Sabtu, 30 Januari 2010

Siapakah yang berupaya menyuap polisi?

 

Suap menyuap itu sudah lazim terjadi di republik ini. Tidak hanya di pusat kasus semacam itu terjadi. Di daerah terjadi pula praktek yang sama. Maka sejak dulu kepanjangan dari KUHP dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara. Kalau sudah begitu, pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tak berlaku lagi sesuai dengan tujuan penegakan hukum. Yang berlaku adalah hukum permintaan dan penawaran, hukum bisnis kapitalistik primitif.

Seorang pemuda di suatu daerah pernah berceritera tentang cara dia meloloskan diri dari jerat hukum setelah dia melakukan suatu pelanggaran hukum. Caranya gampang. Kasih saja sejumlah uang kepada oknum penegak hukum yang bersangkutan. Urusan jadi beres. Dengan sejumlah uang sesuai permintaan, seorang pelaku kejahatan yang sedang diproses dapat dibebaskan. Dalam kasus-kasus tertentu oknum-oknum penegak hukum yang bersangkutan mengharapkan upeti dari kedua belah pihak, ya dari pihak tersangka, ya dari pihak keluarga korban juga. Oknum-oknum penegak hukum tertentu secara terang-terangan meminta dukungan dana dari pihak keluarga korban kejahatan.

Jika ternyata hanya pihak tersangka yang memberikan setoran, apalagi dalam jumlah yang sangat memuaskan, sedangkan pihak keluarga korban tidak mau memberikan setoran, maka proses perkara kriminal yang bersangkutan dibuat bertele-tele, kalau perlu dibuat macet total. Dengan demikian habislah perkaranya. Untuk itu oknum-oknum aparat penegak hukum yang bersangkutan dapat menempuh segala cara. Kepada pihak keluarga korban, mereka akan mengatakan bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk memperoses secara hukum kasus kriminal yang bersangkutan. Berbarengan dengan itu, mereka pun dengan setia menuruti apa-apa yang dikatakan dan menjadi keinginan pihak tersangka.  Pokoknya, apa kata pihak penyuap, itu yang dituruti. Sebaliknya, masukan-masukan dari pihak keluarga korban diabaikan.

Kerjasama rapih di antara pihak tersangka pelaku suatu kejahatan dengan oknum-oknum pengegak hukum yang nakal sudah lazim terjadi di republik ini. Kerjasama itu bisa terjadi secara langsung bisa juga melalui mediator alias makelar kasus. Bersama-sama mereka membangun suatu jaringan mafia hukum yang saling menguntungkan. Yang satu memperoleh keuntungan berupa pembebasan dari proses hukum, yang lain memperoleh keuntungan berupa perolehan uang dalam jumlah yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.

Para praktisi hukum seperti advokat atau pengacara tahu soal mafia hukum itu. Sejak lama seorang rekan yang berprofesi sebagai pengacara berceritera tentang praktek suap menyuap itu. Dari para praktisi hukum itulah kita mengetahui adanya istilah “markus” (makelar kasus), suatu istilah yang ramai diperbincangkan setelah meletusnya kasus cicak versus buaya. Karena prihatin akan maraknya mafia hukum di negara ini, Presiden SBY menempatkan Ganyang Mafia Hukum pada urutan pertama dari program-program unggulannya dalam periode kedua masa kepresidenannya. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut Presiden SBY membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Apakah program Ganyang Mafia Hukum yang dicanangkan oleh SBY ini pun berlaku secara efektif di setiap daerah di Indonesia, itu nanti kita lihat.  

Dalam proses hukum atas perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran ditemukan adanya orang dari kubu tersangka yang berusaha menyuap anggota-anggota polisi yang ditugaskan untuk mengusut kasus pembunuhan tersebut. Upaya penyuapan oleh orang yang bersangkutan dilakukan melalui seorang oknum polisi. Tetapi karena ditolak dengan tegas oleh anggota-anggota polisi yang diincer, maka upaya tersebut pun gagal terlaksana. Kenyataan itu mengundang pertanyaan, “Apakah setiap anggota polisi yang bersangkutan mampu melawan godaan semacam itu?”

