Sabtu, 25 Desember 2010

Selamat Natal 2010

 

Selamat Pesta Natal 2010. Salam itu yang ingin saya sampaikan kepada Anda yang merayakannya. Semoga Salam Natal ini menjumpai Anda dalam keadaan baik.

Setelah menghadiri Misa Malam Natal, saya pun meluangkan waktu untuk membaca SMS-SMS yang berisikan ucapan Selamat Natal dari Saudara-Saudari saya, dari rekan-rekan dan handai taulan saya. Yang saya terima kali ini cukup banyak ucapan Selamat Natal yang berhiaskan kata-kata indah. Kata-kata indah itu keluar dari lubuk hati yang paling dalam, yang tersentuh oleh Rahmat Natal. Maka kata-kata indah itu pun dapat menyejukkan jiwa serentak mengangkatnya naik hingga mencicipi kemuliaan surgawi. Kata-kata itu keluar dari hati orang-orang sederhana, yang selama ini berusaha menjalani hidupnya secara apa adanya. Di hati semacam itu Yesus lahir, hadir, dan menerangi dunia.

Selain menjawab SMS-SMS tersebut, saya juga mengirim SMS-SMS untuk menyampaikan ucapan Selamat Natal kepada relasi-relasi saya. Kegiatan semacam ini pun saya lakukan di kala senggang di hari Sabtu 25 Desember 2010.

Pada Malam Natal, saya pun mendapat kabar dari kampung Eputobi, bahwa umat stasi Eputobi dan Riang Duli menghadiri Misa Malam Natal di Leworok. Misa Malam Natal di sana baru saja selesai ketika kabar itu disampaikan kepada saya. Kabar itu juga menyebutkan bahwa Misa Natal pun diselenggarakan di Leworok. Stasi Eputobi kebagian perayaan ekaristi pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2010.

Di Eputobi, seusai Misa Natal, Pesta Natal dirayakan dengan cukup meriah oleh masing-masing kelompok yang dibatasi oleh garis perpecahan akibat kejahatan yang dilakukan oleh komplotan penjahat Eputobi. Di situ Damai Natal pun tentu menaungi hati orang-orang yang berkenan kepadaNya. Ya, hanya orang-orang yang bekenan kepadaNya yang dinaungi Damai Natal.

Selamat Natal 2010 dan Selamat Menyambut Tahun Baru 2011. ***

Minggu, 05 Desember 2010

Senjata itu akan memakan tuan-tuannya

 

Gencar sekali usaha para penjahat Eputobi untuk melarikan diri dari tanggung jawab hukum. Dalam rangka itu Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya mengandalkan dua kekuatan, yaitu uang dan ilmu hitam. Dengan uang mereka menyuap oknum-oknum aparat penegak hukum. Hasilnya, selama berbulan-bulan, laporan-laporan dari pihak keluarga korban tidak mendapat respons positif dari Polres Flores Timur. Uang itu pula yang membuat seorang oknum polisi berusaha mengatur pertemuan antara penyandang dana dari pihak pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran dengan dua orang penyidik dari Polda NTT. Tetapi upaya itu berhasil digagalkan oleh dua penyidik tersebut.

Sejak diterjunkan ke Flores Timur untuk mengusut kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dua penyidik dari Polda NTT itu mendapat perlawanan dari oknum-oknum polisi nakal yang telah berhasil digarap oleh pihak penjahat Eputobi. Pernah oknum-oknum polisi itu bekerja sama dengan para penjahat Eputobi untuk memantau pergerakan dua penyidik tersebut. Pendek kata, oknum-oknum polisi nakal itulah yang ikut membantu agar para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran bisa lolos dari jerat hukum.

Selain mengandalkan uang, para penjahat Eputobi itu pun mengandalkan ilmu hitam. Sudah lama diketahui bahwa Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng adalah pemakai ilmu hitam. Selain mengandalkan ilmu hitam sendiri, mereka juga mengerahkan sejumlah pengguna ilmu hitam dari luar kawasan Lewoingu. Donatus Doni Kumanireng, misalnya, berbicara melalui telepon dengan seorang perempuan pengguna ilmu hitam di kota Maumere. Dia meminta agar si pengguna ilmu hitam itu mau membantu pihaknya. Pembicaraan itu terjadi ketika delapan orang dari kampung Eputobi sedang berada di rumah perempuan itu. Tujuan kedatangan mereka ke rumah itu adalah meminta bantuan untuk menutupi perkara pembunuhan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Adik dari Donatus Doni Kumanireng, yaitu Don Kumanireng yang tinggal di Cianjur pun pernah menyatakan tekadnya untuk mencari dukun dari Banten.

Dukun dari Kawalelo dan dari tempat-tempat lain pun coba mereka kerahkan. Beberapa waktu lalu seorang dukun di Flores Timur bertanya kepada seseorang begini, “Bagaimana dengan kasus pembunuhan di Eputobi itu?” Setelah dijawab bahwa kasus pembunuhan tersebut sedang dalam proses penanganan oleh polisi, si dukun pun meneruskan ceriteranya dengan mengatakan bahwa tempo hari kepala desa Lewoingu (Mikhael Torangama Kelen) datang meminta bantuannya terkait dengan urusan pembunuhan tersebut.

Pertanyaan dan ceritera dukun itu pada dasarnya memperjelas apa yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kalau bukan dia dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, untuk apa dia sendiri pun begitu sibuknya mencari bantuan dari dukun-dukun untuk menutupi apa yang terjadi di Blou.

Apa pun upaya mereka, kejahatan yang mereka lakukan secara berjamaah di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu sudah lama terbuka. Cepat atau lambat, uang yang selama ini mereka andalkan untuk menghambat proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut tak akan berarti. Dan apa pun macam ilmu hitam yang selama ini mereka andalkan pun tak akan bisa menutupi kejahatan yang mereka lakukan. Cepat atau pun lambat senjata semacam itu akan memangsa satu per satu mereka yang selama ini mengandalkannya. Ya, senjata itu akan memakan tuan-tuannya. ***

Rabu, 01 Desember 2010

Kisah tentang seorang oknum polisi yang takut disumpah

 

Dia layak disebut sebagai oknum. Dia menduduki kursi kasat tertentu di Polres Flores Timur ketika terjadi peristiwa pembunuhan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Saya pernah bertemu dengan si oknum yang satu ini pada suatu hari di bulan Oktober 2007 di ruangan kerjanya di Larantuka. Pada hari itu, dia menunjukkan diri sebagai perwira, yang belum menampakkan tanda-tanda sebagai oknum. Pembicaraan saya dengannya terpaksa berakhir, karena dia harus mengikuti apel.

Tanda-tanda keoknumannya mulai nampak secara jelas ketika dia mulai mengatur pertemuan-pertemuan yang pada dasarnya dimaksudkan untuk merekayasa kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Ikut dalam upaya kotor semacam itu beberapa orang temannya yang berkategori oknum juga. Melalui si oknum yang satu ini, pesan khusus dari para penjahat Eputobi disampaikan kepada si oknum yang satu lagi yang pada bulan Oktober 2007 menduduki kursi Kapolres Flores Timur. Kedua oknum ini bahu membahu berjuang di pihak penjahat Eputobi untuk ikut mengubur kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Mungkinkah oknum-oknum semacam itu secara sukarela berusaha membela posisi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya? Jawabannya jelas: Tidak mungkin. Mana mungkin mereka mau melakukan pekerjaan semacam itu secara sukarela?

Justru karena ada “apa-apanya,” maka kedua oknum itu pun bertekad untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Secara formal si oknum yang bersangkutan mendasarkan pernyataannya pada laporan yang dibuat oleh orang yang pada waktu itu menjadi Kapospol Titehena. Padahal laporan itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Oknum yang bersangkutan kemudian dimutasi dari Polres Flores Timur. Setelah Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditangkap, dia sempat ditantang untuk menunjukkan bahwa apa yang diperbuatnya dalam menyikapi kasus pembunuhan tersebut benar adanya. Tetapi dia tidak pernah mampu menunjukkannya. Dia pun sempat ditantang untuk disumpah menurut adat Lewoingu guna membuktikan bahwa dia benar. Tetapi dia bilang bahwa dia takut disumpah.

Lho, kok punya rasa takut juga. Hanya orang bersalah yang takut dihadapkan pada sumpah adat, bukan? ***

Jumat, 26 November 2010

Adegan Selasa pagi, 31 Juli 2007 di Blou, Flores Timur

 

Tentang apa yang terjadi di Blou, Flores Timur, pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sudah pernah saya tulis. Baiklah diingat bahwa setelah berhasil menewaskan Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya begadang hingga pagi hari Selasa 31 Juli 2007. Pagi-pagi hari tersebut mereka sudah meluncur ke Blou untuk mencek kondisi korban dan untuk memposisikan sepeda motor yang pada Senin malam dikendarainya dari Lato, dalam perjalanan pulang ke Eputobi. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut, termasuk tugas untuk mengantar Petrus Naya Koten ke Boru dikoordinasi oleh Mikhael Torangama Kelen. Petrus Naya Koten memang perlu “diservis” sebaik mungkin agar dari mulutnya tidak meluncur pengakuan yang jujur tentang apa yang terjadi di Blou.

Sebelum diposisikan di samping jenazah korban di dalam parit, sepeda motor Yamaha Jupiter itu diparkir di pinggir jalan di sebelah timur deker. Sekitar jam 06.00 waktu setempat, dua orang yang baru saja pulang dari pesta di Lewotobi berada dalam jarak yang sangat dekat dengan tempat kejadian perkara. Mereka berjalan di jalan setapak dari arah pantai Waigema. Keberadaan mereka di situ merupakan bagian dari suatu kamuflase untuk menutupi apa yang sedang terjadi di tempat kejadian perkara pada pagi hari itu.

Ketika ditanya oleh seseorang untuk apa mereka berada di situ pada hari sepagi itu, mereka menjawab dengan enteng,

“Kami baru lihat jerat kera di pantai.”

Padahal di sepanjang pantai Waigema tak ada satu pun jerat yang dipasang untuk menangkap kera. Orang yang berkomunikasi dengan mereka itu pun sempat berhenti sebentar di pinggir jalan dekat tempat kejadian perkara, lalu dia meneruskan perjalanannya dengan sepeda motor ke Bokang.

Hari masih pagi ketika seseorang lain pun lewat di tempat kejadian perkara. Keberadaannya di situ mengejutkan para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang sedang melakukan “tugas-tugas” mereka pagi itu. Keberadaannya di situ kontan menciutkan nyali para penjahat itu. Daripada perbuatan jahat mereka langsung dibocorkan ke mana-mana, maka mereka pun langsung mengajak orang itu untuk menyelesaikan “urusan” di antara mereka dengan cara “damai.” Ajakan “damai” disertai ancaman itu langsung diterima. Dan tanpa berpikir panjang, orang itu pun mengiyakan sekaligus melaksanakan skenario yang dibuat oleh para penjahat yang mulai digerogoti rasa takut itu. 

Yang terjadi di antara kedua belah pihak pada pagi itu ialah suatu konspirasi awal untuk menutup rapat perbuatan jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Terdapat indikasi yang cukup jelas bahwa konspirasi yang dibangun pagi itu melibatkan pula seseorang yang seharusnya bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Konspirasi itu konsisten dengan kebohongan yang mulai disebarkan langsung dari tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Lalu hal berikut ini juga perlu diperhatikan, yaitu bahwa pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007, sebelum tersiar kabar tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Mikhael Torangama Kelen bersepeda motor bersama isterinya (Evi Kumanireng) ke arah barat. Mereka begerak dalam suatu iringan kecil bersama Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek, dan Damasus Likuwatang Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek lainnya. Pada saat yang hampir bersamaan Geroda Tukan yang naik angkutan umum “Melani” pun sedang dalam perjalanan ke arah barat.

Sebelumnya di Eputobi, Yohakim Tolek Kumanireng yang bercelana pendek dan berbaju kusut kotor telah mewartakan kabar begini,

“Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup kita tidak tahu. Mukanya pucat pasi. Dia sedang tergeletak di Blou.”

Kata-kata itu dia ucapkan setelah dia turun dari ojek yang membawanya dari Berobang ke Eputobi. Setelah mendengar kabar itu, beberapa tukang ojek mau meluncur ke Blou untuk menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Akim Maran. Tetapi Lambertus Lagawuyo Kumanireng mencegah mereka dengan mengatakan,

“Jangan ke sana! Nanti orang menduduh kamu yang melakukan.”

