Kamis, 28 Oktober 2010

Penyandang dana proyek kriminal di Blou, Flores Timur

 

Pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran dirancang sebagai suatu proyek yang pelaksanaannya membutuhkan sejumlah dana. Proyek kriminal tersebut dilaksanakan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT. Pasca pelaksanaannya sejumlah dana dikucurkan ke oknum-oknum penegak hukum tertentu agar para pelakunya tidak terkena proses hukum dalam arti sesungguhnya. Karena beberapa dari pelakunya terkena proses hukum, maka sejumlah dana digelontorkan lagi, selain ke kantong pengacara juga ke kantong-kantong oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menghambat proses hukum. Sejumlah dana pun mereka kerahkan untuk membiayai beberapa aksi unjuk rasa yang mereka gelar di Larantuka, paling kurang untuk biaya transportasi dan konsumsi bagi para peserta.

Dari mana sumber dana-dana yang dipakai untuk melakukan dan  menutupi perbuatan jahat mereka? Dana dihimpun dari beberapa sumber. Tetapi dana paling besar diperoleh dari si penyandang dana. Si penyandang dana tinggal dan bekerja di Larantuka, Flores Timur. Dalam hal pendanaan, beberapa pengamat di kampung Eputobi menyebutnya sebagai orang kuat. Disebut orang kuat, karena dia memiliki banyak uang. Seandainya tidak memiliki banyak uang mustahil dia dapat membangun sebuah rumah mewah untuk ukuran daerah setempat. Selain itu, dia juga dapat membeli empat sepeda motor. Dua di antaranya berharga mahal. Belum terhitung biaya yang dikeluarkannya untuk mengongkos kuliah anaknya di luar NTT.

Semua kekayaan material itu diperoleh dalam waktu singkat, sehingga mengundang rasa heran masyarakat setempat. Sempat ramai orang-orang bertanya, “Dari mana dia memperoleh uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” Dan jawaban atas pertanyaan ini tidak sulit untuk ditemukan. Sebagian besar uang yang dia miliki itu berasal dari penghalalan cara haram untuk meraup keuntungan finansial sebesar-besarnya. Dokumen-dokumen tertentu yang pernah disimpan di suatu instansi di sana secara jelas mengindikasikan penghalalan cara haram oleh yang orang bersangkutan. Mudah-mudahan dokumen-dokumen dimaksud masih disimpan dengan baik. Siapa tahu di suatu hari nanti, dokumen-dokumen dimaksud berguna bagi upaya penegakan kebenaran dan keadilan.

Selama beberapa tahun terakhir, orang yang sudah terkenal sebagai penyandang dana proyek kriminal di Blou itu merasa berada di atas angin. Oleh para pelaku kejahatan tersebut dia dipandang sebagai orang hebat. Sekolahnya yang tinggi pernah dijadikan bahan untuk menghina orang-orang tertentu dari kubu yang beroposisi dengan pihak yang sedang memerintah di kampung Eputobi. Ini dilakukan oleh dua orang yang berjuang secara membabibuta untuk membelanya. 

Sebagai orang yang menghalalkan cara haram, dia beranggapan bahwa proses hukum yang berkenaan dengan perkara kejahatan yang terjadi di Blou pun dapat diatur sesuai dengan seleranya. Baginya, urusan hukumnya dapat dikonversikan menjadi urusan transaksional berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Urusan semacam ini diproses di belakang layar, atau dalam lorong remang-remang dan dalam ruangan-ruangan redup cahaya di kota Larantuka, sehingga tidak terpantau langsung oleh publik. Tetapi apa yang terjadi dalam keremangan itu akhirnya tidak sepenuhnya dapat dirahasiakan. Tanpa disengaja, ada bocoran yang mencuat ke permukaan. Pembocornya adalah orang yang diharapkan dapat menyimpan dengan rapih rahasia mereka bersama. Bocorannya memperjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di balik getolnya upaya oknum-oknum penegak hukum tertentu untuk menutupi kasus kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou.

