Kamis, 26 November 2009

Mengamati respons masyarakat terhadap empat kasus pembunuhan sadis di NTT

 

Semangat untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, masih coba dipupuk oleh sejumlah orang Eputobi di Flores Timur. Upaya semacam itu sulit ditemukan padanannya dalam kehidupan masyarakat beradab di mana pun di dunia ini.

Tak perlu anda mencari pembandingnya jauh-jauh ke luar kawasan NTT. Di NTT dalam kurun waktu dua tahun yaitu 2007-2009 terjadi empat pembunuhan sadis. Pertama, pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Flores Timur pada Senin malam, 30 Juli 2007. Kedua, pembunuhan atas Paulus Usnaat di Kefa TTU pada tanggal 2 Juni 2008. Ketiga, pembunuhan atas Romo Faustinus Sega Pr di Olakile, Nagekeo, Flores pada bulan Oktober 2009. Jenazah korban ditemukan pada Senin, 13 Oktober 2008. Keempat, pembunuhan atas Yohakim Langoday pada 19 Mei 2009 di Lewoleba, Lembata.

Respons masyarakat setempat terhadap pembunuhan atas Romo Faustinus Sega Pr jelas. Masyarakat menuntut polisi untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan tersebut. 2000 orang turun ke jalan. Mereka mendesak aparat kepolisian setempat menyelidiki dan menyidik perkara pembunuhan tersebut. Kerjasama antara penyidik dari Polda NTT dan Polres Nagekeo membuahkan hasil. Setelah proses penanganannya menempuh jalan yang cukup berliku, berkas perkara pembunuhan itu kini memperoleh status P21. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara tersebut, tidak terjadi aksi unjukrasa dari pihak tersangka untuk menuntut polisi menerbitkan SP3.

Selain perkara Nagekeo, perkara pembunuhan atas Yohakim Langoday pun kini sudah berhasil memperoleh status P21. Terbongkarnya kasus pembunuhan tersebut pun terjadi berkat kerjasama yang baik antara penyidik dari Polda NTT dan Polres Lembata. Dukungan masyarakat setempat atas pengungkapan kasus pembunuhan tersebut jelas. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara tersebut tidak terjadi aksi unjukrasa dari pihak tersangka untuk meminta SP3. 

Dua perkara pembunuhan yang hingga kini belum berhasil memperoleh status P21 adalah perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Flores Timur dan perkara pembunuhan atas Paulus Usnaat di Kefa, TTU. Selama berlangsungnya proses penanganan perkara pembunuhan di Kefa itu tidak terjadi aksi unjukrasa oleh pihak tersangka untuk meminta SP3.  Masyarakat setempat justeru mendukung polisi untuk mengungkap kasus tersebut.

Kerjasama penyidik Polda NTT dan Polres Flores Timur berhasil mengungkap kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Empat orang yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Flores Timur. Karena berkas perkara tersebut belum memperoleh status P21, sedangkan masa penahanan para tersangka telah habis, maka empat tersangka itu pun dikeluarkan dari sel. Penyidik telah berusaha melengkapi berkas perkara tersebut dengan alat-alat bukti yang cukup, tetapi Jaksa Penuntut Umum (JPU), Gerson A. Saudila SH masih juga mengembalikannya ke penyidik. 

Maklum, selama pemrosesan perkara pembunuhan tersebut, pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran beberapa kali berhasil melobi Gerson A. Saudila. Salah seorang yang sibuk melobi si JPU adalah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Jika seorang JPU bersedia menemui orang-orang dari pihak tersangka, sebanyak beberapa kali, mungkinkah dia bisa memberikan penilaian yang objektif atas berkas perkara pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang tersangka itu? 

Karena merasa dibantu oleh oknum-oknum aparat penegak hukum tertentu, maka para tersangka pun berusaha tampil percaya diri seakan-akan bukan mereka yang telah menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Demikian pula halnya dengan para pendukung mereka yang terdiri dari orang-orang yang gampang dimanipulasi untuk mendukung upaya para tersangka untuk menutup-nutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan. Mereka inilah yang dimanfaatkan oleh para tersangka untuk melakukan aksi unjukrasa guna menuntut SP3. Upaya pemanfaatan tersebut dapat terjadi mengingat kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah orang yang oleh Bupati Kabupaten Flores Timur direstui menjadi kepala desa Lewoingu. Sebagai kepala desa, si tersangka yang satu itu dengan mudah menggunakan kaki tangan dan berbagai sumber daya politik yang ada untuk mengerahkan para pendukungnya untuk menuntut SP3.