Sandiwara yang mereka mainkan pada pagi hari itu terbilang rapih. Tetapi kejahatan mereka pun meninggalkan jejak-jejak yang dengan mudah dapat dideteksi. Mayoritas masyarakat Lewoingu telah lama muak dengan sandiwara murahan yang selama itu mereka pentaskan. Masyarakat setempat mengharapkan mereka mengakui perbuatan jahat mereka itu secara jujur dan apa adanya.

Tetapi jika mereka terus mempertahankan ketidakjujuran, maka proses waktu akan “memberi mereka pelajaran” serta “pendidikan” dengan cara-cara yang dahsyat. ***

Kamis, 25 November 2010

Mungkinkah kebenaran dapat dikangkangi?

 

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berupaya keras untuk mengangkangi kebenaran. Dengan segala macam cara mereka berusaha menggagahi kebenaran. Ikut aktif dalam kegiatan tersebut adalah Donatus Doni Kumanireng, San Kweng, dan Marsel Sani Kelen. Dari Lewolaga, nama Anis Hera patut disebut. Bersama-sama mereka berusaha mengingkari fakta-fakta tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dkk di Blou.

Ikut berusaha mengangkangi kebenaran adalah sejumlah oknum aparat penegak hukum. Sejak terjadinya peristiwa pembunuhan di Blou, sudah muncul oknum-oknum polisi yang secara tersamar berusaha mengalihkan kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Di kemudian hari, muncul oknum-oknum polisi yang secara terang-terangan membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Secara terang-terangan mereka berusaha melakukan kebohongan publik dan menyesatkan masyarakat setempat. Hal ini mereka lakukan secara lisan dan tertulis. Seperti halnya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, oknum-oknum itu pun mengira bahwa kebenaran dapat dikangkangi sesuka hati mereka, sesuai kepentingan sesaat mereka. Mereka adalah oknum-oknum yang dengan sadar dan sengaja ikut merusak citra Indonesia. 

Untung bahwa mayoritas masyarakat Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang semacam Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, Donatus Doni Kumanireng, San Kweng, Marsel Sani Kelen, dan lain-lainnya itu. Upaya Donatus Doni Kumanireng untuk mengangkangi kebenaran sejarah Lewoingu, sejak awal ditentang dari dalam lingkaran keluarga besarnya sendiri, apalagi upaya kerasnya dalam membela kejahatan tersebut. Tentangan lebih keras lagi datang dari luar lingkaran keluarga besarnya. Hal yang sama dialami oleh Marsel Sani Kelen. Ketika orang ini ikut berkicau secara sembarangan tentang sejarah Lewoingu, orang-orang dari lingkaran keluarga besarnya sendiri langsung mengeluarkan suara yang isinya menentang isi kicauannya. Volume suara yang menentangnya semakin diperkuat ketika orang ini pun ikut-ikutan membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pembelaannya itu didasarkan pada alasan primordial, bukan pada fakta-fakta yang dapat diverifikasi. Maka tak mengherankan bila tulisan-tulisannya pun mengandung berbagai jenis sesat pikir. Hal ini akan saya sajikan dalam serangkaian tulisan di masa datang sebagai contoh penalaran yang sesat.

Karena terlalu asyik dalam upaya meluncurkan jurus-jurus kebohongan dengan tujuan menyesatkan publik, maka orang-orang semacam itu tidak lagi menyadari bahwa kebenaran tentang siapa saja yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran semakin terbuka dari waktu ke waktu. Hal ini justru memperlemah posisi para pelaku kejahatan tersebut maupun posisi para pembela mereka di mata publik setempat. Makin lama makin jelas bahwa orang semacam Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya serta para pembela mereka semakin tak mampu mengangkangi kebenaran tentang peristiwa Blou.

Kebenaran dengan cara-caranya sendiri terus memperlihatkan diri. Dan yang tumbuh belakangan ini dalam diri sejumlah orang baik di Lewoingu maupun di luar Lewoingu adalah upaya-upaya lebih nyata untuk memperjelas sosok kebenaran yang selama ini coba dikangkangi oleh para pelaku pembunuhan tersebut dan para pembela mereka. ***

Jumat, 19 November 2010

Tiga putera Lamber Liko Kumanireng

 

Sejak tahun 2007, tiga putera Lamber Liko Kumanireng, yaitu Yohakim T. Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng termasuk orang-orang Eputobi yang tersohor sebagai pembunuh berdarah dingin. Di bawah pimpinan Mikhael Torangama Kelen, tiga bersaudara kandung itu menjadi pelaku utama adegan brutal di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.  Bersama Mikhael Torangama Kelen, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Berempat mereka sempat ditahan di Polres Flores Timur selama 120 hari. Tetapi karena berkas perkara mereka belum P21, maka mereka pun dikeluarkan dari ruang tahanan. Hingga kini mereka menyandang status sebagai tersangka. Kelambanan polisi dalam menangani perkara pembunuhan tersebut membuat mereka masih bebas berkeliaran di luar bui. Ketika tulisan ini dibuat, salah seorang dari anak Lamber Liko Kumanireng, yaitu Laurens Dalu Kumanireng sedang berada di Kupang.

Ketika beraksi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, dia mengendarai sepeda motor Yamaha berplat nomor Kupang. Yoka Kumanireng mengendarai sepeda motor Honda GL warna hitam. Pada malam kejadian perkara, seseorang yang melintas di tempat kejadian perkara melihat Yoka Kumanireng sedang berdiri di pinggir jalan raya bersama beberapa orang pria. Keterlibatan langsung tiga bersaudara kandung itu dalam aksi kriminal di Blou diungkapkan oleh Petrus Naya Koten alias Pite Koten.

Tak lama setelah terjadi peristiwa kriminal di Blou, Laurens Dalu Kumanireng bermaksud menjual sepeda motornya. Dalam rencananya, uang hasil penjualan sepeda motor itu dipakainya untuk pergi merantau. Tapi maksud itu diurungkan. Di kemudian hari, sepeda motor itu berhasil dijual. Uang hasil penjualan sepeda motor itu dipakainya untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Tetapi karena tak betah tinggal di Jakarta, dia kemudian kembali ke Eputobi dan tinggal di sana hingga kini.

Jika Laurens Dalu Kumanireng menggunakan sepeda motor Yamaha, Yoka Kumanireng menggunakan sepeda motor Honda GL berwarna hitam. Pada minggu malam 29 Juli 2007 selepas pukul 20.00 waktu setempat, Honda GL hitam itu tampak diparkir di deker di Blou yang kemudian dikenal dengan tempat kejadian perkara. Di deker, dua orang sedang mengobrol. Sekitar pukul 04.00 Senin 30 Juli 2007, Honda GL hitam itu berada di situ. Tetapi dua orang yang sebelumnya duduk sambil ngobrol di deker tidak kelihatan. Pada Senin malam 30 Juli 2007 pengendara sepeda motor itu kembali ke Blou untuk menjalankan misi kriminal sesuai rencana yang telah mereka susun.

Setelah berpartisipasi aktif dalam peristiwa kejahatan di Blou, Yoka Kumanireng menderita sakit. Cedera yang mengenai kepala dan lehernya membuat dia sempat tidak keluar rumah. Setelah kesehatannya membaik dia kembali beraktifitas di luar rumah, tapi dengan tampilan yang berbeda daripada hari-hari sebelumnya. Selama berhari-hari helm tak lepas dari kepalanya, dan jaket yang kerahnya ditegakkan hingga menutup batang lehernya pun tak lepas dari tubuhnya. Ketika menghadiri acara pesta pun, helm dan jaket tetap dikenakannya. Ini dia lakukan untuk menutupi cedera di kepala dan lehernya.

Dari mana datangnya cedera di kepala dan lehernya itu? Seorang dukun, yaitu Mari’ Sogen yang diminta bantuannya mengatakan bahwa cedera yang diderita anak itu akibat pukulan hantu di Waidang pada tahun 2004. Penjelasan semacam itu menjadi bahan tertawaan banyak orang. Kuat dugaan bahwa cedera tersebut diperolehnya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Pasacatragedi Blou, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu sangat aktif pula dalam upaya-upaya untuk mengintimidasi dan mengancam orang-orang yang dianggap ikut berusaha membongkar kejahatan yang mereka lakukan. Intimidasi dan ancaman mereka mengharubiru sembarangan. Sehingga sempat  meresahkan masyarakat setempat. Yohakim T. Kumanireng, misalnya, sempat pula mengintimidasi seorang perempuan. Tanpa alasan yang jelas, orang ini pun sempat melaporkan beberapa orang Eputobi ke Pos Polisi di Lewolaga. Dia pun mengancam menghakimi orang-orang yang dianggapnya berbuat macam-macam. Beberapa waktu lalu nyawanya nyaris melayang akibat sepeda motor yang dikendarainya menyenggol alat berat yang sedang memperlebar jalan raya di dekat kampung Eputobi. Kejadian itu menimbulkan ketakutan besar dalam lingkup keluarganya. Ini tampak dari digelarnya suatu upacara khusus yang konon dimaksud untuk menolak bala. Sebelum kejadian tersebut, yaitu pada malam Paskah 2009, dia terjatuh di gereja Riang Duli setelah menyambut komuni.

Seperti halnya Mikhael Torangama Kelen, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu pun mati-matian menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Bersama Mikhael Torangama Kelen, mereka menekan Petrus Naya Koten untuk menarik kembali keterangan yang sudah diberikannya kepada penyidik. Tak ada tanda-tanda bahwa tiga anak Lamber Liko Kumanireng itu mau mengakui secara jujur apa yang mereka perbuat di Blou, padahal terdapat kesaksian yang jelas tentang keterlibatan mereka dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Kepada saya Lamber Liko Kumanireng pun sempat membantah tuduhan tentang keterlibatan tiga orang anaknya itu dalam tragedi Blou, padahal pada waktu itu belum muncul tuduhan tersebut. Bantahannya disampaikannya sambil menangis di hadapan saya dan Epeng Maran. Adegan itu pun disaksikan langsung oleh isterinya dan orang-orang lain. Dengan gencar Lamber Liko Kumanireng pun berusaha menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh tiga orang anaknya. Tetapi apa yang mereka tutup-tutupi sudah lama terbuka. Polisi saja yang lamban bekerja sehingga proses penanganan perkara kejahatan itu berjalan bertele-tele. ***

Minggu, 14 November 2010

Kisah tentang seseorang yang bermimpi jadi “penguasa kampung”

 

Dia tidak dilahirkan sebagai seorang penguasa. Tapi mungkin karena itu, maka dia bermimpi menjadi seorang penguasa. Ya, dia bermimpi menjadi penguasa di kampung halamannya. Entah sejak kapan, mimpinya itu mulai bersemi. Yang jelas pada bulan Maret 2008, dia sendiri yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi. Proklamasi itu dilakukannya bukan di kampung halamannya, tetapi di suatu tempat lain di negeri orang di hadapan orang lain yang tak tahu menahu tentang sejarah kepemimpinan Eputobi-Lewoingu. Dapat diduga bahwa deskripsi dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi sudah cukup lama dibuatnya dalam dirinya sendiri. Namun baru pada tahun tersebut dia mengekspresikannya secara verbal.

Pernyataan bahwa dirinya adalah penguasa kampung Eputobi itu tak bermanfaat. Karena, di dalam kenyataan dia bukan seorang penguasa. Dia hanyalah seorang pemimpi. Seandainya dia tahu sejarah, dia tahu pula bahwa pernyataannya itu tak pantas menurut standar moral lokal. Tetapi baginya, apa yang tidak pantas itu pantas. Maka mimpinya itu pun coba diterjemahkannya dalam skenario-skenario yang dirancangnya untuk menghancurkan tatanan adat Lewoingu hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Skenario-skenario desktruktifnya itu menemukan momentum pada situasi politik kampung yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya bergeser ke arah pembentukan suatu tatanan politik kriminal ala kampung. Pada tahun 2004 mulai nampak tanda-tanda bahwa yang menjalankan roda politik di kampung Eputobi adalah suatu geng kriminal. Tanda-tanda itu nampak paling kurang dari dua hal; pertama, dari penghalalan segala macam cara di kalangan para eksekutif dan kroni-kroni mereka untuk mempertebal kantong sendiri-sendiri; kedua, dari penggunaan ancaman-ancaman kekerasan fisik terhadap tokoh-tokoh yang menentang praktek-praktek korupsi yang dilakoni oleh kepala desa dan kroni-kroninya yang duduk dalam struktur pemerintahan desa.