Pembocornya sempat menyadari kesalahannya. Hal ini dia ungkapkan sendiri ketika dia berada dalam suatu perjalanan. Perkataannya pada waktu itu menunjukkan adanya rasa sesal dalam dirinya. Tetapi hingga kini belum jelas apakah rasa sesalnya itu berasal dari hati nuraninya atau bukan. Yang jelas, tak ada upaya-upaya konkret dari dia untuk membantu kelancaran proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut.

Sementara si penyandang dana masih tampak konsisten dalam menjalankan misinya. Meskipun akhir-akhir ini pikiran dan hatinya terganggu oleh kekhawatiran akan terjadinya perubahan arah angin politik, dia masih berusaha menunjukkan kenekadannya untuk menutupi atau paling kurang untuk menghambat proses hukum atas para tersangka pelaku pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Perubahan arah angin politik di daerahnya dengan mudah bakal menghempasnya keluar dari jalur yang selama ini ingin dipertahankannya. Dan siapakah yang bisa menjamin bahwa tak akan ada badai persoalan besar yang bakal menerkam dan memangsanya. Bukankah dia bakal menuai apa yang selama ini ditanaminya? ***

Senin, 25 Oktober 2010

Aktor intelektual tragedi Blou

 

Aksi kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu dirancang dalam serangkaian pertemuan yang digelar di kampung Eputobi dan di beberapa tempat lain. Pertemuan-pertemuan itu diprakarsai oleh si aktor intelektual. Mulanya pertemuan-pertemuan yang digelarnya berlabelkan diskusi. Tetapi itu hanyalah suatu kedok. Kelompoknya kemudian menampakkan diri sebagai suatu komplotan kriminal yang merancang pembunuhan terhadap beberapa orang dari kubu yang beroposisi dengan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Dalam rancangan awal, tiga orang dijadikan sasaran pembunuhan, dengan catatan Yoakim Gresituli Ata Maran adalah orang pertama yang ingin mereka habisi. Kemudian ditambah lagi dua orang. Rancangan kriminal itu dibuat secara cukup rinci hingga mencakup cara menghindari diri dari tanggung jawab hukum.

Ketika rancangan kejahatan itu direalisasikan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, si aktor intelektual berada di rumahnya di suatu kota. Tetapi dia mengikuti tahap demi tahap kegiatan kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan melalui saluran telepon. Setelah mendapat laporan bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran sudah berhasil dimatikan, pada malam itu juga dia memberikan petunjuk tentang cara memperlakukan sepeda motor yang dikendarai korban agar terkesan bahwa kematiannya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Petunjuknya itu dilaksanakan secara harafiah oleh Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng.  

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka – para operator lapangan dan si aktor intelektual – sempat merasa puas dan senang. Salah seorang yang ikut merestui pelaksanaan operasi kriminal tersebut sempat mengekspresikan rasa girangnya ketika jenazah korban dibawa masuk ke kampung Eputobi. Dari jauh, si aktor intelektual mengikuti seluruh rangkaian adegan yang terjadi pada hari Selasa 31 Juli 2007 di Eputobi. Pada hari itu dia merasa bahwa kelompoknya telah memenangkan perang. Bersama beberapa orang yang sealiran dengannya, mereka sempat mengarang-ngarang ceritera tentang sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran.

Tetapi kepuasan dan kegembiraannya tidak berlangsung lama, karena si aktor intelektual pun tahu apa akibat dari suatu perbuatan kriminal. Pikirannya dihantui rasa takut. Karena itu dia pun memutuskan untuk tidak segera pergi ke kampung Eputobi. Dia takut berurusan dengan polisi. Ketakutan yang sama melanda setiap orang yang berperan sebagai operator lapangan. 

Setelah mengetahui bahwa polisi ternyata belum juga menyikapi peristiwa pembunuhan tersebut secara tegas, maka si aktor intelektual memberanikan diri muncul di kampung Eputobi. Di sana dia menggelar pertemuan dengan berbagai unsur dari kubunya di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Lalu dengan sepeda motor dia mengantar salah seorang operator peristiwa Blou, yang sedang mengalami cedera di kepala untuk berobat. Di suatu klinik orang yang bersangkutan sempat menjalani rawat-ngingap. Selama dirawat di situ, dia sering dilanda rasa gelisah yang membuat dia tidak tenang dan susah tidur.

