Minggu, 25 Desember 2011

Terang di atas kampung Eputobi

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Pernahkah anda menyaksikan suatu fenomena alam seperti tampak dalam gambar ini? Itu adalah terang yang muncul pada suatu malam hari di atas kampung Eputobi pada bulan Oktober 2007, yang direkam dengan kamera digital Olympus 3.2 mega pixel. Gambar itu diambil dari halaman rumah keluarga Ata Maran yang terletak di pinggir barat kampung Eputobi, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Terang itu berasal dari suatu benda langit yang menjadi penerang di malam hari. Anda tentu tahu benda langit apa yang dimaksud. Lensa Olympus yang digunakan untuk merekam kemunculannya di atas kampung Eputobi pada malam itu berhasil memperlihatkan pola cahaya dan warnanya yang menakjubkan. Suatu harmoni yang indah terlukis di langit malam.

Gambar itu dibuat ketika sebagian besar warga kampung Eputobi sedang tidur lelap diselimuti kelam malam yang dingin. Jangankan di malam hari, di siang hari pun suasana kampung Eputobi pada hari-hari itu terasa sangat kelam akibat kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kejahatan yang mereka lakukan itu menghancurkan harmoni sosial budaya yang terlukis indah dalam halaman-halaman sejarah Lewoingu selama berabad-abad.

Demi membela kejahatan yang mereka lakukan itu, banyak orang ikut tergiring ke lorong yang gelap. Bersama para pelaku kejahatan itu mereka berjalan dalam gelap. Mereka memiliki mata. Tetapi mereka tak mau melihat terang yang muncul dari langit siang dan langit malam. Mereka punya hati. Tetapi hati mereka dibiarkan menjadi gelap gulita untuk menyembunyikan kejahatan yang mereka lakukan itu. Mereka punya akal budi. Tetapi akal budi mereka digunakan untuk merawat dusta demi dusta.

Tetapi terang tetap muncul dari langit untuk menghalau kegelapan itu. Dan biarlah mereka yang tak mau disinari terang itu tetap berjalan di jalan yang gelap gulita hingga tiba pada kegelapan abadi.

SELAMAT NATAL untuk Anda yang mau melihat Terang Ilahi yang datang ke dunia dan mau disinari olehNya. ***

Selasa, 13 Desember 2011

Orang-Orang Yang Berutang Darah dan Nyawa

 

Sejarah Lewoingu kontemporer mencatat nama Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala komplotan pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Nama ini pun dikenal sebagai kepala desa Lewoingu periode 2000-2006. Kini orang ini masih menyandang status sebagai kepala desa Lewoingu. Di kecamatan Titehena dan di kabupaten Flores Timur dia menjadi satu-satunya kepala desa yang berstatus sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Dengan kata lain, dia rangkap status, ya jadi kepala desa, ya jadi tersangka pelaku pembunuhan juga. Keputusan pelantikannya sebagai kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua diambil oleh bupati Flores Timur, yang ketika itu dijabat oleh Simon Hayon. Keputusan itu dibuat bukan berdasarkan hukum dan etika politik, tetapi berdasarkan pertimbangan sepihak dari seorang bupati sebagai penguasa daerah.

Sudah lebih dari tiga tahun, Mikhael Torangama Kelen secara resmi menyandang status sebagai tersangka pembunuhan tersebut. Status itu disandangnya bersama tiga anggota komplotannya, yaitu Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng. Penetapan keempat orang itu sebagai tersangka terjadi berdasarkan kesaksian yang diberikan oleh Petrus Naya Koten, salah satu anggota komplotan yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Petrus Naya Koten adalah salah satu pion yang digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen untuk menjemput Yoakim Gresituli Ata Maran di Bokang. Tidak hanya lima orang itu yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou, Flores Timur pada Senin malam, 30 Juli 2007. Nama Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun perlu disebut sebagai salah satu pelakunya. Masih ada nama-nama lain yang ikut berandil dalam proyek kejahatan yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen itu. Namun tak perlu nama-nama mereka saya sebutkan satu per satu di sini.

Meskipun tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan yang terjadi di Blou, nama Andreas Boli Kelen perlu disebut sebagai salah seorang yang berusaha keras untuk menghambat proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Ketika Petrus Naya Koten diperlukan keterangannya oleh polisi, Andreas Boli Kelen meluncurkan ancaman pemecatan kepadanya melalui SMS. Ancaman itu sempat membuat Petrus Naya Koten goyah, karena takut kehilangan pekerjaan. Dengan meluncurkan ancaman pemecatan, Andreas Boli Kelen berharap Petrus Naya Koten akan tutup mulut. Tetapi mulut Petrus Naya Koten telah terlanjur terbuka untuk menuturkan apa yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Sebelum Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditetapkan sebagai tersangka, rekan seperjuangan Andreas Boli Kelen, yaitu Donatus Doni Kumanireng sibuk menyebarkan kebohongan. Ketika itu, dia pun gencar menyebarluaskan informasi bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalu lintas. Dia pun sibuk mondar-mandir Kupang-Larantuka-Eputobi. Salah satu upayanya ialah mengkriminalisasi pihak keluarga korban. Tetapi upayanya itu berujung pada penetapan Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak kandung Lamber Liko Kumanireng sebagai tersangka. Penangkapan dan penahanan Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya itu sebagai tersangka merupakan suatu pukulan tersendiri bagi Donatus Doni Kumanireng. Tetapi ketika itu dia terus memaksakan diri untuk melakukan perlawanan. Dengan nyali yang dikuat-kuatkan, dia terus berusaha melawan pihak keluarga korban yang bertekad melawan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Perlawanannya terhadap pihak keluarga korban terbilang sangat gencar. Tetapi dia lupa bahwa berbagai fakta yang terkait dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu tak bisa dia putarbalikan sesuka hatinya. Nyali perlawanannya terhadap pihak keluarga korban menciut drastis setelah seorang adik kandungnya sendiri secara mendadak dihantam kematian pada Malam Natal 2009.

