Kamis, 24 Desember 2009

Natal dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya

 

Natal telah tiba. Mari kita mengenang kelahiran Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan bersama para bala tentara sorga yang bernyanyi:

“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang bekenan kepadaNya.”

Dan bersama para gembala yang menjumpaiNya di palungan di Betlehem kita memuji dan memuliakan Allah, karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang dikatakan malaikat Tuhan kepada mereka.

Selamat Hari Natal kepada anda semua yang merayakannya. Semoga Salam Natal dariku ini menjumpai anda semua dalam keadaan damai sejahtera adanya.

Selasa, 22 Desember 2009

Posisi jenazah korban yang dibunuh oleh Mikhael Torangama Kelen dkk

 IMAG0008

Gambar di atas memperlihatkan seperti apa posisi jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ketika ditemukan oleh Moses Hodung Werang pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, pukul 09.00 waktu setempat di dalam parit di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT. Gambar ini dibuat berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Moses Hodung Werang.

Perhatikan bahwa posisi jenazah korban seperti orang sedang tidur dengan sisi kiri badan menyentuh lantai parit, wajahnya menghadap ke selatan. Ketika ditemukan kakinya tidak lagi mengenakan sandal. Di bawah kepala korban terdapat genangan darahnya. Luka parah hanya terdapat di kepala dan wajahnya. Tidak terdapat cedera pada bagian badannya yang lain. Kancing celana jeannya terbuka. Ini terjadi, karena kemaluannya pun dikerjai juga oleh salah seorang penjahat. Dengan cara itu dia sungguh-sungguh dipermalukan.

Jenazahnya berada pada posisi yang lebih rendah ketimbang posisi sepeda motor Yamaha Jupiter yang diposisikan dengan rapih di sebelah utara korban. Roda depan sepeda motor itu menyentuh batang lamatoro. Kunci kontak sepeda motor itu dalam posisi off. Dan ketika di-on-kan, posisi giginya dalam keadaan netral. Sepeda motor itu dalam keadaan utuh, tidak mengalami kerusakan. Setelah diangkat dari dalam parit, sepeda motor itu langsung dapat dikendarai oleh seorang anak muda menuju Pos Polisi Titehena di Lewolaga.

Posisi  jenazah korban dan posisi sepeda motor di dalam parit itu serba rapih. Darahnya tampak pada dinding deker (gorong-gorong) yang berada pada posisi yang lebih tinggi. Darahnya juga ditemukan di pondok milik bapak Stanis Lewoema. Semua ini menunjukkan bahwa kematiannya bukan akibat kecelakaan lalulintas, tetapi karena pembunuhan.

Seorang saksi mata menuturkan bahwa pada Senin malam, 30 Juli 2007 sepeda motor itu berada di pinggir jalan di dekat korban yang sedang terkapar. Petrus Naya Koten menuturkan pula keberadaan saksi itu. Saksi itu pun mengenal Petrus Naya Koten. Ceritera mereka berdua saling bersesuaian.

Setelah berhasil membuat Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi sekarat, para pelakunya menyeretnya dan meletakkan tubuhnya yang telah tak berdaya di dalam parit. Di situ menjelang pagi hari Selasa, 31 Juli 2007, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di dunia ini. Sedangkan sepeda motor Yamaha Jupiter yang dikendarainya pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu baru diturunkan ke dalam parit pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Sebelum diturunkan ke dalam parit, sepeda motor itu diparkir di pinggir jalan sedikit di sebelah timur deker. Untuk menurunkan sepeda motor itu ke dalam parit diperlukan tenaga beberapa orang. Seorang tukang ojek dari kampung Eputobi bertemu dan sempat berbicara dengan dua orang di tempat kejadian perkara. Itu terjadi pada pukul 06.00 waktu setempat, pagi hari Selasa, 31 Juli 2007.

Karena diposisikan, maka posisi jenazah korban dan posisi sepeda motor Yamaha Jupiter itu pun rapih. Semua itu adalah hasil kreasi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Sepandai-pandai dia dkk merekayasa bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas, tetapi tempat kejadian perkara justru berbicara bahwa dia dkknyalah  yang pada Senin malam, 30 Juli 2007, menghabisi orang yang tak bersalah itu.

Dengan melihat gambar terpampang di atas, Mikhael Torangama Kelen dkk tentu ingat akan kesibukan mereka pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, di Blou. Tetapi saya juga yakin bahwa gambar terpampang di atas pun menimbulkan rasa takut yang luar biasa dalam diri mereka, termasuk dalam diri aktor intelektualnya. ***

Jumat, 18 Desember 2009

Sandal Omega berwarna hitam

 

Pada Senin, 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran mengenakan alas kaki berupa sandal merk Omega berwarna hitam. Nomor alas kakinya itu 40. Ketika jenazahnya ditemukan di Blou pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sandal itu tidak ditemukan. Upaya untuk menemukan kembali sandalnya di TKP dan sekitarnya sudah berulangkali dilakukan, tetapi hasilnya nihil. Yang dapat ditemukan adalah beberapa barang bukti seperti kaos dan kain berdarah, kayu pemukul, dan bangku berdarah.