Setelah berhasil melakukan pendekatan khusus dengan oknum-oknum aparat penegak hukum setempat, si aktor intelektual sempat merasa lega. Dia pun mengira bahwa urusan hukum terkait dengan peristiwa pembunuhan di Blou berhasil dihindari karena adanya kerja sama mereka dengan oknum-oknum penegak hukum tertentu. Si aktor intelektual lalu sibuk menggalang upaya untuk mengkriminalisasi keluarga korban. Dalam rangka itu dia sering memunculkan diri di Larantuka dan di kampung Eputobi seraya menggelar pertemuan-pertemuan. Tetapi upayanya itu berbalik menjadi perangkap yang membuat Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak Lamber Liko Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Flores Timur. Kejadian itu membuat nyalinya sempat menciut drastis. Dia takut berurusan dengan polisi. Nyalinya kembali muncul ke permukaan setelah permainan di belakang layar kembali digelar. Si aktor intelektual tahu berapa biaya yang perlu dikucurkan agar permainan di belakang layar itu berhasil dimainkan sesuai dengan irama yang diinginkannya.

Karena berkas perkara atas nama Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya belum berhasil P21, maka pada hari Sabtu 16 Agustus 2008 keempat tersangka itu dikeluarkan dari ruang tahanan Polres Flores Timur. Hal itu menggembirakan hati si aktor intelektual. Dia mengira bahwa keempat tersangka sudah dibebaskan dari proses hukum. Dalam dirinya sempat tumbuh niat untuk meminta SP3 agar dapat melakukan gugat balik. Maka pada tahun 2009, beberapa aksi unjuk rasa digenjot. Tetapi aksi-aksi tersebut akhirnya berakhir dengan kekecewaan yang hingga kini masih membekas dalam benak mereka yang terlibat. Aksi unjuk rasa yang digelar pada bulan November 2009 itu menjadi momen yang justru mempermalukan orang seperti Mikhael Torangama Kelen dan Petrus Naya Koten. Dalam momen itu, posisi mereka sebagai pelaku kejahatan di Blou dipertegas. Hal ini terjadi di luar dugaan para pengunjuk rasa lainnya.

Seusai unjuk rasa, si aktor intelektual meninggalkan Larantuka. Dia membawa rasa kecewa di hatinya ke rumahnya. Di kemudian hari rasa kecewanya itu terkomplikasi dengan kejadian-kejadian tertentu yang membuat nyalinya menciut hingga ke titik terendah. Pengalaman-pengalaman pahit yang dialaminya pasca aksi unjuk rasa yang sia-sia tersebut memaksa dia untuk mundur ke garis belakang. Padahal perang yang dikobarkannya masih jauh dari selesai. Hari-hari hidupnya semakin dibayang-bayangi oleh bangkai kejahatan dengan korban Yoakim Gresituli Ata Maran. Makin lama dia makin asyik bergumul dengan dirinya sendiri. ***

Jumat, 15 Oktober 2010

Kegelisahan seorang aktivis

 

Dia mengaku diri sebagai seorang aktivis dari suatu LSM yang konon memperjuangkan penegakan keadilan dengan cara tanpa kekerasan. Dia masih muda. Dan sepak terjangnya lumayan hebat. Di masa lalu dia sempat sibuk bergerak di seputar “altar Tuhan.” Entah sekarang, setelah sepak terjangnya yang bertolak belakang dengan kegiatan “sucinya” itu di sorot dari segala arah. Yang jelas dalam hari-hari belakangan ini si aktivis dilanda kegelisahan yang membuat dia sempat hilir mudik tak tentu arah.