Nah siapakah orang yang berupaya melakukan penyuapan tersebut? Kapolres Flores Timur sudah tahu siapa orangnya dan apa pula pekerjaannya. Tetapi hingga kini orang yang berupaya melakukan penyuapan itu belum juga diperiksa secara intensif oleh penyidik di Polres Flores Timur. Kenyataan semacam ini ikut menimbulkan keprihatinan dalam diri orang-orang yang mengharapkan terwujudnya kebenaran dan keadilan sehubungan dengan terjadinya pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. ***

Minggu, 24 Januari 2010

Pembunuhan itu berencana

 

Bahwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran itu berencana, itu tampak jelas dari beberapa fakta seperti dikemukakan oleh beberapa saksi. Fakta pertama dikemukakan oleh dua saksi yang menjelaskan rencana pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan. Apa yang dikemukakan oleh kedua saksi tampak cocok dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang tersangka. Setelah tanggal 31 Juli 2007, di suatu rumah makan di Larantuka, seorang tersangka mengatakan begini, “Satu sudah meninggal, empat orang lagi akan menyusul.” Nama keempat orang yang dikatakan akan menyusul itu disebut dengan jelas, yaitu Yosef Kehuler, Sis Tukan, Pius Koten, dan Dere Hayon. Hal yang sama pun dikemukakan oleh dua orang rekan si tersangka dalam kesempatan yang berbeda. Dari pernyataan mereka, kita dengan mudah mengetahui bahwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran itu berencana.

Fakta kedua adalah ceritera seseorang dari lingkaran terdekat Mikhael Torangama Kelen bahwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran direncanakan dalam serangkaian rapat. Setelah terjadi kemelut politik di seputar pemilihan kepala desa Lewoingu pada tahun 2007, Mikhael Torangama Kelen dan tokoh-tokoh pendukungnya sering menggelar rapat. Rapat-rapat diselenggarakan untuk mengantisipasi penundaan atau kegagalan pelantikan kepala desa terpilih. Pada bulan April 2007, upaya merekrut calon pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan mulai dilakukan. Pada bulan Mei 2007, Lambertus Lagawuyo Kumanireng mengeluarkan ancaman, “Jika kepala desa terpilih tidak dilantik, akan terjadi pertumpahan darah.” Ingatlah bahwa rumah orang ini sering dijadikan tempat rapat.

Fakta ketiga adalah kehadiran Petrus Naya Koten persis di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara. Kehadirannya di tempat kejadian perkara disaksikan secara langsung oleh seorang saksi. Saksi yang bersangkutan mengenali sosoknya. Saksi juga melihat beberapa orang pria bersama Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara. Saksi juga melihat korban yang sudah tergeletak di jalan.

Sebelum berada di tempat kejadian perkara, Petrus Naya Koten dipergoki berada di suatu tempat yang tak jauh letaknya dari tempat kejadian perkara utama. Keberadaan dia di tempat itu jelas sesuai dengan rancangan pembunuhan yang dibuat oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Di tempat itu pun sempat terjadi dialog antara Petrus Naya Koten dan seseorang.

Kiranya jelas bahwa keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara (Senin malam 30 Juli 2007) merupakan kenyataan yang tak bisa diingkari. Peranan Petrus Naya Koten demi keberhasilan proyek pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran sangat menentukan. Berdasarkan perannya itu, kita bisa melihat bahwa orang yang kelihatan lugu itu sudah bersekutu dengan Mikhael Torangama Kelen dkk sejak pra-30 Juli 2007. Karena itu, tak mengherankan bila mulutnya pun sering diawasi oleh Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dkk.

Pada pagi hari Kamis, 17 April 2008, sebelum Petrus Naya Koten pergi ke Polres Flores Timur, Lamber Liko Kumanireng menyempatkan diri bertamu ke rumah Petrus Naya Koten untuk mengkoordinasikan sikap dan mulut. Dari mulut Petrus Naya Koten sendiri terungkap ceritera bahwa dalam rangka mengantisipasi panggilan polisi, Mikhael Torangama Kelen menggelar rapat untuk stem nada suara. Kepada para peserta rapat, Mikhael Torangama Kelen mengajari cara menjawab pertanyaan penyidik. Katanya, “Kalau polisi bertanya tentang kematian Yoakim Gresituli Atamaran, jawab saja tidak tahu!” Donatus Doni Kumanireng pun hadir dalam suatu rapat yang digelar oleh Mikhael Torangama Kelen di rumahnya pada hari Selasa, 15 April 2008.

Fakta keempat berkaitan dengan tempat dan waktu pelaksanaan pembunuhan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tempat kejadian perkara adalah di Blou, suatu tempat yang terletak cukup jauh dari kampung Eputobi. Pilihan tempat pelaksanaan kejahatan itu tidak dibuat secara spontan, tetapi melalui perencanaan yang matang. Demikian pula halnya dengan pilihan waktu pelaksanaan kejahatan tersebut. Malam hari dipilih, karena gelap malam merupakan suasana paling ideal bagi mereka untuk menyembunyikan diri dari sorotan mata orang-orang yang berlalu lalang di ruas jalan raya itu. Untuk itu sejak siang hari Senin 30 Juli 2007, sebagian dari mereka pun berada di Lato untuk mengamati dari dekat pergerakan Yoakim Gresituli Atamaran dan Marse Kumanireng.