Di kampung Eputobi Robi alias Obi Kumanireng Blikololong pernah mendesak ayahnya (Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong) untuk berkata jujur.

“Kamu harus jujur. Ini bukan urusan uang atau harta. Ini urusan darah dan nyawa.”

Begitu kata-kata yang diucapkan oleh Obi kepada ayahnya. Urusan darah dan nyawa siapakah yang dimaksud Obi? Yang dia maksud adalah urusan darah dan nyawa Yoakim Gresituli Ata Maran yang menjadi korban pembunuhan yang ikut dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi si ayah tidak menggubris apa yang disarankan oleh anaknya. Hingga kini ayahnya tetap mempertahankan ketidakjujuran. Apakah dengan ketidakjujurannya dia akan lolos dari hukuman atas kejahatan yang dilakukannya bersama Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka itu? Jelas dia dan mereka tidak akan lolos dari hukuman.

Mereka adalah orang-orang yang berutang darah dan nyawa, darah dan nyawa orang yang tidak bersalah. Utang tersebut tidak akan didiamkan. Utang tersebut akan ditagih hingga lunas. Dengan mempertahankan kebohongan, beban utang darah dan nyawa yang mereka pikul kian berat menekan mereka dari hari ke hari. Tinggal orang-orang sangat bebal saja yang percaya pada ketidakjujuran mereka.

Kalau hingga kini mereka masih menghirup udara bebas, itu semata-mata karena ketidakseriusan para penyidik Polres Flores Timur untuk mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan tersebut. Berulangkali jaksa penuntut umum meminta penyidik melengkapi BAP empat tersangka, tetapi hingga kini permintaan itu belum juga dipenuhi.

Tetapi jelas bahwa utang darah dan nyawa itu harus dibayar hingga lunas oleh para pelaku pembunuhan tersebut. ***

Rabu, 19 Oktober 2011

Kejahatan Itu Harus Diberantas

 

Hingga baris ini diketik, penyidik Polres Flores Timur belum juga mengembangkan penyelidikan dan penyidikan yang terkait dengan pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, 30 Juli 2007. Maka tak mengherankan bila proses hukum atas para pelaku pembunuhan tersebut pun menjadi tidak jelas. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan tersebut amat sangat benderang.

Hingga kini baru empat orang, yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yohakim T. Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng yang ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun berstatus sebagai tersangka, Mikhael Torangama Kelen, beberapa bulan lalu, di Eputobi, pernah mengatakan bahwa urusan pembunuhan tersebut sudah selesai. Karena itu dia pun berkasak-kusuk untuk berdamai. Tetapi tidak jelas dengan siapa dia ingin berdamai.

Tampak jelas bahwa Mikhael Torangama Kelen, si kepala komplotan penjahat Eputobi itu lupa bahwa masyarakat Eputobi, khususnya yang mengusahakan tegaknya kebenaran dan keadilan, tidak membutuhkan perdamaian seperti yang dia kehendaki. Yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut adalah kejujuran dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk mengakui perbuatan jahat mereka di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dia juga lupa bahwa mempertahankan ketidakjujuran atau dusta seperti selama ini dia dan teman-temannya lakukan itu pada akhirnya akan sia-sia. Semakin lama mereka mempertahankan dusta, maka semakin besar malapetaka yang akan menimpa mereka. Jelas bukan, siapa menabur kejahatan dia akan menuai badai kejahatan atau badai mala petaka.

Urusan yang terkait dengan pembunuhan tersebut belum selesai. Seandainya si Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya memilih untuk tetap bertahan dalam dusta, itu pun tidak jadi soal. Segala macam dusta yang selama ini mereka perlihatkan tidak akan mengubah kenyataan, bahwa mereka adalah pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Pada akhirnya mereka akan dihadapkan pada satu pilihan saja, yaitu bahwa kejahatan yang mereka lakukan itu harus diberantas.

Membiarkan kejahatan itu tidak diberantas merupakan suatu kejahatan. ***

Minggu, 31 Juli 2011

Empat Tahun Kemudian

Empat tahun kemudian setelah tanggal 31 Juli 2007 adalah hari ini 31 Juli 2011. Pada hari Selasa, 31 Juli 2007, selepas jam 09.00 waktu setempat, masyarakat Lewoingu di Flores Timur dikejutkan dengan berita tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di pinggir jalan raya di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Menurut kabar yang beredar pada hari itu, jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan oleh seorang petani bernama Moses Hodung Werang pada jam 09.00 pagi waktu setempat. Konon, orang ini pula yang melaporkan penemuannya itu ke Kapospol Titehena di Lewolaga. Dan bersama Kapospol Titehena, Fransiskus Raga L. dia kembali ke tempat kejadian perkara.

Yang tidak diketahui oleh banyak orang pada hari itu ialah fakta bahwa pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007, beberapa jam sebelum jam 09.00 waktu setempat, Yohakim Tolek Kumanireng telah menyampaikan kepada beberapa tukang ojek di Eputobi bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran mengalami kecelakaan dan sedang terbaring di Blou dengan muka pucat pasi. Kabar itu dia sampaikan setelah dia turun dari ojek. Ojek itu distopnya di larang metineng (jalan menuju pantai Keletakeng). Sebelum jam 09.00 pagi hari itu, salah seorang dari kubu Mikhael Torangama Kelen menyampaikan kabar tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Konga.