Untuk menerjemahkan mimpinya itu, dia sering memunculkan dirinya di kampung Eputobi. Di sana dia menggalang persekongkolan dengan memanfaatkan sentimen-sentimen primordial dan gesekan-gesekan politik yang ada. Target awalnya adalah meluruskan jalannya sejarah Lewoingu. Untuk itu dia pernah menemui Kepala Suku Ata Maran, dan tanpa malu-malu dia mengatakan, “Kita perlu luruskan sejarah.” Namun dia sendiri tidak menjelaskan sejarah mana yang perlu diluruskan.

Usulannya itu menjadi bahan tertawaan berbagai kalangan yang paham akan seluk beluk sejarah  Lewoingu. Soalnya, usul tersebut datang dari seseorang yang bertitel akademik, tetapi ternyata tidak mengetahui sejarah asal usulnya sendiri. Setelah melihat sepak terjangnya semakin menjadi-jadi dalam mengutak-atik tatanan adat Lewoingu, seorang saudaranya berkomentar, “Dia itu tidak tahu sejarah, maka dia berbuat seperti itu.” Seandainya dia tahu sejarah, dia tidak berbuat semacam itu.

Bagi orang yang paham sejarah Lewoingu, sepak terjangnya yang diarahkan pada pengrusakan tatanan adat itu aneh dan tidak masuk akal. Tetapi baginya, apa yang aneh itu tidak aneh, dan apa yang tidak masuk akal itu masuk akal. Maka dia pun meneruskan langkah-langkahnya untuk memenuhi mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Apalagi di kalangannya dia dipandang sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi gerakan politik kotor mereka. Istilah politik kotor ini saya pinjam dari seseorang yang pada tahun 2003 dipermalukan dan nyaris dihakimi di muka umum oleh kepala desa Lewoingu. Dalam dan melalui geng politik kampung itu, dia berusaha menampilkan diri sebagai seorang penguasa yang bisa berbuat apa saja sesukanya.

Perjalanan waktu akhirnya menyingkap bahwa dia berada di balik persoalan-persolan kriminal besar. Dia berada di balik pelanggaran adat dan penyerobotan tanah yang terjadi pada tahun 2006 di kampung Eputobi. Dia juga berada di balik peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dengan sadar dan sengaja dia mendukung kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan sadar dan sengaja dia menempuh langkah-langkah untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut atau paling kurang untuk menghambat proses hukum atas para pelakunya. Dalam rangka itu suaranya mengembara ke mana-mana. Suaranya sempat pula mendarat di rumah seorang dukun. Selain itu, dia juga secara sadar dan sengaja membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya.

Jelas bahwa perbuatan-perbuatan yang diperlihatkannya itu berkategori kriminal berat. Tetapi baginya, apa yang disebut kriminal itu tidak kriminal bahkan dianggapnya sebagai perbuatan baik dan bermakna bagi masyarakat setempat. Padahal di dalam kenyataan terjadi perpecahan sosial dan kerusakan-kerusakan kultural yang semakin sulit diatasi, akibat perbuatan-perbuatan kriminal yang didukungnya.

Dengan menunggang rezim kriminal tersebut, dia berusaha meraih mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud, karena sejarah punya kisah yang jelas tentang garis-garis kepemimpinan adat Lewoingu. Garis-garis sejarah itu tak bisa dihapus oleh gerombolan penjahat itu. Dan dia yang selama ini bermimpi menjadi penguasa kampung Eputobi itu pun kian merana dalam kesendiriannya. Sejarah akan memperlihatkan kepada kita seperti apa akhir dari mimpinya itu. Yang jelas, mimpi yang dulunya kelihatan indah  kini menjadi mimpi yang sungguh buruk baginya. ***

Kamis, 11 November 2010

Jangan takut membela kebenaran

 

Di kampung Eputobi telah lama tumbuh keberanian untuk membela dan menegakkan kebenaran. Dalam menyikapi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, muncul pula orang-orang yang secara konsisten berusaha membela dan menegakkan kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang berani mengambil risiko untuk menentang gerakan menutup-nutupi kejahatan tersebut yang dimotori oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Keberanian semacam itu tentu tidak kita temukan pada diri orang-orang yang berusaha cari aman dan selamat untuk diri sendiri.

Sikap saling bertolak belakang terhadap kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pun tampak di kalangan orang Eputobi perantauan. Terdapat orang-orang yang karena alasan primordial dan alasan-alasan lain ikut berjuang menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mereka ikut berjibaku membela kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh para pelaku pembunuhan tersebut. Di antara mereka dari kalangan berjubah pun, ada yang ikut berjuang di pihak Mikhael Torangama Kelen. Cara berjuang mereka pun terbilang konyol.

Di tanah rantau ditemukan pula orang-orang yang ikut berusaha dengan caranya masing-masing agar para pelaku pembunuhan tersebut ditindak secara hukum. Bagi mereka kejahatan semacam itu tak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Siapa pun pelakunya, dia atau mereka perlu dihukum. Bagi mereka, membenarkan, membela kejahatan itu dalam hati saja sudah merupakan suatu kejahatan.

Di antara kedua tipe tersebut terdapat tipe lain, yaitu orang-orang yang mengambil posisi netral. Mereka adalah orang-orang yang mengambangkan diri. Ketika angin bertiup ke barat, mereka ikut berkiblat ke barat. Tetapi ketika angin bertiup ke timur, mereka pun ikut berkiblat ke timur. Kiblat mereka tergantung arah angin. Dari orang-orang semacam ini sukar diharapkan upaya-upaya nyata untuk memperjuangkan tegakknya kebenaran.

Patut juga dicermati sikap orang-orang perantauan yang mereduksi masalah kejahatan sangat besar yang dibuat oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu menjadi persoalan pertikaian biasa yang dapat diselesaikan dengan cara maaf memaafkan antarpribadi yang dianggap terlibat. Simplifikasi persoalan semacam ini biasanya dilakukan oleh kaum romantis yang mengharapkan kembalinya masa lalu yang dianggap penuh harmoni, dan oleh kaum yang tidak mau repot dengan urusan pemberantasan kejahatan serta urusan penegakan kebenaran dan keadilan yang mendasar. Orang-orang semacam ini berusaha menjauhkan diri dari fakta-fakta yang berbicara tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Meskipun demikian, di antara mereka pun terdapat orang yang berusaha melakukan analisis-analisis “semau gue” tentang persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Eputobi. 

Posisi keluarga korban dan segenap lapisan masyarakat pendukungnya, baik yang bermukim di kawasan Lewoingu maupun yang bermukim di luar kawasan Lewoingu jelas, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Sikap kami jelas, yaitu melawan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan pembunuh yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Dalam urusan semacam ini, kami tidak akan mundur sejengkal pun. Apalagi semakin lama semakin terkonfirmasi dari berbagai sumber bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT.

Maka siapa pun yang bersimpati apalagi yang secara terang-terangan membela Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia membela kejahatan yang mereka lakukan pada tanggal tersebut di atas. Selain itu, dia juga membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen selama dia menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di kampung Eputobi, mereka yang bergabung dalam kelompok penjahat itu dengan mudah dapat diidentifikasi satu per satu. Mereka terdiri dari orang-orang yang berhasil disesatkan oleh komplotan penjahat tersebut dan menyesatkan diri demi kepentingan pribadi mereka masing-masing. Selama ini mereka ikut menikmati kemapanan politik semu akibat bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi mereka lupa bahwa persoalan demi persoalan akan menanti mereka di masa depan setelah tatanan kriminal yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen ambruk. Tidak mungkin Mikhael Torangama Kelen akan terus becokol di kursi kepala desa selama sisa hari-hari hidupnya. Sekarang ini saja kekuasaannya tampak keropos. Pemerintahannya berjalan sangat pincang dan tertatih-tatih. Roda pemerintahannya semakin tidak berguna bagi terciptanya keamanan apalagi kesejahteraan bagi masyarakat Eputobi.

Sebagian dari mereka sempat sadar akan akibat-akibat buruk dari upaya mereka untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Tetapi mereka kini menghadapi dilema. Mau kembali ke jalan yang benar, tetapi masih terbentur oleh rasa malu karena selama ini mereka telah berkhianat kepada kebenaran. Tetapi mau terus maju dalam barisan pembela kejahatan pun mereka malu juga, karena mereka ikut melakukan sesuatu yang tidak baik (baca:jahat) menurut ukuran lewotana (adat istiadat setempat), ukuran moral, dan ukuran agama, serta ukuran hukum.

Masih ada waktu bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Masih ada kesempatan bagi mereka untuk mengubah sikap mereka dari sikap berpihak pada kejahatan ke sikap melawan kejahatan atau dari sikap melawan kebenaran ke sikap membela kebenaran. Kepada mereka yang mau kembali, saya ingin sampaikan ajakan, “Mari, bergabunglah dengan kelompok masyarakat yang selama ini berusaha membela kebenaran. Jangan takut membela kebenaran.” ***

Senin, 08 November 2010

Ceritera di akhir pekan pertama bulan November 2010

 

Pada akhir pekan pertama bulan November 2010, saya mendapat ceritera dari kampung Eputobi, Lewoingu, di Flores Timur tentang apa yang dialami oleh Meus Kumanireng.

Apa yang dialami oleh Meus Kumanireng menunjukkan bahwa di kampung Eputobi masih terdapat orang-orang dari kubu “jatim” yang terus berusaha untuk memancing keributan dengan orang yang berseberangan sikap dengan sikap mereka terhadap kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Kali ini yang berulah adalah Donatus Kumanireng. Tanpa alasan yang jelas, orang ini memprovokasi Meus Kumanireng dengan ancaman dan kata-kata makian di hadapan orang-orang lain yang sempat menyaksikan aksinya.

Seandainya provokasinya itu ditanggapi oleh Meus Kumanireng secara emosional, maka perkelahian antara mereka dapat saja meletus, dan persoalannya bisa merembet ke mana-mana. Untung bahwa Meus Kumanireng mampu menghadapinya dengan tenang. Untung pula bahwa ada saja orang yang berusaha mencegah agar aksi kekerasan tak jadi meledak.

Sebelum aksi provokasi tersebut terjadi, Lambertus Lagawuyo Kumanireng tampak berada di rumah Donatus Kumanireng. Selama ini kedua orang ini tampak seiring sejalan dalam menghadapi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Perlu dicatat bahwa Lambertus Lagawuyo Kumanireng adalah salah satu orang Eputobi yang terlibat dalam aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Perannya dalam kasus kejahatan tersebut semakin terkonfirmasi dari berbagai sumber. Karena polisi setempat lamban bergerak, maka orang ini belum tersentuh hukum.

Setelah berlalu ancaman Donatus Kumanireng, Lambertus Lagawuyo Kumanireng berusaha menekan Meus Kumanireng melalui SMS. Tetapi jawaban-jawaban dari Meus Kumanireng tampaknya jitu dan membuat dia kapok. Usaha dia menekan Meus Kumanireng malah berbalik menjadi bumerang yang menekan dirinya sendiri. Mudah-mudahan dia pun mulai sadar bahwa tidak setiap orang yang ditekannya bernyali kecil.

Bukan baru seklali ini dia berusaha menekan Meus Kumanireng. Tetapi Meus Kumanireng tak terpengaruh oleh tekanannya. Bagi Meus Kumanireng, membela kebenaran itu merupakan suatu pekerjaan yang perlu dilakukan secara konsisten. Untuk apa seseorang mau membela kejahatan, hanya karena salah satu pelakunya adalah orang dari satu suku dengannya?

Karena Meus Kumanireng berani berpihak pada kebenaran, maka dia dirongrong. Tetapi bagi orang yang punya tekad yang kuat untuk berpihak pada kebenaran, rongrongan semacam yang dilakukan oleh Donatus Kumanireng dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng itu tak ada artinya.

Rongrongan semacam itu menunjukkan bahwa kubu yang dimotori oleh para pelaku pembunuhan tersebut semakin dilanda ketidaktenangan. Mana ada perbuatan jahat seperti pembunuhan yang dapat memberikan ketenangan bagi para pelakunya? ***

Kamis, 28 Oktober 2010

Penyandang dana proyek kriminal di Blou, Flores Timur

 

Pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran dirancang sebagai suatu proyek yang pelaksanaannya membutuhkan sejumlah dana. Proyek kriminal tersebut dilaksanakan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT. Pasca pelaksanaannya sejumlah dana dikucurkan ke oknum-oknum penegak hukum tertentu agar para pelakunya tidak terkena proses hukum dalam arti sesungguhnya. Karena beberapa dari pelakunya terkena proses hukum, maka sejumlah dana digelontorkan lagi, selain ke kantong pengacara juga ke kantong-kantong oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menghambat proses hukum. Sejumlah dana pun mereka kerahkan untuk membiayai beberapa aksi unjuk rasa yang mereka gelar di Larantuka, paling kurang untuk biaya transportasi dan konsumsi bagi para peserta.

