Kamis, 25 Februari 2010

Apa arti upacara-upacara adat itu?

 

Beberapa hari lalu, di eputobi di kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, kubu Mikhael Torangama Kelen menggelar lagi suatu upacara adat dengan binatang korban seekor kambing. Untuk kesekian kalinya upacara semacam itu mereka gelar di tempat itu. Tetapi belum ada informasi yang jelas tentang apa tujuan utama dari pelaksanaan upacara adat tersebut.

Di masa lalu, upacara semacam itu pernah dibuat dengan target jatuhnya korban nyawa tiga puluh orang di kubu barat, yang mereka pandang sebagai musuh. Tiga puluh nyawa itu dilambangkan dengan tiga puluh helai bulu kambing yang dikorbankan dalam upacara itu. Tetapi di dalam kenyataan tak ada satu pun upacara adat, termasuk sumpah adat yang pernah mereka gelar menurut versi mereka itu berdayaguna. Orang yang membawa kepala kambing korban dalam suatu acara sumpah yang mereka gelar pada bulan Mei 2008 dan menggantungnya di Lewohari akhirnya meninggal dunia dalam keadaan sangat mengenaskan.

Setelah jatuh sejumlah korban di kubu mereka, di kalangan mereka pun timbul pertanyaan, “Apa arti upacara-upacara adat itu?” Ya, maksud hati menyumpahi warga dari kubu barat, apa daya kuasa tak sampai. Sumpah adat yang mereka lakukan malah menjadi bumerang yang memangsa diri mereka sendiri. Sementara itu maksud mereka untuk menutupi perbuatan jahat Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pun mengalami kegagalan. Proses hukum terhadap Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya terus berjalan.

Maka tak mengherankan bila sebagian dari mereka mulai menyadari bahwa upacara-upacara adat yang mereka gelar selama ini tak berarti apa-apa. Macam apa pun sumpah yang pernah mereka buat tak berdayaguna sama sekali. Kubu mereka malah sedang dilanda proses pembusukan dari dalam.

Proses pembusukan itu berjalan secara perlahan tetapi pasti terus berjalan hingga mencapai puncaknya. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mengatasinya. Masyarakat Eputobi, masyarakat Lewoingu dan sekitarnya masih akan menyaksikan terjadinya adegan-adegan yang menentukan masa depan Lewoingu secara keseluruhan. Intinya kekuatan baik dari langit dan bumi bersatu padu untuk menyapu bersih “sampah-sampah” dari kampung Eputobi. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mencegah apalagi menghentikan beraksinya kekuatan tersebut.

Menyadari ketidakberdayaan kekuatan sendiri, beberapa waktu lalu mereka pernah meminta bantuan seseorang yang dikenal sebagai “orang pintar” untuk mengatasi suatu masalah yang belakangan ini sangat memusingkan kepala mereka. Tetapi setelah mengetahui penyebab-penyebab terjadinya persoalannya, “orang pintar” yang bersangkutan kontan angkat tangan. Secara jujur, dia mengatakan bahwa dia tidak dapat mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi, karena masalahnya terlalu rumit. Jika “orang pintar” yang mereka andalkan saja angkat tangan, apalagi mereka sendiri.

Tetapi Mikhael Torangama Kelen dan tokoh-tokoh inti dalam lingkaran terdekatnya belum mau kapok juga. Mereka terus menampilkan diri sebagai orang-orang yang berani maju pantang mundur melawan kebenaran. Mereka nekad melawan kebenaran sejarah, melawan kebenaran adat, dan melawan fakta-fakta tentang tragedi Blou. Tidak hanya itu. Mereka juga nekad maju meyumpahi orang-orang yang berjuang membela kebenaran dan keadilan. Sebagai kepala desa, Mikhael Torangama Kelen melakukan kegiatan-kegiatan yang terbilang aneh. Hal ini pernah disinggung pula oleh sejumlah pengamat lokal. Mereka merasa heran bahwa kepala desa yang bersangkutan lebih sibuk melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak persatuan dan kesatuan masyarakatnya ketimbang kegiatan-kegiatan yang menumbuhkembangkan persatuan kesatuan, yang meningkatkan kebaikan dan keadilan sosial bagi segenap lapisan masyarakatnya. Mereka merasa heran dengan perbuatannya merusak adat warisan leluhur, dan terlebih dengan perbuatan kriminalnya di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Lalu di antara pengamat-pengamat lokal ada pula yang sempat bertanya kepada salah satu tokoh di kubu barat, “Mengapa orang seperti itu kalian pilih menjadi kepala desa kalian?” Terhadap pertanyaan itu, si tokoh muda hanya bisa menjawab, “Siapa yang memilih dia menjadi kepala desa kami?”