Darah pada beberapa barang bukti tersebut sudah diperiksa di laboratorium forensik Mabes Polri di Denpasar Bali. Hasilnya positif. Artinya, darah pada barang-barang bukti itu sama dengan darah korban. Hasil pemeriksaan ini membenarkan apa yang dikatakan oleh almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran bahwa sebelum diseret dan diletakkan di parit, dia dianiaya di pondok milik pak Stanis Lewoema. Pondok itu berjarak 70 meter dari parit tempat jenazah korban ditemukan pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Tetapi sandal korban tak dapat ditemukan di pondok itu. Hingga kini alas kaki korban raib. Ke mana raibnya sandal korban?

Rupanya ketika disiksa secara kejam di pondok itu, sandal korban sudah dikuasai oleh salah seorang pelaku. Sehari-hari orang ini dekat dengan Mikhael Torangama Kelen. Pada hari Selasa pagi, 31 Juli 2007, orang itu mengenakan sandal merk Omega berwarna hitam. Pada hari-hari sebelumnya dia tidak memiliki sandal dengan merk dan warna tersebut. Setelah banyak orang membicarakan perihal tidak ditemukannya sandal merk Omega, berwarna hitam milik korban, di tempat kejadian perkara, dan ketika pembicaraannya mulai menjurus ke siapa yang memakai sandal itu, sandal itu pun raib dari kaki orang yang menjadi salah satu anggota komplotan Mikhael Torangama Kelen itu. Karena takut ketahuan jejak keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, sandal itu pun dibuangnya.

Raibnya sandal merk Omega berwarna hitam bernomor 40 dari kaki korban atau dari tempat kejadian perkara di Blou, dan kaki siapa yang pernah memakainya menjadi salah satu petunjuk tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Petunjuk tersebut bersesuaian dengan aktivitas-aktivitas orang yang bersangkutan sebelum dan terutama setelah tanggal 30 Juli 2007 sebelum nama empat orang rekannya ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jika anggota-anggota polisi yang datang ke tempat kejadian perkara pada Selasa pagi, 31 Juli 2007 itu memiliki kepekaan profesional, mereka mestinya tidak sampai pada kesimpulan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Apalagi kesimpulan itu dibuat bukan berdasarkan hasil olah TKP dalam arti sesungguhnya. Seorang oknum polisi yang datang ke rumah duka di Eputobi, pada Selasa malam, 31 Juli 2007, membuat kesimpulan semau dia tanpa berusaha menggali informasi sebanyak mungkin dari berbagai pihak. Oknum polisi itu terkenal dekat dengan Mikhael Torangama Kelen dkk. Di kemudian hari oknum polisi itu berusaha melarang seseorang untuk membantu keluarga korban mengungkapkan kasus pembunuhan tersebut.

Untung bahwa di kemudian hari ditemukan adanya bukti-bukti permulaan yang cukup. Maka Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anggota komplotannya ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tentang itu kesaksian-kesaksian yang muncul dalam proses legal formal saling bersesuaian. Dan publik Lewoingu pun tidak beranggapan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng itu menjadi korban salah tangkap. Publik Lewoingu beranggapan bahwa polisi belum bekerja secara optimal sehingga sejumlah orang lain yang juga terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu belum ditetapkan sebagai tersangka. Publik Lewoingu mengetahui bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Publik Lewoingu mengetahui bahwa yang mereka lakukan adalah suatu pembunuhan berencana. Publik Lewoingu mengetahui bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, karena masa penahanan mereka berakhir sedangkan berkas perkara kejahatan mereka belum P21, tetapi keempat orang itu tetap berstatus sebagai tersangka.

Ingat, justru karena raib dari kaki korban dan dari tempat kejadian perkara, maka sandal merk Omega berwarna hitam bernomor 40 itu pun ikut “berbicara” tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur. ***

Sabtu, 12 Desember 2009

Seandainya tak ada mata yang melihat kesibukan para tersangka itu pada Selasa pagi, 31 Juli 2007

 

Seandainya tak ada mata yang melihat kesibukan-kesibukan para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, maka Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dengan mudah bisa menipu publik Lewoingu. Sejak Senin sore hingga Senin malam, 30 Juli 2007, arah pergerakannya dengan sepeda motornya dan pada titik-titik mana dia sempat berada terpantau. Yang juga terpantau adalah aktivitas para tersangka itu pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Pada pagi hari itu, mereka tampil sebagai orang-orang yang sibuk bermondar-mandir Eputobi Blou dengan menggunakan sepeda motor. Ada pula antek-antek Mikhael Torangama Kelen yang pada pagi itu bergerak dari arah barat setelah mereka menghadiri suatu pesta di suatu kampung yang terletak di kaki gunung Lewotobi. Titik temu mereka pagi itu adalah tempat kejadian perkara di Blou.

