Sabtu, 31 Oktober 2009

Sepak terjang si cincin permata biru

 

Si cincin permata biru. Itulah julukannya. Cincin permata biru yang menghiasi jari manisnya itulah, yang membuat dia dijuluki demikian. Dengan cincinnya itu, dia tampil penuh gaya. Dengan stelan hitam-hitam dia sering membaluti bodinya yang terbilang ceking. Kalau sudah begitu, tampilannya tampak seram, meski senyum pun sering tersungging di bibirnya.

Jika tampilannya saja sudah seram, apalagi sepak terjangnya. Kala siang dia menggunakan kedua kakinya untuk berjalan, kala malam dia menggunakan sayap-sayapnya untuk terbang seraya menaburkan benih-benih hitam di seluruh pelosok kampungnya. Dia adalah burung malam yang tiada henti memburu mangsa yang sedang terlelap. Terkadang dia pun bisa menyalak dan menggonggong seperti anjing. Seperti anjing pemburu, kaki-kakinya tiada henti berlari mengejar mangsanya. Tak lupa taring-taringnya pun kerap dipamerkan.

Suatu malam setelah berputar-putar keliling kampung, dia mendarat sejenak pada ranting pohon asam. Dari situ dia memandang ke utara, ke selatan, ke timur, dan ke barat. Tapi tak ada satu pun yang dapat dilihatnya. Ketika memandang ke bawah, dia melihat banyak kucing dan anjing yang sedang menanti kejatuhannya dari pohon asam itu. Maka dikuatkanlah hatinya untuk bertahan di ranting pohon itu. Dia lalu coba menghitung berapa jumlah kucing dan anjing yang sedang menantinya di bawah sana. Tapi dia tak sanggup menghitungnya hingga tuntas. Tiba-tiba dia sadar bahwa mereka yang di bawah sana itu adalah jelmaan para korban dari keganasan sepak terjangnya selama ini. Wah…., ternyata sudah banyak juga korbanku. Begitu katanya dalam hati. 

Ternyata banyak sudah jatuh korban akibat sepak terjangnya. Kata orang-orang sekampung, dia sudah menyusahkan banyak orang. Jika sepak terjang si cincin permata biru itu tidak dihentikan, maka lebih banyak orang lagi bakal disusahkannya juga. Soalnya, si cincin permata biru kian tak mengenal ampun. Di rumah tetangganya dia menimbun banyak barang legam. Anak seorang saudaranya dihajarnya juga. Belakangan ini dia pun sibuk melakukan operasi untuk mengganyang seorang gadis yang dibencinya. Padahal tak ada salah gadis itu padanya.

Tapi kini, rahasia kekuatannya mulai terkuak satu per satu. Dan banyak orang mulai merasa yakin, bahwa kaki-kakinya akan remuk, dan sayap-sayapnya pun akan patah. Bahkan tak akan ada belulang yang tersisa pada raganya. Dia tak akan sanggup melawan derasnya aliran waktu. ***

Jumat, 23 Oktober 2009

Pembaca blog atamaran

 

Seorang teman lama pernah berceritera kepada saya bahwa dia selalu membaca tulisan-tulisan saya di blog atamaran (atamaran.blogspot.com). Sejumlah orang Lewoingu yang melek internet pun sering mengakses blog tersebut. Di Larantuka dan Kupang blog atamaran cukup dikenal. Sejumlah angota polisi di Kupang dan di Larantuka pun sering membaca tulisan-tulisan yang disajikan dalam blog atamaran. Sejumlah tulisan di blog ini pun dengan mudah menyebar ke alamat situs-situs internet lainnya.

Setelah di blog atamaran dibuka kolom diskusi sejarah Lewoingu, tidak sedikit orang yang memperoleh manfaat dari tulisan-tulisan tentang sejarah lewoingu yang disajikan dalam kolom tersebut. Ada rekan-rekan dosen yang dengan setia membaca artikel-artikel tentang sejarah itu. Dengan demikian mereka juga terus mengikuti polemik sejarah Lewoingu.

