Jumat, 26 November 2010

Adegan Selasa pagi, 31 Juli 2007 di Blou, Flores Timur

 

Tentang apa yang terjadi di Blou, Flores Timur, pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sudah pernah saya tulis. Baiklah diingat bahwa setelah berhasil menewaskan Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya begadang hingga pagi hari Selasa 31 Juli 2007. Pagi-pagi hari tersebut mereka sudah meluncur ke Blou untuk mencek kondisi korban dan untuk memposisikan sepeda motor yang pada Senin malam dikendarainya dari Lato, dalam perjalanan pulang ke Eputobi. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut, termasuk tugas untuk mengantar Petrus Naya Koten ke Boru dikoordinasi oleh Mikhael Torangama Kelen. Petrus Naya Koten memang perlu “diservis” sebaik mungkin agar dari mulutnya tidak meluncur pengakuan yang jujur tentang apa yang terjadi di Blou.

Sebelum diposisikan di samping jenazah korban di dalam parit, sepeda motor Yamaha Jupiter itu diparkir di pinggir jalan di sebelah timur deker. Sekitar jam 06.00 waktu setempat, dua orang yang baru saja pulang dari pesta di Lewotobi berada dalam jarak yang sangat dekat dengan tempat kejadian perkara. Mereka berjalan di jalan setapak dari arah pantai Waigema. Keberadaan mereka di situ merupakan bagian dari suatu kamuflase untuk menutupi apa yang sedang terjadi di tempat kejadian perkara pada pagi hari itu.

Ketika ditanya oleh seseorang untuk apa mereka berada di situ pada hari sepagi itu, mereka menjawab dengan enteng,

“Kami baru lihat jerat kera di pantai.”

Padahal di sepanjang pantai Waigema tak ada satu pun jerat yang dipasang untuk menangkap kera. Orang yang berkomunikasi dengan mereka itu pun sempat berhenti sebentar di pinggir jalan dekat tempat kejadian perkara, lalu dia meneruskan perjalanannya dengan sepeda motor ke Bokang.

Hari masih pagi ketika seseorang lain pun lewat di tempat kejadian perkara. Keberadaannya di situ mengejutkan para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran yang sedang melakukan “tugas-tugas” mereka pagi itu. Keberadaannya di situ kontan menciutkan nyali para penjahat itu. Daripada perbuatan jahat mereka langsung dibocorkan ke mana-mana, maka mereka pun langsung mengajak orang itu untuk menyelesaikan “urusan” di antara mereka dengan cara “damai.” Ajakan “damai” disertai ancaman itu langsung diterima. Dan tanpa berpikir panjang, orang itu pun mengiyakan sekaligus melaksanakan skenario yang dibuat oleh para penjahat yang mulai digerogoti rasa takut itu. 

Yang terjadi di antara kedua belah pihak pada pagi itu ialah suatu konspirasi awal untuk menutup rapat perbuatan jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Terdapat indikasi yang cukup jelas bahwa konspirasi yang dibangun pagi itu melibatkan pula seseorang yang seharusnya bertugas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Konspirasi itu konsisten dengan kebohongan yang mulai disebarkan langsung dari tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Lalu hal berikut ini juga perlu diperhatikan, yaitu bahwa pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007, sebelum tersiar kabar tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Mikhael Torangama Kelen bersepeda motor bersama isterinya (Evi Kumanireng) ke arah barat. Mereka begerak dalam suatu iringan kecil bersama Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek, dan Damasus Likuwatang Kumanireng yang dibonceng oleh seorang tukang ojek lainnya. Pada saat yang hampir bersamaan Geroda Tukan yang naik angkutan umum “Melani” pun sedang dalam perjalanan ke arah barat.

Sebelumnya di Eputobi, Yohakim Tolek Kumanireng yang bercelana pendek dan berbaju kusut kotor telah mewartakan kabar begini,

“Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup kita tidak tahu. Mukanya pucat pasi. Dia sedang tergeletak di Blou.”

Kata-kata itu dia ucapkan setelah dia turun dari ojek yang membawanya dari Berobang ke Eputobi. Setelah mendengar kabar itu, beberapa tukang ojek mau meluncur ke Blou untuk menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Akim Maran. Tetapi Lambertus Lagawuyo Kumanireng mencegah mereka dengan mengatakan,

“Jangan ke sana! Nanti orang menduduh kamu yang melakukan.”