Jika anda memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para kepala desa di daerah Flores Timur, maka anda dengan mudah menemukan bahwa hanya kepala desa Lewoingu itu yang demikian sibuk menggelar upacara-upacara adat yang dirancang untuk menghabisi sebagian warga desanya. Hanya kepala desa yang satu itu yang memposisikan para oposisi sebagai musuh yang perlu diberantas, sehingga segala macam cara pun ditempuh. Hanya kepala desa yang satu itu yang dengan sadar dan sengaja merancang skenario pembunuhan terhadap lawan politiknya dan turun ke lapangan untuk melakukan apa yang diskenariokannya.

Kesibukan semacam itu tidak memiliki preseden baik dalam sejarah Lewoingu maupun dalam sejarah kampung Eputobi, desa Lewoingu. Kepala-kepala kampung Eputobi, kepala-kepala desa Lewoingu sebelumnya pun pernah mendapat kritik dari sebagian warga yang mereka pimpin. Bahkan ada pula yang mendapat perlawanan cukup keras dari orang-orang tertentu. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang melawan kritik atau pun perlawanan dengan kekerasan fisik. Tidak ada satu pun dari mereka yang sibuk menggelar upacara-upacara adat yang dimaksudkan untuk menghabisi orang-orang yang dipandang sebagai oposisi. Tidak ada satu pun dari mereka yang melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya. 

Yang tidak disadari oleh tokoh-tokoh adat kubu timur ialah bahwa apa pun upacara adat, termasuk sumpah yang mereka gelar, dengan niat jahat itu, sia-sia belaka. Berapa pun jumlah bulu yang mereka cabut dari kambing korban tidak akan berhasil menjadi representasi dari jatuhnya korban-korban di kubu barat. Sehebat apa pun kekuatan dukun yang mereka andalkan, kekuatannya akan sia-sia belaka. Pada akhirnya mereka akan saling memangsa satu sama lain, kalau mereka meneruskan tekad jahat mereka.

Tokoh-tokoh adat kubu timur lupa bahwa untuk menyelenggarakan suatu upacara adat, termasuk upacara sumpah adat yang berdayaguna diperlukan tokoh-tokoh adat yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Penggunaan wewenang itu pun harus didasarkan pada kebenaran. Wewenang untuk itu tidak boleh digunakan secara serampangan.

Tentang sumpah perlu disampaikan bahwa sumpah adat dapat dilakukan antar-sesama sekampung yang saling berperkara. Jika pihak yang salah tetap berkeras menyatakan diri benar, maka sumpah adat perlu dilakukan untuk menyatakan kebenaran. Karena itu sumpah adat itu harus dilakukan berdasarkan kebenaran. Setelah sumpah adat dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperkara di hadapan para pemuka adat, masyarakat yang bersangkutan menunggu hasilnya. Hasil dari sumpah adat ialah terjadinya kematian di pihak yang salah. Sedangkan di pihak yang benar tidak jatuh korban. Jatuhnya korban di pihak yang salah itu biasanya terjadi dengan cara yang mengerikan.

Sebagai ilustrasi tambahan dapat dicatat di sini bahwa dalam sengketa batas tanah di kampung Eputobi tempo doeloe pernah dibuat kepasak atau sumpah adat antara pihak Atamaran dan pihak Kumanireng Blikopukeng. Sumpah adat itu akhirnya memakan korban di pihak Kumanireng Blikopukeng. Kejadian itu membuat generasi Kumanireng Blikopukeng pada waktu itu tidak berani lagi mempersoalkan batas tanah tersebut. Dalam sengketa batas tanah tempo  doeloe itu, suku Kumanireng Blikololong tidak mau melibatkan diri, karena mereka mengetahui bahwa Atamaran berposisi sebagai ema-bapak (orang tua) bagi mereka. Suku Lamatukan yang mengetahui sejarah tanah itu tidak mau melibatkan diri dalam persoalan tersebut.