Tetapi mereka lupa bahwa terdapat bukti-bukti hukum yang memadai bagi pengajuan perkara pembunuhan tersebut ke Pengadilan Negeri Larantuka. Bahwa hingga kini berkas perkara tersebut belum diajukan ke pengadilan, itu bukan karena penyidik belum mampu melengkapinya dengan alat-alat bukti yang cukup, melainkan karena penilaian aneh si JPU atas isi berkas tersebut. Sebelum mengembalikannya untuk kelima kalinya ke penyidik, berkas perkara pembunuhan itu dipendam selama dua bulan lebih di lacinya. Jelas bahwa pemendaman selama dua bulan lebih itu bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku di negara ini.

Yang mendukung para tersangka menuntut SP3 hanya segelintir orang, yang karena tidak tahu seluk beluk proses hukum yang sedang berjalan, maka gampang dimanipulasi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Selama ini, daya kritis-rasional mereka telah ditumpulkan oleh anggapan yang salah yang mengatakan bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang berjasa dalam mengadakan raskin dan blt. Maka tak mengherankan bila mereka itu pun dengan mudah dapat disesatkan dengan berbagai informasi yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang berkaitan dengan pemrosesan perkara pembunuhan tersebut. Mereka telah dijadikan pion-pion yang dimainkan dan dapat dikorbankan demi kepentingan si pecatur.

Untung bahwa mayoritas masyarakat Lewoingu tidak mau terkecoh oleh politik kotor si kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Mayoritas masyarakat Lewoingu yang mencakup beberapa desa itu mendukung upaya Kapolres Flores Timur dan para penyidik untuk menyeret Mikhael Torangama Kelen dkk ke Pengadilan Negeri Larantuka. Kelompok mayoritas di Lewoingu menentang keras kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk dan mengutuk dengan keras pula upaya-upaya para penjahat itu untuk menutup-nutupi perbuatan jahat mereka. Selama ini kelompok mayoritas berusaha menahan amarah, karena mereka masih berharap bahwa aparat kepolisian setempat dapat menyeret para tersangka itu ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Selama ini masyarakat sudah cukup dikecewakan dengan metode penanganan berlarut-larut atas suatu perkara pembunuhan yang demikian jelas ujung pangkalnya itu.

Perlu juga diketahui bahwa berbagai kalangan di luar kawasan Lewoingu pun mengutuk kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu. Sejak awal hingga kini mereka memberikan dukungan moral kepada pihak keluarga korban dan berharap para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dapat diseret ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman seberat-beratnya. ***

Sunyi sepi masih menyelimuti kubu tersangka

 

Sunyi sepi masih menyelimuti kubu timur, kubunya Mikhael Torangama Kelen. Ya, setelah menggelar aksi unjukrasa yang sia-sia di Mapolres Flores Timur beberapa waktu lalu, suasana di kubu tersebut pun kontan berubah. Mereka yang biasa overacting belakangan ini menjadi serba pendiam. Tampaknya rasa ketar ketir masih saja menghantui mereka. Entah sampai kapan suasana semacam itu mencekam rasa mereka. Yang jelas hati dan rasa mereka tersayat oleh kenyataan bahwa penetapan, penangkapan, dan penahanan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran didasari oleh alasan-alasan hukum yang memadai. Maka siapa pun yang berusaha membatalkan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut pada dasarnya melakukan kejahatan.

Selama ini, para tersangka dan para pendukung mereka telah menempuh berbagai cara untuk menghentikan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam rangka itu mereka berusaha mendekati dan berkooperasi dengan oknum-oknum polisi tertentu. Tanpa sungkan-sungkan antek-antek Mikhael Torangama Kelen pun melobi JPU yang menangani perkara pembunuhan tersebut. Mereka juga menuduh orang-orang lain sebagai pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tidak hanya itu, mereka juga berusaha mengkriminalisasi keluarga korban. Upaya mereka itu bergema pula dalam sikap dan suara oknum-oknum polisi tertentu dalam menyikapi perkara pembunuhan tersebut. Oknum-oknum polisi tertentu pun pernah berusaha menggertak pihak keluarga korban. Melalui upaya tersebut, mereka berharap keluarga korban dapat ditekan. Mereka lupa bahwa keluarga korban tak akan bisa digertak oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Bagi kami, maju terus pantang mundur demi kebenaran dan keadilan merupakan harga yang mustahil ditawar-tawar lagi. Seperti apa lagu komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, itu tak berpengaruh terhadap langkah-langkah perjuangan kami. Siapa pun dan pihak mana pun yang mereka libatkan dalam upaya mereka untuk  menutup-menutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan, itu akan sia-sia.

Dan jangan lupa bahwa penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen pun dapat diproses secara hukum. Ingatlah baik-baik bahwa penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu merupakan suatu fakta. Dua kasus kejahatan itu akan menjerat Mikhael Torangama Kelen. Antek-anteknya yang lain pun dapat digugat berdasarkan elemen-elemen kriminal yang selama ini mereka sebarluaskan. 