Sandiwara yang mereka mainkan pada pagi hari itu terbilang rapih. Tetapi kejahatan mereka pun meninggalkan jejak-jejak yang dengan mudah dapat dideteksi. Mayoritas masyarakat Lewoingu telah lama muak dengan sandiwara murahan yang selama itu mereka pentaskan. Masyarakat setempat mengharapkan mereka mengakui perbuatan jahat mereka itu secara jujur dan apa adanya.

Tetapi jika mereka terus mempertahankan ketidakjujuran, maka proses waktu akan “memberi mereka pelajaran” serta “pendidikan” dengan cara-cara yang dahsyat. ***

Kamis, 25 November 2010

Mungkinkah kebenaran dapat dikangkangi?

 

Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya berupaya keras untuk mengangkangi kebenaran. Dengan segala macam cara mereka berusaha menggagahi kebenaran. Ikut aktif dalam kegiatan tersebut adalah Donatus Doni Kumanireng, San Kweng, dan Marsel Sani Kelen. Dari Lewolaga, nama Anis Hera patut disebut. Bersama-sama mereka berusaha mengingkari fakta-fakta tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dkk di Blou.

Ikut berusaha mengangkangi kebenaran adalah sejumlah oknum aparat penegak hukum. Sejak terjadinya peristiwa pembunuhan di Blou, sudah muncul oknum-oknum polisi yang secara tersamar berusaha mengalihkan kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas. Di kemudian hari, muncul oknum-oknum polisi yang secara terang-terangan membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Secara terang-terangan mereka berusaha melakukan kebohongan publik dan menyesatkan masyarakat setempat. Hal ini mereka lakukan secara lisan dan tertulis. Seperti halnya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, oknum-oknum itu pun mengira bahwa kebenaran dapat dikangkangi sesuka hati mereka, sesuai kepentingan sesaat mereka. Mereka adalah oknum-oknum yang dengan sadar dan sengaja ikut merusak citra Indonesia. 

Untung bahwa mayoritas masyarakat Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang semacam Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, Donatus Doni Kumanireng, San Kweng, Marsel Sani Kelen, dan lain-lainnya itu. Upaya Donatus Doni Kumanireng untuk mengangkangi kebenaran sejarah Lewoingu, sejak awal ditentang dari dalam lingkaran keluarga besarnya sendiri, apalagi upaya kerasnya dalam membela kejahatan tersebut. Tentangan lebih keras lagi datang dari luar lingkaran keluarga besarnya. Hal yang sama dialami oleh Marsel Sani Kelen. Ketika orang ini ikut berkicau secara sembarangan tentang sejarah Lewoingu, orang-orang dari lingkaran keluarga besarnya sendiri langsung mengeluarkan suara yang isinya menentang isi kicauannya. Volume suara yang menentangnya semakin diperkuat ketika orang ini pun ikut-ikutan membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pembelaannya itu didasarkan pada alasan primordial, bukan pada fakta-fakta yang dapat diverifikasi. Maka tak mengherankan bila tulisan-tulisannya pun mengandung berbagai jenis sesat pikir. Hal ini akan saya sajikan dalam serangkaian tulisan di masa datang sebagai contoh penalaran yang sesat.

Karena terlalu asyik dalam upaya meluncurkan jurus-jurus kebohongan dengan tujuan menyesatkan publik, maka orang-orang semacam itu tidak lagi menyadari bahwa kebenaran tentang siapa saja yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran semakin terbuka dari waktu ke waktu. Hal ini justru memperlemah posisi para pelaku kejahatan tersebut maupun posisi para pembela mereka di mata publik setempat. Makin lama makin jelas bahwa orang semacam Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya serta para pembela mereka semakin tak mampu mengangkangi kebenaran tentang peristiwa Blou.