Karena tidak tahu sejarah, sejumlah oknum dari generasi Kumanireng Blikopukeng yang sekarang mempersoalkan lagi batas tanah tersebut. Karena buta tuli akan kebenaran sejarah, beberapa oknum dari suku Kumanireng Blikololong pun ikut aktif dalam gerakan melawan Atamaran. Bahkan di antara mereka ada pula yang berpartisipasi dalam peristiwa Blou, baik sebagai pengatur strategi maupun sebagai pelaksana lapangan. Hingga kini mereka masih aktif bergerilia melawan Atamaran.

Tetapi apa hasil dari segala kasak-kusuk mereka itu? Hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Yang mereka tuai sekarang adalah derita dan duka lara. Apakah mulai timbul pertobatan di antara mereka? Entahlah. Itu urusan mereka masing-masing. Mereka mau kembali ke jalan yang benar atau tidak, itu tidak penting lagi bagi kelompok kami. Yang penting bagi kami adalah bahwa pagelaran kebenaran mesti terus dilanjutkan. Tidak baik kalau masyarakat Eputobi atau masyarakat Lewoingu terus dibiarkan dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Upaya pihak Atamaran dan segenap lapisan sosial pendukungnya untuk mengungkapkan kebenaran tak dapat dihalangi oleh siapa atau pihak mana pun. Kami berjuang dengan cara kami dan dengan irama yang kami tentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kami sendiri. Di hadapan kami terbuka berbagai pilihan untuk memberantas kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu. Di hadapan kami terbuka berbagai pilihan cara untuk menata kembali tatanan sosial budaya masyarakat setempat.

Kami juga berjuang berdasarkan modal pengetahuan tentang sejarah Lewoingu yang kami miliki dari generasi ke generasi. Dalam garis pedoman sejarah itulah kami antara lain melangkah maju dan terus maju.

Orang-orang yang berkubu ke timur tampaknya tidak mengetahui bahwa orang yang oleh Mikhael Torangama Kelen diangkat menjadi ketua masyarakat adat versi mereka itu tidak memiliki wewenang adat untuk melakukan upacara-upacara adat seperti yang selama ini mereka gelar. Karena itu mustahil dia memiliki password untuk dapat mengakses kekuatan-kekuatan yang ingin mereka manfaatkan sesuai selera mereka. Lewotana Lewoingu tidak pernah memberikan passwordnya  kepada dia dan kepada tokoh-tokoh lain dalam kubu timur. Passwordnya pun tidak dimiliki oleh siapa pun oknum dari suku Kebele’eng Keleng yang bergabung dalam kubu timur. 

Tetapi para anggota kubu barat di kampung Eputobi tahu persis siapa atau pihak mana yang mempunyai passwordnya. Dan mereka juga mengetahui bahwa dengan cara apa pun password termaksud tak dapat diketahui oleh orang atau pihak lain. Itulah sebabnya upacara-upacara adat termasuk sumpah adat yang digelar di eputobi di kampung Eputobi itu menjadi bahan tertawaan para warga kubu barat. Para warga kubu barat tahu persis bahwa 1) Upacara-upacara adat itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki wewenang adat untuk melakukannya; 2) Pelaksanaan upacara-upacara adat itu tidak berdasarkan kebenaran, tetapi berdasarkan suatu niat jahat.

Karena itu tidak mengherankan bila pelaksanaan upacara adat semacam itu selama ini akhirnya menjadi bumerang yang mulai memangsa pihak pelakunya sendiri satu demi satu. Pelan tapi pasti formula itu berlaku dalam berbagai bentuk. Proses itu terjadi secara alamiah. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat mengatasi dampak destruktifnya bagi kubunya.