Karena lambannya gerak proses penanganan perkara kejahatan yang mereka lakukan, selama ini para tersangka dan antek-antek mereka sering memamerkan taring dan membusungkan dada seraya terus berusaha memutarbalikkan fakta-fakta. Mereka merasa berada di atas angin. Mereka merasa bahwa mereka bisa menggagahi hukum. Tetapi setelah mengetahui bahwa berkas perkara pembunuhan di Nagekeo dan di Lewoleba sudah berstatus P21, Mikhael Torangama Kelen dan antek-anteknya pun merasa ketar ketir. Mereka diselimuti rasa takut. Dalam keadaan semacam itu, mereka masih coba bertaruh melalui aksi unjukrasa. Tapi hasil dari aksi unjukrasa itu adalah kekecewaan dan frustrasi. Maka tak mengherankan bila sunyi sepi pun menyelimuti kubu para tersangka itu, hingga kini.***

Kamis, 19 November 2009

Setelah berunjukrasa, mereka kecewa dan frustrasi

 

Ketika hendak berangkat ke Larantuka, pada Jumat pagi, 13 November 2009, mereka tampak ceria. Mereka merasa yakin bahwa tuntutan SP3 yang mereka usung akan berhasil dipenuhi oleh Kapolres Flores Timur. Mereka adalah para tersangka dan para kaki tangan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu. Pada hari itu mereka mengenakan kostum hitam-hitam, sesuai dengan kelamnya hati mereka selama ini.

Di Mapolres Flores Timur, mereka menggelar aksi unjukrasa. Di situ, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan San Kweng angkat bicara. Di situ, Mikhael Torangama Kelen “menyanyikan” lagu lamanya bahwa tangannya bersih, dirinya bersih. Di situ, lagi-lagi dia mencatut nama lewotana untuk menutup-nutupi tangannya yang berlumuran darah, darah orang tidak bersalah, yang dihabisinya di Blou, pada Senin malam, 30 Juli 2007. Di situ, dia memamerkan diri sebagai orang yang semakin tidak tahu diri.

Di situ, San Kweng pun lagi-lagi tampil sebagai seorang pembela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Di situ dia pun “menyanyikan” lagu kambing hitam, bahwa pembunuh sesungguhnya masih bebas berkeliaran. Dia menuduh penyidik (penyidik dari Polda NTT) melakukan salah tangkap. Ya, setelah lama tak bersuara, dia muncul kembali ke permukaan. Tetapi di Mapolres Flores Timur pada hari itu, dia hanya asbun alias asal bunyi. Dengan asbunnya itu dia ingin tampil sebagai pahlawan bagi para tersangka.

Yang masih bebas berkeliaran adalah empat tersangka, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng plus beberapa orang kaki tangan Mikhael Torangama Kelen, yang pada malam kejadian itu berada di TKP dan sekitarnya untuk mensukseskan pelaksanaan proyek kejahatan yang telah dirancang melalui serangkaian rapat. Beberapa di antara mereka yang dimaksud itu berpartisipasi aktif dalam aksi unjukrasa tersebut.

Apa hasil unjukrasa yang mereka gelar di Mapolres Flores Timur itu? Hasilnya nihil. Setelah mengalami sendiri apa yang sesungguhnya terjadi dalam aksi unjukrasa itu, para pengunjukrasa pulang dengan rasa kecewa berat. Dengan wajah letih lesu loyo tanpa semangat mereka kembali ke Eputobi pada hari Jumat sore minggu yang lalu. Tak ada senyum yang mengembang di bibir mereka. Setelah kembali ke Eputobi, keluh kesah dan rasa kecewa pun diungkapkan satu per satu dari mulut sejumlah peserta aksi unjukrasa. Di antara mereka ada yang secara tegas mengatakan kecewa dengan aksi unjukrasa yang tidak berguna itu. Lalu di antara sesama peserta aksi unjukrasa pun ada yang saling berkelahi hanya karena kata-kata yang dianggap memalukan. Rasa frustrasi pun menyergap mereka setelah mereka menggelar aksi unjukrasa di Larantuka.

Suasana muram di kubu Mikhael Torangama Kelen terus menjalar hingga ke hari Sabtu dan Minggu. Jumat malam, 13/11/2009 rasa getir dan ketar ketir benar-benar meresapi seluruh diri mereka. Karena masih dilanda rasa kecewa berat (frustrasi), kerja bakti pada hari Sabtu 14/11/2009 pun dibatalkan. Ibadat hari Minggu, 15/11/2009 pun hanya dihadiri oleh para umat dari kubu barat. Dalam dua hari itu, suara mereka raib seperti ditelan bumi. Padahal biasanya suara mereka itu nyaring terdengar ke mana-mana. Selama ini, dengan suara, mereka sering menyindir dan meledek para lawan politik mereka dari kelompok barat.