Kebenaran dengan cara-caranya sendiri terus memperlihatkan diri. Dan yang tumbuh belakangan ini dalam diri sejumlah orang baik di Lewoingu maupun di luar Lewoingu adalah upaya-upaya lebih nyata untuk memperjelas sosok kebenaran yang selama ini coba dikangkangi oleh para pelaku pembunuhan tersebut dan para pembela mereka. ***

Jumat, 19 November 2010

Tiga putera Lamber Liko Kumanireng

 

Sejak tahun 2007, tiga putera Lamber Liko Kumanireng, yaitu Yohakim T. Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng termasuk orang-orang Eputobi yang tersohor sebagai pembunuh berdarah dingin. Di bawah pimpinan Mikhael Torangama Kelen, tiga bersaudara kandung itu menjadi pelaku utama adegan brutal di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.  Bersama Mikhael Torangama Kelen, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Berempat mereka sempat ditahan di Polres Flores Timur selama 120 hari. Tetapi karena berkas perkara mereka belum P21, maka mereka pun dikeluarkan dari ruang tahanan. Hingga kini mereka menyandang status sebagai tersangka. Kelambanan polisi dalam menangani perkara pembunuhan tersebut membuat mereka masih bebas berkeliaran di luar bui. Ketika tulisan ini dibuat, salah seorang dari anak Lamber Liko Kumanireng, yaitu Laurens Dalu Kumanireng sedang berada di Kupang.

Ketika beraksi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007, dia mengendarai sepeda motor Yamaha berplat nomor Kupang. Yoka Kumanireng mengendarai sepeda motor Honda GL warna hitam. Pada malam kejadian perkara, seseorang yang melintas di tempat kejadian perkara melihat Yoka Kumanireng sedang berdiri di pinggir jalan raya bersama beberapa orang pria. Keterlibatan langsung tiga bersaudara kandung itu dalam aksi kriminal di Blou diungkapkan oleh Petrus Naya Koten alias Pite Koten.

Tak lama setelah terjadi peristiwa kriminal di Blou, Laurens Dalu Kumanireng bermaksud menjual sepeda motornya. Dalam rencananya, uang hasil penjualan sepeda motor itu dipakainya untuk pergi merantau. Tapi maksud itu diurungkan. Di kemudian hari, sepeda motor itu berhasil dijual. Uang hasil penjualan sepeda motor itu dipakainya untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Tetapi karena tak betah tinggal di Jakarta, dia kemudian kembali ke Eputobi dan tinggal di sana hingga kini.

Jika Laurens Dalu Kumanireng menggunakan sepeda motor Yamaha, Yoka Kumanireng menggunakan sepeda motor Honda GL berwarna hitam. Pada minggu malam 29 Juli 2007 selepas pukul 20.00 waktu setempat, Honda GL hitam itu tampak diparkir di deker di Blou yang kemudian dikenal dengan tempat kejadian perkara. Di deker, dua orang sedang mengobrol. Sekitar pukul 04.00 Senin 30 Juli 2007, Honda GL hitam itu berada di situ. Tetapi dua orang yang sebelumnya duduk sambil ngobrol di deker tidak kelihatan. Pada Senin malam 30 Juli 2007 pengendara sepeda motor itu kembali ke Blou untuk menjalankan misi kriminal sesuai rencana yang telah mereka susun.

Setelah berpartisipasi aktif dalam peristiwa kejahatan di Blou, Yoka Kumanireng menderita sakit. Cedera yang mengenai kepala dan lehernya membuat dia sempat tidak keluar rumah. Setelah kesehatannya membaik dia kembali beraktifitas di luar rumah, tapi dengan tampilan yang berbeda daripada hari-hari sebelumnya. Selama berhari-hari helm tak lepas dari kepalanya, dan jaket yang kerahnya ditegakkan hingga menutup batang lehernya pun tak lepas dari tubuhnya. Ketika menghadiri acara pesta pun, helm dan jaket tetap dikenakannya. Ini dia lakukan untuk menutupi cedera di kepala dan lehernya.