Biarlah kalian mulai menuai apa yang selama ini kalian tabur. Jika di antara kalian ada yang mau bertobat, sekarang inilah waktu yang tepat bagi kalian untuk bertobat. ***

Sabtu, 20 Februari 2010

Pondok mungil di depan sebuah rumah

 

Entah sejak kapan pondok mungil itu berdiri di situ, di depan sebuah rumah di suatu kampung di suatu pulau. Kehadirannya di situ tidak menyolok. Yang jelas setiap hari si empunya rumah wajib menyembah sujud di hadapannya. Begitu pula para tetangganya yang sealiran. Mereka yang tahu tentang arti keberadaan si pondok mungil dengan setia bersujud di hadapannya. Ke pondok mungil itu pula mereka dengan setia membawa persembahan. Itu sudah menjadi kegiatan rutin yang mereka lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Tanpa bersembah sujud di hadapan si pondok mungil, hidup si empunya rumah dan rekan-rekannya sering dilanda rasa takut. Selama ini rasa takut menghantui mereka dari detik ke detik akibat kenekadan mereka untuk menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, lantas menyimpan bangkai kejahatan itu di dalam hati mereka masing-masing. Padahal bangkai yang coba mereka sembunyikan sudah lama diketahui oleh masyarakat setempat. Bau busuknya sudah lama menyebar ke setiap penjuru mata angin. Menyembunyikan bangkai busuk merupakan pekerjaan sia-sia. Tetapi mereka mengira bahwa barang busuk itu dapat mereka sembunyikan dengan rapih.

Guna menyembunyikan barang busuk itu, segala cara, termasuk berkolaborasi dengan para iblis dari berbagai daerah, coba mereka tempuh. Banyak iblis mereka impor. Di kampung itu iblis-iblis imporan diberi tempat terhormat dan disembah. Untuk itulah pondok mungil tersebut di atas dibangun. Perintah pembangunan pondok mungil itu berasal dari seorang penyembah iblis dari kabupaten tetangga. Kepada penyembah iblis yang satu ini mereka pernah berguru. Maka perintahnya pun langsung dituruti. Padahal si empunya rumah adalah orang yang di masa lalu pernah tampil sebagai pengkotbah di gereja. Di rumahnya, doa-doa pernah sering dipanjatkan. Bahkan di rumah itu pernah berkumpul orang-orang yang mengadakan doa novena untuk menutupi suatu kejahatan besar. Di rumah itu pun misa untuk suatu perayaan khusus pernah diselenggarakan. Tentang itu, seorang tetangganya pernah berkomentar, “Di situ bisa terbentuk suatu paroki baru.” Sementara itu yang lain bertanya, “Apakah doa para penumpah darah, penipu, dan para penyembah iblis itu dikabulkan oleh Tuhan?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut jelas. Doa orang-orang semacam itu tidak dikabulkan oleh Tuhan, Allah, Pencipta langit dan bumi yang kita kenal melalui Yesus Kristus. Iblis adalah musuh Tuhan. Dan tidak mungkin Kristus bersepakat dengan iblis. Siapa yang menyembah iblis dia melawan Kristus, dia menjadi musuh Tuhan. Maka jelas pula bahwa doa para penyembah iblis, para penumpah darah, dan para penipu itu tidak diterima oleh Tuhan.

Pondok mungil yang terletak persis di depan rumah itu dibangun sebagai tempat bagi mereka untuk menyembah iblis. Dari situ si iblis berjalan keliling kampung itu seperti singa yang mengaum-ngaum dan mencari orang-orang yang dapat ditelannya. Dan banyak orang di kampung itu pun berhasil digentarkannya.

Tetapi orang-orang yang percaya pada Tuhan tak perlu gentar menghadapinya. Mari, lawanlah dia, lawanlah si iblis itu dengan iman yang teguh. ***

Jumat, 19 Februari 2010

Ini nyawa, bukan uang atau harta

 

Saban hari, sejak beberapa waktu lalu, Mikhael Torangama Kelen, tersangka kasus Blou, yang oleh Bupati Flores Timur diaktifkan kembali sebagai kepala desa Lewoingu, “dikuliahi” oleh seorang anak muda tentang pentingnya tanggung jawab.  Ya, setiap hari, anak muda itu mendesak Mikhael Torangama Kelen untuk bertanggung jawab. Kepada Mikhael Torangama Kelen, anak muda itu sering mengingatkan begini, “Ini nyawa, bukan uang dan harta. Maka engkau harus bertanggung jawab; engkau harus jujur.”