Para warga kelompok “jabar” yang selama ini lebih banyak memilih jalan diam hanya menjadi penonton setia semua keanehan perilaku para pembela kejahatan itu. ***

Sabtu, 14 November 2009

Sejumlah orang berkostum hitam berunjukrasa di depan Mapolres Flores Timur

 

Rasa prihatin kembali timbul di sejumlah kalangan di kota Larantuka, terutama di kalangan yang selama ini berharap agar para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu diseret ke pengadilan, setelah mereka mengetahui adanya aksi unjukrasa untuk menuntut SP3 atas perkara pembunuhan atas orang yang tidak bersalah itu. Selama ini mereka dengan setia memberikan dukungan moral kepada pihak keluarga korban untuk maju terus pantang mundur memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Selama ini, hati nurani mereka berkata bahwa pihak keluarga korban telah diperlakukan secara tidak adil oleh oknum-oknum aparatur penegak hukum tertentu.

Kepada mereka yang berkomentar tentang aksi unjukrasa yang dilakukan oleh pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresitu Ata Maran, pada hari Jumat, 13/11/2009 itu, pihak keluarga korban mengatakan bahwa, “Biar saja mereka itu berunjukrasa. Toh unjukrasa yang mereka gelar itu tidak berpengaruh atas upaya polri dalam menjalankan tugas mereka sebagai aparatur penegak hukum. Polri terus berupaya untuk membawa kasus pembunuhan itu ke pengadilan negeri Larantuka.” 

Di kampung Eputobi hingga tadi malam (Jumat malam, 13/11/2009) timbul pula pertanyaan-pertanyaan dari kubu barat tentang di mana unjukrasa itu digelar dan apa tuntutan para pengunjukrasa itu. Pertanyaan-pertanyaan mereka sudah dijawab secara jelas. Mereka perlu memperoleh informasi yang jelas dan benar agar mereka tidak dikecoh oleh berbagai informasi menyesatkan yang dengan sengaja dialirkan oleh pihak tertentu. Apalagi upaya penyesatan masih saja terjadi hingga kini.

Selama ini pihak barat di kampung itu sudah mengambil sikap yang jelas, yaitu tidak bersekutu dengan para tersangka dan tidak mau ikut-ikutan menjadi pembela kejahatan. Bersama keluarga korban, mereka pun berusaha memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan tanpa kenal lelah. Beberapa di antara mereka malah sempat dijadikan kambing hitam oleh pihak tersangka dan karena itu mereka pun dijadikan objek kegiatan spionase yang dilakukan oleh pihak tertentu.  Aktivitas spionase itu dilakukan oleh sejumlah orang yang berusaha sekuat tenaga untuk mengganjal proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam rangka itu, mereka pun menggunakan jasa praktisi ilmu hitam (dukun) tertentu. Berdasarkan petunjuk si praktisi ilmu hitam, beberapa di antara mereka meletakkan barang-barang hitam di makam korban di Riang Duli, dengan maksud dapat menutup jalan ke arah pengungkapan hingga tuntas perkara pembunuhan tersebut.

Tapi siapa yang dapat menutup jalan yang mustahil dapat ditutup itu? Sehitam apa pun dukun yang mereka andalkan, ia tak sanggup menutup jalan bagi pengungkapan perkara pembunuhan tersebut. Sehitam apa pun warna kostum yang dikenakan oleh para pengunjukrasa yang beraksi di depan Mapolres Flores Timur pada Jumat, 13 November 2009, mereka tidak akan mampu menutup kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk itu. ***

Jumat, 13 November 2009

Menunggu laporan penggunaan dana pembangunan desa Lewoingu

 

Catatan penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen di masa lalu secara rapih dibuat oleh kubu oposisi di desa tersebut. Catatan itu menuturkan bahwa orang yang memerintah di desa Lewoingu pada periode 2000-2006 dan kebablasan hingga 2007 itu mampu menggunakan uang desa Lewoingu semaunya sendiri. Mungkin karena itu, maka orang-orang di sekitarnya pun pernah ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Ketika kubu oposisi di desa itu mempersoalkannya, Mikhael Torangama Kelen dkk bereaksi keras. Segala cara coba mereka tempuh untuk menutupi perbuatan kotor tersebut. Beberapa orang dari kubu oposisi yang tidak menyalahgunakan uang desa Lewoingu pernah dilaporkan ke Polsek Boru. Buntut dari laporan tersebut adalah terungkapnya pengakuan dari kubu Mikhael Torangama Kelen bahwa selama itu mereka menggunakan uang iuran pasar untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing. Iuran pasar itu dipungut dari setiap pengunjung dan para pedagang yang berjualan di pasar desa Lewoingu pada setiap hari Jumat.