Ketika Kapospol Titehena dan Moses Hodung Werang berada di tempat kejadian perkara, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun muncul di situ. Oleh Kapospol Titehena mereka diminta untuk menyampaikan kabar duka ke pihak keluarga orang yang meninggal itu di Eputobi. Dalam perjalanan ke Eputobi, mereka menunjukkan rasa gembira mereka. Di Eputobi, mereka tidak menyampaikannya ke keluarga Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang mereka tunjukan ke masyarakat setempat adalah rasa suka cita, bukan rasa duka cita.

Yang tidak diketahui oleh masyarakat setempat pada hari itu adalah fakta bahwa jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran tidak ditemukan oleh Moses Hodung Werang. Ceritera Moses Hodung Werang bahwa dia menemukan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran itu merupakan suatu kebohongan. Terdapat saksi yang bertemu dengan Moses Hodung Werang berjalan dari arah Wairunu ke Lewolaga, paling kurang dua jam sebelum jam 09.00 pada pagi hari itu. Seandainya Moses Hodung Werang menjadi orang pertama yang menemukan jenazah korban, dia mestinya menceriterakannya kepada orang-orang yang dijumpainya di ruas jalan antara Blou dan Lewolaga. Untuk apa dia merahasiakannya? Juga aneh bahwa setelah dari Blou, dia pun tidak langsung melaporkannya ke Pospol di Lewolaga. Juga aneh bahwa tak lama setelah Moses Hodung Werang dan Kapospol Titehena berada di tempat kejadian perkara, muncul pula di situ Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng.

Tampak jelas bahwa sejak pagi hari itu Moses Hodung Werang pun ikut berusaha merahasiakan kegiatan yang dilakukan oleh para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou. Hingga hari ini, Moses Hodung Werang masih berusaha bertahan dengan versi ceriteranya bahwa dialah yang pada jam 09.00 waktu setempat (Selasa, 31/7/2011) menemukan jenazah korban di dalam parit di pinggir jalan di Blou. Tetapi apa yang coba dirahasiakannya itu sebenarnya sudah terbongkar. Tak ada gunanya dia terus berusaha merahasiakan barang busuk itu.

Empat tahun setelah tanggal 31 Juli 2007, suasana kehidupan di kampung Eputobi mengalami perubahan terutama dalam dimensi relasi sosial antara kubu timur dan kubu barat. Setelah capek membela posisi Mikhael Torangama Kelen, sebagian dari mereka yang dari kubu timur mulai bertegur sapa dengan orang-orang dari kubu barat. Di antara mereka muncul kesadaran bahwa selama ini mereka membela orang yang tidak jujur. Jelas bahwa kubu timur mengalami perpecahan. Dan Mikhael Torangama Kelen semakin tak mampu untuk mempersatukan serta memperkuat kubunya. Wibawanya sebagai kepala desa Lewoingu semakin terjun bebas. Dalam suasana semacam itu makin jelas tampak ke permukaan fakta-fakta tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Yang tidak berubah adalah status Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang juga tidak berubah adalah usaha Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk bertahan dalam dusta, suatu usaha yang pada dasarnya sia-sia. Segala macam dusta mereka itu tak akan menghapuskan kenyataan bahwa mereka punya utang darah dan nyawa. Utang itu pun harus mereka bayar. ***

Jumat, 29 Juli 2011

Empat Tahun Yang Disia-siakan

Hari ini tanggal 29 Juli 2011. Besok tanggal 30 Juli 2011. Lusa tanggal 31 Juli 2011.

Besok malam, 30 Juli 2011, tragedi Blou berusia empat tahun. Pada malam itu, empat tahun lalu, Mikhael Torangama Kelen memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Aksi pembunuhan tersebut didahului dengan penghadangan, pengeroyokan, serta penganiayaan sangat berat terhadap korban. Yoakim Gresituli Ata Maran yang sendirian, dalam perjalanan dengan sepeda motor dari Lato menuju kampung Eputobi, tak berdaya melawan komplotan penjahat yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Dia akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir ditempat kejadian perkara. Keesokan harinya, Selasa, 31 Juli 2007, tersiar kabar tentang kematiannya. Pada hari itu, tersiar pula berita bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalulintas.

Tetapi di tempat kejadian perkara sama sekali tidak ditemukan jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalulintas. Di tempat kejadian perkara di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, ditemukan petunjuk-petunjuk yang amat benderang, bahwa kematiannya adalah akibat pembunuhan. Karena itu, keluarga korban memohon polisi untuk menyelidiki kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Permohonan secara lisan pertama disampaikan ke Kapospol Titehena, Fransiskus Raga L. di Lewolaga pada tanggal 5 Agustus 2007. Tetapi permohonan itu tak mendapat respons positif dari Kapospol Titehena.

Permohonan tersebut juga disampaikan secara lisan dan tertulis kepada Kapolres Flores Timur di Larantuka dan kepada Kapolsek Wulanggitang di Boru. Tetapi sampai dengan akhir tahun 2007, permohonan dari pihak keluarga korban itu tidak mendapat tanggapan positif. Sebelum akhir tahun, yaitu pada bulan Oktober 2007 di Polres Flores Timur muncul suatu tim yang menyebarkanluaskan kabar bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Aktif dalam tim, yang dipimpin oleh K. Melki Bagailan itu, Fransiskus Raga L.  Seorang polwan pun ikut serta dalam tim tersebut.

