Jumat, 30 Juli 2010

Malam ini tiga tahu yang lalu

 

Setelah melakukan persiapan akhir di kampung lama, libido kriminal dalam diri Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya semakin tak terbendung. Iblis dan roh-roh jahat yang bercokol dalam diri mereka masing-masing terus merangsang mereka untuk melakukan apa yang sudah lama mereka rencanakan. Kepada mereka iblis dan roh-roh jahat terus menyuntikkan keberanian untuk merealisasikan niat jahat mereka terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Maka sejak siang hari Senin 30 Juli 2007, komplotan yang telah bertekad bulat melakukan kejahatan itu sudah berada di Lato, ibu kota Kecamatan Titehena, Flores Timur. Sebagai kamuflase, mereka berkumpul di kantor Camat Titehena untuk mengikuti sidang yang dimaksudkan untuk menyelesaikan laporan masalah tanah yang disampaikan oleh suku Kelasa. Dalam laporannya pihak Kelasa menuduh pihak Ata Maran menyerobot tanah Kelasa. Tetapi tuduhan Kelasa itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Maka sidang itu pun langsung ditutup oleh Camat Titehena.

Setelah sidang ditutup, tokoh-tokoh Ata Maran yang datang ke acara sidang tersebut langsung meninggalkan Lato. Di jalan antara Lato dan Bokang, mereka berpapasan dengan Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng yang sedang menuju Lato untuk menghadiri acara Nebo (Kenduri) almarhumah ibu Maria Ose Sogen. Ketika mereka tiba di Lato, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya masih berada di sana.

Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng berada di Lato, orang-orang yang sudah dirasuki oleh iblis dan roh-roh jahat itu pun melakukan pengawasan guna memastikan bahwa calon korban mereka itu tak akan bisa lolos dari terkaman mereka. Mikhael Torangama Kelen sendiri mengatur strategi pengawasan itu. Orang itu kembali ke Eputobi sekitar pukul 14.00. Sedangkan dua anak Lamber Liko Kumanireng berada di rumah, tempat acara Nebo diselenggarakan hingga matahari terbenam. Mereka baru meninggalkan acara itu segera setelah Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng pamit untuk pulang ke Eputobi. Dari mereka ini, Mikhael Torangama Kelen memproleh informasi tentang pergerakan Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng dari Lato menuju Eputobi.

Setelah tiba di Eputobi, Mikhael Torangama Kelen bersiap diri untuk melakukan aksi kriminalnya sesuai dengan apa yang telah direncanakannya. Semua anggota komplotannya telah disiapkan. Sore hari itu dia meninggalkan kampung Eputobi. Dengan Supra Fit-nya dia meluncur ke arah barat. Sebagai kamuflase dia menyempatkan diri mampir di suatu kampung yang tak jauh letaknya dari Wairunu. Dari situ dia bisa memperoleh informasi dari anggota-anggota komplotannya yang memantau pergerakan Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng.

Ketika gelap tiba di daerah itu, koordinasi pencegatan terhadap calon korban pun dimantapkan. Mereka melakukan pencegatan berlapis. Untuk mensukseskan pencegatan itu Petrus Naya Koten pun diterjunkan. Orang ini ditugaskan untuk memantau jalur Bokang-Wairunu. Ada saksi yang melihat keberadaan orang ini di Wairunu. Pelaksanaan tugasnya itu didukung oleh dua orang yang mengendarai dua sepeda motor. Dua orang bersepeda motor itu sempat dipergoki keberadaan mereka di pinggir selatan kampung Bokang, di dekat tempat Petrus Naya Koten bersembunyi di pinggir jalan. Sebuah informasi menyebutkan bahwa Mikhael Torangama Kelen pun sempat berada tak jauh dari situ.

Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran sendirian bergerak keluar dari Bokang ke arah Wairunu, Petrus Naya Koten pun beraksi. Dari situ dia “mengantar” Yoakim Gresituli Ata Maran ke ladang pembantaian di Blou. Keberadaan Petrus Naya Koten di tempat kejadian perkara (TKP) terpantau jelas oleh seorang saksi. Tak jauh dari Petrus Naya Koten berdiri empat orang yang mengenakan helm. Waktu itu korban sedang tergeletak tak berdaya di hadapan empat orang yang berhelm itu. Hadir di situ Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan anggota-anggota komplotan mereka. Keberadaan Yoka Kumanireng bersama beberapa pria di TKP pun terpantau dengan jelas.