Ketika konflik politik meruncing pasca pilkades 2007, dan ketika kubu Mikhael Torangama Kelen terdesak oleh tekanan kubu oposisi, jalan kriminal pun mereka rancang guna membungkam pihak oposisi. Pada awal April 2007, salah seorang dari kubu Mikhael Torangama Kelen mencari calon pembunuh untuk menghabisi tiga orang tokoh oposisi yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Tetapi orang yang dihubungi untuk proyek kejahatan itu secara tegas menolak tawaran tersebut. Karena tidak berhasil merekrut calon pembunuh bayaran, maka Mikhael Torangama Kelen sendiri yang memimpin aksi pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Orang yang pada awal April 2007 berusaha merekrut calon pembunuh bayaran itu pun terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. 

Lawan politiknya itu sudah pergi ke dunia lain. Sekarang tak ada satu tokoh pun dari kubu oposisi yang duduk dalam pemerintahan desa Lewoingu. Tak ada satu pun anggota DPD yang berasal dari kubu oposisi. Sehingga tak ada lagi pengawasan bagi jalannya pemerintahan di desa itu. Tak ada lagi mata yang secara langsung mengawasi penggunaan dana pembangunan desa itu. Tak ada lagi tangan-tangan yang mencatat penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu.

Seorang staf Bangdes pernah menginformasikan bahwa dari provinsi NTT didrop dana pembangunan sebesar Rp 100 juta rupiah untuk tiap desa di NTT untuk tahun anggaran yang sebentar lagi akan berakhir. Pengadaan dana sebesar itu bukan hasil perjuangan kepala desa, tetapi merupakan dana dari pemerintah Indonesia untuk memacu pembangunan desa-desa di Indonesia.  Porsi terbesar dari dana itu adalah untuk pembangunan desa. Sedangkan sisanya, paling banyak 30% untuk honor para aparatur desa yang bersangkutan selama satu tahun. Penggunaan dana itu perlu dipertanggungjawabakan oleh kepala desa yang bersangkutan.

Yang jadi pertanyaan ialah untuk apa saja dana itu digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk? Benarkah dana itu digunakan untuk peningkatan kesejahteraan segenap lapisan masyarakat desa Lewoingu?

Ketika Mikhael Torangama Kelen dan para pendukungnya berkeluh kesah tentang adanya warga dari kubu barat yang tidak berpartisipasi dalam kerja bakti di desanya, salah seorang dari kubunya berkomentar, “Wajar saja kalau mereka di sebelah sana (=kubu barat) tidak ikut kerja bakti. Raskin pun hanya kita yang pakai. Datang uang sedikit dari atas pun hanya kita yang dapat.”

Terlepas dari adanya komentar semacam itu, dana pembangunan tersebut sudah digunakan. Tepat sasaran atau tidak penggunaannya tak diketahui oleh pihak oposisi.  Bocor atau tidak penggunaannya belum ada yang tahu. Tetapi hal berikut ini perlu dicatat, yakni bahwa di masa lalu Mikhael Torangama Kelen pernah membuat laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Isi laporan keuangannya penuh dengan rekayasa. Karena itu secara tegas, kubu oposisi pada waktu itu menilai bahwa isi laporannya itu penuh dengan kebohongan. Itulah sebabnya laporan pertanggungjawabannya itu ditolak oleh BPD Lewoingu pada tahun 2007. Berdasarkan laporan dan permohonan dari BPD Lewoingu itulah, maka Mikhael Torangama Kelen diaudit oleh Banwasda Flotim. Hasil audit sementara menunjukkan bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta rupiah. Angka ini belum termasuk penyalahgunaan uang iuran pasar desa Lewoingu oleh anak-anak buahnya. Angka itu pun bisa membengkak, jika proses audit dilanjutkan hingga tuntas.

Salah satu syarat pelantikannya pada Rabu, 16 Januari 2008, ialah bahwa dia harus mengembalikan uang yang disalahgunakannya itu dalam tempo enam puluh hari. Tetapi belum jelas hingga kini apakah uang yang disalahgunakannya itu sudah dikembalikan ke kas desa Lewoingu atau belum. Seandainya dia sudah berhasil mengembalikannya, pengembalian uang tersebut tak dapat menghapus perbuatan korupsi yang dilakukannya. Korupsi adalah perbuatan pidana yang perlu diproses secara hukum. 

Selanjutnya kita tunggu seperti apa isi laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan dana pembangunan tersebut di atas. ***

Minggu, 08 November 2009

Bunderan HI dan panggung ganyang korupsi

 

Saya baru saja kembali dari Bunderan HI, Jakarta. Hampir tiga jam lamanya saya berada di situ, membaur dengan ribuan orang yang berpartisipasi dalam aksi damai dukung KPK alias aksi ganyang korupsi. Para peserta terdiri dari pria wanita, tua muda, besar kecil. Di situ mereka menyatukan tekad untuk mengganyang korupsi sebagai syarat untuk membangun Indonesia yang lebih sehat. 