Keperluan mereka pagi itu ialah memposisikan sepeda motor Yamaha Jupiter yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran dari Lato itu sedemikian rupa agar dapat menimbulkan kesan bahwa kematiannya murni karena kecelakaan lalulintas. Sebelum diposisikan di samping jenazah korban, sepeda motor Yamaha Jupiter itu sempat diparkir di pinggir kebun mente di tepi jalan dekat deker yang di bawahnya jenazah Yoakim Gresitu Ata Maran diletakkan dalam posisi seperti orang sedang tidur. Dua dari mereka bahkan meluncur hingga ke Boru dengan sepeda motor Honda Supra Fit.

Dari Boru Supra Fit itu dipacu dengan kencang kembali ke Blou untuk mencek situasi terbaru di tempat kejadian perkara, lalu ke Eputobi. Pengendaranya mengenakan jaket dan bercelana pendek. Sebelum jam 08.00 pagi hari Selasa itu, pengendara Supra Fit itu ditemukan melintas di ruas jalan di Welo Tobi One’eng. Di jok belakang Supra Fitnya duduk seorang rekannya, yang pada pagi hari itu kepergok muncul dari arah pantai Lewolaga. Saksi mata yang sempat berbicara dengan kedua orang itu menuturkan bahwa dari wajah mereka tampak bahwa kedua orang itu tidak tidur sepanjang malam.  Pada sekitar pukul 08.00 pagi hari Selasa itu, pengendara Supra Fit itu kembali meluncur ke arah Barat bersama pasangannya.

Ketika Kapospol Titehena dan Hodung Werang berada di tempat kejadian perkara Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng muncul secara terang-terangan di tempat kejadian perkara di Blou. Mereka berpura-pura ke Maumere. Kemunculan mereka di tempat kejadian perkara pada jam tersebut itu sesuai dengan skenario yang telah mereka rancang. Akhirnya memang kedua orang itu yang disuruh oleh Kapospol Titehena untuk menyampaikan kabar duka ke Eputobi. Dengan gembira mereka kembali ke Eputobi.

Sekitar pukul 08.00, Selasa, 31 Juli 2007,  salah seorang antek Mikhael Torangama Kelen sudah menyebarkan informasi tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Konga. Padahal jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran baru ditemukan pada pukul 09.00 waktu setempat. Dari mana dia bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalulintas, padahal jenazah korban baru ditemukan oleh Hodung Werang pada pukul 09.00? Jawabannya jelas, yakni dari para pelaku pembunuhan di Blou itu.

Yang nyaris luput dari perhatian publik ialah aktivitas Lambertus Lagawuyo Kumanireng selama berhari-hari setelah tanggal 31 Juli 2007. Dari sore hingga malam dalam hari-hari itu dia sering nonkrong di Blou termasuk di pondok tempat Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya pada Senin malam, 30 Juli 2007. Di pondok itu dia memasang barang-barang tertentu yang dimaksud untuk menutup kasus pembunuhan tersebut. Pada waktu itu, barang-barang yang dia pasang di situ dengan mudah ditemukan di pondok itu. Pada bulan September 2007, dia juga ikut dalam rombongan orang-orang yang pergi ke Riang Kung di desa Dungtana-Lewoingu untuk mengancam dan mengintimidasi Yan Perason yang mereka anggap membantu keluarga korban untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut.

Dari mulut Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun terungkap suatu kebohongan, yaitu bahwa pada Selasa pagi sebelum pukul 09.00 waktu setempat itu dia dan Mikhael Torangama Kelen dari Maumere. Setelah ditanya, masa’ sebelum jam 09.00 kamu dari Maumere, lalu pada sekitar jam 09.00 kamu mau ke Maumere lagi? Pertanyaan itu membuat Lambertus Lagawuyo Kumanireng diam. Di dalam kenyataan mereka berdua tidak ke Maumere baik pada hari Senin, 30 Juli 2007 maupun pada hari Selasa, 31 Juli 2007. Pada Senin Siang, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berada di Lato. Setelah memastikan bahwa calon korbannya itu berada di Lato, dan setelah dua anggota komplotannya ditugaskan untuk membayang-bayangi pergerakan calon korban itu, dia kembali ke Eputobi. Sore hari itu dia meninggalkan kampung Eputobi dengan menggunakan sepeda motornya. Kepergiannya dari kampung Eputobi itu dilepaskan oleh sejumlah pendukungnya. 

Setelah hari agak gelap baru Petrus Naya Koten menyusul ke lokasi yang telah ditetapkan untuk menjalankan tugasnya. Ada saksi yang melihat kehadirannya di sana. Keberadaan Petrus Naya Koten di situ dan sapaan ramahnya terhadap calon korban merupakan intro dari prosesi pembantaian yang diawali dengan pukulan dari si kepala komplotan penjahat dari kampung Eputobi itu. Setelah mendapat pukulan, korban sempat bertanya, “Mengapa kamu memukul saya?” Si kepala komplotan penjahat itu menjawab, “Kamu keras kepala!”