Tuntutan semacam itu berulang kali disuarakannya di hadapan orang-orang yang menyaksikannya. Mulanya banyak orang tak menaruh perhatian pada apa yang dikatakannya, karena dia dianggap sedang menderita “sakit kepala.” Tetapi karena tuntutannya itu terus menerus disuarakannya secara konsisten disertai dengan peragaan-peragaan yang cocok dengan apa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007, banyak orang lantas memberikan perhatian khusus padanya.

Yang jadi pertanyaan banyak orang di Eputobi ialah, dari mana kata-kata semacam itu dia peroleh? Dan, bagaimana mungkin dia bisa memperagakan apa yang terjadi di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007? Padahal pada malam, ketika Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya beraksi di Blou, anak muda itu tidak berada di kampung Eputobi. Waktu itu dia berada di tanah rantau, jauh dari kampung halamannya. Karena mengalami gangguan kesehatan dia kembali ke Eputobi dan lebih banyak berdiam di rumah kedua orangtuanya. Baru belakangan ini dia keluar rumah dan mempertontonkan sesuatu yang berhasil menyedot perhatian banyak orang.

Jawaban atas dua pertanyaan tertera di atas belum dapat ditemukan. Yang jelas sejak kembali dari tanah rantau anak muda itu dikenal sebagai orang yang menderita “sakit kepala.” Tetapi apa yang disuarakannya dan diperagakannya klop betul dengan fakta-fakta yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur itu. Karena itu, banyak orang mulai melihat apa yang dikatakan dan diperagakannya sebagai suatu keanehan yang masuk akal.

Dia menuntut tanggung jawab terutama dari orang yang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Tanggung jawab itu dia tuntut, karena yang dicabut dari tanah di Blou itu adalah nyawa seorang anak manusia. Tanggung jawab itu dituntut, karena yang ditumpahkan di Blou pada malam itu adalah darah manusia. Darah dan nyawa manusia itu tak boleh dikorbankan oleh siapapun demi apapun. Maka kepada Mikhael Torangama Kelen, dia menegaskan, “Ini nyawa, ini darah, maka engkau harus bertanggung jawab; ini bukan uang atau harta.”

Memang, uang dan harta dapat anda korbankan demi kepentingan atau tujuan anda, karena uang dan harta itu sarana bagi kepentingan dan tujuan manusia. Tetapi anda sama sekali tak berhak, tak berwenang untuk mengorbankan darah dan nyawa orang lain demi kepentingan atau tujuan anda. Setiap manusia adalah makhluk yang bermartabat luhur, yang memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Manusia bukanlah sarana bagi pemenuhan kepentingan atau tujuan sesamanya. Karena anda telah berani menumpahkan darah orang dan berani pula mencabut nyawanya, maka anda dituntut untuk mempertanggungjawabkannya.

Tuntutan tersebut berlaku tidak hanya bagi Mikhael Torangama Kelen, tetapi berlaku juga bagi setiap anggota komplotannya yang beraksi di Blou dan bagi aktor-aktor intelektual serta penyandang dananya, bahkan berlaku juga bagi siapa pun yang terlibat dalam konspirasi untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Tetapi alangkah eloknya, bila Mikhael Torangama Kelen berani maju untuk menjadi contoh pelaksanaan tanggung jawab itu. Jika ini terjadi, maka masyarakat Eputobi akan mengenang dia sebagai kepala desa yang berani membunuh orang, dan berani pula mempertanggungjawabkan perbuatan jahatnya itu secara hukum. ***

Jumat, 12 Februari 2010

Ceritera tentang pesta di kubur

 

Pada suatu malam yang dingin berkumpul sejumlah orang di suatu kubur di suatu kampung di suatu pulau terpencil. Dengan setelan hitam-hitam mereka berdiri mengelilingi kubur bisu. Dari luar kubur itu tampak molek berdandankan keramik-keramik indah. Tetapi di dalamnya tersimpan bangkai-bangkai busuk. Dari situ aroma busuk menyebar tanpa bisa dicegah.

Untuk apa mereka berkumpul di situ di malam yang dingin ketika para warga kampung itu hendak berangkat ke peristirahatan malam? Ternyata mereka mau berpesta pora. Lihatlah di situ sudah disiapkan berbagai peralatan musik lengkap dengan para artisnya. Hidangan lezat pun sudah disediakan di atas meja perjamuan malam. Untuk menghangatkan badan tersedia beberapa kumbang arak.