Fakta kelima berkaitan dengan jumlah pelaku pembunuhan tersebut. Untuk sementara ini baru empat orang yang secara legal ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah ini saja kita dengan mudah bisa melihat bahwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran itu berencana. Aksi brutal mereka di Blou itu tentu didahului dengan rencana yang disepakati di antara mereka.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dan fakta-fakta lain yang tidak diungkapkan di sini, pasal 340 KUHP pun patut diberlakukan bagi para tersangka. Hal ini sudah dikonsultasikan dengan pihak kejaksaan. Maka penyidik yang menangani perkara pembunuhan tersebut perlu memperhatikan hal tersebut. Pihak penyidik perlu menerapkan secara tepat pasal-pasal KUHP untuk menjerat para pelaku pembunuhan tersebut. Kekeliruan dalam penerapan pasal-pasal pidana yang bersangkutan dapat memperlemah hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku pembunuhan tersebut.

Hingga kini berkas perkara pembunuhan tersebut masih di tangan penyidik. Hingga kini Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya masih melenggang bebas. Tetapi kami yakin bahwa berkas perkara itu akan P21 dan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya akan diajukan ke pengadilan negeri Larantuka. ***

Senin, 18 Januari 2010

LLK perlu ditangkap

 

Indikasi-indikasi keterlibatan Lambertus Lagawuyo Kumanireng (LLK) dalam peristiwa pembunuhan atas Yoakim Gresituli Atamaran tampak jelas. Tetapi hingga kini polisi setempat belum juga menyentuhnya, seakan-akan dia itu kebal hukum. Padahal masyarakat Lewoingu sudah lama menginginkan ketegasan aparat kepolisian setempat untuk menindak warga Eputobi yang satu ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa berkat duetnya dengan si MTK (Mikhael Torangama Kelen), maka proyek kejahatan di Blou sukses dilaksanakan. Dan duet itu nyaris berhasil menggelapkan jejak-jejak kejahatan mereka di Blou.

Penyelidikan ke pondok yang terletak 70 meter di sebelah utara jalan raya di Blou dilakukan justru berdasarkan fakta tentang sering datangnya si LLK ke tempat itu pasca-31 Juli 2007. Dalam hari-hari sesudah 31 Juli 2007, LLK sering ke Blou dan nonkrong di pondok milik pak Stanis Lewoema itu. Setelah dia meninggalkan pondok itu ditemukan barang-barang tertentu antara lain bawang dll yang menurut kepercayaan para praktisi black magic setempat dipakai untuk menutup mulut arwah korban. Di pondok itu ditemukan pula darah korban. Seandainya LLK dan MTK serta anggota-anggota komplotan mereka tidak menjadi pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, untuk apa pada waktu itu dia sering ke Blou dan nonkrong di pondok itu?

Pada bulan September 2007, LLK bersama beberapa rekannya, termasuk beberapa orang yang kemudian dijadikan tersangka, mengintimidasi Yan Perason di Riang Kung, desa Dungtana, karena Yan Perason dianggap berusaha membongkar kasus pembunuhan tersebut. LLK juga pernah mengancam memotong dengan parang seorang saksi. Ancaman itu membuat orang tua saksi itu selama sekian malam berjaga-jaga dengan busur dan panah di rumahnya untuk mengantisipasi kalau-kalau ancaman tersebut direalisasikan.  Jika si LLK dan si MTK dan anggota-anggota komplotan mereka bukan pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran, untuk apa dia begitu bernafsu untuk mengintimidasi orang tersebut dan mengancam memotong saksi yang bersangkutan.

Setelah beberapa barang bukti ditemukan di sekitar tempat kejadian perkara di Blou, si LLK bereaksi seperti cacing kepanasan. Penemuan barang-barang bukti itu membuat dia tidak tenang. Dan dia pun pernah berusaha berpura-pura bertandang ke rumah tempat barang-barang bukti itu disimpan untuk sementara. Mengapa dia harus merasa tidak tenang hanya karena barang-barang bukti berhasil ditemukan?

Pada hari MTK dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng ditangkap di Eputobi, LLK sangat ketakutan. Sekian waktu kemudian dalam suatu acara makan bersama di rumah suku mereka di Eputobi pada tahun 2008, LLK sempat berkata kepada saudara-saudaranya yang hadir di situ, “Kita makan yang banyak supaya saya tidak ditangkap polisi?” Lho, ada apa sehingga takut ditangkap polisi? Lalu dia juga mondar-mondir menemui oknum-oknum aparatur penegak hukum tertentu untuk menutupi perbuatan jahat komplotannya di Blou.