Duet Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang menentukan keberhasilan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pada malam itu. Duet ini pula yang menentukan irama penganiayaan terhadap korban di pondok milik Pak Stanis Lewoema.  Hadir pula di situ seorang perempuan orang Eputobi.

Apa yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran pada malam itu dilaporkan ke Prince of Darkness. Pada malam itu juga si Pangeran Kegelapan itu mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran telah dihabisi.

Untung bahwa ketika tiba di Bokang, Marse Kumanireng memutuskan untuk mampir di rumah bapak Paulinus Hayon. Untung bahwa dia diantar ke Eputobi oleh salah seorang anak dari bapak Paulinus Hayon. Seandainya dia tetap bersama suaminya dalam perjalanan dari Bokang ke Eputobi, dia pun bisa jadi korban. Ya, di Bokang itulah Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng berpisah untuk selama-lamanya.

Kebiadaban Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan anggota-anggota komplotan mereka yang membuat Yoakim Gresituli Ata Maran harus meninggalkan isteri dan ketiga orang anak mereka yang masih kecil. ***

Kamis, 29 Juli 2010

29 Juli tiga tahun yang lalu

 

Tanggal 29 Juli tiga tahun yang lalu jatuh pada hari Minggu. Pada hari itu Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran melakukan persiapan akhir. Acara persiapan akhir itu mereka gelar di kampung lama yang berjarak sekitar satu kilometer di sebelah utara kampung Eputobi.

Mengapa kampung lama (Lewookineng) dipilih sebagai tempat persiapan akhir untuk suatu aksi kejahatan berjamaah? Jawabannya, tempat itu dipilih sebagai salah satu bentuk kamuflase. Untuk kepentingan kamuflase itu mereka menyalahgunakan fungsi Ling Pati, rumah induk suku Ata Maran. Selain itu mereka juga menyalahgunakan Koke Bale Lewowerang dan beberapa barang pusaka yang ditempatkan di sana. Untuk kepentingan kamuflase itu pula, mereka berpura-pura meminta restu dari Lewotana, padahal yang mereka butuhkan adalah restu dari iblis dan roh-roh jahat.

Apa yang mereka lakukan di kampung lama pada hari itu tidak memiliki preseden dalam sejarah Lewoingu maupun dalam sejarah kampung Eputobi. Menurut tradisi adat Lewoingu, pada waktu itu kampung lama dalam keadaan tertutup dalam artian tertutup bagi pelaksanaan seremoni di Koke Bale. Yang mereka lakukan pada hari itu merupakan rangkaian dari upaya mereka untuk merusak tatanan adat Lewoingu. Perbuatan semacam itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu diri, dalam artian tidak tahu sejarah Lewoingu dan segala kebenaran yang terkandung di dalamnya.

Untuk mensukseskan acara di kampung lama itu, seorang pensiunan guru (seorang pns) ikut menyumbangkan sejumlah uang. Tidak jelas sejak kapan mantan guru itu ikut menjadi orang yang tersesat. Yang jelas dia adalah salah seorang pendukung setia orang yang pada keesokan harinya memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou. Dukungannya terhadap kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu tampaknya belum menyurut hingga kini. Dengan uangnya dia ikut memperkuat libido kriminal yang ketika itu sedang bergelora dalam diri mereka yang telah bertekad membunuh orang yang tak bersalah itu.

Tekad itu sudah lama mereka canangkan. Dari rapat ke rapat, tekad itu mereka matangkan. Dan di kampung lama (Lewookineng), pada hari Minggu, 29 Juli 2007, pematangan tahap akhir untuk realisasi tekad kriminal mereka lakukan. Proses pematangan tahap akhir mereka lakukan, setelah dari Petrus Naya Koten diperoleh kepastian bahwa pada hari Senin, 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran akan menyewa sepeda motornya untuk pergi ke Lato. Maka hari Senin 30 Juli 2007 itu mereka tetapkan sebagai hari realisasi aksi kriminal yang telah lama mereka canangkan. ***

Sabtu, 24 Juli 2010

Siapakah orang pertama yang menemukan jenazah Yoakim Gresituli Atamaran?