Siang ini Jumat 23/10/2009 seorang rekan dosen senior menemui saya dan berceritera bahwa dia sudah mencetak semua artikel sejarah Lewoingu yang saya tulis. Sebagian artikel tersebut sudah dia baca, sebagiannya lagi akan dia baca. Dosen senior yang satu ini pun sering mengakses www.eputobi.net melalui jaringan internet gratis di kantornya. Kepadanya saya bertanya, “Anda membacanya di mana, di eputobi.net atau di blog saya?” “Di eputobi.net dan di blog atamaran.” Begitu jawabnya. 

Seorang rekan dosen senior lain pernah bertanya, bagaimana dengan polemik sejarah itu. Kepadanya saya mengatakan, “Saya terus siap berpolemik dengan siapa saja tentang sejarah Lewoingu.” Mendengar itu, dia tersenyum sambil memberikan semangat, “Bagus, maju terus demi kebenaran.”  Dosen senior yang satu itu pernah menyimak isi beberapa tulisan dari lawan-lawan polemik saya. Rekan dosen yang satu ini dikenal sebagai pembaca yang hebat.  Setelah membaca, dia biasanya memberikan catatan-catatan kritis. Dan kalau sedang berkumpul, kami sering beradu argumentasi tentang masalah-masalah yang dipandang perlu untuk didiskusikan.

Beberapa orang lain yang mengikuti polemik sejarah Lewoingu pun bertanya, “Mengapa lawan-lawan polemikmu kok tidak meneruskan polemik?” “Entahlah, tempohari mereka menggebu-gebu, tetapi di tengah jalan suara mereka tiba-tiba menghilang, entah kemana. Mungkin mereka sedang menyelam untuk mengumpulkan bahan-bahan yang mereka perlukan untuk menanggapi tulisan-tulisan saya. Selanjutnya kita tunggu saja.” Begitu jawab saya.

Apreasi terhadap isi artikel-artikel tentang sejarah Lewoingu yang terpampang di blog atamaran biasanya datang dari para pembaca bukan orang Lewoingu. Di antara pembaca yang berasal dari kalangan orang Lewoingu, ada yang malah berkasak-kusuk untuk menghentikan diskusi sejarah Lewoingu seraya memberikan komentar yang overdosis berdasarkan rasa tidak sukanya atas apa yang didiskusikan. Komentar paling mutakhir atas isi tulisan saya dilatarbelakngi oleh semangat mempolitisasi kata-kata tertentu yang saya gunakan dalam diskusi sejarah Lewoingu. Tak lupa dia pun membunyikan nada ancaman. Orang yang bersangkutan mungkin mengira bahwa saya adalah seorang anak kecil yang gampang tunduk oleh gertakan semacam itu.

Gertak sambal semacam itu mengingatkan saya akan apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir. Orang-orang dari kubu timur, yaitu kubu pro pelaku kejahatan sering mengeluarkan ancaman dan gertakan terhadap para warga kubu barat. Ancaman pembunuhan dan ancaman kekerasan lainnya, ancaman tidak boleh membeli raskin, dan ancaman lainnya sering mereka lontarkan kepada kelompok barat di kampung Eputobi. Dua anggota kelompok timur yang berjubah pun menggunakan mimbar gereja St. Yosef Eputobi untuk mengeluarkan kata-kata yang mestinya tidak patut diucapkan oleh orang-orang seperti mereka. Beberapa orang dari kubu pro kejahatan itu pun pernah meneror orang-orang tertentu dari pihak barat dengan caci maki yang sungguh-sungguh keterlaluan. Kesukaan orang-orang semacam itu pun disalurkan melalui sms dan internet.

Tidak hanya itu. Kekerasan fisik seperti mencekik dan menempeleng orang yang dianggap masuk dalam kelompok lawan pun mereka lakukan. Lantas rumah seorang tokoh kubu barat pun pernah dihajar dengan batu. Terdapat indikasi bahwa pelakunya adalah salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Kekerasan macam itu terjadi ketika Donatus Doni Kumanireng berada tak jauh dari rumah tersebut. Belakangan ini orang-orang pro tersangka pelaku pembunuhan tersebut diperalat sebagai mata-mata oleh pihak tertentu. Yang mereka mata-matai adalah orang-orang tertentu dari kubu barat. Pihak tertentu itu punya kepentingan untuk menggagalkan upaya penegakkan hukum atas perkara kejahatan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu.