Sebelum ikut berpartisipasi dalam proyek di Blou, LLK pada bulan Mei 2007 mengeluarkan ancaman begini, “Jika kepala desa terpilih tidak dilantik akan terjadi pertumpahan darah.” Ancaman itu dia lontarkan dalam perjalanan ke Boru untuk urusan sengketa uang iuran pasar desa. Dan masih ada indikasi-indikasi lain yang secara jelas menunjukkan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan tersebut.

Jika aparat kepolisian di Polres Flores Timur mau mencari terobosan ke arah pengungkapan hingga tuntas kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, maka salah satu cara yang perlu ditempuh adalah menangkap si LLK untuk diperiksa secara intensif dengan metode pemeriksaan yang canggih. Dari situ terungkap banyak hal yang dapat membantu upaya polisi untuk menuntaskan kasus kejahatan tersebut secara elegan.

Bersama MTK, si LLK menjadi penyebab kejahatan yang merusak kampung Eputobi. Banyak orang telah disusahkannya. Tapi aneh bahwa orang yang jelas terindikasi terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut masih saja dibiarkan melenggang bebas, seakan-akan dia itu kebal hukum. Ya, kalau aparatur penegak hukum setempat tidak punya tekad yang jelas untuk memberantas kejahatan tersebut hingga tuntas, maka para penjahat itu terus berusaha berbuat seenak-enak mereka sendiri. ***

Aroma fulus di seputar tragedi Blou

 

Aroma fulus alias aroma uang kontan menyengat hidung kalau kita bicara tentang kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Maklum, pembunuhan atas orang yang tak bersalah itu dirancang sebagai suatu proyek dengan dana yang menggiurkan untuk tingkat kampung.

Investor untuk proyek kejahatan tersebut terdiri lebih dari satu orang, yang selama ini telah saling menjalin kerjasama yang rapih. Dalam usahanya mencari pelaku pembunuhan atas tiga tokoh yang beroposisi terhadap Mikhael Torangama Kelen, salah seorang anggota komplotannya menyatakan kepada pihak yang ditawari pekerjaan jahat tersebut begini, “Kalau kamu mau membunuh Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan, kamu akan dibayar oleh kepala desa.” Tetapi tawaran itu ditolak secara tegas oleh pihak yang dihubungi oleh orang yang berniat jahat itu.

Setelah gagal menemukan orang-orang yang mau dibayar untuk melakukan pembunuhan atas tiga orang tersebut, komplotan tersebut memodifikasi metode pelaksanaannya. Target operasi mereka dari tiga menjadi lima orang. Kelima orang yang dijadikan target adalah Yoakim Gresituli Atamaran, Yosef Kehuler, Sis Tukan, Pius Koten, dan Dere Hayon. Target utamanya adalah Yoakim Gresituli Atamaran. Untuk menghabisi Yoakim Gresituli Atamaran dirancang suatu metode yang dapat menimbulkan kesan kepada masyarakat setempat bahwa orang yang menjadi target utama itu mati karena kecelakaan lalulintas. Karena kesulitan menemukan orang-orang dari luar lingkarannya, Mikhael Torangama Kelen sendiri akhirnya langsung turun ke lapangan bersama anak-anak buahnya untuk mensukseskan proyek pembunuhan tersebut. Timnya diperkuat oleh tenaga tambahan yang didatangkan dari suatu tempat.

Sesuai dengan rancangan tersebut, jauh sebelum hari Senin 30 Juli 2007, pihak perencana proyek kejahatan tersebut mengadakan latihan jatuh dari sepeda motor di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur. Hasilnya nampak pada jejak ban sepeda motor terseret di tepi jalan raya di sebelah barat gorong-gorong tempat jenazah korban ditemukan pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Jejak ban sepeda motor terseret di tempat kejadian perkara itu dibuat pada Senin malam 30 Juli 2007.  Pada titik mulainya sengaja diletakkan sebuah batu untuk menimbulkan kesan bahwa sebelum jatuh, korban yang mengendarai sepeda motor dari Lato itu menabrak batu tersebut. Padahal semua itu hanyalah suatu rekayasa guna menghilangkan jejak kejahatan mereka.

Blou dipilih, karena tempat itu dianggap ideal bagi pelaksanaan proyek kejahatan mereka. Tak jauh dari situ, yakni di sebelah utara terdapat sebuah pondok, dan di sebelah selatannya terdapat pantai Waigema. Untuk mensukseskan pelaksanaan proyek tersebut pondok dan air laut pantai Waigema diperlukan. Pondok dijadikan tempat penyiksaan dan tempat persembunyian. Air laut dipakai untuk membersihkan darah korban yang terciprat ke tubuh para pelakunya. Di jalan setapak menuju pantai Waigema itulah disembunyikan salah satu barang bukti berupa kaos berdarah. Ketika barang bukti itu ditemukan, Petrus Naya Koten langsung mengeluh pusing lalu kontan meninggalkan Blou untuk selanjutnya kembali ke Eputobi.