 

30 Juli 2010 jatuh pada hari Jumat. Pada tanggal tersebut, tiga tahun lalu Yoakim Gresituli Atamaran, warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, dicegat lalu dikeroyok hingga wafat di suatu tempat bernama Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur. Pada pagi hari berikutnya, jenazahnya ditemukan di dalam parit, di pinggir jalan raya.

Menurut seorang oknum polisi di Boru, orang pertama yang menemukan jenazah korban adalah Moses Hodung Werang, seorang petani asal Solor, tinggal di Lewolaga. Hal itu dia sampaikan kepada saya pada hari Sabtu, 4 Agustus 2007, di Polsek Boru. Moses Hodung Werang sendiri berulang kali menceriterakan bahwa jenazah korban ditemukan pada pukul 09.00 pagi waktu setempat. Tetapi berita tentang kematian Yoakim Gresituli Atamaran sudah sampai di suatu kampung yang berjarak beberapa kilometer di sebelah barat Blou sebelum pukul 09.00 pagi hari Selasa, 31 Juli 2007. Berita itu dibawa oleh seorang warga Eputobi yang berkomplot dengan Mikhael Torangama Kelen. Pagi-pagi hari Selasa, 31 Juli 2007, sebelum jam 09.00, salah seorang yang pada Senin malam, 30 Juli 2007, ikut beraksi di Blou menyampaikan kabar bahwa Akim Maran mengalami kecelakaan dan sedang terkapar di Blou. Lalu siapakah yang pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, mengantar seorang PNS ke kantornya di Boru?

Maka yang jadi pertanyaan ialah benarkah Moses Hodung Werang adalah orang pertama yang menemukan jenazah Yoakim Gresituli Atamaran pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, pukul 09.00? Dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun, saya dapat mengatakan di sini bahwa bukan Moses Hodung Werang itu yang pertama menemukan jenazah korban. Segera setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Atamaran, para pelakunya sendiri yang menyebarkan berita tentang kematian orang tak bersalah itu ke berbagai pihak di kalangan mereka. Terdapat indikasi bahwa pada malam kejadian perkara itu juga berita tentang kematiannya sudah disebarkan keluar pulau Flores melalui telepon seluler.

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Atamaran, para pelaku tidak tidur hingga pagi hari Selasa, 31 Juli 2007. Setelah pulang dari Blou, salah seorang tersangka mentraktir temannya minum arak. Lalu pada pagi hari Selasa itu, sebelum matahari terbit, beberapa orang pelaku sudah berada di tempat kejadian perkara. Kemudian ke situ juga datang beberapa orang pendukung mereka dengan cara sedemikian rupa agar tidak kentara bahwa mereka sebenarnya ingin menyaksikan sendiri seperti apa nasib Yoakim Gresituli Atamaran. Pada sekitar pukul 06.00 pagi, waktu setempat, dua orang dari kubu mereka kepergok berada tak jauh dari tempat jenazah korban tergeletak.

Sejak Selasa, 31 Juli 2007, hingga sekitar dua minggu sesudahnya, salah seorang pelaku menderita cedera di kepala dan leher. Cedera itu dialaminya di Blou sebagai hadiah dari peransertanya dalam aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Pernah dia mau berobat ke Larantuka, tetapi tidak jadi, karena tak ada rujukan dari Puskemas Lewolaga. Karena takut ketahuan kejahatannya, yang bersangkutan tak mau minta pengantar dari Puskemas Lewolaga. Untuk menyembunyikan luka di kepalanya, dia memakai  helm. Luka dilehernya ditutup dengan jaket yang kerahnya ditegakkan hingga menutupi seluruh batang lehernya. Ketika hadir dalam pesta sambut baru (komuni pertama) di kampung tetangga, helm dan jaket tetap dikenakannya. Ya, untuk menutupi luka di kepala dan lehernya itu. Orang inilah yang dimaksud oleh seorang biarawati sebagai salah satu pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Anda tak perlu tahu, mengapa seorang biarawati bisa mengatakan demikian.

Kembali ke pertanyaan tertera di atas. Benarkah Moses Hodung Werang adalah orang pertama yang menemukan jenazah Yoakim Gresituli Atamaran? Jawabannya jelas: tidak. Dia bukan orang pertama yang menemukan jenazah korban pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. ***  

Sabtu, 17 Juli 2010

Perlukah Tim Independen untuk menangani kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran?