Dari mana sumber dana-dana yang dipakai untuk melakukan dan  menutupi perbuatan jahat mereka? Dana dihimpun dari beberapa sumber. Tetapi dana paling besar diperoleh dari si penyandang dana. Si penyandang dana tinggal dan bekerja di Larantuka, Flores Timur. Dalam hal pendanaan, beberapa pengamat di kampung Eputobi menyebutnya sebagai orang kuat. Disebut orang kuat, karena dia memiliki banyak uang. Seandainya tidak memiliki banyak uang mustahil dia dapat membangun sebuah rumah mewah untuk ukuran daerah setempat. Selain itu, dia juga dapat membeli empat sepeda motor. Dua di antaranya berharga mahal. Belum terhitung biaya yang dikeluarkannya untuk mengongkos kuliah anaknya di luar NTT.

Semua kekayaan material itu diperoleh dalam waktu singkat, sehingga mengundang rasa heran masyarakat setempat. Sempat ramai orang-orang bertanya, “Dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” Dan jawaban atas pertanyaan ini tidak sulit untuk ditemukan. Sebagian besar uang yang dia miliki itu berasal dari penghalalan cara haram untuk meraup keuntungan finansial sebesar-besarnya. Dokumen-dokumen tertentu yang pernah disimpan di suatu instansi di sana secara jelas mengindikasikan penghalalan cara haram oleh yang orang bersangkutan. Mudah-mudahan dokumen-dokumen dimaksud masih disimpan dengan baik. Siapa tahu di suatu hari nanti, dokumen-dokumen dimaksud berguna bagi upaya penegakan kebenaran dan keadilan.

Selama beberapa tahun terakhir, orang yang sudah terkenal sebagai penyandang dana proyek kriminal di Blou itu merasa berada di atas angin. Oleh para pelaku kejahatan tersebut dia dipandang sebagai orang hebat. Sekolahnya yang tinggi pernah dijadikan bahan untuk menghina orang-orang tertentu dari kubu yang beroposisi dengan pihak yang sedang memerintah di kampung Eputobi. Ini dilakukan oleh dua orang yang berjuang secara membabibuta untuk membelanya. 

Sebagai orang yang menghalalkan cara haram, dia beranggapan bahwa proses hukum yang berkenaan dengan perkara kejahatan yang terjadi di Blou pun dapat diatur sesuai dengan seleranya. Baginya, urusan hukumnya dapat dikonversikan menjadi urusan transaksional berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Urusan semacam ini diproses di belakang layar, atau dalam lorong remang-remang dan dalam ruangan-ruangan redup cahaya di kota Larantuka, sehingga tidak terpantau langsung oleh publik. Tetapi apa yang terjadi dalam keremangan itu akhirnya tidak sepenuhnya dapat dirahasiakan. Tanpa disengaja, ada bocoran yang mencuat ke permukaan. Pembocornya adalah orang yang diharapkan dapat menyimpan dengan rapih rahasia mereka bersama. Bocorannya memperjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di balik getolnya upaya oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menutupi kasus kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou.

Pembocornya sempat menyadari kesalahannya. Hal ini dia ungkapkan sendiri ketika dia berada dalam suatu perjalanan. Perkataannya pada waktu itu menunjukkan adanya rasa sesal dalam dirinya. Tetapi hingga kini belum jelas apakah rasa sesalnya itu berasal dari hati nuraninya atau bukan. Yang jelas, tak ada upaya-upaya konkret dari dia untuk membantu kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut.

Sementara si penyandang dana masih tampak konsisten dalam menjalankan misinya. Meskipun akhir-akhir ini pikiran dan hatinya terganggu oleh kekhawatiran akan terjadinya perubahan arah angin politik, dia masih berusaha menunjukkan kenekadannya untuk menutupi atau paling kurang untuk menghambat proses hukum atas para tersangka pelaku pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Perubahan arah angin politik di daerahnya dengan mudah bakal menghempasnya keluar dari jalur yang selama ini ingin dipertahankannya. Dan siapakah yang bisa menjamin bahwa tak akan ada badai persoalan besar yang bakal menerkam dan memangsanya. Bukankah dia bakal menuai apa yang selama ini ditanaminya? ***

Senin, 25 Oktober 2010

Aktor intelektual tragedi Blou

 

Aksi kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu dirancang dalam serangkaian pertemuan yang digelar di kampung Eputobi dan di beberapa tempat lain. Pertemuan-pertemuan itu diprakarsai oleh si aktor intelektual. Mulanya pertemuan-pertemuan yang digelarnya berlabelkan diskusi. Tetapi itu hanyalah suatu kedok. Kelompoknya kemudian menampakkan diri sebagai suatu komplotan kriminal yang merancang pembunuhan terhadap beberapa orang dari kubu yang beroposisi dengan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Dalam rancangan awal, tiga orang dijadikan sasaran pembunuhan, dengan catatan Yoakim Gresituli Ata Maran adalah orang pertama yang ingin mereka habisi. Kemudian ditambah lagi dua orang. Rancangan kriminal itu dibuat secara cukup rinci hingga mencakup cara menghindari diri dari tanggung jawab hukum.

Ketika rancangan kejahatan itu direalisasikan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, si aktor intelektual berada di rumahnya di suatu kota. Tetapi dia mengikuti tahap demi tahap kegiatan kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan melalui saluran telepon. Setelah mendapat laporan bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran sudah berhasil dimatikan, pada malam itu juga dia memberikan petunjuk tentang cara memperlakukan sepeda motor yang dikendarai korban agar terkesan bahwa kematiannya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Petunjuknya itu dilaksanakan secara harafiah oleh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng.  

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka – para operator lapangan dan si aktor intelektual – sempat merasa puas dan senang. Salah seorang yang ikut merestui pelaksanaan operasi kriminal tersebut sempat mengekspresikan rasa girangnya ketika jenazah korban dibawa masuk ke kampung Eputobi. Dari jauh, si aktor intelektual mengikuti seluruh rangkaian adegan yang terjadi pada hari Selasa 31 Juli 2007 di Eputobi. Pada hari itu dia merasa bahwa kelompoknya telah memenangkan perang. Bersama beberapa orang yang sealiran dengannya, mereka sempat mengarang-ngarang ceritera tentang sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tetapi kepuasan dan kegembiraannya tidak berlangsung lama, karena si aktor intelektual pun tahu apa akibat dari suatu perbuatan kriminal. Pikirannya dihantui rasa takut. Karena itu dia pun memutuskan untuk tidak segera pergi ke kampung Eputobi. Dia takut berurusan dengan polisi. Ketakutan yang sama melanda setiap orang yang berperan sebagai operator lapangan. 

Setelah mengetahui bahwa polisi ternyata belum juga menyikapi peristiwa pembunuhan tersebut secara tegas, maka si aktor intelektual memberanikan diri muncul di kampung Eputobi. Di sana dia menggelar pertemuan dengan berbagai unsur dari kubunya di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Lalu dengan sepeda motor dia mengantar salah seorang operator peristiwa Blou, yang sedang mengalami cedera di kepala untuk berobat. Di suatu klinik orang yang bersangkutan sempat menjalani rawat-ngingap. Selama dirawat di situ, dia sering dilanda rasa gelisah yang membuat dia tidak tenang dan susah tidur.

Setelah berhasil melakukan pendekatan khusus dengan oknum-oknum aparat penegak hukum setempat, si aktor intelektual sempat merasa lega. Dia pun mengira bahwa urusan hukum terkait dengan peristiwa pembunuhan di Blou berhasil dihindari karena adanya kerja sama mereka dengan oknum-oknum penegak hukum tertentu. Si aktor intelektual lalu sibuk menggalang upaya untuk mengkriminalisasi keluarga korban. Dalam rangka itu dia sering memunculkan diri di Larantuka dan di kampung Eputobi seraya menggelar pertemuan-pertemuan. Tetapi upayanya itu berbalik menjadi perangkap yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak Lamber Liko Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Flores Timur. Kejadian itu membuat nyalinya sempat menciut drastis. Dia takut berurusan dengan polisi. Nyalinya kembali muncul ke permukaan setelah permainan di belakang layar kembali digelar. Si aktor intelektual tahu berapa biaya yang perlu dikucurkan agar permainan di belakang layar itu berhasil dimainkan sesuai dengan irama yang diinginkannya.

Karena berkas perkara atas nama Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya belum berhasil P21, maka pada hari Sabtu 16 Agustus 2008 keempat tersangka itu dikeluarkan dari ruang tahanan Polres Flores Timur. Hal itu menggembirakan hati si aktor intelektual. Dia mengira bahwa keempat tersangka sudah dibebaskan dari proses hukum. Dalam dirinya sempat tumbuh niat untuk meminta SP3 agar dapat melakukan gugat balik. Maka pada tahun 2009, beberapa aksi unjuk rasa digenjot. Tetapi aksi-aksi tersebut akhirnya berakhir dengan kekecewaan yang hingga kini masih membekas dalam benak mereka yang terlibat. Aksi unjuk rasa yang digelar pada bulan November 2009 itu menjadi momen yang justru mempermalukan orang seperti Mikhael Torangama Kelen dan Petrus Naya Koten. Dalam momen itu, posisi mereka sebagai pelaku kejahatan di Blou dipertegas. Hal ini terjadi di luar dugaan para pengunjuk rasa lainnya.

Seusai unjuk rasa, si aktor intelektual meninggalkan Larantuka. Dia membawa rasa kecewa di hatinya ke rumahnya. Di kemudian hari rasa kecewanya itu terkomplikasi dengan kejadian-kejadian tertentu yang membuat nyalinya menciut hingga ke titik terendah. Pengalaman-pengalaman pahit yang dialaminya pasca aksi unjuk rasa yang sia-sia tersebut memaksa dia untuk mundur ke garis belakang. Padahal perang yang dikobarkannya masih jauh dari selesai. Hari-hari hidupnya semakin dibayang-bayangi oleh bangkai kejahatan dengan korban Yoakim Gresituli Ata Maran. Makin lama dia makin asyik bergumul dengan dirinya sendiri. ***

Jumat, 15 Oktober 2010

Kegelisahan seorang aktivis

 

Dia mengaku diri sebagai seorang aktivis dari suatu LSM yang konon memperjuangkan penegakan keadilan dengan cara tanpa kekerasan. Dia masih muda. Dan sepak terjangnya lumayan hebat. Di masa lalu dia sempat sibuk bergerak di seputar “altar Tuhan.” Entah sekarang, setelah sepak terjangnya yang bertolak belakang dengan kegiatan “sucinya” itu di sorot dari segala arah. Yang jelas dalam hari-hari belakangan ini si aktivis dilanda kegelisahan yang membuat dia sempat hilir mudik tak tentu arah.

Orang-orang yang telah mengetahui ceritera di balik ketidaktenangannya akhir-akhir ini kontan maklum. Maklum, si aktivis pun berada dalam satu kubu dengan para pelaku lapangan tragedi Blou. Kalau diusut-usut, dia pun punya saham tertentu bagi pelaksanaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Paling kurang dia mengetahui adanya rencana matang pelaksanaan kejahatan tersebut, tetapi dia tidak mau berusaha mencegahnya.

Pada Senin siang 30 Juli 2007 dia memunculkan dirinya di Eputobi dan berusaha menemui orang yang direncanakan untuk dibunuh pada hari itu oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tetapi upayanya itu gagal, karena orang yang menjadi target pembunuhan para penjahat Eputobi itu sudah pergi ke Lato, ibu kota Kecamatan Titehena, di Flores Timur. Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal di Blou, dia menyesali keterlambatannya menemui korban.

Seandainya dia punya itikad baik, dia mestinya dapat menyampaikan apa yang diketahuinya tentang rencana pembunuhan tersebut kepada polisi. Di dalam kenyataan, dia justru tampil sebagai salah satu ujung tombak lapangan yang berusaha keras untuk membuat keempat tersangka pelaku pembunuhan tersebut lolos dari jerat hukum. Dalam rangka itu dia pun tak segan-segan menemui orang-orang “pintar” tertentu.

Sepak terjangnya secara jelas menunjukkan bahwa dia mendedikasikan dirinya demi membela kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan sadar dan sengaja si aktivis berusaha agar para pelaku kejahatan tersebut tidak diproses secara hukum. Dan dia mengira upayanya itu berhasil.