Apa yang disebarluaskan oleh tim tersebut jelas merupakan kebohongan. Tim yang menyebarkan kebohongan itu dipimpin oleh K. Melki Bagailan yang pada waktu itu menjabat sebagai Kasat Lantas Polres Flores Timur. Dikiranya hanya K. Melki Bagailan dkk yang menyebarkanluaskan kebohongan. Ternyata Abdul Syukur, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kapolres Flores Timur pun melakukan kebohongan publik. Kebohongannya disebarluaskan melalui surat yang dikirim kepada semua kepala desa di Kecamatan Titehena. Surat itu dibuat berdasarkan permintaan mereka yang terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut. Permintaan itu disampaikan secara terbuka di Eputobi melalui K. Melki Bagailan dan timnya.

Pada bulan Januari 2008, setelah mengetahui bahwa keluarga korban melaporkan kasus pembunuhan tersebut ke Polda NTT dan ke Mabes Polri, serta ke Presiden RI, Abdul Syukur membentuk suatu tim yang ditugaskan untuk menyelidiki perkara pembunuhan tersebut. Tetapi keesokan harinya tim itu langsung pecah ke dalam dua kelompok. Di satu pihak terdapat anggota-anggota polisi yang mau melakukan tugas tersebut. Di lain pihak terdapat anggota-anggota polisi yang tak mau melaksanakan tugas tersebut. Beberapa polisi yang mau melaksanakan tugas tersebut sempat turun ke lapangan untuk melakukan penyelidikan. Tetapi hasil kerja mereka pun tidak jelas.

Kasus pembunuhan tersebut baru mulai terungkap secara jelas setelah Polda NTT menerjunkan dua penyidiknya untuk melakukan penyelidikan. Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup, Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan terahdap Yoakim Gresituli Ata Maran. Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang kini menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Tiga tersangka lainnya adalah anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng. Pada tanggal 18 April 2008, keempat tersangka tersebut ditangkap. Dan selama empat bulan mereka ditahan di Polres Flores Timur.

Pada tanggal 1 April 2008, AKBP Syamsul Huda diangkat menjadi Kapolres Flores Timur. Abdul Syukur dimutasi ke Kefa. Ketika dia menjadi Kapolres di Kefa, terjadi pembunuhan terhadap Paulus Usnaat. AKBP Syamsul Huda bertekad membawa kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran ke Pengadilan Negeri Larantuka. Namun upayanya itu gagal, karena lemahnya dukungan dari para bawahannya. Memang, sejak awal terdapat upaya-upaya nyata dari oknum-oknum polisi tertentu untuk mengalihkan kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi kasus kecelakaan lalulintas.

Setelah dua tahun lebih menduduki kursi Kapolres Flores Timur, AKBP Syamsul Huda diganti oleh AKBP Eko Kristianto. Kepada keluarga korban, AKBP Eko Kristianto pernah menyatakan keseriusannya untuk menangani perkara pembunuhan tersebut. Tetapi hingga kini, penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan di tempat. Mungkin apa yang pernah dialami oleh AKBP Syamsul Huda dialami pula oleh AKBP Eko Kristianto. Tampaknya keseriusan verbalnya tak dapat diterjemahkan secara nyata ke para bawahannya.

Yang mengejutkan banyak pihak di Lewoingu adalah keputusan AKBP Eko Kristianto mengangkat Fransiskus Raga L. menjadi Kepala Pos Titehena yang bermarkas di Lewolaga. Padahal Fransiskus Raga L. adalah orang yang aktif dalam tim yang melakukan kebohongan publik seperti telah disinggung di atas. Keputusannya itu menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang selama ini mengharapkan keseriusan Kapolres Flores Timur dan para bawahannya untuk mengungkap berbagai aspek yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut.

Karena penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan di tempat, selama tiga pekan dalam bulan Juli 2011, pihak keluarga korban berusaha menemui Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur untuk menanyakan perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut. Tetapi upaya pihak keluarga korban tersebut tidak berhasil, karena Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur tidak berada di tempat. Mudah-mudahan dalam hari mendatang ini, kedua pejabat di Kapolres Flores Timur itu lebih sering berada di tempat sehingga lebih mudah ditemui oleh keluarga korban. Selama ini mereka sendiri pun mengharapkan kerja sama dari pihak keluarga korban untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Tetapi kalau mereka sendiri susah ditemui, bagaimana mungkin kerjasama yang diharapkan itu dapat berjalan secara efektif.

Tak terasa, empat tahun sudah usia kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Seandainya Kasat Reskrim, Kapolres, dan para penyidik Polres Flores Timur serius menangani kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu, maka perkara tersebut mudah diungkap hingga tuntas, dan para pelakunya pun sudah dijebloskan ke bui.

Terdapat celah-celah yang pada dasarnya terbuka untuk digunakan untuk mematahkan dusta demi dusta yang selama ini dijadikan sebagai senjata untuk mengelabui para penyidik. Tetapi para penyidik yang bersangkutan tak mau menggunakannya. Tak jelas apa alasannya. Yang jelas, empat tahun telah disia-siakan oleh mereka yang oleh Negara Republik Indonesia ditugaskan (dipercayakan) untuk memberantas kejahatan. Tampaknya, reposisi lebih lanjut di tubuh Polres Flores Timur perlu dilakukan agar kasus pembunuhan yang ujung pangkalnya telah terang benderang itu dapat diungkap hingga tuntas. ***

Senin, 11 Juli 2011

Siapa yang menabur kejahatan, dia akan menuai ……..?