 

Tidak hanya warga masyarakat beradab di Lewoingu yang merasa heran dengan kelambanan proses hukum atas perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Orang-orang non-Lewoingu yang menaruh perhatian terhadap kasus kejahatan tersebut pun merasa heran. Mereka terus mendukung dan mendorong keluarga korban untuk terus maju memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Bagi mereka, tidak masuk akal bahwa para pelaku kejahatan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran.

Melihat bertele-telenya proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut seorang anggota polisi pernah menyinggung tentang perlunya tim independen. Tim independen untuk menangani perkara pembunuhan tersebut dapat diusulkan ke Mabes Polri dan Polda NTT. Ya, tim independen termaksud akan diusulkan, jika proses penanganan perkara kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu terus diambangkan oleh oknum-oknum polisi yang tidak bertanggung jawab. Mudah-mudahan oknum-oknum polisi yang bersangkutan mulai menyadari bahwa mereka pun perlu bekerja sama dengan rekan-rekan mereka yang selama ini bekerja tanpa pamrih untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Keberhasilan Polres Flores Timur dalam membongkar hingga tuntas perkara pembunuhan tersebut dengan sendirinya akan ikut mengatrol citra Polri yang kini terpuruk.

Keseriusan Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur untuk membawa para pelaku kejahatan tersebut ke pengadilan tampak jelas. Karena itu untuk sementara tim independen termaksud belum diperlukan. Jika keseriusan tersebut dapat diterjemahkan ke dalam aksi nyata, maka akan ditemukan terobosan yang signifikan ke arah pembongkaran hingga tuntas kasus kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu.

Tidak hanya keluarga korban yang mendukung upaya Polres Flores Timur untuk membongkar hingga tuntas perkara kejahatan tersebut. Masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu dan sekitarnya, dan di Flores Timur pun mendukung upaya tersebut. Ya, masa “kejayaan” para penjahat Eputobi itu akan berakhir. Panji-panji kejahatan yang selama ini mereka kibarkan akan diturunkan dan dimusnahkan. ***

Minggu, 04 Juli 2010

Obi Kumanireng Blikololong dan utang darah ayahnya

 

Gara-gara tekena gangguan jiwa dan dianggap merepotkan orang-orang sekitar, Obi Kumanireng Blikololong dipasung oleh ayahnya. Sebelum dipasung, tiap hari dia mendatangi rumah si kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Di situ “kata-kata indah” yang memekakkan kuping si kepala komplotan penjahat itu meluncur dengan sendirinya dari mulutnya.

Kepada ayahnya, Obi pernah mengatakan, “Gara-gara perbuatan kamu, maka saya jadi begini.” Mendengar itu, si ayah pura-pura bertanya, “Perbuatan saya yang mana yang membuat kamu jadi begini.” Kepada ayahnya, Obi juga sering mengingatkan, “Ini urusan darah dan nyawa, ini bukan urusan uang atau harta.” Tapi hingga kini, kata-kata Obi itu tidak dihiraukan oleh ayahnya. Pertanyaannya tentang apa saja yang dibicarakan dalam rapat-rapat yang digelar di rumahnya pun tidak dihiraukan oleh ayahnya.

Selama mengalami gangguan mental, Obi sering berbicara tentang kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Entah dari mana sumber informasinya. Yang jelas apa yang dia katakan dan dia peragakan itu sesuai dengan apa yang menimpa Yoakim Gresituli Atamaran di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Tetapi ayahnya, tampaknya, tidak mau perduli dengan apa yang dikatakan anaknya. Si ayah lebih berkonsentrasi pada upaya agar kesehatan anaknya dapat dipulihkan.

Maka didatangkanlah orang-orang pintar ke rumahnya. Alasan-alasan sakitnya coba dicari. Ditemukan sejumlah alasan. Ada beberapa alasan yang sempat dibocorkan ke publik. Tetapi alasan-alasan lainnya  dirahasiakan hingga kini. Salah satu alasan yang telah diketahui oleh publik di Eputobi ialah bahwa yang diderita Obi bukan sakit mental biasa, tetapi karena ketidakjujuran ayahnya tentang darah orang tidak bersalah yang telah berhasil ditumpahkannya. Dikatakan, bahwa selama ayah Obi tidak jujur, maka Obi akan tetap menderita sakit. Sakitnya akan sembuh, jika si ayah mau jujur, artinya jika si ayah mau mengakui bahwa dia telah menumpahkan darah orang yang tidak bersalah itu.