Setelah mengetahui bahwa proses hukum atas para tersangka pembunuhan tersebut terus berjalan, muka si aktivis pun kontan menciut. Seluruh dirinya pun disergap kegelisahan yang membuat penampilannya sempat menjadi aneh. Rupanya dia baru menyadari bahwa pertarungan masih jauh dari selesai, dan roda-roda hukum masih terus berputar, hingga mencapai titik yang pas untuk dapat menjerat siapa pun yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa pembunuhan tersebut. ***

Menunggu Kapolri dan Jaksa Agung Baru

 

Pagi ini muncul lagi pertanyaan dari kampung Eputobi: “Bagaimana perkembangan penanganan kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran?” Pertanyaan semacam itu sering diajukan oleh berbagai pihak yang selama ini berharap agar mereka yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran ditindak secara tegas melalui prosedur hukum. Sambil bertanya, ada yang menyelipkan juga pesan agar pihak keluarga korban tidak membiarkan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu tidak ditangani.

Pertanyaan itu tadi saya jawab dengan mengatakan bahwa kasus pembunuhan tersebut masih dalam proses, meskipun prosesnya berjalan sangat lamban. Kita menunggu Kapolri dan Jaksa Agung baru. Pergantian Kapolri dan Jaksa Agung diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dalam pemberantasan kejahatan di negeri ini, termasuk pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Pihak keluarga korban telah lama mengetahui mengapa penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan sangat lamban. Alat yang dipakai dalam upaya mengganjal proses hukum atas perkara kejahatan itu sudah jelas. Meskipun demikian, sampai sejauh ini, pihak keluarga korban masih coba memberikan ruang bagi para aparat hukum setempat untuk menangani perkara kejahatan tersebut secara jelas dan tegas. Ceritera tentang penanganan perkara kejahatan tersebut akan berubah, jika aparat penegak hukum setempat gagal melaksanakan tugas mereka. Yang jelas, kejahatan semacam itu tidak akan dibiarkan untuk tidak diberantas.

Sudah jelas bahwa Komjen Timur Pradopo akan menjadi Kapolri, setelah pencalonannya diterima secara aklamasi oleh Komisi III DPR RI pada Kamis malam, 14 Oktober 2010. Meskipun pencalonannya menuai pro dan kontra, kita tetap punya harapan yang jelas bahwa Kapolri yang baru nanti pun punya kepedulian real terhadap kasus-kasus kejahatan di daerah yang penanganannya amburadul. Tidak cukup bila seorang Kapolri hanya menaruh perhatian serius pada kasus-kasus kejahatan besar. Pembiaran penanganan kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan yang sudah jelas ujung pangkalnya berjalan dalam ketidakjelasan, itu akan menjadi preseden bagi berkembang biaknya aktivitas-aktivitas kriminal semacam itu di daerah yang bersangkutan.

Dalam beberapa tahun terakhir muncul fenomena yang sangat memprihatinkan di NTT, yakni bahwa kasus-kasus kejahatan berupa pembunuhan dengan mudah direkayasa menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Kalau sudah begitu, oknum-oknum aparat penegak hukum setempat pun enggan menanganinya. Keprihatinan semacam itu disuarakan pula oleh seorang pengacara yang sedang menangani suatu perkara pembunuhan di NTT. Kepada saya dia menekankan pentingnya pembangunan jaringan yang melibatkan berbagai pihak untuk mengawal penanganan perkara-perkara kejahatan semacam itu. Dia juga menekankan pentingnya dukungan masyarakat terhadap Polri yang berusaha menangani kasus-kasus kejahatan di sana secara profesional.

Kita juga menunggu pergantian Jaksa Agung RI. Siapa yang dicalonkan menjadi Jaksa Agung belum jelas hingga kini. Siapa pun yang bakal dilantik menjadi Jaksa Agung, dia diharapkan mampu meningkatkan mutu kinerja para jaksa di seluruh Indonesia dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Seperti halnya Kapolri, Jaksa Agung yang baru pun diharapkan menjadi motor penggerak reformasi kultural demi penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam rangka itu, Jaksa Agung baru nanti diharapkan tidak segan-segan melakukan penertiban terhadap oknum-oknum jaksa yang menggadaikan kebenaran dan keadilan demi pencapaian kepentingan pribadi. Tugas ini berat, tetapi perlu dilaksanakan agar Indonesia bisa menjadi negara hukum demokratis dalam arti sesungguhnya. ***

Sabtu, 09 Oktober 2010

Bagaimana si saksi kunci mengantisipasi proses hukum atas dirinya?

 

Dalam perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, Petrus Naya Koten adalah saksi mahkota alias saksi kuncinya. Kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara di Blou adalah suatu kenyataan yang tak bisa diingkari oleh siapa pun. Hanya karena tak kuat menghadapi bertubi tekanan dari para tersangka dan rekan-rekan seperjuangan mereka, maka Petrus Naya Koten pun membuat pernyataan penarikan keterangan dari berita acara pemeriksaannya. Tetapi dia sendiri lupa bahwa penarikan keterangannya itu justru merugikan dirinya sendiri.

Petrus Naya Koten sendiri tahu persis sebagai apa dia hadir di tempat kejadian perkara. Dia adalah salah satu mata rantai penting yang memuluskan pelaksanaan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran sesuai dengan rancangan yang telah digariskan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Karena itu, dia pun sebenarnya telah menyadari bahwa cepat atau pun lambat dirinya akan ditetapkan sebagai tersangka dan diadili. Dia sadar bahwa kebebasannya beraktivitas seperti yang dialaminya selama ini hanya sementara sifatnya. Hatinya terus menerus dirundung kegelisahan serta ketakutan akan datangnya masa-masa yang lebih menyusahkan dirinya dan keluarganya.

Tanpa diketahui banyak orang, Petrus Naya Koten berusaha mengantisipasi proses hukum yang akan dijalaninya pada hari-hari mendatang. Sebagai langkah antisipatif dia pernah menyatakan keinginannya untuk pensiun dini. Lalu dia pun berusaha mengamankan surat-surat penting seperti ijazah, surat pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil, dll pada salah seorang anggota keluarganya.

Tetapi keinginan untuk pensiun dini belum direalisasikan. Hingga kini Petrus Naya Koten masih aktif bekerja di SMP Negeri Boru. Tetapi hatinya pun semakin dihantui kegelisahan karena keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Meskipun berada dalam perlindungan dan pengawasan rekan-rekan seperjuangannya di Blou, dia tidak hepi. Apakah isteri dan anaknya merasa tenang?

Vero Hayon, isterinya, pernah mengekspresikan kegembiraannya dengan melenggang-lenggok bagai seorang penari yang sedang pentas di gang dekat rumahnya setelah dia mengetahui bahwa suaminya itu tidak jadi ditahan oleh polisi yang memanggilnya untuk kepentingan pemeriksaan.  Tetapi apa arti suatu kegembiraan yang diekspresikan demi suatu kejahatan yang ingin ditutup-tutupi itu. Setelah ikut bergabung ke kubu para penjahat Eputobi, anaknya pun ikut berjuang untuk menutup-nutupi kejahatan yang ikut dilakoni oleh ayahnya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dia ikut berunjuk rasa ke Mapolres Flores Timur. Tapi di situ dia mendengar dengan kupingnya sendiri seperti apa penilaian polisi tentang perbuatan ayahnya.

Tapi bersama ayah dan ibunya, dia terus nekad melakoni sandiwara yang skenarionya digarap oleh Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dkk. Dengan demikian mereka semakin jauh terperosok ke dalam lubang kejahatan yang setiap saat siap menelan mereka lebih dalam. Padahal di hadapan mereka terbuka jalan yang dapat meringankan beban kejahatan yang harus dipikul oleh Petrus Naya Koten. Tetapi tampaknya tak ada lagi terang yang memungkinkan mereka dapat melihat jalan keluar dari lingkaran kejahatan yang membelenggu diri mereka selama ini.

Dengan terlibat dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, Petrus Naya Koten telah menyusahkan dirinya dan keluarganya. Kesusahan lebih besar bakal menimpa mereka, jika Petrus Naya Koten terus menempuh jalan yang gelap. Soalnya, kehadirannya di tempat kejadian perkara merupakan suatu fakta yang tak bisa diingkari oleh siapa pun. Proses waktu akan memperjelas fakta tersebut. ***

Minggu, 03 Oktober 2010

Dua perkara pembunuhan di NTT yang belum P21

 

Pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran terjadi ketika Abdul Syukur menjadi Kapolres Flores Timur, Lazarus menjadi Kapolsek Wulanggitang, dan Fransiskus Raga L. menjadi Kapospol Titehena. Di Polsek Boru pada bulan Oktober 2007, Lazarus menyatakan secara lisan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran mungkin karena kecelakaan lalu lintas. Kata-kata itu dia ucapkan sebagai tanggapan atas apa yang saya katakan, bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran karena pembunuhan. Pada bulan yang sama, Fransiskus Raga L. bergabung dalam tim yang menyebarluaskan informasi yang menyesatkan publik, yaitu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Lalu pada bulan November 2007, Abdul Syukur membuat surat yang menyatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Dengan suratnya itu Abdul Syukur pun menyesatkan dan membodohi publik.

Pada tanggal 1 April 2008 Abdul Syukur diganti oleh Syamsul Huda. Abdul Syukur lalu diangkat menjadi Kapolres Timor Tengah Utara yang bermarkas di Kefa. Ketika dia menjadi Kapolres di Kefa terjadi kasus pembunuhan terhadap Paulus Usnaat. Pembunuhan itu terjadi di sel Polsek Nunpene, pada tanggal 2 Juni 2008. Di hadapan penyidik, tiga orang, yaitu Emanuel Talan, Aloisius Talan, dan Baltasar Talan mengakui bahwa mereka yang membunuh Paulus Usnaat. Selain ketiga nama tersebut, ikut menjadi tersangka adalah Agus Talan yang ketika terjadi pembunuhan tersebut menjabat sebagai Ketua DPRD Timor Tengah Utara.

Meskipun alat-alat bukti yang ada sudah cukup, tetapi berkas perkara pembunuhan terhadap Paulus Usnaat belum juga memperoleh status P21. Entah apa kekurangan BAP untuk keempat tersangka yang bersangkutan, maka Jaksa Penuntut Umum pun memandang berkas tersebut belum layak P21.

Saya tidak memiliki informasi yang jelas tentang berapa kali berkas perkara pembunuhan terhadap Paulus Usnaat dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang jelas pengembalian berkas perkara tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan membuat proses hukumnya bergerak ke arah yang tidak jelas. Padahal para pelakunya sudah mengakui bahwa merekalah yang membunuh Paulus Usnaat.

Dari empat kasus pembunuhan yang sempat menghebohkan masyarakat NTT dalam tiga tahun terakhir, dua kasus, yaitu kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran dan kasus pembunuhan terhadap Paulus Usnaat belum memperoleh status P21. Sedangkan dua kasus pembunuhan lainnya, yaitu kasus pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr dan kasus pembunuhan terhadap Yohakim Langoday sudah disidang. Pelaku-pelaku pembunuhan terhadap Yohakim Langoday kini meringkuk di bui. Dua tersangka pelaku pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr, yaitu Theresia Tawa dan Rogasianus Waja dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Bajawa. Tetapi oleh Pengadilan Tinggi NTT kedua terdakwa itu diputuskan bebas. Kasus pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr kini naik banding ke tingkat MA. ***

Ada tangan yang melenyapkan berkas laporan dari keluarga korban

 

Bahwa ada kerja sama yang rapih antara para penjahat Eputobi yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dan oknum-oknum polisi tertentu, itu pun nampak dari lenyapnya berkas-berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut di Polres Flores Timur. Hal ini pertama diketahui ketika Polda NTT menurunkan dua penyidiknya untuk mengusut kasus pembunuhan tersebut. Ketika AKBP Syamsul Huda mulai bertugas sebagai Kapolres Flores Timur, dia pun tidak menemukan adanya berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut di Polres Flores Timur. Di kemudian hari copy CD yang berisikan rekaman pemeriksaan sanksi kunci pun lenyap dari Polres Flores Timur.

Tampak jelas bahwa ada tangan-tangan yang digunakan untuk melenyapkan barang-barang yang diperlukan untuk penanganan perkara pembunuhan tersebut. Maka, setiap terjadi pergantian Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur pasca tragedi Blou, pihak keluarga korban disibukkan dengan permintaan laporan tentang kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Setelah terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, sudah dua kali terjadi pergantian Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur. Pada tanggal 12 Juli 2010, di hadapan pihak keluarga korban, Kapolres Flores Timur, secara jelas menyatakan keseriusannya untuk menanganani perkara pembunuhan tersebut. Sebelumnya Kasat Reskrim pengganti Panti Daus pun menyatakan keseriusannya dalam menangani perkara pembunuhan tersebut.