Orang-orang yang telah mengetahui ceritera di balik ketidaktenangannya akhir-akhir ini kontan maklum. Maklum, si aktivis pun berada dalam satu kubu dengan para pelaku lapangan tragedi Blou. Kalau diusut-usut, dia pun punya saham tertentu bagi pelaksanaan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Paling kurang dia mengetahui adanya rencana matang pelaksanaan kejahatan tersebut, tetapi dia tidak mau berusaha mencegahnya.

Pada Senin siang 30 Juli 2007 dia memunculkan dirinya di Eputobi dan berusaha menemui orang yang direncanakan untuk dibunuh pada hari itu oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tetapi upayanya itu gagal, karena orang yang menjadi target pembunuhan para penjahat Eputobi itu sudah pergi ke Lato, ibu kota Kecamatan Titehena, di Flores Timur. Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal di Blou, dia menyesali keterlambatannya menemui korban.

Seandainya dia punya itikad baik, dia mestinya dapat menyampaikan apa yang diketahuinya tentang rencana pembunuhan tersebut kepada polisi. Di dalam kenyataan, dia justru tampil sebagai salah satu ujung tombak lapangan yang berusaha keras untuk membuat keempat tersangka pelaku pembunuhan tersebut lolos dari jerat hukum. Dalam rangka itu dia pun tak segan-segan menemui orang-orang “pintar” tertentu.

Sepak terjangnya secara jelas menunjukkan bahwa dia mendedikasikan dirinya demi membela kekerasan yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan sadar dan sengaja si aktivis berusaha agar para pelaku kejahatan tersebut tidak diproses secara hukum. Dan dia mengira upayanya itu berhasil.

Setelah mengetahui bahwa proses hukum atas para tersangka pembunuhan tersebut terus berjalan, muka si aktivis pun kontan menciut. Seluruh dirinya pun disergap kegelisahan yang membuat penampilannya sempat menjadi aneh. Rupanya dia baru menyadari bahwa pertarungan masih jauh dari selesai, dan roda-roda hukum masih terus berputar, hingga mencapai titik yang pas untuk dapat menjerat siapa pun yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa pembunuhan tersebut. ***

Menunggu Kapolri dan Jaksa Agung Baru

 

Pagi ini muncul lagi pertanyaan dari kampung Eputobi: “Bagaimana perkembangan penanganan kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran?” Pertanyaan semacam itu sering diajukan oleh berbagai pihak yang selama ini berharap agar mereka yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran ditindak secara tegas melalui prosedur hukum. Sambil bertanya, ada yang menyelipkan juga pesan agar pihak keluarga korban tidak membiarkan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu tidak ditangani.

Pertanyaan itu tadi saya jawab dengan mengatakan bahwa kasus pembunuhan tersebut masih dalam proses, meskipun prosesnya berjalan sangat lamban. Kita menunggu Kapolri dan Jaksa Agung baru. Pergantian Kapolri dan Jaksa Agung diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dalam pemberantasan kejahatan di negeri ini, termasuk pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Pihak keluarga korban telah lama mengetahui mengapa penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan sangat lamban. Alat yang dipakai dalam upaya mengganjal proses hukum atas perkara kejahatan itu sudah jelas. Meskipun demikian, sampai sejauh ini, pihak keluarga korban masih coba memberikan ruang bagi para aparat hukum setempat untuk menangani perkara kejahatan tersebut secara jelas dan tegas. Ceritera tentang penanganan perkara kejahatan tersebut akan berubah, jika aparat penegak hukum setempat gagal melaksanakan tugas mereka. Yang jelas, kejahatan semacam itu tidak akan dibiarkan untuk tidak diberantas.

Sudah jelas bahwa Komjen Timur Pradopo akan menjadi Kapolri, setelah pencalonannya diterima secara aklamasi oleh Komisi III DPR RI pada Kamis malam, 14 Oktober 2010. Meskipun pencalonannya menuai pro dan kontra, kita tetap punya harapan yang jelas bahwa Kapolri yang baru nanti pun punya kepedulian real terhadap kasus-kasus kejahatan di daerah yang penanganannya amburadul. Tidak cukup bila seorang Kapolri hanya menaruh perhatian serius pada kasus-kasus kejahatan besar. Pembiaran penanganan kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan yang sudah jelas ujung pangkalnya berjalan dalam ketidakjelasan, itu akan menjadi preseden bagi berkembang biaknya aktivitas-aktivitas kriminal semacam itu di daerah yang bersangkutan.

