak menampakkan diri hingga kini. Di situ kasak-kusuk dari para pelaku kejahatan tersebut untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum dipandang wajar. Di situ moralitas tidak dianggap berarti. Yang berkuasa di situ adalah kepala komplotan penjahat. Maka tak mengherankan bila di situ para anggota komplotannya pun terus berusaha merajalela.

Tetapi di sisi yang lain, tekad kita untuk bergerak maju guna memberantas kejahatan tersebut terus membara, meskipun jalan yang ditempuh berliku-liku, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi, meskipun banyak ancaman coba menghadang. Tak ada kata mundur pada diri para anggota keluarga korban dan pada diri para anggota kepolisian negara RI dalam upaya untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam 30 Juli 2007 itu. ***

Selasa, 08 September 2009

Ada yang sibuk mencuci tangan, ada yang dikambinghitamkan, ada yang berandai-andai, ada yang berkeluh kesah

 

Setelah berhasil mengerahkan anggota-anggota komplotannya untuk membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen punya kesibukan-kesibukan tertentu. Salah satu kesibukannya adalah mencuci tangannya yang berlumuran darah korban kebrutalannya itu. Tetapi semakin sering dia berusaha, darah korban kebrutalannya semakin melumuri kedua tangannya itu. Maka setiap tampil di depan masyarakat pendukungnya di Eputobi, dia tak pernah lupa untuk menyampaikan bahwa kedua tangannya itu bersih.

Tangan yang kotor memang perlu dicuci hingga bersih. Tapi tangan yang berlumuran darah orang yang tak bersalah tak bisa dicuci hingga bersih. Lumuran darah di tangannya akan terus dibawa hingga ke liang kuburnya nanti. Seandainya kedua tangannya itu benar-benar bersih, dia tak perlu begitu sibuk menyampaikannya kepada publik. Karena, bersih atau tidaknya kedua tangannya gampang dilihat oleh mata para warga masyarakat di sekitarnya. Gencarnya dia menyampaikan kepada publik bahwa kedua tangannya bersih justru mengindikasikan bahwa kedua tangannya sebenarnya sangat kotor oleh lumuran darah korban kebrutalannya itu. Seseorang yang tidak terlibat aktif dalam peristiwa pembunuhan itu tidak perlu sibuk berkampanye bahwa dirinya tidak terlibat.

Lihatlah betapa tenangnya orang-orang yang oleh kubu Mikhael Torangama Kelen dikambinghitamkan sebagai pelaku pembunuhan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Meskipun difitnah sedemikian buruknya, mereka berusaha menghadapinya dengan tenang. Mereka tidak perlu berkasak-kusuk berkampanye untuk membersihkan tangan mereka, karena tangan mereka selama ini bersih. Mereka sendiri tahu, orang-orang terdekat mereka masing-masing tahu, rekan-rekan mereka juga tahu persis di mana mereka berada dan apa yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 di kampung Eputobi. Sejak sore hingga malam hari itu sampai pagi hari berikutnya mereka berada di kampung Eputobi. Pada Senin malam 30 Juli 2007, beberapa di antara mereka yang dikambinghitamkan itu menonton televisi di rumah Yosef Kehuler sambil menunggu kedatangan sahabat dan saudara mereka Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang lain berada di rumah mereka masing-masing.

Tetapi di manakah Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng berada pada malam hari itu? Heheeee… Di buku tamu eputobi.net, Donatus Doni Kumanireng pernah berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi di dalam kenyataan, jawabannya itu asal bunyi. Meskipun asal bunyi, dia sebenarnya menyampaikan bahwa pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng sempat tidak berada di kampung Eputobi. Pada selasa pagi, 31 Juli 2007, di Eputobi, Sedu-Doweng Kelen, bapak kecil dari Mikhael Torangama Kelen, berceritera bahwa wia bau’ung kame pusa mang lali Blou (tadi malam kami injak padi di Blou).