Tetapi dapat atau tidaknya keseriusan verbal itu diterjemahkan ke dalam aksi nyata, itu tergantung dari model koordinasi internal di instansi penegak hukum tersebut. Di masa AKBP Abdul Syukur menjadi Kapolres Flores Timur terdapat keseriusan anggota-anggota polisi tertentu untuk mengusut hingga tuntas kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Namun Abdul Syukur sendiri berusaha merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Rekayasa tersebut dilakukan melalui suratnya kepada para kepala desa sekecamatan Titehena di Flores Timur.

Pengganti Abdul Syukur, yaitu AKBP Syamsul Huda berusaha secara serius membawa kasus pembunuhan tersebut ke pengadilan. Namun hingga kini, perkara pembunuhan tersebut belum juga memperoleh status P21. Selanjutnya kita akan menyaksikan apakah AKBP Eko Kristianto berhasil menerobos kebuntuan yang dialami oleh AKBP Syamsul Huda.

Hari-hari mendatang pun akan menjelaskan jadi apa nasib berkas-berkas laporan yang beberapa bulan lalu disampaikan kembali ke Polres Flores Timur. Semoga tak ada lagi tangan-tangan yang berusaha melenyapkan berkas-berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut? ***

Sabtu, 25 September 2010

Siapa Yang Sudah Keluarkan Banyak Uang?

 

Dengan apa pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha mengganjal proses hukum atas Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya? Jawabannya terserah anda. Tapi coba ikuti dulu apa yang ditulis dalam baris-baris berikut ini. Dalam baris-baris di bawah ini anda bisa mengikuti seperti apa upaya salah satu pentolan penjahat Eputobi itu untuk merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas, dan dengan sarana apa dia berusaha membebaskan Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng dari jerat hukum. Sebut saja pentolan yang dimaksud dengan Pak D.

Sebelum Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur, media cetak daerah mempublikasikan kasus pembunuhan tersebut dalam serangkaian tulisan. Publikasi kasus kejahatan tersebut membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, termasuk pentolan mereka yang bekerja di belakang layar, menjadi sangat gusar dan ketakutan. Sebelumnya, mereka mengira bahwa urusan kejahatan tersebut sudah dibereskan dengan pernyataan dari oknum polisi K. Melki Bagailan dan Abdul Syukur bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas.

Di tengah ramainya pemberitaan tentang kasus pembunuhan tersebut, terjadi obrolan tentang kasus pembunuhan tersebut di antara beberapa orang Eputobi yang sedang berada dalam perjalanan pulang dengan angkutan umum dari kota Larantuka ke kampung Eputobi. Terlibat aktif dalam obrolan tersebut adalah seorang pensiunan guru yang berkubu ke kepala komplotan penjahat Eputobi. Dia tidak setuju ketika mendengar pernyataan lawan bicaranya bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu akibat pembunuhan. Kata pensiunan guru itu kepada lawan bicaranya, “Tidak, bukan pembunuhan. Pak D sudah atur agar kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu dianggap sebagai kecelakaan lalu lintas.”

Pada suatu hari lain, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur, Pak D yang disebut dalam obrolan tersebut di atas melakukan pembicaraan melalui saluran telepon seluler dengan seseorang. Kepada lawan bicaranya dia mencek perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut. Setelah mendengar jawaban dari lawan bicaranya, Pak D sempat ngomel-ngomel begini,  “Bagaimana kerja begini? Kami sudah keluarkan banyak uang.” Sesudah mengatakan demikian, Pak D lalu meminta kepada lawan bicaranya agar Mikhael Torangama Kelen dan tiga rekannya yang sedang ditahan di Polres Flores Timur itu dibebaskan.

Anda sudah tahu jawaban atas pertanyaan di atas, bukan? Dan mungkin anda pun sudah tahu siapakah Pak D. Pak D adalah orang yang terbilang sangat sibuk dalam perencanaan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Dia juga sibuk mengikuti jalannya peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou itu. Dia juga sangat sibuk berjuang untuk merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Setelah rekayasa itu gagal, dia berjuang untuk mengganjal proses hukum atas keempat tersangka tersebut. Dengan apa? Ya, dengan uang. Dia berpikir, lebih baik keluarkan uang daripada terkena proses hukum. Soalnya, kalau proses hukum berhasil dilanjutkan, dirinya akan terkena juga.

Karena telah mengeluarkan banyak uang, Pak D pun berani mendesakkan permintaannya kepada lawan bicaranya untuk membebaskan keempat tersangka dari tahanan. Tetapi hanya untuk sementara saja Pak D tampak berhasil. Setelah mengeluarkan banyak uang untuk urusan jahat tersebut, Pak D justru semakin dilanda ketidaktenangan dan ketakutan. Dia yang sebelumnya lincah ke mana-mana, belakangan ini lebih sering mengisolasi diri dan lebih banyak mengurung diri di rumahnya. Dalam kesendiriannya, dia barangkali masih menghitung-hitung berapa banyak lagi uang yang perlu dikeluarkan untuk urusan jahat tersebut. ***

Seandainya Tersangka-tersangka Itu Kooperatif

 

Dengan penuh semangat, seorang oknum polisi pernah menilai bahwa pihak tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran lebih kooperatif dengannya ketimbang pihak keluarga korban. Lalu dia juga berceritera bahwa dia pun sudah menemui “orang pintar” untuk mencari tahu siapa pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, tetapi hasilnya tidak ada. Dia menyebut dari mana asal “orang pintar itu.” Dan, katanya, dia pun mengeluarkan banyak biaya untuk urusan tersebut.

Penilaian oknum polisi tertera di atas benar dalam arti bahwa terjalin kerja sama yang yang rapih di antara pihak-pihak yang bersangkutan untuk meloloskan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dari sangkaan sebagai pelaku kejahatan di Blou. Tetapi penggunaan kata kooperatif dalam arti tersebut jelas bertentangan dengan upaya penegakan kebenaran dan keadilan hukum yang dilakukan oleh Polri. Dalam upaya penegakan kebenaran dan keadilan hukum, seorang tersangka dikatakan kooperatif dengan polisi, jika dia mau mengakui secara terus terang, di hadapan polisi penyidik, perbuatan kriminal yang dilakukannya. Jika perbuatan kriminal termaksud dilakukan bersama orang lain, maka dia pun harus mengatakan secara terus terang siapa saja orang lain yang ikut melakukannya. Dia juga perlu menuturkan secara jelas, kapan, di mana, dan bagaimana kejahatan termaksud mereka lakukan. Dalam arti itu dia bekerjasama dengan Polri demi kelancaran proses hukum agar dapat ditegakan kebenaran dan keadilan.

Seandainya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya kooperatif dengan polisi, proses hukum atas mereka tidak perlu berlarut-larut, tidak perlu bertele-tele seperti yang terjadi selama ini. Meskipun terdapat bukti-bukti yang memadai tentang perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou, mereka tidak mau berterus terang mengakuinya. Dengan segala cara mereka memaksa Petrus Naya Koten untuk menarik kembali keterangannya. Mereka lupa bahwa ada mata yang melihat keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara.

Selama empat bulan Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng menjalani masa tahanan. Tetapi mereka tidak mau kooperatif dengan Polri yang berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan sehubungan dengan terjadinya kasus pembunuhan tersebut. Mereka memilih kooperatif dengan oknum-oknum polisi yang bersedia membantu mereka untuk dapat lolos dari jerat hukum.

Mereka bekerja sama untuk melawan keluarga korban, untuk mengkambinghitamkan beberapa orang lain dari kelompok “jabar” di Eputobi sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Padahal orang-orang yang mereka kambinghitamkan adalah orang-orang yang pada malam kejadian perkara menonton televisi di rumah Yosef Kehuler di Eputobi-Lewoingu. Eratnya kerja sama di antara mereka tampak pula dari penggunaan kata-kata yang sama.

Oknum-oknum polisi yang bersangkutan dengan mudah menindaklanjuti masukan-masukan dari pihak penjahat tersebut. Maka tak mengherankan pula bila dua orang dari pihak keluarga korban pun pernah menjalani pemeriksaan di luar prosedur di Polres Flores Timur. Kiranya jelas bahwa pemeriksaan yang dilakukan secara “keroyokan” itu merupakan bagian dari intimidasi yang dialamatkan kepada keluarga korban.

Demi kelancaran proses hukum atas mereka yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut, demi pemulihan citra Polri, dan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, Kapolres Flores Timur perlu melakukan penertiban terhadap oknum-oknum polisi yang bersangkutan. Upaya penertiban tersebut merupakan bagian dari reformasi kultural yang selama ini dicanangkan dan ditekadkan oleh Kapolri. ***

Senin, 20 September 2010

Email Terakhir dari Kediri

 

Terhitung dari bulan April 2009 hingga Agustus 2010, saya menerima 38 email (surat elektronik) dari kota Kediri, Jawa Timur, dari Mamung saya yang sudah menjadi almarhum. Setelah saya menerima 18 emailnya, saya lalu membuka satu alamat khusus untuk menampung surat-surat elektronik dari Kediri.

Dari emailnya saya mengetahui bahwa Mamung saya itu pengunjung setia eputobi.net dan weblog atamaran. Dengan tekun dia mengikuti polemik sejarah Lewoingu yang berkembang di dunia maya. Dan dia pun mempunyai tanggapan berdasarkan pengetahuannya tentang sejarah Lewoingu.

Karena tertarik akan khasanah sejarah Lewoingu yang dimilikinya, saya lalu berusaha mencari tahu dari mana dia memperoleh pengetahuan itu. Hal ini saya lakukan di luar pengetahuan Mamung saya itu. Dari berbagai sumber yang berhasil saya hubungi, saya memperoleh informasi bahwa sejak masih muda, Mamung saya itu sudah berusaha belajar sejarah Lewoingu dari sumber-sumber yang dianggapnya memiliki kompetensi real dalam menguasai sejarah lisan Lewoingu.

Dengan teliti dia membaca kata demi kata yang muncul dalam polemik sejarah Lewoingu. Lalu dia pun berusaha menilainya secara objektif, dalam artian sesuai dengan apa yang ditulis dalam polemik tersebut dan sesuai dengan informasi yang dia peroleh dari sumber-sumbernya. Dengan mudah dia dapat menilai tentang masuk akal atau tidaknya narasi historis yang dipaparkan oleh orang-orang yang terlibat dalam polemik. Hal ini dia lakukan tanpa ada pretensi untuk menunjukkan kelebihan pengetahuannya tentang sejarah Lewoingu. Dia menampilkan diri sebagai orang yang ingin terus belajar dan belajar.

Dalam menyikapi tragedi Blou, dia secara tegas melawan kejahatan. Secara tegas dia membela kebenaran. Baginya, seluruh dimensi kebenaran dalam tragedi Blou perlu diungkapkan. Dan siapa pun pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran harus diproses secara hukum. Dalam upayanya membela kebenaran dan keadilan, dia merasa prihatin dengan suara-suara dari orang-orang yang tidak mengetahui seluk-beluk tentang tragedi Blou tetapi nyaring bunyinya.

Setelah cukup lama tidak ada kabar berita, pada tanggal 6 Agustus 2010 yang lalu, saya menerima lagi email dari Kediri. Tetapi email itu baru saya baca pada hari Rabu 25 Agustus 2010. Ya, saya termasuk orang yang memiliki beberapa alamat email, tetapi tidak setiap hari membukanya. Ada alamat email saya yang jarang saya buka dan cek isinya.

Email dari Kediri tanggal 6 Agustus 2010 itu membuat saya mampir ke eputobi.net, setelah sekitar enam bulan lamanya saya tak berkunjung ke sana. Di buku tamu eputobi.net, saya antara lain menemukan oceh-ocehan anak dari Laurensius Lawe Kelen, ocehan-ocehan yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar tentang apa yang terjadi di Blou dan di kampung Eputobi dalam beberapa tahun terakhir. Di situ saya juga menemukan tanggapan-tanggapan dari Kediri dan Madiun terhadap ocehan-ocehan tersebut. Bagi saya, ocehan-ocehan tersebut adalah ekspresi dari rasa takut yang sedang menjalar ke setiap sanubari dari anggota-anggota keluarga yang bersangkutan. Bukankah kejahatan itu mengundang kekejaman dan kebinasaan bagi pelakunya? 