Pada dasarnya orang-orang dari kubur timur itu tidak suka dengan diskusi. Maka tak usaha heran, ketika ada di antara mereka yang memaksakan diri untuk terlibat aktif dalam diskusi sejarah Lewoingu mereka asal bicara. Keterlibatan mereka dalam diskusi bukan untuk mencari kebenaran rasional tapi untuk mewujudkan agenda-agenda politik kelompok mereka di kampung Eputobi. Dalam rangka itu mereka dengan tekun mengakses pula blog atamaran.

Ya, pembaca blog atamaran terdiri dari kawan maupun lawan. Suka atau tidak suka, orang-orang yang selama ini merasa alergi dengan diskusi sejarah Lewoingu pun mau membaca juga artikel-artikel yang terpampang di kolom diskusi sejarah Lewoingu di blog atamaran. Orang yang pernah mempertanyakan arti polemik sejarah Lewoingu pun ternyata tetap saja menjadi pembaca setia artikel-artikel tentang sejarah Lewoingu di blog atamaran. Setelah membaca, di kalangan mereka itu pun timbul diskusi hangat, terkadang penuh dengan kekesalan. ***

Kamis, 22 Oktober 2009

Di Sukutukang, Flores Timur, beberapa praktisi black magic mengakui dosa-dosa mereka

 

Hampir tiga bulan sudah rumah seorang gadis di Sukutukang sering dikunjungi tamu dari berbagai kalangan. Ada yang datang ke situ untuk memohon kesembuhan dari penyakit atau sakit yang sedang diderita, ada yang memohon agar bisa memiliki keturunan (anak), dll. Pendek kata, mereka yang datang ke situ punya tujuan masing-masing. Dari Eputobi pernah datang sepasang merpati yang sedang dilanda kebingungan.

Pernah mampir pula ke rumah gadis itu beberapa orang Sukutukang, yang selama ini terkenal sebagai pengguna black magic, ilmu hitam. Untuk apa mereka datang ke situ, hanya mereka sendiri yang tahu. Yang jelas ketika berada di rumah gadis itu, segala macam kartu rahasia yang selama ini mereka mainkan terbuka satu per satu, bukan oleh orang lain tetapi oleh mulut mereka sendiri. Di hadapan gadis itu, segala macam kekuatan black magic yang selama ini mereka gunakan sebagai senjata pemusnah orang-orang yang tidak mereka sukai menjadi tidak berarti apa-apa. Dan dari mulut mereka masing-masing meluncur pengakuan tentang aksi-aksi jahat yang pernah mereka lakukan. Di antara mereka yang mengaku dosa itu terdapat seseorang yang pernah dimintai bantuannya oleh salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kejadian semacam itu menjadi bahan pembicaraan hangat baik di Sukutukang maupun di kampung-kampung sekitarnya. Orang-orang yang mengetahui kejadian itu mengakui bahwa tak ada satu pun praktisi black magic di Sukutukang dan sekitarnya yang mampu menandingi “ilmu” yang dimiliki oleh gadis itu. Kehadirannya menimbulkan kengerian tersendiri bagi orang-orang yang mengandalkan kuasa gelap sebagai kekuatan hidup mereka masing-masing.

Kengerian itu pernah dirasakan sendiri oleh sepasang merpati dari kampung Eputobi. Tetapi belum ada informasi tentang apa reaksi mereka setelah mereka sendiri mengalami resistensi yang sangat kuat dari suatu kekuatan yang jauh lebih tinggi di suatu rumah di Sukutukang itu. Mestinya kejadian itu bisa menjadi pemicu kesadaran pada diri mereka untuk segera mengakui kesalahan besar, yang sudah menjadi rahasia umum itu. Karena sudah menjadi rahasia umum, maka di Eputobi pun sempat timbul omongan tentang para pelaku pembunuhan tersebut begini, “Kalian mau mengaku dosa atau tidak mau mengaku dosa, kami sudah tahu dosa kalian.”