Dalam beberapa tahun terakhir muncul fenomena yang sangat memprihatinkan di NTT, yakni bahwa kasus-kasus kejahatan berupa pembunuhan dengan mudah direkayasa menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Kalau sudah begitu, oknum-oknum aparat penegak hukum setempat pun enggan menanganinya. Keprihatinan semacam itu disuarakan pula oleh seorang pengacara yang sedang menangani suatu perkara pembunuhan di NTT. Kepada saya dia menekankan pentingnya pembangunan jaringan yang melibatkan berbagai pihak untuk mengawal penanganan perkara-perkara kejahatan semacam itu. Dia juga menekankan pentingnya dukungan masyarakat terhadap Polri yang berusaha menangani kasus-kasus kejahatan di sana secara profesional.

Kita juga menunggu pergantian Jaksa Agung RI. Siapa yang dicalonkan menjadi Jaksa Agung belum jelas hingga kini. Siapa pun yang bakal dilantik menjadi Jaksa Agung, dia diharapkan mampu meningkatkan mutu kinerja para jaksa di seluruh Indonesia dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Seperti halnya Kapolri, Jaksa Agung yang baru pun diharapkan menjadi motor penggerak reformasi kultural demi penegakan kebenaran dan keadilan. Dalam rangka itu, Jaksa Agung baru nanti diharapkan tidak segan-segan melakukan penertiban terhadap oknum-oknum jaksa yang menggadaikan kebenaran dan keadilan demi pencapaian kepentingan pribadi. Tugas ini berat, tetapi perlu dilaksanakan agar Indonesia bisa menjadi negara hukum demokratis dalam arti sesungguhnya. ***

Sabtu, 09 Oktober 2010

Bagaimana si saksi kunci mengantisipasi proses hukum atas dirinya?

 

Dalam perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, Petrus Naya Koten adalah saksi mahkota alias saksi kuncinya. Kehadirannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara di Blou adalah suatu kenyataan yang tak bisa diingkari oleh siapa pun. Hanya karena tak kuat menghadapi bertubi tekanan dari para tersangka dan rekan-rekan seperjuangan mereka, maka Petrus Naya Koten pun membuat pernyataan penarikan keterangan dari berita acara pemeriksaannya. Tetapi dia sendiri lupa bahwa penarikan keterangannya itu justru merugikan dirinya sendiri.

Petrus Naya Koten sendiri tahu persis sebagai apa dia hadir di tempat kejadian perkara. Dia adalah salah satu mata rantai penting yang memuluskan pelaksanaan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran sesuai dengan rancangan yang telah digariskan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk. Karena itu, dia pun sebenarnya telah menyadari bahwa cepat atau pun lambat dirinya akan ditetapkan sebagai tersangka dan diadili. Dia sadar bahwa kebebasannya beraktivitas seperti yang dialaminya selama ini hanya sementara sifatnya. Hatinya terus menerus dirundung kegelisahan serta ketakutan akan datangnya masa-masa yang lebih menyusahkan dirinya dan keluarganya.

Tanpa diketahui banyak orang, Petrus Naya Koten berusaha mengantisipasi proses hukum yang akan dijalaninya pada hari-hari mendatang. Sebagai langkah antisipatif dia pernah menyatakan keinginannya untuk pensiun dini. Lalu dia pun berusaha mengamankan surat-surat penting seperti ijazah, surat pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil, dll pada salah seorang anggota keluarganya.

Tetapi keinginan untuk pensiun dini belum direalisasikan. Hingga kini Petrus Naya Koten masih aktif bekerja di SMP Negeri Boru. Tetapi hatinya pun semakin dihantui kegelisahan karena keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Meskipun berada dalam perlindungan dan pengawasan rekan-rekan seperjuangannya di Blou, dia tidak hepi. Apakah isteri dan anaknya merasa tenang?