Fitnah yang disebarkan oleh para penjahat itu akhirnya sampai juga ke kuping oknum-oknum polisi tertentu, termasuk ke kuping seorang oknum polisi yang mengaku ditugaskan menangani perkara pembunuhan tersebut. Tanpa mengikuti secara cermat jalan ceritera pembunuhan tersebut, tanpa melakukan analisa yang mendalam atas berbagai informasi terkait, oknum polisi yang bersangkutan pun berandai-andai …………………. 

Beberapa waktu lalu kepada salah seorang yang namanya dikambinghitamkan sebagai salah seorang tersangka pelaku kejahatan di Blou, oleh kubu Mikhael Torangama Kelen, oknum polisi yang bersangkutan bertanya begini, “Bagaimana seandainya dalam perkembangan nanti pak ini jadi tersangka?” Lantas oknum polisi yang bersangkutan pun sempat berkata begini, “Jangan-jangan pak ini dijebak oleh keluarga Ata Maran.”

Pengandaian tersebut di atas jelas keliru, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Begitu pula halnya dengan dugaan bahwa Ata Maran menjebak orang dalam kasus pembunuhan salah seorang anggota keluarganya itu. Keluarga Ata Maran itu menjadi korban kebrutalan dari komplotan penjahat Eputobi yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, masa’ keluarga Ata Maran diandaikan menjebak orang yang terbilang bagian dari keluarganya sendiri?

Jika oknum polisi yang bersangkutan berandai-andai seperti tertera di atas, seorang oknum polisi lainnya sempat berkeluh kesah. Dia antara lain berkeluh kesah tentang TKP yang sudah hancur, dan tentang tidak kooperatifnya pihak keluarga korban dengan polisi. Dan masih ada keluhan-keluhan lain yang pada dasarnya tidak patut dikeluhkan oleh seorang anggota kepolisian negara RI.

Dengan tegas oknum polisi yang satu ini pun mengatakan bahwa baru kali ini dia menemukan adanya keluarga korban yang paling tidak kooperatif dengan polisi. Oknum polisi yang satu ini pun berceritera, bahwa pihak tersangka lebih kooperatif dan berkoordinasi dengan polisi. Luar biasa…., bukan, ceriteranya yang polos dan apa adanya ini? Lalu orang ini pun bilang dia dan pihaknya berposisi netral. Padahal dalam menghadapi kasus kejahatan, polisi patut berpihak pada kebenaran.

Dalam berurusan dengan polisi dalam rangka pengungkapan kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, baru kali ini keluarga korban mendapat penilaian buruk semacam itu. Kapolres Flores Timur dan anggota-anggota polisi lain yang secara profesional melakukan pengusutan kasus kejahatan besar tersebut tidak membuat penilaian semacam itu terhadap keluarga korban. Kapolda NTT, Direktur Reskrim Polda NTT, Kapolri, Kepala Bagian Reskrim Mabes Polri, Presiden RI, dan lembaga-lembaga lain di republik ini yang mendapat laporan-laporan dari keluarga korban tentang kasus pembunuhan tersebut pun tidak pernah menilai negatif keluarga korban. Laporan-laporan dari keluarga korban justru sangat membantu polisi untuk menangani kasus pembunuhan tersebut.

Pengungkapan kasus itu di media elektronik seperti internet pun bermanfaat bagi pencegahan terulangnya perbuatan keji oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Cara itu pun ditempuh karena adanya upaya-upaya konkret dari oknum-oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk menutup kasus pembunuhan tersebut, tanpa melalui proses pengusutan. Berbulan-bulan lamanya laporan-laporan keluarga korban tidak diperhatikan. Padahal indikasi-indikasi awal tentang terjadinya pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran sangat jelas. 

Mengapa penanganan perkara kejahatan besar itu dibiarkan berlarut-larut, padahal ujung pangkal dari perkara tersebut sudah terang benderang? Wajarkah para tersangka dan rekan-rekan mereka yang juga terindikasi terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut masih juga dibiarkan bebas berkeliaran? Bukankah memberantas kejahatan merupakan tugas polisi?