Sia-sia kalian berusaha untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang kalian lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu. Dan sia-sia pula segala macam kuasa gelap yang selama ini kalian andalkan itu. ***

Senin, 19 Oktober 2009

Ke Sukutukang mereka pernah coba mengadu nasib

 

Berbagai cara ingin ditempuh oleh Mikhael Torangama Kelen dkk untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Jalan ke Sukutukang pun pernah mereka coba tempuh, beberapa waktu lalu. Sebelum meluncur ke sana, Mikhael Torangama Kelen dan Evi Kumanireng berharap akan memperoleh  bantuan sesuai keinginan mereka.

Tetapi di Sukutukang kedua orang itu menjadi tak berkutik. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun mereka tak mampu. Padahal di kampung Eputobi, kedua orang itu terkenal boros dengan kata-kata yang “aduhai” rasanya. Di Sukutukang dunia mereka menjadi terbalik. Di situ tak ada kata yang dapat mereka ucapkan. Di situ pun tak ada senyum yang bisa mengembang di bibir mereka masing-masing. Di situ tangan-tangan mereka pun tak kuasa untuk saling menepuk.

Masih segar dalam ingatan banyak orang yang hadir di pasar Eputobi, pada hari Jumat, 26 Oktober 2007, tentang tepuk tangan dan sorak kegembiraan di kubu Mikhael Torangama Kelen setelah mereka mendengar pernyataan K. Melki Bagailan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Seusai pertemuan yang digelar untuk menyebarkan kebohongan itu, mereka saling berjabat tangan. Di antara mereka ada yang mengeluarkan kata-kata, “Sudah beres.” Sebelum dan sesudah pertemuan itu, K. Melki Bagailan dan anggota-anggota timnya beramahtamah di rumah Mikhael Torangama Kelen. Di situ senyum ceria saling mengembang.

Oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, hari-hari sesudah pertemuan itu diisi dengan banyak usaha untuk menumbuhkan rasa percaya diri, untuk menimbulkan kesan bahwa bukan mereka yang melakukan perbuatan sangat keji di Blou pada malam itu. Untuk itu, mereka tak segan-segan mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pelaku kejahatan yang sangat mengerikan itu. Di gereja St. Yosef Eputobi, para tersangka itu pun dengan enteng membawa kaki mereka ke depan untuk menerima komuni dari imam yang mempersembahkan misa. Lantas dengan congkak, Mikhael Torangama Kelen pun pernah mengatakan begini, “Biar kalian sembahyang seraya tengadah ke langit dan membungkuk ke tanah pun, kalian tak akan membuat saya masuk bui.” Lantas kepada Arnold Manuk yang sedang berlibur di Eputobi, dia pun sempat menyatakan diri sebagai bukan pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran seraya mengeluarkan air matanya. Suara “alim” dan air matanya pada hari itu berhasil mengecoh orang yang berada di hadapannya itu. Dalam upacara 17 Agustus 2009 di lapangan sepak bola di Eputobi, dia pun sempat melontarkan tuduhan terhadap orang lain sebagai pengacau kampung Eputobi. 

Tetapi di Sukutukang pada suatu hari lain, segala macam kecohan yang selama ini dia mainkan tak sanggup dia perlihatkan. Berbagai ilmu dan jurus yang selama ini dia andalkan pun tak mampu dia kerahkan. Mirip boneka, kedua orang itu membisu, mematung, tanpa suara, tanpa kata-kata di rumah yang asing bagi mereka itu. Yang punya rumah tahu mengapa keadaan demikian dapat terjadi pada kedua orang itu. Kepada mereka, dia hanya berkata begini, “Saya tidak perlu mengatakan kepada kalian kesalahan apa yang kalian lakukan. Pulang saja dulu, dan pikirkan baik-baik. Kalau punya kesalahan terhadap orang-orang lain, akui kesalahan kepada orang-orang yang bersangkutan dan minta maaf kepada mereka.”