Email dari Kediri tanggal 6 Agustus 2010 itu sudah saya balas. Tetapi saya tidak tahu, apakah Mamung saya itu sempat membacanya atau tidak. Setelah menerima kabar duka tentang kepergiannya, saya pun menyadari bahwa yang datang pada tanggal 6 Agustus 2010 itu adalah email terakhir dari Kediri. ***

Kebenaran Tak Bisa Digadaikan

 

Seandainya polisi setempat memiliki tekad yang jelas dan tegas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, siapa pun yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran sudah ditindak secara hukum. Selain empat orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan beberapa orang lain pun semestinya dapat diciduk dan diproses secara hukum. Seandainya polisi setempat mau serius mengungkap kasus pembunuhan tersebut, Donatus Doni Kumanireng dan Andreas Boli Kelen pun perlu menjalani pemeriksaan secara intensif.  Tetapi hingga kini anggota-anggota polisi yang ditugaskan untuk menyelidiki dan menyidik perkara pembunuhan tersebut hanya berfokus pada empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yoakim T. Kumanireng, Yohanes K. Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens D. Kumanireng. Akibatnya, berkas acara pemeriksaan atas empat tersangka hanya dipimpong dari Polres ke Kejaksaan Negeri Flores Timur dan sebaliknya. 

Paling kurang terdapat satu kesaksian, di luar kesaksian Petrus Naya Koten alias Pite Koten alias Pendek Pite, yang jika diperdalam dan dikembangkan, dapat menjadi jalan untuk mengungkap lebih jauh fakta-fakta lain yang selama ini coba ditutup-tutupi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Dengan memperdalam dan mengembangkan arah penyelidikan dan penyidikan, segala macam jurus dusta yang selama ini diandalkan oleh keempat tersangka menjadi tidak berarti. Tetapi upaya untuk memperdalam dan mengembangkan penyelidikan dan penyidikan belum juga nampak.

Dalam proses penyidikan sejauh yang sudah berlangsung, seorang oknum penyidik malah berusaha mengalihkan latar terjadinya pembunuhan tersebut ke latar selingkuh. Istilah selingkuh yang muncul di salah satu ruang pemeriksaan di Polres Flores Timur pada tahun 2009 itu tentu berasal dari pihak pelaku pembunuhan tersebut. Tuduhan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu sengaja dikembangkan kemudian dilaporkan oleh mereka yang menjadi pelaku ke oknum-oknum polisi tertentu sebagai upaya untuk menjerat orang-orang yang mereka kambinghitamkan. Dengan cara itu, mereka berharap dapat lolos dari jerat hukum.

Terdapat indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa sejak awal muncul oknum-oknum polisi yang berusaha merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Pada waktu itu, oknum-oknum polisi yang berteman dekat dengan Mikhael Torangama Kelen itu menempuh cara-cara yang halus, sehingga tidak kentara bahwa mereka merekayasa sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi jelas, bahwa hasil kerja mereka cocok betul dengan keinginan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Mikhael Torangama Kelen dkk kemudian secara terang-terangan berinisiatif melobi K. Melki Bagailan selaku Kasat Lantas dan Abdul Syukur sebagai Kapolres Flores Timur. Di tangan oknum polisi semacam Abdul Syukur dan K. Melki Bagailan dan timnya, upaya rekayasa tersebut coba disempurnakan. Untung bahwa upaya oknum-oknum polisi itu tidak sepenuhnya berhasil. Tetapi upaya kotor mereka berhasil memperlambat proses hukum atas pelaku-pelaku pembunuhan tersebut.

Dengan segala macam cara kebenaran dalam seluruh rangkaian peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran coba digadaikan ke sana ke mari. Upaya semacam itu berhasil mendatangkan keuntungan sesaat bagi mereka yang terlibat dalam urusan kotor semacam itu.

Ada yang tangannya sangat kotor berlumuran darah, maka takut menjalani proses hukum. Untuk dapat lolos dari jerat hukum mereka pun gencar menggalang dana. Ketika pecah konflik yang melibatkan suatu keluarga yang beberapa anaknya telah ditetapkan sebagai tersangka, muncul kata-kata dari salah satu pihak terkait bahwa kami ini yang ikut kumpulkan uang, sehingga anak-anak kamu keluar dari bui. Ada yang karena ingin menikmati keuntungan sesaat, maka rela membiarkan kebenaran dan keadilan digadaikan. 

Bagi kami, kebenaran dalam seluruh rangkaian tragedi Blou tak bisa digadaikan untuk kepentingan apa pun. Berjuang untuk menegakkan kebenaran merupakan suatu tugas mulia, yang mustahil dapat kami korbankan demi kepentingan lain mana pun. Tanpa kebenaran, keadilan tak dapat diwujudkan.

Dalam kehidupan di dunia ini, kebenaran itu harus terus-menerus diupayakan untuk terwujud. Tak ada kebenaran yang jatuh begitu saja dari langit. Dalam kehidupan bernegara, polisi dan jaksa menjadi bagian dari aparatur yang berada di garis depan untuk menegakkan kebenaran legal formal. Untuk itu mereka diberi otoritas dan wewenang hukum tertentu. Tetapi ketika seorang aparatur penegak hukum merosot statusnya menjadi seorang oknum aparatur penegak hukum, maka kebenaran dapat digadaikan.

Bagi kami, kebenaran tak dapat digadaikan untuk kepentingan apa pun. ***

Jumat, 17 September 2010

Tangan Keras Seorang Guru Wanita

 

Tangan seorang guru, apalagi seorang guru wanita, mestinya dipakai untuk merawat, memelihara, mendidik, dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, tidak hanya bagi anak-anak didiknya, tetapi juga demi kebaikan sesamanya. Namun tangan ibu guru yang satu itu rupanya dipakai untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya seorang wanita di kampung halamannya – Eputobi-Lewoingu, Flores Timur. Itulah tangan Tide Kumanireng yang beberapa hari lalu berhasil memukul Nela Kumanireng.

Aksi pemukulan yang dilakukan oleh Tide Kumanireng itu mengingatkan saya akan kekerasan yang pernah dilakukannya terhadap seorang murid SDK St. Pius X Eputobi. Karena diperlakukan dengan sangat keras murid yang bersangkutan mengalami trauma, lalu terpaksa pindah sekolah. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh guru SDK Eputobi itu pun mengingatkan saya akan aksi kekerasan yang pernah dilakukan oleh Yanto Lubur terhadap Ece Koten. Pernah, Ece Koten pun nyaris diperlakukan secara keras oleh Heri Kelen, anak dari Anis Kelen, rekan sekerja ibu guru Tide Kumanireng di SDK Eputobi. Belum terhitung kekerasan verbal yang dilakukan oleh Evi Kumanireng, guru TK Demon Tawa Eputobi-Lewoingu, dan oleh Marta Angin, isteri Anis Kelen terhadap Yos Kehuler dan Sis Tukan. Rensu Kweng, suami Tide Kumanireng pun pernah mengatakan kepada Aci Koten, “Seandainya engkau itu laki-laki, saya angkat banting engkau hingga jatuh ke tanah.”

Kekerasan terhadap Ece Koten sempat dilaporkan ke Polsek Wulanggitang yang bermarkas di Boru. Ketika diancam disel, si pelaku menangis ketakutan. Guna mencegah proses hukum lebih lanjut, Mikhael Torangama Kelen mendatangi Polsek Wulanggitang. Maklum Yanto Lubur adalah salah satu anak buahnya. Urusannya akhirnya berhenti di Polsek tersebut.

Seperti apa sikap Mikhael Torangama Kelen terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Tide Kumanireng? Perlu dicatat bahwa Tide Kumanireng adalah seorang pendukung setia Mikhael Torangama Kelen. Bersama suaminya, ibu guru itu pun ikut berjuang agar kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu dapat ditutup rapat. Ayah Tide Kumanireng, Yohanes Ola Kumanireng adalah orang yang pada Selasa pagi 31 Juli 2007 merayakan keberhasilan aksi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Sebelum terjadi tragedi Blou, orang ini pernah mengancam membuat Pius Koten dan Akim Maran jatuh terkapar hingga menggigit tanah. Setelah terjadi tragedi Blou, dia mengeluarkan kata-kata, Gresituli sudah mati, tinggal Raga dan Nuba. Dan secara tidak langsung, dia pun pernah mengancam anak-anak almarhum Gresituli Ata Maran. Apakah dia mengira bahwa dia akan berganti kulit untuk hidup selamanya di dunia ini?

Karena takut kasus tersebut dilaporkan ke polisi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng tampak repot berkoordinasi. 

Ma Kumanireng dan Yuven Koten sudah merasakan suasana hidup di balik jeruji penjara Larantuka. Tide Kumanireng akan menyahut panggilan Ma Kumanireng dan Yuven Koten, jika pihak korban kekerasannya mau melaporkannya ke Polres Flores Timur.  Ganjaran hukum atas kasus pemukulan seperti yang dilakukan oleh Tide Kumanireng adalah empat bulan penjara. ***

Minggu, 12 September 2010

Kejahatan dan Proses Pembusukan Hati Nurani

 

Setelah terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 dan setelah terungkap siapa saja pelakunya, orang-orang Eputobi menentukan sikap. Muncul dua konfigurasi sosial. Mereka yang merasa berutang budi terhadap Mikhael Torangama Kelen (melalui raskin, blt, dll) memilih berkubu ke kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu. Bersama mereka bersatu padu membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Bersama mereka berjuang untuk melanjutkan masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen yang berciri dasar korup dan despotis. Dengan gairah yang meluap-luap, mereka memeriahkan pesta yang diselenggarakan untuk merayakan dan memuliakan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Dengan bermodalkan sedikit uang dari penyelenggara aksi, mereka pun dengan penuh gairah mengikuti beberapa aksi unjuk rasa yang dirancang untuk menuntut penghentian proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut.

(And The Prince of Darkness has played his role in those activities. He is now sitting there on his brittle throne. Yes, his throne is likely to snap. And  it is likely to fall down any minute. He now becomes a very lonely old man who has no power anymore to defend his position. And no one can help him from his falling down. In his loneliness he sometimes looks himself in the mirror, but he does not recognize himself anymore. There also no voice from his heart to tell who he is. The Prince of Darkness is really now in the dark space. In the darkness he struggles with himself). 

Mereka yang membela kebenaran memilih berkubu ke keluarga korban. Bersama keluarga korban mereka bukan saja pernah merasakan dukacita, tetapi juga berjuang tak kenal lelah agar kebenaran dapat ditegakkan di tengah kehidupan masyarakat Eputobi-Lewoingu. Pilihan sikap semacam ini sering dicemooh oleh orang-orang jahat itu. Tetapi bagi kami kebenaran lebih penting untuk ditegakkan, ketimbang membiarkan diri dibodohi oleh orang-orang jahat itu. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran, kelompok ini mendapat tekanan bertubi dari mereka yang membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di antara anggota kelompok pembela kebenaran ini, ada yang mengalami kekerasan fisik berupa pemukulan dan pencekekan, ada pula yang dihina dengan kata-kata kotor dan kasar di muka umum, dan ada pula yang wajahnya diludahi di muka umum. Tak terhitung ancaman dan intimidasi yang pernah mereka peroleh dari orang-orang jahat itu. Tetapi berkat kendali moral yang kuat, maka pancingan-pancingan dari orang-orang jahat itu tidak ditanggapi secara kasar, padahal dalam kasus-kasus semacam itu harga diri mereka direndahkan. Bersama kami menyadari bahwa itu semua adalah risiko dari suatu perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Toh waktu akan mempermalukan setiap mereka yang selama ini menggairahkan diri mereka masing-masing untuk membela kejahatan tersebut.

Meluap-luapnya gairah mereka untuk membela kejahatan tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu berhasil pula membusukkan kepribadian dan hati nurani sejumlah orang Eputobi. Proses pembusukan itu terjadi secara sistematis dan teratur melalui serangkaian pertemuan yang digelar dari rumah ke rumah, dari desa hingga ke kota, dan sebaliknya, juga melalui mekanisme politisasi raskin dan blt, serta melalui politik pencitraan semu ketokohan si kepala komplotan penjahat Eputobi itu yang dianggap berhasil memajukan Eputobi. Bagi orang-orang jahat itu, kemajuan semu seperti yang mereka gembar-gemborkan selama ini dianggap lebih berharga ketimbang upaya-upaya nyata untuk mengungkapkan kebenaran bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannyalah yang membunuh orang yang tidak bersalah itu.