Dari cara-cara yang mereka perlihatkan tampak bagi kita, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu bukanlah orang-orang yang berani. Jika si kepala komplotan penjahat itu seorang yang berani, dia mestinya berani pula menantang Yoakim Gresituli Ata Maran berduel dengannya, satu lawan satu, atau kalau perlu dua dari pihaknya lawan seorang Yoakim Gresituli Ata Maran di siang hari atau di malam hari. Karena dia itu pengecut, maka ditempuhlah cara-cara pengecut pula untuk menghabisi lawan politiknya itu.

Karena pengecut, maka dia dan anggota-anggota komplotannya terus saja memproduksi kebohongan demi kebohongan dengan harapan dirinya dkk dapat lolos dari jerat hukum. Tetapi siapakah yang mau membiarkan mereka itu tidak dihukum? ***

Jumat, 11 Desember 2009

Mereka tidak mewakili masyarakat Lewoingu

 

Masyarakat Lewoingu dengan tegas menentang dan mengutuk kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Masyarakat Lewoingu juga menentang segala macam upaya yang dilakukan oleh siapa pun untuk menghambat atau untuk menghentikan proses hukum atas para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang, untuk sementara, terdiri dari empat orang itu.

Kalau begitu, siapakah mereka yang berunjukrasa di Mapolres Flores Timur pada Jumat, 13 November 2009 itu? Apakah mereka itu mewakili masyarakat Lewoingu?

Mereka terdiri dari para tersangka dan antek-antek mereka. Berapa pun jumlah mereka, mereka itu merupakan kelompok kecil baik dalam skala kampung Eputobi maupun dalam skala Lewoingu secara keseluruhan. Yang perlu ditegaskan di sini ialah bahwa mereka yang berunjukrasa itu tidak mewakili masyarakat Lewoingu baik dari segi adat maupun dari segi sosial politik. Masyarakat adat Lewoingu sejak zaman kuno hingga kini menentang keras penggunaan cara-cara jahat untuk memenuhi kepentingan politik orang atau kelompok tertentu. Maka menurut hukum adat Lewoingu, pelaku kejahatan apalagi pelaku pembunuhan patut diganjari dengan hukuman mati. Demikian pula masyarakat politik demokratis modern pun mengharamkan penggunaan mentode kejahatan untuk mempertahankan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang. Dalam negara hukum demokratis, seorang pembunuh berencana dapat dikenai hukuman mati.

Kiranya jelas bahwa mereka yang beberapa waktu lalu berunjukrasa di Larantuka untuk menuntut SP3 itu mewakili para penjahat yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Meskipun beberapa dari peserta unjukrasa itu terbilang dalam suku Kebele’eng di Lewowerang-Lewoingu, tetapi mereka bukanlah penentu arah kebijakan adat istiadat Lewowerang-Lewoingu. Sehingga mereka tak bisa menjadi representasi dari masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu, apalagi menjadi representasi masyarakat adat Lewoingu secara keseluruhan.

Untuk menyanggah kekuasaan politiknya yang kian membusuk itu, Mikhael Torangama Kelen membentuk suatu masyarakat adat, yang diketuai oleh seseorang yang sama sekali tidak punya otoritas dan wewenang adat, menurut tradisi adat Lewoingu. Masyarakat adat bentukan Mikhael Torangama Kelen berada di luar tatanan adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Yang dia bentuk itu adalah suatu masyarakat adat politis, yang tidak sesuai dengan masyarakat adat hasil kesepakatan para leluhur Lewowerang-Lewoingu, yang bersokogurukan delapan suku.

Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen pada dasarnya telah mengeluarkan dirinya dan sejumlah orang Eputobi dari arena masyarakat adat Lewowerang-Lewoingu sejati. Dengan demikian Lewowerang-Lewoingu dengan pandangan hidup dan nilai-nilai luhurnya, dengan Koke Balenya tidak bisa lagi menjadi kerangka referensi aktivitas sosial budaya mereka. Dengan membentuk suatu masyarakat adat politis semacam itu, Mikhael Torangama Kelen dan para pengikutnya perlu mencari kerangka referensi lain bagi aktivitas sosial adat mereka. Apalagi aktivitas sosial adat mereka selama lebih dari dua tahun terakhir lebih dimotivasi oleh kepentingan untuk menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur. Untuk kepentingan itulah Mikhael Torangama Kelen dkk menghalalkan segala macam cara.

Para leluhur Lewowerang-Lewoingu mengharamkan perilaku barbarik seperti yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Hal ini dengan mudah dapat dilacak dari sejarah Lewowerang-Lewoingu atau dari sejarah Lewoingu secara keseluruhan. Hingga kini perilaku barbarik itu ditentang keras di seluruh kawasan Lewoingu. Para penentangnya adalah kelompok mayoritas yang untuk sementara memilih diam guna memberikan kesempatan kepada para aparatur penegak hukum di Flores Timur memproses kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran secara hukum.

Makin lama makin kentara bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan termasuk para pendukung mereka yang merupakan kelompok kecil di Lewoingu itu tidak lagi memiliki kesadaran akan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini nampak jelas dari kebanggaan akan keberhasilan mereka untuk membunuh salah seorang lawan politik mereka, dan dari segala upaya mereka untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu di Blou.