Sebelum tahun 2006, masyarakat Eptuobi, Lewoingu, di Kecamatan Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur hidup dalam suasana rukun dan damai. Suasana damai itu saya rasakan hingga tahun 2004, ketika saya berlibur ke kampung Eputobi. Pada tahun itu dua kali saya ke kampung Eputobi. Kesempatan itu saya gunakan untuk berbicara dengan beberapa tokoh senior di kampung Eputobi. Ketika itu saya tidak menemukan adanya tanda-tanda akan terjadinya malapetaka besar di kampung Eputobi.

Dua tahun kemudian, yaitu pada bulan April dan Mei tahun 2006, kerukunan dan kedamaian mulai tercabik. Oleh siapa? Oleh sekelompok orang yang mengacaukan tata adat dan melanggar batas tanah milik Ata Maran di kampung Eputobi. Kasus itu membuat saya pulang pada bulan Juni 2006. Untuk apa? Untuk melihat dari dekat apa yang sesungguhnya terjadi. Di lapangan saya menemukan jejak-jejak pelanggaran batas tanah tersebut. Selama berada di Eputobi saya pun berdiskusi dengan sejumlah orang termasuk dengan beberapa pemuka adat keturunan Gresituli. Dari berbagai informasi yang berhasil saya himpun dari berbagai pihak, saya menemukan bahwa pelanggaran adat pada 10 April 2006 dan pelanggaran batas tanah pada 19 Mei 2006 itu dengan sengaja dirancang oleh kelompok pengacau tersebut untuk menunjukkan bahwa merekalah yang menjadi penguasa adat Lewoingu. Kelompok pengacau adat itu dipayungi oleh kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Kelompok itu mengandalkan Donatus Doni Kumanireng sebagai aktor intelektual.

Setelah tanggal 10 April 2006, pihak Ata Maran berusaha menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme musyawarah-mufakat. Upaya itu disampaikan kepada Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu. Agar Donatus Doni Kumanireng bisa hadir dalama acara tersebut, Mikhael Torangama Kelen menetapkan tanggal 12 Mei 2006 sebagai tanggal pertemuan. Tokoh-tokoh adat dari Suku Lewolein (Lewoema), Doweng One’eng, dan Ata Maran menghadiri pertemuan itu dengan harapan terjadi suatu musyawarah untuk mencapai mufakat guna secara damai menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kelompok pengacau tersebut. Diharapkan Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu mampu memimpin jalan pertemuan tersebut secaran baik. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini justru berpihak kepada kelompok pengacau tersebut. Diharapkan kehadiran Donatus Doni Kumanireng selaku seorang doktorandus dapat memberi pengaruh yang kondusif bagi jalannya pertemuan tersebut. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini menjadi bagian dari persoalan baru. Pendek kata, di dalam pertemuan itu, pihak Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One’eng dipermalukan di muka umum, suatu hal yang baru pertama terjadi dalam sejarah Lewoingu.

Pada tanggal 19 Mei 2006, tiga suku keturunan Gresituli membuat suatu upacara adat di eputobi guna menegaskan batas tanah seperti yang sudah disepakati oleh para leluhur Ata Maran, Lewolein, Doweng One’eng di satu pihak dan Kumanireng dan Lamatukan di pihak lain. Menanggapi hal itu, para pengacau tersebut melakukan pelanggaran batas tanah tersebut. Ketika itu, ulah mereka itu dibiarkan, karena menurut keyakinan para keturunan Gresituli dan para anggota suku-suku lain yang mengetahui sejarah tanah itu dan sejarah adat Lewoingu, cepat atau lambat para pengacau itu akan bertobat.

Di kemudian hari ditemukan adanya tanda-tanda pertobatan di kalangan tersebut. Tetapi mereka tidak pernah mengakui secara terbuka bahwa mereka telah melakukan kesalahan adat dan kejahatan berupa penyerobotan tanah bukan milik mereka. Aktor intelektual mereka malah membenarkan perbuatan jahat semacam itu. Sepak terjangnya itu menimbulkan tanda tanya besar di berbagai kalangan yang mengetahui sejarah Lewoingu termasuk sejarah pemilikan tanah ulayat.

Dikira upaya mereka untuk mengacaukan kampung Eputobi hanya sampai di situ. Pada tahun 2007 para pengacau adat dan pelanggar batas tanah tersenut bersama Mikhael Torangama Kelen dan kaki tangan politiknya menjelma menjadi suatu komplotan yang sungguh-sungguh kriminal. Untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala desa Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen dan para kaki tangannya membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pembunuhan tersebut merupakan tahap awal dari rencana mereka untuk membunuh lima orang yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam gerakan antikorupsi di kampung Eputobi. Mereka beranggapan bahwa lima orang itu menjadi penghalang utama bagi Mikhael Torangama Kelen untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, kursi kekuasaan yang juga dia gunakan untuk melakukan korupsi selama periode pertama pemeritahannya. Hanya karena rencana jahat mereka itu sudah terbuka ke publik, dan karena takut, maka mereka tak merealisasikan rencana jahat mereka untuk empat orang rekan seperjuangan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup empat orang yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi selama ini para tersangka itu tidak jujur mengakui perbuatan jahat mereka di Blou. Padahal makin lama makin ditemukan fakta-fakta bahwa mereka itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Bersama sejumlah oknum polisi nakal, mereka bergotong royong untuk mengalihkan kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas.