Mendengar itu, kedua orang itu pun mundur teratur dari rumah itu, tanpa suara, tanpa kata. Mereka kembali ke Eputobi, ke kampung yang telah mereka legamkan dengan segala macam cara. Tapi apakah Mikhael Torangama Kelen sadar akan kesalahan (baca kejahatan) sangat besar yang dia dkk telah lakukan itu? ***

Kamis, 15 Oktober 2009

Penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu perlu dilaporkan ke pihak berwajib

 

Di Polres Flores Timur, seorang anggota polisi pernah menyinggung tentang informasi mengenai adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen. Entah dari mana informasi itu dia peroleh, yang jelas perbuatan menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen telah dikonfirmasi oleh Ketua Banwas Daerah Flores Timur di kantor Bupati Flores Timur pada bulan Januari 2008. Jumlah uang yang disalahgunakan oleh Mikhael Torangama Kelen mencapai angka Rp 14 juta. Angka ini diperoleh dari hasil audit sementara yang dilakukan oleh Tim Banwasda Flores Timur. Angka itu bisa jadi membengkak, jika pekerjaan audit tersebut diteruskan hingga tuntas. Tetapi di dalam kenyataan, pekerjaan audit itu berhenti di tengah jalan. Usul agar proses audit atas Mikhael Torangama Kelen dilanjutkan tidak mendapat tanggapan hingga kini.

Sebelum Kepala Banwasda Flores Timur menyampaikan laporan tentang hasil audit tersebut, di Bagian Tata Pemerintahan di kantor Bupati Flores Timur, sudah terjadi kasak-kusuk oleh oknum-oknum staf tertentu untuk menggoalkan rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pada bulan Oktober 2007, seorang staf di bagian tersebut mengusulkan begini, “Jadwal pelantikan kepala desa Lewoingu sudah disusun. Biarlah dia dilantik dahulu. Setelah itu baru diturunkan lagi.” Usul aneh itu dia kemukakan setelah dia mendengar informasi bahwa Mikhael Torangama Kelen terindikasi melakukan korupsi dan terlibat dalam perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Ketika keberatan atas rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen ingin disampaikan kepada Bupati Flores Timur, seseorang yang mengaku diri sebagai protokoler, dengan kasar menanggapi bahwa Mikhael Torangama Kelen itu telah dipilih oleh warga, jadi rencana pelantikan itu tak bisa dibatalkan. Dari nada pembicaraannya, tampak jelas bahwa si protokoler yang satu ini bersemangat membela orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Semangat semacam itu tentu dipicu oleh faktor tertentu.

Mengetahui adanya indikasi praktek korupsi dan keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam peristiwa pembunuhan tersebut, seorang pejabat di lingkungan kantor Bupati Flores Timur berusaha untuk mengkensel kalau perlu membatalkan rencana pelantikan tersebut. Tetapi pada akhirnya suaranya tidak diindahkan oleh para pengambil keputusan politik di kantor daerah Flores Timur itu. Pejabat yang bersangkutan malah tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Ini aneh tapi nyata.

Bupati yang sebelumnya terkesan konsisten dengan pelaksanaan peraturan terkait dan berusaha menjalankan pemerintahan secara bersih dan berwibawa, malah menyetujui usul pelantikan tersebut. Padahal Bupati sendiri sudah mengetahui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala desa Lewoingu pada Selasa, 27 Maret 2007 itu cacat hukum, bahwa Mikhael Torangama Kelen secara jelas terindikasi melakukan korupsi, dan bahwa Mikhael Torangama Kelen juga terindikasi menjadi tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Bupati Flores Timur itu mundur dari konsistensi dan tekadnya tersebut. Bersama rombongannya, pada hari itu, dia meluncur ke Eputobi untuk melantik Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Pelantikan itu bersyarat. Salah satu syaratnya ialah bahwa dalam tempo enam bulan, Mikhael Torangama Kelen harus mengembalikan uang sebesar Rp 14 juta yang disalahgunakannya itu.  Apakah syarat itu sudah dipenuhi atau belum dipenuhi, tidak jelas hingga kini.