Dari orang-orang semacam itu sulit bagi kita untuk mengharapkan adanya kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui secara apa adanya perbuatan jahat yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Tanpa sungkan-sungkan sedikit pun, mereka itu bisa mencatut nama Tuhan dan nama lewotana (kampung halaman) untuk membungkus perbuatan jahat mereka. “Mana ada maling yang mengakui dirinya maling? Kalau maling teriak maling, itu ya.” Begitu komentar orang-orang yang telah berpengalaman berurusan dengan maling. 

Jika proses hukum atas para tersangka itu terus diulur-ulur, maka para penjahat itu akan menemukan ruang yang lebih leluasa untuk terus bereksperimen dengan segala macam jurus kebohongan guna memutarbalikkan fakta-fakta hukum. Itu kekhawatiran yang sejak lama muncul dalam benak kelompok mayoritas di Lewoingu. Keseriusan aparatur penegak hukum, terutama Kapolres Flores Timur dan para anggota polisi yang berada dalam lingkup koordinasinya untuk memberantas kejahatan itu hingga tuntas sangat diharapkan oleh mayoritas masyarakat Lewoingu. Selama ini kelompok mayoritas berusaha sabar dan diam. Tetapi sabar dan diam itu tidak bisa diartikan sebagai menyetujui berlarut-larutnya proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. ***

Selasa, 08 Desember 2009

Tanah itu milik Ata Maran, bukan milik anak-anak almarhum guru Dalu Kelen

 

Tanah di depan rumah bapak Pius Koten di kampung Eputobi itu punya tuan. Dan tuannya adalah suku Ata Maran. Almarhum guru Dalu Kelen dan anak-anaknya bukan tuan atas tanah tersebut. Bahwa almarhum guru Dalu Kelen dan keluarganya pernah tinggal di situ, itu karena di atas tanah itu pernah dibangun rumah dinas untuk guru SDK Eputobi. Di rumah dinas itu pernah tinggal almarhum pak guru Ciku de Ornay, pak guru Stanis Lewoema, kemudian almarhum guru Dalu Kelen dan keluarganya. Sebelum dibangun rumah dinas guru, di situ dulu pernah dibangun gereja.

Sebelum meninggal almarhum guru Dalu Kelen pernah membangun rumah pribadi di atas tanah yang diperuntukkan bagi rumah dinas guru SDK Eputobi. Tetapi pembangunan rumahnya itu dia lakukan tanpa izin dari pemerintah desa Lewoingu. Pemerintah desa Lewoingu pada waktu itu tidak mengeluarkan izin pembangunannya karena tanah itu bukan milik guru Dalu Kelen. Tetapi rumah pribadi tetap saja dibangun di atas tanah yang bukan milik pribadinya itu. Ketika hendak membangun rumah pribadinya, guru Dalu Kelen pun tidak pernah meminta izin kepada yang punya tanah. Dia bertindak seakan-akan tanah itu milik pribadinya.

Setelah meninggal, jenazah Bei Kelen, adik kandung dari mantan kepala SDK Eputobi itu dikuburkan di tanah milik suku Ata Maran itu. Padahal di Riang Duli telah disediakan pemakaman umum. Setelah meninggal, jenazah guru Dalu Kelen pun dikuburkan di situ. Demikian pula dengan jenazah isterinya. Tiga jenazah ditanamkan di dalam tanah itu tanpa permisi sedikit pun pada pemilik tanah.

Siapa pun anak dari almarhum dari guru Dalu Kelen tidak berhak atas tanah itu. Tanah itu tetap milik suku Ata Maran. Suku Ata Maran telah menyediakan bidang tanah lain untuk pembangunan rumah dinas guru SDK Eputobi. Maka tanah itu tak perlu lagi dijadikan tanah untuk rumah dinas guru. Jika ada di antara anak-anak dari almarhum guru Dalu Kelen yang belakangan ini berusaha membangun rumah pribadi di tanah itu, yang bersangkutan akan menanggung risiko dari keberaniannya untuk menyerobot tanah yang bukan hak miliknya itu. Tidak akan ada ampun bagi siapa pun yang berani menyerobot tanah milik Ata Maran itu. 

Anak-anak almarhum guru Dalu Kelen harus segera membongkar tiga kubur yang dibangun di tanah itu untuk dipindahkan ke tempat lain yang merupakan milik pribadi mereka. Upaya pembangunan rumah yang sedang dilakukan oleh salah seorang anak dari mantan kepala SDK Eputobi itu harus segera dihentikan. Sudah cukup selama ini kalian numpang tinggal di tanah milik suku Ata Maran. ***

Seandainya hanya Petrus Naya Koten yang menjadi saksi

 

Seandainya hanya seorang Petrus Naya Koten yang menyaksikan peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, banyak orang dengan mudah dapat dikadalinya alias dikibulinya. Tetapi, karena ada saksi yang menyaksikan keberadaannya di tempat kejadian perkara pada malam hari itu, maka kebohongannya langsung kentara ketika dia berusaha menarik kembali kesaksiannya tentang siapa-siapa yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Selain itu masih terdapat saksi lain yang menyaksikan keberadaan Yoka Kumanireng bersama beberapa pria (yang tidak terindetifikasi rupanya, karena gelap) di tempat kejadian perkara.