Lalu deker di bok atau tikungan halus itu dipilih karena di situ ada gorong-gorong yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Seorang anggota polisi yang mengamati tempat kejadian perkara memperkirakan bahwa di dalam gorong-gorong itu pada Selasa pagi 31 Juli 2007 beberapa pelaku menyembunyikan diri ketika mereka berusaha memposisikan sepeda motor yang dikendarai korban.

Setelah kasus pembunuhan itu terungkap, aroma fulus pun kembali menyengat hidung. Kali ini melalui upaya penyuapan terhadap penyidik yang dilakukan melalui seorang oknum polisi, yang berusaha menjadi mediator. Tetapi upaya tersebut gagal karena penyidik yang bersangkutan menolak suap. Nama orang yang berupaya menyuap penyidik itu disebut oleh si mediator. Seandainya penyidik yang bersangkutan mau menerima suap, maka yang dia terima dari si penyuap adalah uang haram. Untung bahwa iman penyidik yang bersangkutan kuat, sehingga godaan itu dapat dihalau dengan mudah.

Tujuan si penyuap jelas, yaitu agar kasus pembunuhan tersebut tidak diproses secara hukum. Si mediator mengimbau agar penyidik yang bersangkutan tak perlu repot-repot mengusut perkara pembunuhan tersebut. Imbauan itu persis bertentangan dengan tugas yang dipercayakan negara ini kepada anggota kepolisian Republik Indonesia.

Yang jadi pertanyaan ialah, “Jika seorang oknum polisi mau menjadi mediator upaya penyuapan terhadap sesama anggota polisi yang ditugaskan untuk mengusut perkara pembunuhan tersebut, apakah si mediator sendiri mau menolak suap?” Pertanyaan selanjutnya, “Jika ternyata terdapat oknum-oknum penegak hukum tertentu yang dengan penuh semangat mengambil langkah-langkah sesuai permintaan pihak tersangka, apakah langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cuma-cuma?”

Patut dicatat bahwa Anggodo Widjojo sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan ditahan di penjara Cipinang, Jakarta. Tapi orang yang berusaha menyuap penyidik dalam perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran masih melenggang bebas di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur. ***

Rabu, 13 Januari 2010

Sudah cukup alat bukti tapi belum P21

 

Bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Atamaran terus mengundang pertanyaan, “Mengapa berkas perkara yang sudah jelas ujung pangkalnya itu belum juga P21?” Sementara masyarakat Lewoingu pun kian muak melihat masih bebas melenggangnya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang melakukan pembunuhan tersebut. Hanya karena para warga masyarakat yang bersangkutan masih mau mengikuti seruan untuk bersabar, maka sampai sejauh ini mereka pun masih berusaha memperpanjang kesabaran mereka dan memilih diam. Untuk apa? Ya, untuk memberi kesempatan kepada para aparatur penegak hukum setempat untuk memproses perkara kejahatan tersebut hingga menghukum para pelakunya setimpal dengan perbuatan mereka. Artinya, masyarakat yang bersangkutan berusaha memberi prioritas pada proses hukum untuk memberantas kejahatan tersebut.

Jelas bahwa masyarakat yang bersangkutan mengharapkan negara ini, melalui para aparatur penegak hukum setempat, menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, yaitu menghukum para pelaku pembunuhan tersebut seberat-beratnya. Tetapi para aparatur penegak hukum setempat memilih jalan yang sangat berliku sehingga berkas perkara pembunuhan tersebut belum juga P21 hingga kini. Dengan demikian para pelaku pembunuhan tersebut dibiarkan melenggang bebas. Sambil melenggang bebas para penjahat itu berusaha mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pelaku kejahatan yang mereka lakukan di Blou itu.

Hambatan pertama bagi kelancaran proses hukum atas kasus pembunuhan tersebut datang dari oknum-oknum polisi tertentu, yang memilih ikut dalam koor kebohongan kreasi Mikhael Torangama Kelen dkk. Produk favorite bersama mereka pada waktu itu ialah ini: Yoakim Gresituli Atamaran itu meninggal murni karena kecelakaan lalulintas. Padahal tak ditemukan satu pun jejak apalagi bukti bahwa di ruas jalan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 dan pada Selasa pagi hingga pukul 09.00 waktu setempat tanggal 31 Juli 2007 terjadi kecelakaan lalulintas dengan korban Yoakim Gresituli Atamaran, warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur. Untuk memantapkan kebohongan bersama itu digunakanlah istilah lakalantas tunggal.