Penyelesaian ala Bupati Flores Timur itu jelas bertentangan dengan semangat reformasi, juga berlawanan dengan semangat presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberantas korupsi. Yang seharusnya dilakukan oleh Simon Hayon pada waktu itu ialah menunda atau kalau perlu membatalkan pelantikan tersebut, dan meneruskan kasus penyalahgunaan uang oleh Mikhael Torangama Kelen itu ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Tetapi hal itu tidak dia lakukan, sehingga dapat menjadi preseden buruk di kemudian hari.

Dari metode penyelesaian tersebut, orang dapat belajar bahwa melakukan korupsi tidak apa-apa, kalau ketahuan, ya diaturlah sedemikian rupa agar tidak perlu diproses secara hukum, yang penting uang yang sudah dikorupsi dapat dikembalikan. Padahal pernah terjadi di Sumatra Utara, seorang pejabat dipenjara karena mengkorupsi uang sebesar Rp 1 juta. Ada sejumlah kepala desa pun dipenjara gara-gara menyalahgunakan raskin dan mengorupsi uang bantuan langsung tunai dan uang-uang lainnya.

Setelah mendengar bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu bukan sekedar isu, anggota polisi itu tadi pun mengusulkan agar masyarakat Eputobi melakukan unjuk rasa di kantor Bupati untuk memprotes pelantikan orang itu sebagai kepala desa Lewoingu. Sebelum usul itu dikemukakan, perwakilan dari kubu oposisi desa Lewoingu sudah berulang kali menyampaikan protes mereka secara terhormat ke Bupati Flores Timur. Mereka menolak rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu berdasarkan alasan hukum dan moral yang jelas. Tetapi upaya mereka itu akhirnya tidak mendapat tanggapan positif dari Bupati Flores Timur.

Anggota polisi yang bersangkutan pun merasa heran dengan langkah Bupati Flores Timur yang mengaktifkan kembali seorang tersangka pelaku pembunuhan berencana itu sebagai kepala desa Lewoingu pada tanggal 23 Januari 2009. Keputusan Simon Hayon untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu itu dibuat tanpa koordinasi dengan Kepala Polres Flores Timur. Keputusan Bupati tersebut mengecewakan berbagai pihak dan kalangan yang menghendaki tegaknya kebenaran dan keadilan di bumi Flores Timur.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa kasus kejahatan seperti korupsi itu dapat ditangani secara hukum. Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut dari penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, kasus penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu dapat dilaporkan ke pihak berwajib, baik kepada kantor kepolisian setempat maupun ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Jika laporan tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari pihak berwajib setempat, laporan dapat disampaikan ke aparat penegak hukum yang lebih tinggi, yaitu ke Kupang dan ke Jakarta. Dalam rangka itu perlu dibangun kerja sama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepudulian real atas pemberantasan korupsi dari bumi Nusantara. Ingatlah bahwa daya rusak korupsi itu jauh lebih besar ketimbang terorisme.

Saya berharap ada anggota polisi di Polres Flores Timur yang membaca tulisan ini, sehingga tahu bahwa Mikhael Torangama Kelen itu tidak hanya terlibat dalam perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Dia jelas terindikasi melakukan korupsi. Upaya pembongkaran kasus korupsi yang dilakukannya oleh kubu oposisi di desa Lewoingu pada tahun 2007, menjadi salah satu alasan tersembunyi di balik pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Oh ya, ada lagi informasi yang perlu diketahui, yaitu bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang di masa lalu pernah memimpin aksi pengeroyokan terhadap seorang anggota polisi di Boru. Orang ini juga menjadi penyebab terjadinya perkelahian antara kampung Eputobi dengan kampung Leworook sekian tahun lalu.

Saya berharap tulisan ini dapat mendorong anggota-anggota polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk mulai menaruh perhatian real pada kasus korupsi tersebut. Dari situ, anda-anda dengan mudah menemukan kaitan logis antara kedua kasus tersebut. ***