Vero Hayon, isterinya, pernah mengekspresikan kegembiraannya dengan melenggang-lenggok bagai seorang penari yang sedang pentas di gang dekat rumahnya setelah dia mengetahui bahwa suaminya itu tidak jadi ditahan oleh polisi yang memanggilnya untuk kepentingan pemeriksaan.  Tetapi apa arti suatu kegembiraan yang diekspresikan demi suatu kejahatan yang ingin ditutup-tutupi itu. Setelah ikut bergabung ke kubu para penjahat Eputobi, anaknya pun ikut berjuang untuk menutup-nutupi kejahatan yang ikut dilakoni oleh ayahnya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dia ikut berunjuk rasa ke Mapolres Flores Timur. Tapi di situ dia mendengar dengan kupingnya sendiri seperti apa penilaian polisi tentang perbuatan ayahnya.

Tapi bersama ayah dan ibunya, dia terus nekad melakoni sandiwara yang skenarionya digarap oleh Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dkk. Dengan demikian mereka semakin jauh terperosok ke dalam lubang kejahatan yang setiap saat siap menelan mereka lebih dalam. Padahal di hadapan mereka terbuka jalan yang dapat meringankan beban kejahatan yang harus dipikul oleh Petrus Naya Koten. Tetapi tampaknya tak ada lagi terang yang memungkinkan mereka dapat melihat jalan keluar dari lingkaran kejahatan yang membelenggu diri mereka selama ini.

Dengan terlibat dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, Petrus Naya Koten telah menyusahkan dirinya dan keluarganya. Kesusahan lebih besar bakal menimpa mereka, jika Petrus Naya Koten terus menempuh jalan yang gelap. Soalnya, kehadirannya di tempat kejadian perkara merupakan suatu fakta yang tak bisa diingkari oleh siapa pun. Proses waktu akan memperjelas fakta tersebut. ***

Minggu, 03 Oktober 2010

Dua perkara pembunuhan di NTT yang belum P21

 

Pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran terjadi ketika Abdul Syukur menjadi Kapolres Flores Timur, Lazarus menjadi Kapolsek Wulanggitang, dan Fransiskus Raga L. menjadi Kapospol Titehena. Di Polsek Boru pada bulan Oktober 2007, Lazarus menyatakan secara lisan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran mungkin karena kecelakaan lalu lintas. Kata-kata itu dia ucapkan sebagai tanggapan atas apa yang saya katakan, bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran karena pembunuhan. Pada bulan yang sama, Fransiskus Raga L. bergabung dalam tim yang menyebarluaskan informasi yang menyesatkan publik, yaitu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Lalu pada bulan November 2007, Abdul Syukur membuat surat yang menyatakan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Dengan suratnya itu Abdul Syukur pun menyesatkan dan membodohi publik.

Pada tanggal 1 April 2008 Abdul Syukur diganti oleh Syamsul Huda. Abdul Syukur lalu diangkat menjadi Kapolres Timor Tengah Utara yang bermarkas di Kefa. Ketika dia menjadi Kapolres di Kefa terjadi kasus pembunuhan terhadap Paulus Usnaat. Pembunuhan itu terjadi di sel Polsek Nunpene, pada tanggal 2 Juni 2008. Di hadapan penyidik, tiga orang, yaitu Emanuel Talan, Aloisius Talan, dan Baltasar Talan mengakui bahwa mereka yang membunuh Paulus Usnaat. Selain ketiga nama tersebut, ikut menjadi tersangka adalah Agus Talan yang ketika terjadi pembunuhan tersebut menjabat sebagai Ketua DPRD Timor Tengah Utara.

Meskipun alat-alat bukti yang ada sudah cukup, tetapi berkas perkara pembunuhan terhadap Paulus Usnaat belum juga memperoleh status P21. Entah apa kekurangan BAP untuk keempat tersangka yang bersangkutan, maka Jaksa Penuntut Umum pun memandang berkas tersebut belum layak P21.