Kebohongan tersebut kemudian dapat diatasi melalui proses penyelidikan dan penyidikan setelah Polda NTT turun tangan. Melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan ditemukan bukti-bukti awal yang cukup tentang para pelaku pembunuhan tersebut. Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup itulah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanirng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Selama 120 hari, keempat tersangka ditahan di Polres Flores Timur. Karena proses penyidikan di Polres Flores Timur berjalan lamban, maka hingga masa penahanan para tersangka berakhir, berkas perkara kejahatan yang mereka lakukan belum juga P21. Karena itu, keempat tersangka pun dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur pada hari Sabtu 16 Agustus 2008.

Pada bulan Januari 2009 penyidik menemukan seorang saksi lain selain saksi yang sudah ada. Keterangan saksi yang bersangkutan bersesuaian dengan keterangan Petrus Naya Koten. Keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara tidak hanya diketahui oleh saksi yang bersangkutan, tetapi diketahui juga oleh seorang saksi lain lagi, bahkan di antara mereka sempat terjadi dialog. Kemudian seorang saksi lain lagi secara jelas melihat sosok salah seorang tersangka sedang berdiri bersama beberapa pria di pinggir jalan di tempat kejadian perkara pada Senin malam 30 Juli 2007.

Itu semua adalah kisah nyata. Maka tampak jelas kebohongannya ketika Petrus Naya Koten menarik kembali keterangannya dari BAP yang ditandatanganinya pada bulan Mei 2008. Seandainya hanya seorang Petrus Naya Koten itu saja yang menyaksikan penganiayaan hingga tewas Yoakim Gresituli Atamaran, penyangkalannya atas keterangannya sendiri itu merupakan modal yang cukup bagi para tersangka untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

Entah logika apa yang dipakai oleh Petrus Naya Koten. Tetapi tampak jelas bahwa dia menggunakan dua pernyataan kontradiktoris untuk membicarakan suatu peristiwa yang sama. Pertama dia mengatakan,

“Saya menyaksikan bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng membunuh Yoakim Gresituli Atamaran.”

Lalu tentang peristiwa yang sama dia juga mengatakan,

“Saya tidak menyaksikan bahwa Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng membunuh Yoakim Gresituli Atamaran.”

Tidak mungkin dua pernyataan kontradiktoris itu sama-sama benar atau sama-sama salah. Jika pernyataan yang satu benar, maka pernyataan yang lain pasti salah, dan sebaliknya. Nah yang jadi pertanyaan ialah, “Di antara kedua pernyataan tersebut manakah yang pasti benar?” Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah. Yang pasti benar adalah pernyataannya yang pertama.  Sedangkan pengingkarannya atas pernyataan tersebut pasti salah. Mengapa demikian?

Karena, pernyataannya yang pertama itu didukung dengan fakta-fakta seperti ditunjukkan dengan jelas oleh saksi-saksi lainnya. Saksi-saksi lain yang bersangkutan mengenal kehadiran sosoknya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara. Dan hal ini didukung oleh keterangan seorang saksi lain lagi yang secara jelas mengenal kehadiran sosok salah seorang tersangka, yang pada malam kejadian perkara itu berdiri di pinggir jalan di tempat kejadian perkara. Itulah sebabnya dikatakan bahwa keterangan Petrus Naya Koten yang pertama itu bersesuaian dengan keterangan dari saksi-saksi lainnya. Keterangan Petrus Naya Koten dan keterangan saksi-saksi lainnya  sama-sama mengacu pada peristiwa yang sama, yaitu peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Atamaran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pernyataannya yang mengingkari pernyataannya yang pertama itu bertentangan dengan fakta-fakta tersebut di atas.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dan alat-alat bukti lainnya, pengakuan jujur dari Mikhael Torangama Kelen dan ketiga orang anak dari suku Kumanireng Blikopukeng itu tidak diperlukan, kalau mereka memang nekad untuk mempertahankan kebohongan. Proses hukum atas mereka dapat berjalan tanpa perlu pengakuan dari mulut mereka masing-masing. Dalam proses hukum itu nanti, Petrus Naya Koten yang selama ini berstatus sebagai saksi dengan sendirinya dinaikkan statusnya menjadi tersangka, karena dia berkomplot dengan Mikhael Torangama Kelen untuk mensukseskan proyek pembunuhan atas Yoakim Gresituli Atamaran. Hukuman atasnya pun akan menjadi lebih berat karena dengan kebohongannya, dia ikut menghambat kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Dalam proses hukum selanjutnya, sejumlah orang lain yang selama ini terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan di Blou itu pun akan dijadikan tersangka dan diadili.