Kiranya perlu dicatat bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah bapak kecil dari Arlene  alias Aris Kelen. Yohakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng adalah saudara kandung dari Damianus Kumanireng yang kini bermukim di tanah Papua. Dari catatannya di buku tamu eputobi.net tanggal 5 Juli 2011, saya bisa mengatakan bahwa Aris Kelen pun sudah memiliki kemampuan untuk memutarbalikkan fakta-fakta. Yang selama ini saya ungkapkan melalui tulisan-tulisan saya di internet adalah fakta-fakta yang dengan mudah dapat dibuktikan. Termasuk yang saya ungkapkan adalah peranan Andreas Boli Kelen untuk menghambat bahkan untuk memblokir proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Aris Kelen tentu mengenal dengan baik siapa Andreas Boli Kelen. Coba Aris Kelen bertanya kepada Andreas Boli Kelen mengapa dia mengancam Petrus Naya Koten alias Pite Koten, saksi mahkota? Rupanya Aris Kelen tidak lagi punya rasa malu memiliki bapak kecil yang adalah seorang pembunuh dan pelaku korupsi. Tampak jelas bahwa orang ini tidak tahu lagi mana baik, mana tidak baik, mana benar, mana yang salah. Kepada dia saya perlu menyampaikan bahwa bapak kecilmu itu telah menaburkan kejahatan, maka dia akan menuai badai malapetaka yang mengerikan. Termasuk yang akan menuai badai malapetaka adalah orang-orang yang selama ini ikut berjuang menutup kasus pembunuhan tersebut.

Saya juga menemukan catatan yang dibuat oleh Damianus Kumanireng pada tanggal 4 Juli 2011 di buku tamu eputobi.net. Dari catatannya itu, saya mengetahui bahwa dia termasuk orang yang menutup diri terhadap fakta-fakta bahwa tiga orang saudara kandungnya berperan sebagai eksekutor utama yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada malam itu, tiga orang saudara kandungnya itu secara brutal menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran. Lalu coba Damianus Kumanireng pun bertanya kepada Lamber Liko Kumanireng di mana posisi dia ketika terjadi peristiwa buruk tahun 2006 itu? Tiga peristiwa di 2006 dan peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di 2007 itulah yang merusak kerukunan dan kedamaian di kampung Eputobi.

Dengan mengabaikan fakta-fakta, khususnya fakta-fakta keterlibatan tiga orang saudara kandungnya dalam peristiwa pembunuhan tersebut, Damianus Kumanireng pun sangat berpotensi untuk ikut menutup kasus pembunuhan tersebut. Pembunuhan tersebut merupakan suatu kejahatan luar biasa besar. Juga merupakan suatu kejahatan luar biasa besar upaya-upaya yang dikerahkan untuk menutup pembunuhan tersebut. Menutup kejahatan yang luar biasa besar itu bukan cara untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Eputobi. Tetapi kejujuran untuk mengakui perbuatan jahat tersebut di hadapan masyarakat Lewoingu dan di hadapan pihak berwajib bisa menjadi langkah awal bagi bergulirnya proses perdamaian seperti yang anda harapkan itu, Damianus Kumanireng……..

Ingatlah baik-baik Damianus Kumanireng, siapa yang menabur kejahatan kemanusiaan yang luar biasa besar itu, dia akan menuai badai malapetaka yang luar biasa besar juga. ***

Minggu, 03 Juli 2011

Damai …..??? Barang apa itu?

Sudah sering saya mendengar kabar dari Eputobi tentang kasak-kusuk para penjahat Eputobi untuk berdamai dengan kelompok barat di kampung Eputobi. Kasak-kusuk semacam itu pernah dilakukan antara lain oleh Mikhael Torangama Kelen, juga oleh Donatus Doni Kumanireng. Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang memimpin aksi pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Meskipun tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan yang terjadi pada malam tersebut, Donatus Doni Kumanireng punya andil yang signifikan di belakang layar bagi terlaksananya kejahatan tersebut. Peransertanya dalam upaya-upaya untuk menutup kasus pembunuhan tersebut sangat jelas. Orang ini pun jago dalam memutarbalikkan fakta-fakta sejarah Lewoingu dan fakta-fakta yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut. Hal ini dia lakukan demi kepentingan kekuasaan, baik kepentingan kekuasaan adat maupun kekuasaan politik yang ada dalam genggaman tangan adik iparnya, Mikhael Torangama Kelen. Hasil kerjasama mereka adalah kerusakan-kerusakan yang terjadi di kampung Eputobi sejak 2006 hingga sekarang ini. 

Mendengar adanya kasak-kusuk semacam itu, saya bertanya dalam hati, “Damai…??? Barang apa itu?” Lalu saya juga bertanya dalam hati, “Dengan siapa atau pihak mana mereka sesungguhnya ingin berdamai? Dengan siapa atau pihak mana mereka pernah bermasalah, sehingga sekarang mereka berkasak-kusuk untuk berdamai?”

Saya tidak punya jawaban atas rentetan pertanyaan tersebut. Banyak orang di kampung Eputobi pun tak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertera di atas. Donatus Doni Kumanireng dan Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka mungkin punya jawaban akurat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak soal juga seandainya mereka sendiri tidak punya jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena, pada dasarnya, jawaban dari mereka tidak penting.