Ketimbang membuang waktu dengan berandai-andai yang tidak sesuai dengan kenyataan, daripada hanya berkeluh-kesah tanpa dasar yang jelas, oknum-oknum polisi yang bersangkutan sebaiknya berusaha menunjukkan prestasi terbaik mereka masing-masing dalam membongkar kasus kejahatan besar itu. Masa’ kasus kejahatan yang sudah demikian jelas ujung pangkalnya itu masih juga dianggap belum jelas. Jika aparat kepolisian setempat mau bekerja secara serius dan penuh tanggung jawab, dalam tempo 30 hari, seluruh aspek kriminal dari kematian Yoakim Gresituli Ata Maran bisa terungkap seluruhnya. ***

Jumat, 04 September 2009

Mewaspadai rancangan destruktif badut-badut politik adat di Lewowerang-Lewoingu

 

Selain mengadakan upacara adat tertentu di sebuah rumah di dekat lapangan sepak bola di Eputobi, kubu Mikhael Torangama Kelen beberapa waktu  lalu pun berkumpul di epu di tobi yang terletak di tengah kampung tersebut. Di situ mereka makan mukang (rengki). Acara makan bersama itu merupakan rangkaian dari upacara 30 helai bulu kambing. 30 helai bulu kambing itu mereka jadikan lambang untuk 30 orang dari pihak lawan yang konon dijadikan target untuk mati.

Tampaknya sudah menjadi kebiasaan kelompok tersebut untuk merancang kematian orang-orang yang dianggap sebagai lawan melalui upacara-upacra seperti (kepasa) sumpah, dan semacamnya. Tetapi di dalam kenyataan, upacara-upacara yang bertujuan kriminal semacam itu tidak pernah mempan. Kepada mereka perlu ditegaskan bahwa upacara semacam itu akan berdaya efektif, jika didasarkan pada kebenaran. Sedangkan upacara-upacara yang mereka lakukan selama ini bertujuan untuk menutup-nutupi pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou. Di dalam kenyataan, upacara-upacara semacam itu malah memangsa orang-orang dalam kubu mereka sendiri. Kenyataan semacam itu mestinya menyadarkan mereka. Tetapi kesadaran itu tampaknya tak ada lagi dalam diri mereka.

Biar saja mereka terus nekad untuk mempertahankan cara-cara semacam itu. Dan kita-kita yang lain biar jadi penonton setia yang menyaksikan apa saja yang bakal terjadi pada mereka. Ingatlah bahwa siapa yang merancang kematian bagi orang-orang yang tidak bersalah akan dimangsa oleh sang kematian dengan cara yang mengerikan. Itu adalah hukum alam yang sudah lazim berlaku dalam sejarah manusia. Alam semesta tidak akan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah itu menjadi korban dari penyalahgunaan adat istiadat itu.  Jika mereka terus nekad dengan rancangan kriminal semacam itu, maka sang kematian pun akan datang dan memilih mereka satu per satu seperti halnya orang memilih buah-buah lontar yang matang, yang jatuh bertebaran di tanah.

Sebagai bagian dari kenekadan konyol semacam itu, belakangan ini mereka pun mulai mewacanakan perlunya pengangkatan Kebele’eng Rayahang baru sesuai selera mereka. Di antara mereka ada yang mulai mengusulkan agar dibentuk formasi baru untuk Koten, Kelen, Hurit, Maran. Tetapi di antara mereka pun ada yang belum berani menyetujui usul semacam itu.

Dengan mengajukan usul semacam itu mereka menampilkan diri sebagai badut-badut politik adat, yang makin lama makin tak tahu diri. Masyarakat adat sejati Lewoingu perlu mewaspadai agar badut-badut itu tidak melanjutkan upaya mereka untuk merusak tatanan adat Lewowerang-Lewoingu. ***