Karena terkait dengan penumpahan darah orang yang tidak bersalah, maka orang-orang pintar yang bersangkutan pun angkat tangan ketika mereka diminta untuk memulihkan kesehatan Obi. Bagi mereka, obat untuk memulihkan sakit Obi adalah kejujuran ayahnya.

Ya, pada tanggal 20 Mei 2007, dalam perjalanan ke kantor polisi di Boru dalam rangka urusan perkara korupsi uang iuran pasar desa Lewoingu, ayah Obi pernah mengancam, “Jika kepala desa terpilih tidak dilantik akan terjadi pertumpahan darah.” Karena hingga Juli 2007, kepala desa terpilih belum juga dilantik, dan karena Yoakim Gresituli Atamaran dkk dituduh sebagai penghalangnya, maka pada hari Senin malam, 30 Juli 2007, aksi penumpahan darah direalisasikan di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga.

Utang darah itu yang perlu ditebus, termasuk oleh ayah Obi. Tetapi justru ayah Obi termasuk orang yang paling getol berkasak-kusuk untuk menutup aksi penumpahan darah di Blou itu. ***

Tentang belum P21-nya BAP empat tersangka kasus Blou di Flores Timur

 

Hampir tiga tahun berlalu dari peristiwa tragis di Blou di Flores Timur – peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Aksi pembunuhan yang terjadi pada hari Senin malam, 30 Juli 2007 itu dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Ketika memimpin aksi pembunuhan tersebut, Mikhael Torangama Kelen berstatus sebagai kepala desa terpilih. Melalui proses yang cacat hukum dan cacat moral dia tampil sebagai pemenang dalam pilkades yang diselenggarakan di desa Lewoingu pada hari Selasa, 27 Maret 2007. Dalam pilkades tersebut Yoakim Gresituli Atamaran menjadi Ketua Tim Sukses dari salah satu calon, yaitu Paulinus Hayon.

Karena protes sebagian warga, maka Bupati Flores Timur, Simon Hayon, menunda pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Bagi para warga yang bersangkutan, hasil pilkades yang cacat hukum dan cacat moral itu tidak pantas untuk direstui. Lagi pula, Mikhael Torangama Kelen pun jelas terindikasi melakukan korupsi, selama periode pertama pemerintahannya sebagai kepala desa Lewoingu.

Gencarnya protes yang dilakukan oleh para warga yang bersangkutan dan penundaan pelantikan, membuat kubu Mikhael Torangama Kelen tertekan dan merasa panik. Untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi, mereka sering menggelar rapat. Ikut hadir dalam sejumlah rapat adalah Donatus Doni Kumanireng, yang sekarang berstatus sebagai seorang pensiunan pegawai negeri sipil. Sebuah bocoran dari dalam kubu Mikhael Torangama Kelen sendiri menyebutkan bahwa rencana pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran dibuat dalam sidang-sidang (=rapat-rapat).

Memang suatu pembunuhan yang berjamaah semacam itu tidak mungkin dilakukan tanpa rencana bersama. Hasil dari rencana itu diterjemahkan di Blou, dengan menggunakan momentum perginya Yoakim Gresituli Atamaran bersama isterinya ke Lato, dengan sepeda motor yang disewa dari Petrus Naya Koten, untuk menghadiri acara Nebo (kenduri) untuk almarhumah ibu Maria Ose Sogen. Faktor sepeda motor itu yang membuat Petrus Naya Koten pun mau tidak mau diterjunkan ke lapangan pembantaian di Blou pada malam itu. Ini merupakan bagian dari strategi untuk bisa menguasai calon korban mereka itu. Kehadiran Petrus Naya Koten di lapangan permainan jahat pada malam itu jelas terpantau. Tetapi di kemudian hari, setelah ditekan dan dihasut oleh rekan-rekannya sesama penjahat, dia pun menggunakan jurus dusta. Bersama Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota lain dalam komplotannya, mereka membentuk paduan suara dusta.