Yang penting adalah pertanyaan berikut dan jawabannya, “Damai dengan penjahat-penjahat itu?” Jawabannya, “Tidak ada damai dengan mereka?” Ini adalah jawaban standar dari berbagai komponen sosial di Lewoingu, di luar kelompok kecil binaan Mikhael Torangama Kelen. Seandainya persoalannya hanya menyangkut pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah yang mereka lakukan pada tahun 2006, urusan damai lebih mudah diproses. Meskipun di masa lalu kejadian semacam itu bisa mengundang pertumpahan darah yang mengerikan, tapi di era kontemporer kami berusaha menempuh cara lain untuk mengatasi mereka. Tetapi karena kasusnya menyangkut juga pembunuhan terhadap anggota keluarga Ata Maran, maka jalan ceriteranya menjadi sangat lain. Apalagi mereka pun pernah berencana membunuh beberapa orang lain lagi. Karena itu selama ini kami sama sekali tidak tertarik dengan usulan damai dari para penjahat itu. Damai yang mereka usung ke mana-mana itu hanyalah kedok. Di baliknya, terdapat upaya mereka untuk menutup kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Saya harap orang semacam Mikhael Torangama Kelen dan Donatus Doni Kumanireng itu konsisten. Bukankah ikut berjuangnya Donatus Doni Kumanireng dalam upaya pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah Ata Maran di Eputobi itu untuk membawa masyarakat Eputobi ke track yang benar? Bukankah dengan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya berharap dapat mewujudkan suasana kehidupan yang lebih tenang dan lebih damai di kampung Eputobi? Bukankah selama ini mereka tidak pernah mengakui bahwa mereka melakukan pelanggaran adat dan batas tanah yang bukan milik mereka? Bukankah selama ini Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya tidak pernah mengakui bahwa mereka membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran?” Pendek kata, “Bukankah selama ini mereka tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah sumber kerusakan masyarakat Eputobi?”

Dari sudut pandang mereka, semua yang mereka lakukan sejak 2006 hingga sekarang adalah perbuatan-perbuatan baik demi kebaikan kampung halaman. Kalau benar demikian, mengapa selama ini mereka itu berkasak-kusuk untuk berdamai? Masalah apa yang sesungguhnya menghantui hati, pikiran, dan perasaan mereka selama ini, sehingga mereka membutuhkan damai? ***

San Kweng, antara air mata dan aktivitas membela kejahatan

Di antara para pembela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, nama San Kweng patut disebut. Dia adalah putera dari Kelemeng Kweng. Sebelum meletus peristiwa Blou, dia dikenal sebagai seorang katekis, guru agama Katolik. Setelah meletus peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dia dikenal sebagai salah seorang pembela gigih kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Pada hari Senin 30 Juli 2007, setelah Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng pergi ke Lato, San Kweng muncul di rumah keluarga Ata Maran di kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur. Maksud kedatangannya ke rumah itu ialah menemui Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kepada ibu Emy Maran, dia bertanya,

“Tanta ibu, kene’ (bapak kecil) ada?”

“Kene’ ke Lato, ada nebo (acara selamatan untuk orang yang meninggal) di sana.” Jawab ibu Emy Maran.

Lalu ibu Emy Maran bertanya kepadanya,

“Ada pesan, nanti tanta ibu sampaikan?”

“Tidak ada.” Jawab San Kweng.

Lalu San Kweng mengatakan,

“Besok jam begini saya akan datang ke sini.”

Keesokan harinya, setelah mendengar kabar bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, San Kweng muncul di rumah duka di Eputobi. Di hadapan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran, dia menangis tersedu-sedu. Banyak air mata dia tumpahkan di rumah duka. Seraya menangis dia meminta ampun kepada kene’nya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Dalam tangis, dia berkata, “Minta ampun kene’, karena saya terlambat.” San Kweng pun hadir dalam acara pemakaman Yoakim Gresituli Ata Maran. Seusai acara pemakaman, dia kembali ke Weri, Larantuka.

Setelah terungkap bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou itu akibat pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia tampil di garis depan untuk membela kejahatan yang mereka lakukan itu. Dia adalah orang yang membawa surat Petrus Naya Koten alias Pite Koten yang isinya menarik kembali keterangannya dari berita acara pemeriksaan. Waktu itu Pite Koten tinggal di Weri.

Di markas Polres Flores Timur, San Kweng pernah berusaha menunjukkan netralitasnya. Kepada seorang penyidik, dia pernah berceritera bahwa ketika Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal dia pun menangis. Ketika para tersangka membutuhkan pembelaan, dia pun membela mereka. Tampaknya, dia lupa bahwa pembelaan secara membabibuta seperti yang dia lakukan itu sama dengan membela kejahatan yang mereka lakukan.

Aksi-aksi pembelaannya terhadap kejahatan tersebut terbilang gencar. Untuk membela kejahatan tersebut, dia menggelar aksi unjukrasa di Larantuka. Tujuan utama aksi unjuk rasa itu ialah meminta SP3 bagi Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Dalam momen semacam itu dia mengenakan “jubah” PADMA Indonesia. Tetapi sebenarnya tidak jelas apakah aksi semacam itu sinkron dengan visi misi PADMA Indonesia sesungguhnya.

Setelah unjukrasa-unjukrasa yang pernah digelarnya di Larantuka gagal membuahkan hasil, aktivitasnya dalam kaitan dengan kasus pembunuhan tersebut menjadi tidak jelas lagi. Semoga dia sadar bahwa apapun upaya dia untuk membela kejahatan tersebut tidak akan berhasil. “Jubah” PADMA Indonesia yang selama ini dia kenakan itu tak berarti apa-apa. ***

Siapa yang menunjuk jalan ke pondok penganiayaan itu?