Saya tidak memiliki informasi yang jelas tentang berapa kali berkas perkara pembunuhan terhadap Paulus Usnaat dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang jelas pengembalian berkas perkara tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan membuat proses hukumnya bergerak ke arah yang tidak jelas. Padahal para pelakunya sudah mengakui bahwa merekalah yang membunuh Paulus Usnaat.

Dari empat kasus pembunuhan yang sempat menghebohkan masyarakat NTT dalam tiga tahun terakhir, dua kasus, yaitu kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran dan kasus pembunuhan terhadap Paulus Usnaat belum memperoleh status P21. Sedangkan dua kasus pembunuhan lainnya, yaitu kasus pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr dan kasus pembunuhan terhadap Yohakim Langoday sudah disidang. Pelaku-pelaku pembunuhan terhadap Yohakim Langoday kini meringkuk di bui. Dua tersangka pelaku pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr, yaitu Theresia Tawa dan Rogasianus Waja dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Bajawa. Tetapi oleh Pengadilan Tinggi NTT kedua terdakwa itu diputuskan bebas. Kasus pembunuhan terhadap Romo Faustinus Sega Pr kini naik banding ke tingkat MA. ***

Ada tangan yang melenyapkan berkas laporan dari keluarga korban

 

Bahwa ada kerja sama yang rapih antara para penjahat Eputobi yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran dan oknum-oknum polisi tertentu, itu pun nampak dari lenyapnya berkas-berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut di Polres Flores Timur. Hal ini pertama diketahui ketika Polda NTT menurunkan dua penyidiknya untuk mengusut kasus pembunuhan tersebut. Ketika AKBP Syamsul Huda mulai bertugas sebagai Kapolres Flores Timur, dia pun tidak menemukan adanya berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut di Polres Flores Timur. Di kemudian hari copy CD yang berisikan rekaman pemeriksaan sanksi kunci pun lenyap dari Polres Flores Timur.

Tampak jelas bahwa ada tangan-tangan yang digunakan untuk melenyapkan barang-barang yang diperlukan untuk penanganan perkara pembunuhan tersebut. Maka, setiap terjadi pergantian Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur pasca tragedi Blou, pihak keluarga korban disibukkan dengan permintaan laporan tentang kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Setelah terjadi peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, sudah dua kali terjadi pergantian Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur. Pada tanggal 12 Juli 2010, di hadapan pihak keluarga korban, Kapolres Flores Timur, secara jelas menyatakan keseriusannya untuk menanganani perkara pembunuhan tersebut. Sebelumnya Kasat Reskrim pengganti Panti Daus pun menyatakan keseriusannya dalam menangani perkara pembunuhan tersebut.

Tetapi dapat atau tidaknya keseriusan verbal itu diterjemahkan ke dalam aksi nyata, itu tergantung dari model koordinasi internal di instansi penegak hukum tersebut. Di masa AKBP Abdul Syukur menjadi Kapolres Flores Timur terdapat keseriusan anggota-anggota polisi tertentu untuk mengusut hingga tuntas kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Namun Abdul Syukur sendiri berusaha merekayasa kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Rekayasa tersebut dilakukan melalui suratnya kepada para kepala desa sekecamatan Titehena di Flores Timur.

Pengganti Abdul Syukur, yaitu AKBP Syamsul Huda berusaha secara serius membawa kasus pembunuhan tersebut ke pengadilan. Namun hingga kini, perkara pembunuhan tersebut belum juga memperoleh status P21. Selanjutnya kita akan menyaksikan apakah AKBP Eko Kristianto berhasil menerobos kebuntuan yang dialami oleh AKBP Syamsul Huda.

Hari-hari mendatang pun akan menjelaskan jadi apa nasib berkas-berkas laporan yang beberapa bulan lalu disampaikan kembali ke Polres Flores Timur. Semoga tak ada lagi tangan-tangan yang berusaha melenyapkan berkas-berkas laporan tentang kasus pembunuhan tersebut? ***