Sebenarnya tidak jadi soal, jika para pelaku pembunuhan tersebut menggunakan jurus dusta untuk menutupi perbuatan jahat yang mereka lakukan. Bagi para anggota polisi yang profesional, jurus dusta seperti yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu dapat ditangkal dengan mudah. Dalam kasus Blou, berbagai sarana untuk menangkalnya sebenarnya tersedia. Tetapi sarana-sarana dimaksud tidak digunakan untuk membongkar hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut. Bahkan sejak awal terdapat oknum-oknum polisi yang ikut berpartisipasi merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Dengan setia mereka memenuhi keinginan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk menutup rapat kasus kejahatan tersebut. Kesetiaan semacam itu jelas punya harga, bukan? 

Setelah Mikhael Torangama Kelen dan  tiga anggota komplotannya ditetapkan sebagai tersangka, penyidik Polres Flores Timur diharapkan mengembangkan arah penyelidikan dan penyidikan mereka ke setiap mata rantai kejahatan yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen. Dan urusan semacam itu sebenarnya mudah dilaksanakan, karena semua informasi, bahan, dan barang bukti toh tersedia. Tetapi apa yang disebut pengembangan itu tidak terjadi sebagaimana mestinya. Maka tak mengherankan bila BAP Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu hanya bisa mondar-mandir antara markas Polres Flores Timur dan kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka. Dari kantor Kejaksaan Negeri Larantuka, kami memperoleh informasi bahwa penyidik belum memenuhi permintaan jaksa, maka berkas itu dikembalikan lagi dan lagi ke Polres Flores Timur. Pengembalian tersebut dimaksudkan agar penyidik memantapkan alat-alat bukti. Ini perlu agar di pengadilan, pihak tersangka tidak mudah membantah perbuatan jahat yang mereka lakukan.

Hingga kini masih ditunggu keseriusan penyidik Polres Flores Timur untuk mengembangkan penyelidikan dan penyidikan mereka hingga menjangkau setiap mata rantai kejahatan tersebut. Bagi kami, selama penyidik masih enggan melakukan pengembangan penyelidikan dan penyidikan termaksud, BAP Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu sebaiknya ditunda untuk P21. Apalagi di dalam kenyataan, yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut bukan hanya empat orang yang ditetapkan sebagai tersangka itu.

Harga dari proses penundaan tersebut ialah bahwa citra kampung Eputobi, desa Lewoingu kian terpuruk, karena dikepalai oleh seorang kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Sebagai kepala komplotan pembunuh berdarah dingin, dia terus berusaha menggunakan segala macam cara untuk menutup-nutupi perbuatan sangat keji yang dilakukannya.

Yang dia lupakan ialah bahwa selama hampir tiga tahun sudah dia terpenjara dalam dirinya sendiri, pertama, oleh kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran yang terus diingkarinya, dan kedua, oleh kasus korupsi yang dilakukannya. Dia juga lupa bahwa kekuasaan apa pun di dunia ini akan berakhir. Dan oknum-oknum penegak hukum yang selama ini bersedia bekerjasama dengannya untuk menutup perbuatan jahatnya itu bisa diganti kapan saja bahkan bisa ditindak pula secara hukum. Dalam proses waktu ke depan hal-hal tersebut dapat terjadi. Proses waktu akan menunjukkan kepada Mikhael Torangama Kelen dan kenyadunya, yaitu Donatus Doni Kumanireng, dkk rekan-rekan seperjuangan mereka bahwa dusta demi dusta yang mereka perlihatkan selama ini akan merusak diri mereka sendiri.

Dan jangan lupa, bahwa masyarakat Lewoingu tidak akan membiarkan kejahatan itu tidak diberantas, karena membiarkan kejahatan itu tidak diberantas merupakan suatu kejahatan. ***

Kamis, 01 Juli 2010

Menunggu keseriusan Polres Flores Timur

 

Pada tanggal 30 Juli 2010 nanti, peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran genap berusia tiga tahun. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Bersama tiga anggota komplotannya, yaitu Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen telah ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi BAP mereka belum juga memperoleh status P21.