Kesaksian Petrus Naya Koten bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran bersesuaian dengan kesaksian dari saksi yang secara jelas melihat keberadaannya bersama empat pria lain di tempat kejadian perkara. Kesaksian mereka berdua bersesuaian dengan kesaksian saksi yang melihat keberadaan Yoka Kumanireng dan beberapa pria di tempat kejadian perkara di Blou.

Setelah melakukan pembunuhan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu juga sepeda motor berplat nomor DH 3536 WA milik Laurens Dalu Kumanireng dipergoki di parkir di suatu tempat di Doronuro. Di situ dia berpesta tuak bersama seorang rekan “seperjuangannya” dari Eputobi dan teman-teman mereka dari Lewolaga. Pada malam itu, Yoka Kumanireng bersama kakaknya mengendarai sepeda motor GL berwarna hitam.

Dua minggu setelah tanggal 31 Juli 2007, Laurens Dalu Kumanireng berkeinginan untuk menjual sepeda motornya agar dia dapat memperoleh biaya untuk pergi merantau. Tetapi realisasi penjualan sepeda motornya itu tertunda. Di kemudian hari baru keinginan itu direalisasikan. Uang dari penjualan sepeda motornya itu dipakai untuk biaya perjalanannya ke Jakarta. Selama berada di Jakarta hatinya diliputi ketakutan demi ketakutan. Lalu dia pulang ke Eputobi. 

Lalu di mana Petrus Naya Koten berada setelah ikut berjuang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran pada malam itu? Keberadaan dia malam itu tidak jelas. Tetapi sebelum pukul 07.00 WITA hari Selasa, 31 Juli 2007, dia sudah berada di kantornya, yaitu di SMP Negeri Boru. Pokoknya, ketika kepala sekolah SMP Negeri Boru tiba, Petrus Naya Koten sudah berada di tata usaha sekolah itu. Biasanya Petrus Naya Koten tiba belakangan daripada tibanya kepala sekolah tersebut. Terdapat indikasi yang jelas, bahwa pagi hari itu dia diantar dengan sepeda motor Supra Fit oleh salah seorang tersangka ke SMP Negeri Boru. Menurut seorang saksi, si pengantarnya itu mengenakan celana pendek dan jaket, yang dikenakannya sejak Senin malam, 30 Juli 2007. Sekitar pukul 07.00 pagi hari Selasa, 31 Juli 2007, si pengantar itu kepergok melintas di Hokeng dari arah Boru.

Pada sekitar pukul 13.00 WITA Selasa, 31 Juli 2007, Petrus Naya Koten kembali muncul di rumahnya di kampung Eputobi. Dalam perjalanan pulang dari kantornya di Boru ke Eputobi dia sempat bersama dengan beberapa orang yang mau melayat jenazah korban. Mereka naik  kendaraan umum yang sama. Tetapi kepada polisi Petrus Naya Koten pernah menjelaskan bahwa pada siang hari itu dia pulang dari kebunnya. Padahal dia tidak punya kebun. Jelas dia berbohong. Kebohongan itu dia lakukan setelah dia berhasil dipengaruhi untuk menarik kembali keterangan di BAP pertamanya.

Sejak malam kejadian perkara itu, gerak gerik dan mulut Petrus Naya Koten diawasi oleh sesama rekan “seperjuangannya” di Blou. Soalnya, mereka takut kalau-kalau Petrus Naya Koten kelepasan lidah lalu membuka rahasia Blou. Sebagai kamuflase, Petrus Naya Koten dibiarkan menjalin hubungan baik dengan pihak keluarga korban, terutama selama dua minggu di bulan Oktober 2007 sewaktu saya berada di kampung Eputobi untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas perkara pembunuhan di Blou itu. Tetapi sandiwara yang dimainkannya itu tak berhasil.

Sepuluh hari setelah saya meninggalkan kampung Eputobi untuk kembali ke Jakarta, Petrus Naya Koten dengan mantap kembali ke pelukan erat Mikhael Torangama Kelen. Sejak hari itu juga dia tak mau lagi berkontak dengan pihak keluarga korban. Padahal sebelumnya dia sering berkeluh kesah kepada saya tentang kesulitan mencari uang setoran untuk membayar cicilan sepeda motornya kepada dealer di Maumere. Setelah saya meninggalkan kampung Eputobi, dia dan isterinya sempat mencatut nama saya untuk meminta uang kepada keluarga korban termasuk kepada isteri korban.  Selama saya berada di kampung Eputobi, dia tidak berani meminta-minta uang semacam itu. Apa yang dia dan isterinya lakukan itu merupakan suatu bentuk pemerasan, terutama pemerasan terhadap isteri korban yang pada waktu itu masih dalam keadaan duka.