Yang tidak tersedia adalah alat penerang. Sesuai dengan syarat yang disepakati, pesta itu harus diselenggarakan dalam gelap. Karena itu sebelum datang terang pagi hari berikutnya, pesta pun harus sudah berakhir. Dengan demikian setiap peserta pesta itu dapat kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing dalam keadaan aman. Jika sampai kedapatan terang matahari, maka tak ada satu pun dari mereka yang dapat menemukan jalan untuk kembali ke rumahnya.

Dalam gelap mereka berpesta pora. Setelah menyantap hidangan, dan meminum arak mereka menari-nari, berjingkrak-jingkrak di seputar kubur itu, mengikuti irama musik yang makin lama makin merangsang nafsu mereka untuk bergoyang-goyang. Tetapi pada malam itu tak ada goyangan rokatenda apalagi poco-poco. Tak ada pula goyangan dangdut, apalagi jaipongan. Yang ada hanyalah goyang-goyangan maut. Yang dipentaskan pada malam itu hanyalah tarian-tarian kematian yang sangat digemari  oleh para iblis.

Ikut bergoyang-goyang pada malam itu dua ekor anjing hitam besar. Mereka berasal dari alam lain. Dan hampir saban tengah malam selama beberapa tahun terakhir mereka berpatroli di lorong-lorong kampung itu. Kehadiran mereka biasanya ditandai dengan suara lolongan sahut menyahut anjing-anjing lainnya. Jika ada suara lolongan anjing, maka penduduk kampung itu tahu bahwa ada setan yang sedang berpatroli. Kalau sudah begitu hanya orang-orang bermental baja yang berani keluar rumah untuk mengintai apa yang sesungguhnya terjadi.

Tetapi dalam acara pesta itu tak terdengar sedikit pun suara lolongan anjing. Di situ kedua ekor anjing hitam itu hanya ikut bergoyang-goyang sambil mengibas-ngibaskan ekor mereka masing-masing, tanda bahwa mereka pun gembira dan puas. Sesekali kedua anjing itu menongolkan taring-taring mereka, sekedar pamer bahwa taring-taring mereka masih ada. Tetapi taring-taring mereka ternyata sudah tumpul, dan gigi gerigi lainnya sudah keropos. Tumpulnya taring-taring mereka membuat mereka hanya bisa menggertak lawan tetapi tak bisa mencabik-cabiknya. Keroposnya gigi gerigi mereka membuat mereka tak bisa lagi bisa menggigit dan mengunyah mangsa-mangsa mereka. Tak lama lagi mereka pasti menjadi anjing-anjing ompong. Ketika saatnya tiba mereka pasti menjadi bahan tertawaan masyarakat setempat.

Malam semakin larut. Pesta pun terus berlanjut. “Ayo, goyang terus sampai pagi.” Begitu teriak beberapa peserta pesta yang sudah dimabuk oleh air kata-kata. “Ayo, goyang terus sampai pagi.” Sahut yang lain.

Musik terus dimainkan. Goyangan-goyangan maut pun terus dipertontonkan. Dingin malam tak lagi terasa. Gairah untuk terus bergoyang dan bermabuk ria tak bisa distop. Karena terlalu asyik bergoyang-goyang, mereka lupa waktu. Mereka terus bergoyang hingga datang terang di pagi hari yang baru.

Begitu terang mulai menampakkan dirinya di ufuk timur, kedua ekor anjing langsung meloncat agar dapat kembali ke alamnya. Mereka tiba-tiba lenyap dari arena pesta. Tetapi para peserta lainnya terangkap oleh terang hari yang baru itu.  Begitu datang terang, gemuruh pesta pun langsung lenyap dan semua peserta pesta itu pun rebah ke tanah dan langsung terlelap. Tak lama kemudian tubuh-tubuh yang terlelap itu pun lenyap dari pandangan mata masyarakat sekitar. Yang nampak di situ adalah potongan-potongan kayu kering. Oleh masyakarat setempat potongan-potongan kayu kering itu dikumpulkan lalu dibakar di samping kubur itu. Api menghanguskan setiap potongan kayu situ. Bahkan debu-debunya pun tuntas dilahap api.