Tetapi mengapa berkas perkara yang sudah dilengkapi dengan alat-alat bukti yang cukup itu belum juga P21? Jawabannya ialah begini, karena masih ada hambatan lain dari luar lingkup tanggung jawab penyidik. Memang penyidik pun belum mengembangkan penyidikan ke setiap orang dari kubu Mikhael Torangama Kelen, yang terindikasi terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan. Tetapi dari alat-alat bukti yang sudah berhasil ditemukan oleh penyidik, berkas perkara pembunuhan dengan empat tersangka pelakunya itu mestinya sudah memenuhi syarat untuk P21.

Jika hingga hari ini berkas perkara pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu belum P21, itu tidak berarti bahwa berkas perkara tersebut tidak bisa P21. Masih diperlukan waktu agar berkas perkara tersebut bisa P21. Mereka yang selama ini berusaha menghambat kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut tidak akan tahan menghadapi ujian sang waktu. ***

Senin, 11 Januari 2010

Tahun Kejujuran dan pertanyaan tentang Ganyang Mafia Hukum di Daerah

 

Oleh para tokoh Gerakan Indonesia Bersih, 2010 dicanangkan sebagai Tahun Kejujuran. Pencanangan 2010 sebagai Tahun Kejujuran dipicu oleh maraknya praktek korupsi dengan segala macam dampak destruktifnya bagi kehidupan bangsa dan negara kita. Praktek-praktek korupsi yang gagal diberantas selama ini telah berhasil memperkuat otot para mafia hukum. Melalui jaringan mafia hukum perkara-perkara kriminal dapat diperjualbelikan sesuka hati pihak-pihak terkait. Di bawah kendali mafia hukum, pihak yang benar bisa jadi salah, dan pihak yang salah bisa jadi benar.  Pokoknya, semua bisa diatur agar bisa klop dengan skenario yang digariskan oleh si empunya duit.

Institusi-institusi penegak hukum yang sudah dikuasai oleh mafia hukum menjadi lemah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Oknum-oknum aparatur penegak hukum busuk  bekerja bukan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, tetapi demi memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Demi itulah proses legal formal yang seharusnya diarahkan pada terwujudnya kebenaran dan keadilan dapat dibelokkan ke mana-mana berdasarkan order dari si empunya duit yang sedang berperkara. Itu sudah menjadi permainan lazim oknum-oknum busuk yang berbajukan penegak hukum di negeri ini.

Ketika perlunya reformasi birokrasi penegakan hukum didengung-dengungkan di Jakarta, timbul pula pertanyaan, “Bagaimana dengan reformasi birokrasi di daerah?” Ketika presiden SBY bertekad mengganyang mafia hukum, timbul pertanyaan, “Apakah mafia hukum di daerah pun dapat disentuh dan diganyang?”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa jaringan mafia hukum sudah menjalar ke mana-mana ke berbagai daerah di nusantara. Di mana ada praktek-praktek korupsi di situ tumbuh dan berkembang mafia hukum. Cara kerja para mafia hukum di daerah terbilang canggih juga sehingga sukar terlacak. Di daerah di mana kinerja aparatur penegak hukumnya kurang mendapat pengawasan yang memadai dari media massa dan jaringan lembaga swadaya masyarakat setempat, para mafia hukum berkiprah secara leluasa.

Hasil kerja para mafia hukum itu tampak antara lain pada 1) berlarut-larutnya proses hukum atas suatu perkara kriminal yang sudah terang benderang ujung pangkalnya, 2) tidak diprosesnya suatu perkara kriminal, padahal tersedia alasan-alasan yang cukup bagi para aparatur penegak hukum yang bersangkutan untuk memprosesnya, 3) upaya oknum-oknum aparatur penegak hukum tertentu yang bekerjasama dengan pihak yang dilaporkan untuk mengkriminalisasi pihak pelapor dengan menerapkan pasal pencemaran nama baik, 4) putusan bebas bagi koruptor yang diajukan ke pengadilan setempat, padahal dalam proses persidangan muncul bukti-bukti bahwa si terdakwa yang bersangkutan melakukan korupsi.

Dalam proses penanganan kasus kriminal tertentu di daerah tertentu, beroperasinya mafia hukum berhasil menimbulkan kesukaran besar bagi para aparatur penegak hukum yang berusaha bekerja secara profesional dan jujur demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Mereka ini tidak tergoda oleh aroma uang. Tetapi justru karena itu, maka upaya mereka untuk menangani perkara kriminal tertentu pun bisa dipersukar atau bisa dihambat oleh sesama penegak hukum yang sudah biasa menghambakan diri pada uang. Para hamba uang itu dengan mudah memproyekkan perkara kriminal yang mereka anggap bernilai bisnis tinggi.