Dia baru bertemu lagi dengan salah seorang keluarga korban pada tanggal 30 April 2008 di Mapolres Flores Timur. Dalam pertemuan yang bersifat kekeluargaan yang berlangsung sekitar satu jam itu, dia mengungkapkan kembali kesaksiannya yang sudah disampaikan dengan sukarela kepada penyidik sebanyak lebih dari satu kali. Dalam pertemuan itu dia menegaskan bahwa yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran adalah pembunuhan yang dilakukan oleh empat tersangka itu. Dan dia berharap agar kasus pembunuhan itu cepat ditangani oleh aparat kepolisian agar hatinya tidak lagi dibebani oleh perkara kejahatan itu.

BAPnya ditandatanganinya di hadapan pengacaranya. Tidak ada orang yang memaksa dia untuk memberikan kesaksian bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran. Tidak ada pula orang yang memaksa dia untuk menandatangani BAP. Dalam proses penyidikan dia pernah dikonfrontir dengan keempat tersangka. Meskipun keempat tersangka berusaha menyangkal dan berusaha pula untuk menekan dia untuk menarik kembali keterangannya, dia tetap berpegang pada kesaksiannya tersebut di atas. Selama berada di Polda NTT pun, dia berkata bahwa dia tidak mau menarik kembali keterangannya yang sudah disampaikannya kepada penyidik.

Karena ngotot menekan Petrus Naya Koten, Mikhael Torangama Kelen pernah disodori alat-alat tulis untuk merumuskan sendiri surat pernyataan di atas meterai bahwa dirinya dan ketiga kakak beradik kandung itu tidak melakukan pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran. Sebelumnya, keempat tersangka itu disarankan untuk berdoa terlebih dahulu agar mereka dapat membuat pernyataan secara jujur. Tetapi hingga usai waktu yang disediakan baginya untuk merumuskan pernyataan dimaksud, si Mikhael Torangama Kelen tidak mampu merumuskan sepatah kata pun pada kertas yang telah disediakan itu.

Setelah kembali dari Kupang dan setelah menandatangani BAP, Petrus Naya Koten mulai dipengaruhi untuk menarik kembali kesaksiannya yang sudah di BAP-kan itu. Dia menandatangani pernyataan penarikan kembali keterangannya itu di atas meterai. Dan orang bernama San Kweng itu yang membawa surat pernyataannya itu kepada Gopal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Flores Timur. Heheee, siapakah gerangan yang berada di balik surat pernyataan penarikan kembali keterangan Petrus Naya Koten itu?

Sebelumnya Andreas Boli Kelen yang pada waktu itu masih menjabat sebagai kepala dinas pendidikan Flores Timur berusaha membungkam mulut Petrus Naya Koten melalui SMS. Petrus Naya Koten sendiri yang memperlihatkan isi SMS itu kepada penyidik dari Polda NTT. Untuk apa upaya kotor semacam itu coba dilakukan, kalau benar bahwa Mikhael Torangama Kelen bukan menjadi salah satu pelaku pembunuhan di Blou itu? Di hari-hari awal pemrosesan perkara itu di Mapolres Flores Timur ada yang berusaha menyuap penyidik agar prosesnya dihentikan. Upaya penyuapan itu coba dilakukan melalui seorang oknum polisi. Tetapi upaya itu tidak berhasil dilakukan, karena pihak yang diincar untuk disuap itu menolak disuap. Itulah kehebatan anggota-anggota polisi RI yang mau bekerja berdasarkan standar-standar etika profesi mereka.

Upaya-upaya anggota-anggota polisi yang tidak mau disuap itu untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut mendapat resistensi sejak awal hingga kini oleh oknum-oknum polisi tertentu. Padahal sebagai sesama anggota polisi dari negara RI, mereka mestinya bahu membahu, bekerja sama guna membongkar kasus kejahatan itu hingga tuntas dan menyeret para pelakunya ke  pengadilan. Tetapi seperti itulah kenyataan yang terjadi di lapangan.

Pada bagian akhir dari tulisan ini saya ingin mengatakan begini: Kebohongan Petrus Naya Koten itu kebohongan orang yang secara polos mau berbohong. Hanya orang-orang bodoh yang mau dikadali oleh kebohongan semacam itu. Dan karena saking pintarnya, orang seperti Marsel Sani Kelen pun mau memposisikan diri sebagai amplifier dari kebohongan Petrus Naya Koten itu.

Hai Marsel Sani Kelen beranikah anda untuk dikonfrontir dengan polisi Marsel Hale dan polisi Buang Sine yang namanya anda sebut di blog anda itu? Saya yakin anda tidak berani. Mikhael Torangama Kelen saja tidak berani membuat surat pernyataan bahwa dirinya dan tiga anggota komplotannya itu bukan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, apalagi anda yang tidak tahu apa-apa tentang seluk beluk proses penanganan perkara kejahatan tersebut tapi banyak bicara. ***

Minggu, 06 Desember 2009

Jangan hanya bicara tentang praperadilan!