Dari mana datangnya cedera di kepala dan lehernya itu? Seorang dukun, yaitu Mari’ Sogen yang diminta bantuannya mengatakan bahwa cedera yang diderita anak itu akibat pukulan hantu di Waidang pada tahun 2004. Penjelasan semacam itu menjadi bahan tertawaan banyak orang. Kuat dugaan bahwa cedera tersebut diperolehnya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Pasacatragedi Blou, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu sangat aktif pula dalam upaya-upaya untuk mengintimidasi dan mengancam orang-orang yang dianggap ikut berusaha membongkar kejahatan yang mereka lakukan. Intimidasi dan ancaman mereka mengharubiru sembarangan. Sehingga sempat  meresahkan masyarakat setempat. Yohakim T. Kumanireng, misalnya, sempat pula mengintimidasi seorang perempuan. Tanpa alasan yang jelas, orang ini pun sempat melaporkan beberapa orang Eputobi ke Pos Polisi di Lewolaga. Dia pun mengancam menghakimi orang-orang yang dianggapnya berbuat macam-macam. Beberapa waktu lalu nyawanya nyaris melayang akibat sepeda motor yang dikendarainya menyenggol alat berat yang sedang memperlebar jalan raya di dekat kampung Eputobi. Kejadian itu menimbulkan ketakutan besar dalam lingkup keluarganya. Ini tampak dari digelarnya suatu upacara khusus yang konon dimaksud untuk menolak bala. Sebelum kejadian tersebut, yaitu pada malam Paskah 2009, dia terjatuh di gereja Riang Duli setelah menyambut komuni.

Seperti halnya Mikhael Torangama Kelen, ketiga anak Lamber Liko Kumanireng itu pun mati-matian menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Bersama Mikhael Torangama Kelen, mereka menekan Petrus Naya Koten untuk menarik kembali keterangan yang sudah diberikannya kepada penyidik. Tak ada tanda-tanda bahwa tiga anak Lamber Liko Kumanireng itu mau mengakui secara jujur apa yang mereka perbuat di Blou, padahal terdapat kesaksian yang jelas tentang keterlibatan mereka dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Kepada saya Lamber Liko Kumanireng pun sempat membantah tuduhan tentang keterlibatan tiga orang anaknya itu dalam tragedi Blou, padahal pada waktu itu belum muncul tuduhan tersebut. Bantahannya disampaikannya sambil menangis di hadapan saya dan Epeng Maran. Adegan itu pun disaksikan langsung oleh isterinya dan orang-orang lain. Dengan gencar Lamber Liko Kumanireng pun berusaha menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh tiga orang anaknya. Tetapi apa yang mereka tutup-tutupi sudah lama terbuka. Polisi saja yang lamban bekerja sehingga proses penanganan perkara kejahatan itu berjalan bertele-tele. ***

Minggu, 14 November 2010

Kisah tentang seseorang yang bermimpi jadi “penguasa kampung”

 

Dia tidak dilahirkan sebagai seorang penguasa. Tapi mungkin karena itu, maka dia bermimpi menjadi seorang penguasa. Ya, dia bermimpi menjadi penguasa di kampung halamannya. Entah sejak kapan, mimpinya itu mulai bersemi. Yang jelas pada bulan Maret 2008, dia sendiri yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi. Proklamasi itu dilakukannya bukan di kampung halamannya, tetapi di suatu tempat lain di negeri orang di hadapan orang lain yang tak tahu menahu tentang sejarah kepemimpinan Eputobi-Lewoingu. Dapat diduga bahwa deskripsi dirinya sebagai penguasa kampung Eputobi sudah cukup lama dibuatnya dalam dirinya sendiri. Namun baru pada tahun tersebut dia mengekspresikannya secara verbal.

Pernyataan bahwa dirinya adalah penguasa kampung Eputobi itu tak bermanfaat. Karena, di dalam kenyataan dia bukan seorang penguasa. Dia hanyalah seorang pemimpi. Seandainya dia tahu sejarah, dia tahu pula bahwa pernyataannya itu tak pantas menurut standar moral lokal. Tetapi baginya, apa yang tidak pantas itu pantas. Maka mimpinya itu pun coba diterjemahkannya dalam skenario-skenario yang dirancangnya untuk menghancurkan tatanan adat Lewoingu hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Skenario-skenario desktruktifnya itu menemukan momentum pada situasi politik kampung yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dengan sendirinya bergeser ke arah pembentukan suatu tatanan politik kriminal ala kampung. Pada tahun 2004 mulai nampak tanda-tanda bahwa yang menjalankan roda politik di kampung Eputobi adalah suatu geng kriminal. Tanda-tanda itu nampak paling kurang dari dua hal; pertama, dari penghalalan segala macam cara di kalangan para eksekutif dan kroni-kroni mereka untuk mempertebal kantong sendiri-sendiri; kedua, dari penggunaan ancaman-ancaman kekerasan fisik terhadap tokoh-tokoh yang menentang praktek-praktek korupsi yang dilakoni oleh kepala desa dan kroni-kroninya yang duduk dalam struktur pemerintahan desa.