Sebanyak enam kali, BAP keempat tersangka itu mondar mondir Polres-Kejaksaan Negeri Flores Timur. Telah beberapa kali dilakukan gelar perkara. Tetapi tindak lanjutnya belum juga efektif. Sehingga BAP para tersangka tersebut belum berhasil P21. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan tersebut sudah terang benderang sejak awal. Yang tidak jelas adalah langkah-langkah terobosan ke arah pembongkaran hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut.

Bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang melakukan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, itu sudah sangat terang benderang sejak awal. Peristiwa pembunuhan itu terjadi secara berjamaah. Selain empat orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, terdapat pula orang-orang lain dalam komplotan Mikhael Torangama Kelen yang terlibat. Ada yang terlibat langsung, ada yang terlibat tidak langsung. Lantas, ada pula yang ikut bergotong royong untuk menutup-nutupi perbuatan sangat jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk itu. Dalam urusan semacam ini, Donatus Doni Kumanireng menjadi salah satu pentolannya.

Sejak di tempat kejadian perkara, pada Senin malam, 30 Juli 2007, para pelaku pembunuhan tersebut sudah berusaha merekayasa kasus kejahatan yang sedang mereka perbuat pada malam hari itu menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Padahal tidak ada satu pun kecelakaan lalu lintas yang terjadi di tempat kejadian perkara baik pada Senin malam, 30 Juli 2007 maupun pada Selasa pagi, 31 Juli 2007. Anehnya, di kemudian hari suara para penjahat itu digemakan kembali secara bertalu-talu oleh oknum-oknum polisi tertentu.

Orang yang paling jelas menampakkan kehadirannya di tempat kejadian perkara pada saat peristiwa pembunuhan itu sedang berlangsung adalah Petrus Naya Koten. Dia adalah salah satu mata rantai yang berjasa bagi terjadinya pembunuhan tersebut. Tanpa peran sertanya, peristiwa pembunuhan tersebut belum tentu terjadi. Kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam hari itu sesuai dengan skenario kriminal yang dirancang oleh Mikhael Torangama Kelen dkk.

Bahwa Petrus Naya Koten itu merupakan bagian dari komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen, itu jelas pula dari kenekadannya untuk menarik kembali keterangannya dari BAP pertamanya. Padahal kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara jelas terpantau. Yang juga jelas tepantau kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara adalah sosok seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Di tempat kejadian perkara, orang dimaksud berdiri bersama beberapa pria lain di pinggir jalan. Mudah bagi kita untuk menduga bahwa mereka yang berdiri bersamanya di pinggir jalan di tempat kejadian perkara tersebut adalah para pelaku pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran.

Ceritera tentang terpantaunya kehadiran Petrus Naya Koten dan beberapa rekannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara itu menunjukkan bahwa terdapat celah-celah lebar yang sebenarnya dapat digunakan oleh para penyidik untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Namun celah-celah lebar tersebut belum juga dimanfaatkan oleh para penyidik yang bersangkutan. Sehingga proses penanganan perkara pembunuhan tersebut cenderung terkatung-katung.

Aneh bahwa perkara pembunuhan yang sudah terang benderang ujung pangkalnya sejak awal itu ditangani dengan cara yang bertele-tele, sehingga membutuhkan waktu yang begitu lama. Dan jangan lupa, banyak kejanggalan ditemukan dalam proses penanganan perkara pembunuhan tersebut. Dalam menyambut ulang tahun ketiga peristiwa pembunuhan tersebut, saya akan menulis serangkaian artikel yang memaparkan kejanggalan-kejanggalan dimaksud. Dari situ para pembaca diharapkan dapat mengetahui mengapa proses hukum atas para tersangka pembunuhan tersebut berjalan bertele-tele.

Hingga kini, pihak keluarga korban dan segenap lapisan masyarakat beradab di Eputobi dan seluruh kawasan Lewoingu di Flores Timur masih berusaha berharap agar Polres Flores Timur mampu mengusut hingga tuntas perkara pembunuhan tersebut. Dengan terjadinya pergantian Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur beberapa waktu lalu, mudah-mudahan dapat ditempuh langkah-langkah yang lebih efektif untuk menyeret siapa pun yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Kapolres dan Kasat Reskrim yang baru diharapkan tidak membiarkan cara penanganan yang bertele-tele terus terjadi atas perkara pembunuhan tersebut. ***