Menarik bahwa proses pembusukan tersebut pun mengenai pula orang-orang yang konon terpelajar dari kubu penjahat itu. Tidak hanya itu. Beberapa orang dari kalangan kerjubah yang berasal dari kubu tersebut pun terkena proses pembusukan yang sama. Di antara mereka ada yang cukup bergairah untuk mempromosikan kesalehan-kesalehan palsu atas nama perdamaian. Bagaimana mungkin damai bisa terwujud di tengah kehidupan masyarakat Eputobi-Lewoingu, jika hak hidup warganya tidak mendapat perlindungan yang memadai, jika perbedaan pandangan politik diselesaikan dengan jalan kekerasan fisik berupa pembunuhan? Bagaimana mungkin damai bisa terwujud di Eputobi, jika kebenaran tentang tragedi Blou terus diupayakan untuk disembunyikan, baik oleh para pelaku tragedi itu sendiri maupun oleh orang-orang yang mendukung mereka?

Apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir merupakan pentas paling vulgar tentang penjungkirbalikan tatanan nilai hasil kesepakatan leluhur-leluhur Lewoingu. Untung bahwa penjungkirbalikan tatanan nilai itu hanya terjadi di kubu penjahat Eputobi. Dalam hal itu perjuangan orang-orang seperti DDK, MTK, LLK, dan reka-rekan mereka berhasil. ***

Sabtu, 11 September 2010

Ketidakjujuran dan Kebinasaan

 

Setelah mengetahui apa yang terjadi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir, seorang rekan dari luar Lewoingu menyarankan perlunya doa bagi para pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Soalnya, mereka itu berada dalam jalan yang gelap. Sehingga mereka pun tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang jahat. Mereka mengira bahwa pembunuhan yang mereka lakukan itu merupakan suatu perbuatan yang baik. Mereka juga mengira bahwa tidak mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan itu juga perbuatan yang baik.

Di kampung Eputobi, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut sering menghadiri ibadat sabda atau perayaan misa. Pada waktu komuni, mereka pun maju untuk menerima komuni. Dalam momen semacam itu mereka menunjukkan perilaku yang sangat alim. Perilaku semacam itu sering mengundang tanda tanya, “Apakah mereka itu sudah bertobat?” “Apakah mereka itu sudah menerima sakramen tobat?”

Secara bercanda, ada saja warga “jabar” di kampung Eputobi berkomentar, “Kalian mau mengaku dosa atau tidak mengaku dosa, bagi kami, dosa kalian sudah jelas.” Dosa mereka ialah melakukan pembunuhan, lalu tidak mau mengakui di hadapan publik perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou itu. Bahkan secara mati-matian mereka berusaha bertahan dalam ketidakjujuran. Selama beberapa tahun terakhir, mereka berhasil membangun suatu lingkaran keluarga besar yang layak disebut sebagai keluarga kriminal. Tugas utama dari masing-masing anggota keluarga tersebut adalah menjaga agar kasus kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu tidak terungkap. Untuk itu mereka berusaha memutarbalikkan fakta-fakta yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Padahal fakta-fakta tentang perbuatan jahat mereka itu sudah lama terungkap. (Apa yang disuarakan oleh salah seorang keponakan dari Mikhael Torangama Kelen di buku tamu www.eputobi.net merupakan bagian dari upaya tersebut. Tampak jelas bahwa anak muda itu sudah berhasil disesatkan oleh senior-seniornya. Maka dia pun berusaha menyesatkan pengunjung situs tersebut). 

Persoalan yang menyebabkan belum diajukannya para pelaku pembunuhan tersebut ke pengadilan adalah ketidakseriusan oknum-oknum aparat penegak hukum setempat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana selama ini terjadi di negeri ini, di situ pun kebenaran dan keadilan dapat dipermainkan sesuka hati mereka. Aktor utama di balik upaya penyuapan terhadap penyidik masih berada di sana. Di kalangan penjahat Eputobi, dia menjadi salah satu tokoh idola. Tokoh utama dari kubu penjahat, yang berusaha bekerja sama dengan oknum-oknum polisi nakal untuk merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas pun masih berada di sana. Di antara oknum-oknum polisi nakal yang kooperatif dengan para penjahat yang bersangkutan untuk mengkriminalisasi keluarga korban pun ada yang masih bercokol di sana. Pernah mereka memberikan alasan untuk membenarkan diri. Selama ini mereka berperan sebagai bemper ketidakjujuran para penjahat Eputobi itu.

Apa dampak dari ketidakjujuran yang terus mereka pertahankan itu? Apakah ketidakjujuran mereka itu akan berdampak pada kebinasaan yang akan menimpa mereka? Pertanyaan  semacam ini tidak mudah dijawab. Di dalam kenyataan, tidak ada hukum yang menjelaskan kepada kita tentang kaitan tak terelakkan antara ketidakjujuran dan kebinasaan. Ada saja orang yang tidak jujur, tetapi tidak mengalami kebinasaan. Ada pula orang jujur yang ditimpa musibah yang mengerikan. Tetapi ada pula orang yang tidak jujur yang ditimpa malapetaka yang membinasakan hidupnya secara mengerikan.

Menyaksikan kebiadaban besar yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, ada saja orang yang tergoda untuk berharap agar orang-orang jahat itu ditimpa kebinasaan besar agar yang lain-lain pada kapok lalu mau berterus terang. Melalui ritus adat tertentu, kebinasaan dimaksud dapat diprogramkan bagi mereka yang berbuat jahat tetapi tidak mau mengakui perbuatan jahat mereka. Dasar dari penyelenggaraan ritus adat tersebut adalah kebenaran. Ritus adat yang diselenggarakan untuk menentang kebenaran menjadi bumerang yang memangsa orang-orang dari pihak penyelenggara. Dan kiranya itu yang selama ini terjadi dengan kubu para penjahat Eputobi itu. Gara-gara menyumpahi orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang mereka sendiri jatuh bertumbangan. Itulah formula yang berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat.

Bagi kami, ritus adat yang diprogramkan untuk membinasakan para penjahat yang tidak jujur itu tak perlu diselenggarakan, karena telah muncul tanda-tanda alam bahwa akan terjadi kebinasaan bagi orang-orang yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah itu. Tanpa ritus adat termaksud pun, para penjahat yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran itu dapat mengalami kebinasaan yang mengerikan. Sejarah pun sudah berulang kali menyuguhkan ceritera-ceritera tentang nasib tragis yang dialami oleh penjahat-penjahat tertentu yang tidak mau mengakui secara terus terang perbuatan jahat yang mereka lakukan. Sekian tahun lalu, Us Mukin yang pada waktu itu menjadi kepala desa Wolo dibunuh ketika dia dan seorang rekannya sedang mengendarai sepeda motor. Rekan seperjalanan Us Mukin menderita luka parah. Pelaku pembunuhan tersebut tidak pernah mengakui perbuatan jahatnya. Polisi setempat pun tidak mengusut kasus pembunuhan tersebut, sehingga tidak terungkap ke publik siapa pembunuh Us Mukin. Tetapi arwah Us Mukin sendiri menuturkan siapa orang yang membunuhnya dan siapa pula orang yang berada di balik peristiwa pembunuhan tersebut. Di kemudian hari, orang-orang yang membunuhnya mengalami kematian secara mengerikan. Akhir hidup dalam keadaan mengenaskan pun dialami oleh Bei Kelen dan Keba Kelen (bapak-bapak kecil dari Mikhael Torangama Kelen) yang membunuh dua anggota suku Lewolein di Riang Duli empat puluh tahun lalu. Pernah darah mereka nyaris ditumpah-ruahkan secara sadis. Tetapi karena berlindung di rumah Ata Maran, maka nyawa mereka dapat diselamatkan.

Kebiadaban yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 sungguh besar. Dan sungguh besar pula kebiadaban yang diperlihatkan oleh mereka yang membela kejahatan tersebut. Karena merasa muak dengan segala macam kebiadaban tersebut, ada saja orang yang berharap agar di antara pelaku kejahatan tersebut ada yang ditimpa kebinasaan mengerikan, biar yang lain-lain mau berterus terang. Tetapi adalah lebih baik kalau kita berharap agar jangan satu pun dari mereka yang melakukan kejahatan itu diambil dari kehidupan ini sebelum mereka mempertanggung jawabkan perbuatan jahat mereka di hadapan hukum. Lain ceritera, jika hukum di negara ini diperlemah sedemikian rupa oleh oknum-oknum nakal, sehingga pada akhirnya gagal menjadi sarana yang efektif untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berkenaan dengan terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut. ***

Minggu, 05 September 2010

Siapa Lagi yang Akan Kalian Bunuh?

 

Pertanyaan tersebut diberondongkan langsung oleh seorang tokoh terkemuka kepada Mikhael Torangama Kelen dan beberapa pendukungnya sembilan hari lalu di kampung Eputobi. Pada malam itu, nama si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu disebut dengan sangat jelas di muka yang bersangkutan sendiri. Itu merupakan suatu tantangan real bagi dia yang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Meskipun diberondong dengan pertanyaan semacam itu, Mikhael Torangama Kelen dan orang-orang lain di sekitarnya hanya duduk merunduk tanpa suara. Sikap diam semacam itu bukan menunjukkan kelebihan, melainkan ketakberdayaan dalam menghadapi fakta yang belakangan ini berani disuarakan secara lebih terbuka. Stamina mental para pelaku pembunuhan tersebut tampak merosot tajam setelah berbagai upaya mereka untuk menutup perbuatan jahat mereka mengalami kegagalan. Upaya mereka menggunakan ilmu setan untuk menggoalkan maksud mereka untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum pun mengalami kegagalan. Mungkin uang yang masih dapat mereka andalkan. Tetapi cara itu pun hanya berhasil menunda proses hukum saja. Metode semacam itu tidak akan berhasil menggagalkan penindakan hukum terhadap para pelaku pembunuhan tersebut.

Penundaan proses hukum seperti terjadi selama ini tidak menguntungkan para tersangka dan rekan-rekan mereka yang juga terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Dengan terus mempertahankan ketidakjujuran mereka akan menuai dampak buruk yang lebih mengerikan ketimbang yang dapat mereka bayangkan selama ini. Karena, seperti apa pun perkembangan penanganan perkara kejahatan itu ke depan, kejahatan yang mereka lakukan secara berjamaah itu tidak akan dibiarkan untuk tidak diberantas. 

Bahwa hingga kini mereka masih bebas berkeliaran di masyarakat, itu karena proses hukum memang dapat dibengkak-bengkokkan sesuka hati oknum-oknum penegak hukum tertentu. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini macam udang di balik upaya-upaya yang ditempuh oleh oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menutupi atau paling kurang untuk menghambat kelancaran proses hukum atas suatu perkara kejahatan. Macam udang di balik terkatung-katungnya proses hukum atas kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pun jelas. Udang yang satu itulah yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya merasa “nyaman” dengan kebohongan-kebohongan mereka. Mereka mengira dengan udang yang satu itu mereka berhasil menggagalkan seluruh proses hukum atas kejahatan yang mereka perbuat.

Tidak. Meskipun sejumlah oknum aparatur penegak hukum, yang nakal, berusaha mengganjal proses hukum atas perkara kejahatan tersebut, masih terbuka ruang yang luas bagi penegakan hukum. Apalagi musim kini mulai berganti, terutama ketika di sana sini muncul keberanian yang lebih signifikan di kalangan tertentu untuk ikut menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah kehidupan masyarakat Lewoingu. Tekad untuk membela dan menutup kejahatan tersebut hanya terdapat dalam diri para pelaku dan antek-antek mereka, juga dalam diri oknum-oknum penegak hukum yang nakal. Di luar kelompok tersebut terdapat orang-orang yang takut menegakkan kebenaran dan keadilan karena alasan-alasan tertentu.

Tetapi selama penanganan kasus pembunuhan tersebut terkatung-katung, perilaku dan gerak gerik para penjahat Eputobi itu perlu terus diwaspadai. Mengapa? Sebelum pertanyaan tersebut diberondongkan secara jelas dan tegas ke muka Mikhael Torangama Kelen beberapa waktu lalu, tiga orang dari kalangan penjahat itu sendiri mengatakan secara terang dalam kesempatan yang berbeda bahwa “Satu sudah meninggal, empat orang lagi akan menyusul.” Nama keempat orang yang dikatakan akan menyusul itu pun disebut dengan jelas, yaitu Yos Kehuler, Sis Tukan, Dere Hayon, dan Pius Koten. Belum terhitung ancaman-ancaman yang pernah ditujukan terhadap keluarga korban.

Fakta-fakta di lapangan membenarkan adanya rencana jahat tersebut. Maka pertanyaan tertera di atas menjadi penting untuk diperhatikan, termasuk oleh para pegiat yang berusaha mempromosikan kesalehan-kesalehan palsu bagi masyarakat Eputobi. ***