Tak lama kemudian beredar berita tentang kematian orang-orang yang berpesta pora sepanjang malam di kubur itu. Malaikat kematian berjalan dari lorong ke lorong, dari rumah ke rumah mereka untuk mencabut nyawa mereka satu per satu. Tubuh-tubuh mereka yang sudah tak bernyawa dikuburkan di suatu tempat. Sedangkan jiwa mereka dibuang ke dalam lautan api kekal. Di situ pesta pora kematian mereka rayakan untuk selama-lamanya bersama  para anjing hitam serta para ular beludak yang selama ini mereka sembah. Tapi di situ tak ada sedikit pun tawa ria. Yang ada di situ hanya ratap tangis abadi. ***

Senin, 01 Februari 2010

JPU itu (Gerson Saudila) layak diganti

 

Salah satu ganjalan yang menyebabkan berlarut-larutnya proses hukum terhadap para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran adalah terus dikembalikannya berkas perkara pembunuhan tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum bernama Gerson Saudila SH kepada penyidik Polres Flores Timur. Pengembalian berkas perkara tersebut untuk kelima kalinya terbilang aneh bin ajaib. Dikatakan aneh bin ajaib karena berkas tersebut, menurut penyidik, sudah dilengkapi dengan alat-alat bukti yang cukup. Jika kita memperhatikan jumlah saksi dan alat bukti lainnya, maka kecukupan alat bukti seperti disinyalir oleh penyidik itu patut diakui kebenarannya.

Yang juga mengherankan ialah cara kerja si JPU yang bersangkutan yang melatari pengembalian berkas perkara pembunuhan tersebut untuk kelima kalinya. Begini ceriteranya. Pada tanggal 24 Februari 2009, penyidik menyerahkan untuk kelima kalinya berkas perkara pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tole Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ke Kejaksaan Negeri Larantuka. Menurut KUHAP, jika berkas tersebut dipandang belum sempurna, dalam tempo empat belas hari, berkas tersebut sudah dikembalikan ke penyidik disertai dengan petunjuk agar penyidik dapat melengkapi apa-apa yang dianggap masih kurang. 

Ternyata ketentuan itu tidak diindahkan sama sekali oleh Gerson Saudila. Berkas tersebut dipendamnya di lacinya di Kejaksaan Negeri Larantuka hingga tanggal 6 Mei 2009, dengan catatan pada tanggal 3 April 2009, pihak penyidik Polres Flores Timur menerima sepucuk surat yang menyampaikan bahwa penyidik perlu mencari lagi satu saksi mata. Pengembalian berkas perkara pada tanggal 6 Mei 2009 itu dilakukan setelah salah seorang anggota keluarga korban mencek langsung nasib berkas tersebut di Kejaksaan Negeri Larantuka. Pengecekan itu diperlukan mengingat ketidakjelasan nasib berkas tersebut telah memakan waktu lebih dari dua bulan.

Sebagai seorang jaksa, Gerson Saudila mestinya tahu persis bahwa cara kerja samacam itu bertentangan dengan KUHAP. Mungkin dia terlalu sibuk. Tetapi kesibukan tak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan keterlambatannya dalam merespons berkas perkara pembunuhan tersebut. Kepada setiap pakar hukum, praktisi hukum yang saya mintakan pendapatnya tentang cara kerja semacam itu, merasa heran. Cara kerja semacam itu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini.

Yang jadi pertanyaan ialah, “Mengapa seorang jaksa penuntut umum yang sudah berpengalaman bisa menempuh cara kerja semacam itu?” Jawabannya hanya Gerson Saudila yang tahu. Yang jelas, pada tahun 2008, si JPU yang bersangkutan pernah beberapa kali ditemui oleh beberapa orang dari pihak atau keluarga tersangka. Etiskah seorang JPU membiarkan dirinya ditemui beberapa kali oleh pihak atau keluarga tersangka pelaku pembunuhan tersebut?

Nah apakah Gerson Saudila layak dipertahankan sebagai JPU untuk perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran? Jawabannya jelas. Dia layak diganti dengan JPU-JPU lain yang berkomitmen lebih jelas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kepala Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka dan Kepala Kejaksaan Tinggi NTT di Kupang diharapkan sudi memperhatikan saran tersebut. ***