Untuk menerjemahkan mimpinya itu, dia sering memunculkan dirinya di kampung Eputobi. Di sana dia menggalang persekongkolan dengan memanfaatkan sentimen-sentimen primordial dan gesekan-gesekan politik yang ada. Target awalnya adalah meluruskan jalannya sejarah Lewoingu. Untuk itu dia pernah menemui Kepala Suku Ata Maran, dan tanpa malu-malu dia mengatakan, “Kita perlu luruskan sejarah.” Namun dia sendiri tidak menjelaskan sejarah mana yang perlu diluruskan.

Usulannya itu menjadi bahan tertawaan berbagai kalangan yang paham akan seluk beluk sejarah  Lewoingu. Soalnya, usul tersebut datang dari seseorang yang bertitel akademik, tetapi ternyata tidak mengetahui sejarah asal usulnya sendiri. Setelah melihat sepak terjangnya semakin menjadi-jadi dalam mengutak-atik tatanan adat Lewoingu, seorang saudaranya berkomentar, “Dia itu tidak tahu sejarah, maka dia berbuat seperti itu.” Seandainya dia tahu sejarah, dia tidak berbuat semacam itu.

Bagi orang yang paham sejarah Lewoingu, sepak terjangnya yang diarahkan pada pengrusakan tatanan adat itu aneh dan tidak masuk akal. Tetapi baginya, apa yang aneh itu tidak aneh, dan apa yang tidak masuk akal itu masuk akal. Maka dia pun meneruskan langkah-langkahnya untuk memenuhi mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Apalagi di kalangannya dia dipandang sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi gerakan politik kotor mereka. Istilah politik kotor ini saya pinjam dari seseorang yang pada tahun 2003 dipermalukan dan nyaris dihakimi di muka umum oleh kepala desa Lewoingu. Dalam dan melalui geng politik kampung itu, dia berusaha menampilkan diri sebagai seorang penguasa yang bisa berbuat apa saja sesukanya.

Perjalanan waktu akhirnya menyingkap bahwa dia berada di balik persoalan-persolan kriminal besar. Dia berada di balik pelanggaran adat dan penyerobotan tanah yang terjadi pada tahun 2006 di kampung Eputobi. Dia juga berada di balik peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dengan sadar dan sengaja dia mendukung kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan sadar dan sengaja dia menempuh langkah-langkah untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut atau paling kurang untuk menghambat proses hukum atas para pelakunya. Dalam rangka itu suaranya mengembara ke mana-mana. Suaranya sempat pula mendarat di rumah seorang dukun. Selain itu, dia juga secara sadar dan sengaja membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya.

Jelas bahwa perbuatan-perbuatan yang diperlihatkannya itu berkategori kriminal berat. Tetapi baginya, apa yang disebut kriminal itu tidak kriminal bahkan dianggapnya sebagai perbuatan baik dan bermakna bagi masyarakat setempat. Padahal di dalam kenyataan terjadi perpecahan sosial dan kerusakan-kerusakan kultural yang semakin sulit diatasi, akibat perbuatan-perbuatan kriminal yang didukungnya.

Dengan menunggang rezim kriminal tersebut, dia berusaha meraih mimpinya menjadi penguasa kampung Eputobi. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang tak mungkin terwujud, karena sejarah punya kisah yang jelas tentang garis-garis kepemimpinan adat Lewoingu. Garis-garis sejarah itu tak bisa dihapus oleh gerombolan penjahat itu. Dan dia yang selama ini bermimpi menjadi penguasa kampung Eputobi itu pun kian merana dalam kesendiriannya. Sejarah akan memperlihatkan kepada kita seperti apa akhir dari mimpinya itu. Yang jelas, mimpi yang dulunya kelihatan indah  kini menjadi mimpi yang sungguh buruk baginya. ***

Kamis, 11 November 2010

Jangan takut membela kebenaran

 

Di kampung Eputobi telah lama tumbuh keberanian untuk membela dan menegakkan kebenaran. Dalam menyikapi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, muncul pula orang-orang yang secara konsisten berusaha membela dan menegakkan kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang berani mengambil risiko untuk menentang gerakan menutup-nutupi kejahatan tersebut yang dimotori oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Keberanian semacam itu tentu tidak kita temukan pada diri orang-orang yang berusaha cari aman dan selamat untuk diri sendiri.