Selain disuguhi orasi-orasi politik dari beberapa aktivis anti-korupsi, para peserta juga dihibur dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh sejumlah artis seperti Once Dewa, Erwin Gutawa, Oppie Andaresta dan grup band Slank. Beberapa peserta pun diberi kesempatan untuk naik ke panggung untuk menyampaikan aspirasi. Para peserta dibuat tertawa oleh seorang ibu yang naik ke panggung dan keseleo lidah. Ketika seorang pembawa acara bertanya kepadanya, “Kita datang ke sini untuk mengganyang…..?” Ibu itu dengan mantap mengatakan “Untuk mengganyang KPK.” Mendengar itu para hadirin pun tertawa. Tetapi si ibu pun segera menyadari bahwa dia melakukan kesalahan. Dia kemudian meminta maaf, dengan mengatakan, “Maaf, saya salah.” Pembawa acara kemudian menanyakan lagi kepadanya, “Kita datang ke sini untuk mengganyang……?” Kali ini si ibu menjawab dengan tegas, “Untuk mengganyang korupsi.”

Untuk mengganyang korupsi itulah, ribuan orang rela berdiri di bawah terik panas selama beberapa jam. Mereka mengibarkan bendera-bendera dan menampilkan spanduk-spanduk serta poster-poster yang isinya antara lain mengganyang korupsi, mengganyang koruptor, tolak kriminalisasi kewenangan KPK, berantas mafia penegak hukum, facebookers peduli keadilan, hidup cuma sementara jangan nodai diri dengan korupsi. Dalam suatu aksi yang terbilang teatrikal, seorang aktivis menunggang boneka buaya biru. Di belakangnya, dua aktivis yang berdiri di sebuah mobil pickup memancangkan gambar Anggodo yang berpakaian polisi. Sebelumnya, gambar tersebut sempat ditampilkan di panggung orasi. Seraya menunjuk pada gambar itu seorang aktivis yang sedang berorasi bertanya kepada para hadirin, “Apakah anda mau Kapolri kita seperti ini?” “Tidak!” Jawab para hadirin. Aksi di Bunderan HI itu pun dimeriahkan dengan teriakan, cicak Jaya, koruptor mati, presiden bangun.

Di Bunderan HI siang ini, komunitas CICAK (Cinta Indonesia Cinta KPK) menyatakan keberaniannya melawan buaya. Ini tampak dari logo spanduk yang bergambarkan seekor buaya dan seekor cicak, bertuliskan, “Saya cicak berani melawan buaya.” Dari hadirin yang berdiri di pinggir bunderan air mancur sempat terdengar suara yang mengatakan, “Cicak bisa menelan buaya.”  Siang ini CICAK menuntut tegaknya keadilan. Untuk menegakkan keadilan para pemimpin bangsa ini perlu bertindak tegas terhadap para koruptor. Selama para pemimpin bangsa ini tidak mampu bertindak tegas terhadap para koruptor, keadilan tak dapat ditegakkan.

Bagi saya, apa yang disuarakan oleh CICAK pada Minggu siang, 8 November 2009 ini representatif. Suara mereka mewakili keinginan dan harapan rakyat Indonesia yang selama ini mendambakan terwujudnya keadilan sosial yang real. Keadilan sosial yang real itu tak mungkin diwujudkan bila praktek-praktek korupsi masih terus berkembang biak dan menjadi buaya-buaya yang secara ganas mencaplok apa-apa yang menjadi hak rakyat Indonesia. ***

Jumat, 06 November 2009

Ada perkembangan baru atau tidak?

 

Belakangan ini pertanyaan tersebut di atas sering diajukan kepada saya. Yang mengajukannya adalah saudara-saudara di kampung Eputobi dan sekitarnya. Sudah lama mereka menunggu hasil kerja nyata dari aparat kepolisian Polres Flores Timur dalam mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Sudah lama mereka pun diresahkan oleh kelambanan proses penanganan perkara kejahatan tersebut. Sudah cukup lama mereka juga diresahkan oleh kecongkakan para tersangka pembunuh orang yang tak bersalah itu.

Kepada pihak keluarga korban, mereka sering mengingatkan untuk tidak menunda dan menunggu terlalu lama. Maka tak mengherankan bila mereka pun mengajukan lagi dan lagi pertanyaan semacam itu. Kepada mereka, saya hanya dapat memberikan jawaban bahwa perkara itu terus ditangani. Sekarang ini sedang diusahakan agar berkas perkara tersebut dapat memperoleh status P21.