Di tangan oknum-oknum penegak hukum yang terlibat dalam jaringan mafia hukum, suatu perkara kriminal yang sudah terang ujung pangkalnya bisa dibuat menjadi kabur bahkan bisa disulap menjadi gelap ceriteranya. Bagi mereka, hukum bukan sarana untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan menjadi sarana untuk memperoleh uang dan uang. Dari mereka tak bisa lagi diharapkan kejujuran. Ini adalah konsekuensi logis dari proses belajar tidak jujur yang selama ini mereka jalani. Bagi oknum-oknum penegak hukum busuk semacam itu, pencanangan 2010 sebagai Tahun Kejujuran tidak relevan dan tidak mempunyai arti, bahkan dipandang sebagai hambatan bagi kelangsungan bisnis gelap mereka itu. Bagi mereka, kejujuran itu tidak penting, yang penting adalah uang dan uang. Bagi mereka, lebih baik menjadi hamba uang ketimbang menjadi hamba kebenaran. Jika prinsip semacam itu terus dipertahankan, maka bangsa dan negara ini akan mengalami keruntuhan moral yang kian sempurna.

Mudah-mudahan 2010 sungguh-sungguh menjadi Tahun Kebangkitan Nilai Kejujuran. Mudah-mudahan apa yang disebut Ganyang Mafia Hukum itu menjadi salah satu gerakan nasional yang secara efektif dapat membebaskan institusi-institusi penegak hukum baik di pusat maupun di daerah dari gerogotan para makelar kasus dan oknum-oknum penegak hukum busuk. ***

Minggu, 03 Januari 2010

Suara Roh Kebenaran Lewoingu

 

Pada bulan kesebelas tahun 2009 seorang tersangka pelaku tragedi Blou mengaku merasa malu. Ungkapan rasa malu yang disampaikan di suatu forum itu kontan mengundang komentar: “Kok punya rasa malu juga? Ke mana rasa malumu selama ini kau buang? Masa’ setelah dua tahun lebih dari Senin malam 30 Juli 2007 baru kau merasa malu?”

Mungkin karena didera rasa malu maka belakangan ini dia dan rekan-rekan seperjuangannya lebih banyak diam. Apalagi suatu kejadian di Heras beberapa waktu lalu nyaris menggagahinya. Belakangan ini mereka lebih banyak diam. Mungkin mereka sedang merenungkan nasib perjalanan mereka di tahun 2010. Hanya satu dua orang dari mereka yang tampak sibuk mondar mandir seperti gasing. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, mereka masih coba mengadu nasib seraya mengharapkan bala bantuan dari pihak-pihak eksternal yang dianggap punya kemampuan lebih.

Setelah gagal memperoleh dukungan real dari berbagai pihak terkait, kini mereka menyadari bahwa posisi mereka sebenarnya berada di bawah angin. Di antara pendukungnya ada yang menyatakan rasa kecewa, setelah mereka sendiri menyadari bahwa selama ini mereka sebenarnya hanya diperalat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan oleh para tersangka pembunuh orang yang tak bersalah itu. Selama ini mereka merasa terlanjur terseret arus kebohongan yang diproduksi oleh pihak tersangka.

Waktu telah memunculkan beberapa kejadian yang berhasil membuka kesadaran mereka tentang pihak mana yang benar dan mana yang salah. Para sepuh Lewoingu yang tahu arti sejarah Lewoingu dan arti Lewotana sudah membaca tanda-tanda alam yang secara jelas menunjukkan pihak mana yang benar dan pihak mana salah. Sejarah Lewoingu dan Lewotana bisa dimanipulasi oleh para tukang tipu. Tetapi sejarah Lewoingu dan Lewotana selalu berpihak pada kebenaran. Pada akhirnya sejarah dan Lewotana akan mengungkap sendiri secara lebih jelas pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.

Seseorang yang terbilang masih muda, yang bisa membaca tanda-tanda alam dan tanda-tanda Lewotana, beberapa waktu lalu berkata, “Urusan politik itu urusan orang-orang pintar yang bisa memutarbalikkan segala sesuatu sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Tetapi urusan Lewotana itu urusan kebenaran yang tak bisa diputarbalikkan oleh orang pintar mana pun. Apalagi urusannya menyangkut darah dan nyawa orang. Maka saya pun tak mau diajak untuk ikut membela yang salah.”

Apa yang dia suarakan beberapa waktu lalu itu berasal dari suara roh kebenaran Lewoingu. Roh kebenaran itulah yang memberanikan dia dan banyak orang lain di Eputobi untuk berpihak pada kebenaran. Mereka tidak tergoda oleh segala macam bujuk rayu suara-suara yang mengajak mereka untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh komplotan penjahat Eputobi itu. ***