Sikap saling bertolak belakang terhadap kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran pun tampak di kalangan orang Eputobi perantauan. Terdapat orang-orang yang karena alasan primordial dan alasan-alasan lain ikut berjuang menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mereka ikut berjibaku membela kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh para pelaku pembunuhan tersebut. Di antara mereka dari kalangan berjubah pun, ada yang ikut berjuang di pihak Mikhael Torangama Kelen. Cara berjuang mereka pun terbilang konyol.

Di tanah rantau ditemukan pula orang-orang yang ikut berusaha dengan caranya masing-masing agar para pelaku pembunuhan tersebut ditindak secara hukum. Bagi mereka kejahatan semacam itu tak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Siapa pun pelakunya, dia atau mereka perlu dihukum. Bagi mereka, membenarkan, membela kejahatan itu dalam hati saja sudah merupakan suatu kejahatan.

Di antara kedua tipe tersebut terdapat tipe lain, yaitu orang-orang yang mengambil posisi netral. Mereka adalah orang-orang yang mengambangkan diri. Ketika angin bertiup ke barat, mereka ikut berkiblat ke barat. Tetapi ketika angin bertiup ke timur, mereka pun ikut berkiblat ke timur. Kiblat mereka tergantung arah angin. Dari orang-orang semacam ini sukar diharapkan upaya-upaya nyata untuk memperjuangkan tegakknya kebenaran.

Patut juga dicermati sikap orang-orang perantauan yang mereduksi masalah kejahatan sangat besar yang dibuat oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu menjadi persoalan pertikaian biasa yang dapat diselesaikan dengan cara maaf memaafkan antarpribadi yang dianggap terlibat. Simplifikasi persoalan semacam ini biasanya dilakukan oleh kaum romantis yang mengharapkan kembalinya masa lalu yang dianggap penuh harmoni, dan oleh kaum yang tidak mau repot dengan urusan pemberantasan kejahatan serta urusan penegakan kebenaran dan keadilan yang mendasar. Orang-orang semacam ini berusaha menjauhkan diri dari fakta-fakta yang berbicara tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Meskipun demikian, di antara mereka pun terdapat orang yang berusaha melakukan analisis-analisis “semau gue” tentang persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Eputobi. 

Posisi keluarga korban dan segenap lapisan masyarakat pendukungnya, baik yang bermukim di kawasan Lewoingu maupun yang bermukim di luar kawasan Lewoingu jelas, yaitu memperjuangkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Sikap kami jelas, yaitu melawan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan pembunuh yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Dalam urusan semacam ini, kami tidak akan mundur sejengkal pun. Apalagi semakin lama semakin terkonfirmasi dari berbagai sumber bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, NTT.

Maka siapa pun yang bersimpati apalagi yang secara terang-terangan membela Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia membela kejahatan yang mereka lakukan pada tanggal tersebut di atas. Selain itu, dia juga membela praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen selama dia menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di kampung Eputobi, mereka yang bergabung dalam kelompok penjahat itu dengan mudah dapat diidentifikasi satu per satu. Mereka terdiri dari orang-orang yang berhasil disesatkan oleh komplotan penjahat tersebut dan menyesatkan diri demi kepentingan pribadi mereka masing-masing. Selama ini mereka ikut menikmati kemapanan politik semu akibat bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi mereka lupa bahwa persoalan demi persoalan akan menanti mereka di masa depan setelah tatanan kriminal yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen ambruk. Tidak mungkin Mikhael Torangama Kelen akan terus becokol di kursi kepala desa selama sisa hari-hari hidupnya. Sekarang ini saja kekuasaannya tampak keropos. Pemerintahannya berjalan sangat pincang dan tertatih-tatih. Roda pemerintahannya semakin tidak berguna bagi terciptanya keamanan apalagi kesejahteraan bagi masyarakat Eputobi.