Lalu saya juga menambahkan bahwa Kejati di Kupang sudah diganti. Kasat Reskrim Polres Flores Timur pun sudah diganti. Pergantian yang terjadi di dua instansi penegak hukum itu diharapkan dapat membuka ruang yang lebih jelas bagi kemantapan proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. Diharapkan Kasat Reskrim yang baru dapat memberikan dukungan yang kuat bagi Kapolres Flores Timur untuk mengungkap hingga tuntas perkara kejahatan tersebut. Keseriusan Kapolres Flores Timur dalam menangani perkara pembunuhan tersebut tak perlu diragukan.

Jawaban semacam itu belum tentu memuaskan hati mereka yang mengajukan pertanyaan tersebut. Soalnya, selama ini mereka sudah mengalami sendiri bahwa pergantian beberapa pejabat di Polres Flores Timur belum juga memberikan dorongan efektif bagi pengungkapan kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Padahal kasus pembunuhan tersebut berada pada posisi yang demikian benderang. Salah satu pertanyaan besar yang sering mengemuka adalah mengapa orang-orang lain dari kubu tersangka, yang terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut belum juga dipanggil dan diperiksa secara intensif oleh penyidik di Polres Flores Timur.

Masyarakat yang mengikuti perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut dari awal dengan mudah menyaksikan terjadinya keganjilan demi keganjilan. Jangan dikira bahwa masyarakat tidak tahu mengapa keganjilan-keganjilan itu dapat terjadi. ***

Selasa, 03 November 2009

Eputobi menjadi ajang spionase

 

Penanganan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran yang lamban telah membuka ruang bagi pihak tertentu untuk menjadikan kampung Eputobi sebagai ajang spionase alias tempat yang empuk bagi kegiatan mata-mata. Tetapi arah kegiatan spionase tersebut tidak jelas hingga kini. Laporan terbaru dari kampung Eputobi menyebutkan bahwa aktivitas spionase yang terjadi di kampung itu berjalan cukup intensif sekaligus ekstensif.

Dari pantauan yang selama ini dilakukan, ditemukan bahwa jaringan spionase itu melibatkan elemen-elemen yang berpihak kepada para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Juga ditemukan bahwa yang dimata-matai adalah orang-orang tertentu dari kubu “jabar” alias kelompok barat di kampung itu.  Padahal orang-orang termaksud sama sekali bukan pelaku kejahatan, bukan pula penyebab masalah yang meresahkan warga Eputobi.

Berdasarkan informasi dan fakta-fakta yang dapat dihimpun, saya menyarankan para warga kelompok barat agar lebih hati-hati, lebih waspada terhadap aktivitas spionase tersebut, karena arah dari aktivitas tersebut tidak jelas. Yang perlu lebih diwaspadai adalah musuh dalam selimut, yang diperalat untuk membela kepentingan kelompok tertentu yang bertentangan dengan upaya pihak keluarga korban untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Berbagai macam cara telah coba ditempuh oleh para tersangka untuk menutup-nutupi kejahatan sangat besar yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Namun sampai sejauh ini upaya-upaya mereka itu gagal. Si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu sendiri sebenarnya sudah tahu bahwa upaya dia dan rekan-rekannya untuk memutarbalikkan fakta-fakta kriminal yang ada sudah mengalami kegagalan. Sumpah adat apa pun yang mereka lakukan selama ini, dan yang akan mereka lakukan di masa mendatang tidak akan berhasil memenuhi keinginan mereka. Sumpah semacam itu akan menjadi bumerang yang memangsa diri mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka dan para suporter mereka masih terus coba bertaruh dengan waktu, dengan harapan dapat memutarbalikkan fakta-fakta kriminal yang mereka lakukan.  Dalam rangka itu, mereka berupaya agar orang-orang yang selama ini mereka kambinghitamkan itu dapat dijerat oleh hukum.

Mereka lupa bahwa pihak keluarga korban dan berbagai aliansi strategisnya tidak akan membiarkan kasus kejahatan besar itu ditutup oleh siapa pun. Bagi kami, melawan kejahatan merupakan suatu kewajiban moral. Apa pun hambatan yang ditemukan dalam penanganan perkara kriminal tersebut merupakan bagian dari tantangan yang perlu diatasi. Kami sudah tahu persis, mengapa perkara kriminal tersebut terhambat pemrosesannya. Akan tiba waktu, semua itu terungkap. Dan siapa pun orang atau pihak yang terlibat dalam upaya penghambatan itu pun akan terkena tindakan hukum.