 

Setelah mundur dari ring polemik sejarah Lewoingu, Marselinus Sani Kelen kini coba bertarung di ring perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Dalam suatu artikel berjudul “PRA-PERADILAN Patutkah Penahanan Mikhael Torang Kelen cs dipraperadilkan” dia mengatakan bahwa pihak tersangka dapat mempraperadilkan aparat kepolisian Polres Flores Timur berdasarkan sejumlah alasan yang dapat dibaca dalam http://marsel-sani-kelen.blogspot.com.

Alasan-alasan yang dikemukakan dalam situs pribadinya itu patut disimak dengan teliti oleh Kapolres Flores Timur, oleh Kasat Reskrim Polres Flores Timur, oleh tim penyidik Polres Flores Timur, oleh Kapolda NTT, oleh Direktur Reskrim Polda NTT, dan oleh polisi Marsel dan polisi Buang. Dengan menyimak isi tulisannya itu secara cermat, kami yakin para polisi yang bersangkutan dengan mudah menemukan adanya ketidaksesuaian antara sejumlah pernyataannya dengan fakta-fakta yang berkaitan dengan pemrosesan perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jika pernyataan-pernyataannya yang mengandung tuduhan itu benar adanya, kami harap dia bersedia mengambil langkah-langkah konkret untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur. Menempuh langkah konkret itu lebih baik bagi dia dan bagi para tersangka yang dia bela. Bukankah di pengadilanlah tempat dia dapat membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhannya itu?

Jangan anda hanya bicara tentang praperadilan hai Marsel Sani Kelen. Coba tunjukkan keberanianmu sebagai pembela para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu dengan menggugat Polres Flores Timur melalui mekanisme praperadilan seperti yang anda bicarakan dalam tulisan anda itu. Kalau anda sendiri tidak punya nyali untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur, suruh saja si Mikhael Torangama Kelen untuk melakukannya. Masa’ sebagai seorang kepala desa, dia tidak punya nyali untuk mempraperadilkan Polres Flores Timur sebagai salah satu institusi penegak hukum? Bukankah selama ini dia sering berteriak ke sana ke mari bahwa tanganya bersih dari darah orang yang tidak bersalah itu? ***

Jumat, 04 Desember 2009

Ke Istana Ponsiri Larantuka mereka coba mengadu nasib

 

Rasa cemas kian menghantui hati para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dan para pendukung setia mereka setelah mereka kian terjepit oleh fakta bahwa proses hukum atas perkara pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen dkk itu tak dapat dihentikan. Namun karena masih ada celah waktu sebelum berkas perkara pembunuhan itu dinyatakan P21, maka mereka masih coba mengadu nasib. Ke mana mereka berusaha mengadu nasib?

Mereka mengirim utusan mereka untuk bersafari ke Lewotobi yang terletak di kaki gunung Lewotobi, ke Boganatar dan Hikong di Kabupaten Sika. Lalu beberapa di antara mereka pun coba mengadu nasib ke Istana Ponsiri di kota Larantuka. Tetapi safari mereka itu pun berbuntut pada kekecewaan, karena tak ada satu pun pihak yang ingin mereka mintakan bantuan itu bersedia membantu mereka.

Safari mereka ke Lewotobi bertujuan untuk menemui seorang orang “pintar.” Tetapi  upaya mereka itu tidak membuahkan hasil, karena orang “pintar” itu memang pintar. Kepintarannya diperlihatkan dengan ketegasan sikapnya untuk menolak bekerjasama dengan para tersangka itu. Safari ke Boganatar dan Hikong pun menemui jalan buntu. Rupanya makin lama makin banyak orang yang menyadari bahwa kejahatan itu tak patut dibenarkan dan dibela. Dengan menggunakan sedikit saja akal sehat, orang bisa sampai pada kesadaran bahwa membela kejahatan merupakan suatu perbuatan jahat.

Karena upaya mereka mencari balabantuan dari tempat lain tak membuahkan hasil, maka mereka pun nekad mengayunkan langkah kaki mereka menuju Istana Raja Larantuka di Ponsiri. Mereka ingin menghadiahi raja seekor ayam jago. Ayam jago pun pernah mereka hadiahkan kepada oknum aparatur penegak hukum tertentu di Larantuka.

Ketika mereka tiba di Istana Ponsiri, sang putera mahkota kerajaan Larantuka berada di Kota. Karena itu tamu-tamu tak diundang itu disuruh menunggu. Karena merasa bahwa kedatangan mereka diterima, mereka mengira bahwa permintaan mereka akan dikabulkan. Tetapi setelah yang punya istana secara tegas menolak permintaan mereka, mereka pun mundur teratur. Mereka pulang ke Eputobi dengan rasa kecewa yang mendalam.

Apa pun upaya mereka untuk memobilisasi dukungan untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou itu akan sia-sia belaka. Orang-orang berakal sehat tak akan pernah mau menjadi pahlawan bagi mereka. ***