Sebagian dari mereka sempat sadar akan akibat-akibat buruk dari upaya mereka untuk membela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Tetapi mereka kini menghadapi dilema. Mau kembali ke jalan yang benar, tetapi masih terbentur oleh rasa malu karena selama ini mereka telah berkhianat kepada kebenaran. Tetapi mau terus maju dalam barisan pembela kejahatan pun mereka malu juga, karena mereka ikut melakukan sesuatu yang tidak baik (baca:jahat) menurut ukuran lewotana (adat istiadat setempat), ukuran moral, dan ukuran agama, serta ukuran hukum.

Masih ada waktu bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Masih ada kesempatan bagi mereka untuk mengubah sikap mereka dari sikap berpihak pada kejahatan ke sikap melawan kejahatan atau dari sikap melawan kebenaran ke sikap membela kebenaran. Kepada mereka yang mau kembali, saya ingin sampaikan ajakan, “Mari, bergabunglah dengan kelompok masyarakat yang selama ini berusaha membela kebenaran. Jangan takut membela kebenaran.” ***

Senin, 08 November 2010

Ceritera di akhir pekan pertama bulan November 2010

 

Pada akhir pekan pertama bulan November 2010, saya mendapat ceritera dari kampung Eputobi, Lewoingu, di Flores Timur tentang apa yang dialami oleh Meus Kumanireng.

Apa yang dialami oleh Meus Kumanireng menunjukkan bahwa di kampung Eputobi masih terdapat orang-orang dari kubu “jatim” yang terus berusaha untuk memancing keributan dengan orang yang berseberangan sikap dengan sikap mereka terhadap kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Kali ini yang berulah adalah Donatus Kumanireng. Tanpa alasan yang jelas, orang ini memprovokasi Meus Kumanireng dengan ancaman dan kata-kata makian di hadapan orang-orang lain yang sempat menyaksikan aksinya.

Seandainya provokasinya itu ditanggapi oleh Meus Kumanireng secara emosional, maka perkelahian antara mereka dapat saja meletus, dan persoalannya bisa merembet ke mana-mana. Untung bahwa Meus Kumanireng mampu menghadapinya dengan tenang. Untung pula bahwa ada saja orang yang berusaha mencegah agar aksi kekerasan tak jadi meledak.

Sebelum aksi provokasi tersebut terjadi, Lambertus Lagawuyo Kumanireng tampak berada di rumah Donatus Kumanireng. Selama ini kedua orang ini tampak seiring sejalan dalam menghadapi kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Perlu dicatat bahwa Lambertus Lagawuyo Kumanireng adalah salah satu orang Eputobi yang terlibat dalam aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Perannya dalam kasus kejahatan tersebut semakin terkonfirmasi dari berbagai sumber. Karena polisi setempat lamban bergerak, maka orang ini belum tersentuh hukum.

Setelah berlalu ancaman Donatus Kumanireng, Lambertus Lagawuyo Kumanireng berusaha menekan Meus Kumanireng melalui SMS. Tetapi jawaban-jawaban dari Meus Kumanireng tampaknya jitu dan membuat dia kapok. Usaha dia menekan Meus Kumanireng malah berbalik menjadi bumerang yang menekan dirinya sendiri. Mudah-mudahan dia pun mulai sadar bahwa tidak setiap orang yang ditekannya bernyali kecil.

Bukan baru seklali ini dia berusaha menekan Meus Kumanireng. Tetapi Meus Kumanireng tak terpengaruh oleh tekanannya. Bagi Meus Kumanireng, membela kebenaran itu merupakan suatu pekerjaan yang perlu dilakukan secara konsisten. Untuk apa seseorang mau membela kejahatan, hanya karena salah satu pelakunya adalah orang dari satu suku dengannya?

Karena Meus Kumanireng berani berpihak pada kebenaran, maka dia dirongrong. Tetapi bagi orang yang punya tekad yang kuat untuk berpihak pada kebenaran, rongrongan semacam yang dilakukan oleh Donatus Kumanireng dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng itu tak ada artinya.

Rongrongan semacam itu menunjukkan bahwa kubu yang dimotori oleh para pelaku pembunuhan tersebut semakin dilanda ketidaktenangan. Mana ada perbuatan jahat seperti pembunuhan yang dapat memberikan ketenangan bagi para pelakunya? ***