Selama menunggu tiba saat penghakiman bagi para tersangka pelaku pembunuhan tersebut dan mereka yang berusaha menghambat penanganan perkara kejahatan tersebut, anda perlu berhati-hati agar tidak menjadi korban dari aktivitas spionase yang sedang gencar dilakukan di kampung Eputobi itu. ***

Minggu, 01 November 2009

Tumbangnya sebatang pohon hitam

 

Tumbang sudah pohon hitam itu, setelah cukup lama dia tumbuh di tanah yang tidak menghendaki kehadirannya. Hanya karena alam terlanjur merestui kelahirannya, maka tanah kering itu pun mau menjadi tempat baginya untuk bertumbuh. Padahal tanah kering itu pun telah lama mengeluhkan ketidakbergunaan kehadirannya. Dia telah menjadi beban bagi bumi yang diciptakan untuk menumbuhkan kebaikan.

Dia adalah buah dari pohon yang tak baik, maka ketika menjadi benih dan tumbuh, dia pun tumbuh menjadi pohon yang liar, tak sesuai dengan hukum alam yang telah digariskan untuk mendukung kehidupan di bumi ini. Maka dia pun dibiarkan menjadi pohon yang hitam legam agar gampang dikenal ciri anehnya. Dia terlanjur tumbuh di mata jalan, sehingga banyak mata pun bisa memandangnya.

Karena hitam warnanya, maka dia pun menjadi tempat berteduh burung-burung gagak dan ular beludak hitam. Tapi tak ada terkukur yang berani hinggap di situ, meskipun dahan-dahan dan ranting-rantingnya kerap mengundang mereka untuk mampir. Tak seekor ayam pun yang mau menjadikan dahan dan rantingnya sebagai tempat untuk bermalam.

Dia pernah menjadi sebatang pohon yang tampil gagah perkasa di antara pohon-pohon lainnya. Batangnya yang keras membuat dia tampil kokoh seakan tak ada satu pun badai yang dapat mematahkannya, apalagi menumbangkannya. Cukup lama dia bertahan melawan garangnya panas dan kencangnya deru badai musim hujan. Kilatan petir dan gemuruh guntur pun seakan tak berpengaruh padanya. Dengan batang, dahan-dahan, dan ranting-rantingnya yang keras, dia sering mengancam mematahkan pohon-pohon lainnya.  Dia pun pernah mengangkat sumpah untuk mematahkan pohon-pohon lain. Daun-daunnya sering menghembuskan api amarah kepada mereka itu.

Pada suatu malam si pohon hitam bersama beberapa pohon hitam lainnya menantang sebatang pohon yang baik. Dengan garang dia ingin mematahkan pohon yang baik itu. Tapi sia-sia usahanya itu. Malam-malam selanjutnya dia masih mencoba dan mencoba lagi memenuhi keinginannya itu. Tapi setiap dia coba mendekati pohon yang baik itu, dia pun langsung mundur. Melihat usahanya yang tak kenal lelah itu, pada suatu malam, pohon yang baik itu berpura-pura membiarkan dirinya untuk dipatahkan olehnya. Tetapi ketika dia coba melakukannya, bukannya batang pohon yang baik itu yang patah, melainkan batangnya sendiri yang patah.

Di tanah kering berbatu-batu hitam, pada malam itu juga, pohon kering itu pun patah. Batangnya yang patah jatuh menimpa bumi, disambut dengan tawa ria oleh burung-burung malam. Para tikus pun datang untuk menyaksikan apa yang terjadi dengannya.  Beramai-ramai mereka berkata, dia telah patah, dia telah tumbang. Mungkinkah bumi berkenan menumbuhkannya kembali? Begitu tanya beberapa di antara mereka. Mendengar pertanyaan semacam itu, yang lain langsung menjawab, mustahil. Pada batangnya yang tergeletak di tanah kering berbatu-batu para tikus itu kemudian bernyanyi sambil menari-nari, dan berseru, hai pohon hitam, engkau akan lenyap untuk selama-lamanya. Pada malam itu para tikus berpesta pora.

Ketika fajar menyingsing, para tikus itu membubarkan diri. Mereka kembali ke lubang persembunyian mereka masing-masing. Ketika datang cahaya baru di suatu pagi hari, pohon-pohon lain di sekitarnya tak melihat lagi keberadaannya. Dan mereka pun berkata bersahut-sahutan, dia telah tumbang, dia telah tumbang. Sehingga gunung gemunung dan bukit-bukit di sekitarnya pun bisa mendapat kabar tentang tumbangnya pohon hitam itu. Ya pohon hitam itu telah tumbang. Demikian kata mereka.  Biarlah dia tumbang, kata mereka bersahut-sahutan.

Tapi di sekitarnya, masih berdiri pohon-pohon hitam lainnya. Gerutu dan keluh kesah datang silih berganti dari mulut-mulut mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang berkuasa untuk menumbuhkannya kembali. Setelah diam sejenak di hadapan batangnya yang rebah tak berdaya di muka bumi, bersama-sama mereka lalu berseru, dia telah tumbang. Dalam waktu singkat batangnya yang patah itu pun hancur musnah. Dan bumi pun segera melupakan keberadaannya selama-lamanya. ***