Pondok milik pak Stani Lewoema di Blou, Kecamatan Titehena, Flores Timur  menjadi saksi tentang penganiayaan sangat berat yang dialami oleh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada tanggal 2 dan 3 Agustus 2007, saya berada di Blou untuk melakukan investigasi. Tetapi ketika itu saya hanya menfokuskan perhatian pada parit tempat jenazah adik kami itu ditemukan dan sekitarnya. Berbagai situasi di parit dan sekitarnya saya rekam dengan kamera digital dan kamera video. Sedangkan pondok tersebut belum menarik perhatian saya.

Perhatian saya ke pondok tersebut baru saya berikan setelah saya mendengar kabar bahwa selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 Lambertus Lagawuyo Kumanireng bertandang ke situ. Bertandangnya orang itu ke situ pada sore hingga malam hari dalam hari-hari itu membuat saya bertanya dalam hati, “Mengapa dan untuk apa orang itu ke situ?”

Hasil penelusuran jejaknya menunjukkan bahwa di pondok tersebut dia memasang barang-barang tertentu yang dimaksudkannya untuk menutup kejahatan yang ikut dilakukannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Maklum, dia adalah salah seorang pengguna ilmu hitam. Dengan cara itu dia ingin menunjukkan kebolehannya dalam menghilangkan jejak.

Pada akhir September 2007 dan minggu pertama bulan Oktober 2007, saya bersama tim pencari fakta dari keluarga korban melakukan penelitian secara lebih cermat baik di parit maupun di pondok milik pak Stani Lewoema itu. Sebelumnya beberapa anggota tim pencari fakta sudah menemukan barang bukti berupa kaos penuh darah di tepi jalan setapak ke Waigema di Blou. Mereka juga sudah mendatangi pondok dan menemukan adanya bekas tetesan darah di sebuah batu yang terletak tak jauh dari pondok. Tetapi mereka belum menemukan darah yang membasahi sebuah bangku kayu yang terletak di sisi luar sebelah timur pondok itu.

Darah di bangku itu saya temukan pada minggu pertama Oktober 2007. Karena sudah mengering, maka sepintas lalu darah yang pernah membasahi bangku itu nyaris tidak kelihatan. Melalui pengamatan berulang kali secara teliti barulah saya dapat memastikan bahwa yang terdapat pada bangku itu adalah darah. Dengan kamera digital, saya merekam darah yang telah mengering itu. Ketika hasil foto itu ditampilkan di monitor laptop tampak jelas bahwa yang terdapat di bangku itu adalah manusia. Hasil pemeriksaan di laboratorium forensik Mabes Polri di Denpasar menunjukkan bahwa darah di bangku itu adalah darah orang yang jenazahnya ditemukan di dalam parit di Blou pada Selasa pagi 31 Juli 2007 itu. Begitu pula halnya dengan darah yang terdapat di kaos yang oleh pelakunya disembunyikan di tepi jalan setapak ke Waigema.

Ketika berada di pondok tersebut saya sempat bertemu dengan salah seorang anak dari pemilik pondok. Ceritera pemilik pondok tentang adanya darah masih segar yang ditemukannya di pondoknya beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 meyakinkan saya dan tim pencari fakta bahwa di pondok itulah Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tewas oleh para penjahat Eputobi. Adanya darah di pondoknya membuat pemiliknya memasang lilin di situ. Lalu untuk sementara pondok itu tidak didatangi.

Ceritera tentang adanya darah masih segar di pondok tersebut cocok dengan aktivitas Lambertus Lagawuyo Kumanireng di dalam pondok yang sama selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007. Bertandangnya dia ke situ selama beberapa sore setelah tanggal 31 Juli 2007 justru mengundang perhatian tim pencari fakta untuk melakukan penelitian secara serius di pondok tersebut. Soalnya jelas. Seandainya bukan di pondok tersebut Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tak berkutik, untuk apa Lambertus Lagawuyo Kumanireng perlu meluangkan waktu selama beberapa sore guna melakukan ritual magic di tempat itu.

Keterlibatan aktif Lambertus Lagawuyo Kumanireng dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 tampak jelas. Dia adalah orang yang pada Senin malam 30 Juli 2007 mencopot sandal dari kaki Yoakim Gresituli Ata Maran dan membawanya ke Eputobi. Di Eputobi pada Selasa pagi 31 Juli 2007 dia mengenakan sandal tersebut. Setelah ramai orang bicara tentang sandal tersebut, dia lalu membuangnya di suatu tempat. Itulah sebabnya sandal itu pun raib hingga kini.

Hingga kini, Lambertus Lagawuyo Kumanireng ikut bertahan dalam dusta. Robi alias Obi, anaknya, berkali-kali pernah menyarankan dia untuk mengakui secara jujur apa yang dia lakukan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi dia tetap berusaha bertahan dalam dusta. Padahal dengan bertahan dalam dusta dia pun akan menuai badai malapetaka.

Obi pernah mengingatkan dia, “Kamu harus jujur. Ini bukan urusan uang atau harta. Ini adalah urusan darah dan nyawa orang.” ***

Jumat, 01 Juli 2011

Sampai kapan mereka dapat bertahan dalam dusta?

Bertahan dalam dusta. Itu yang selama ini coba dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tapi sampai kapan mereka dapat bertahan dalam dusta? Perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou, Flores Timur, pada Senin malam 30 Juli 2007 itu sudah terbuka lebar. Seandainya para penyidik Polres Flores Timur mampu bekerja secara profesional dengan menerapkan metode penyelidikan dan penyidikan yang lebih canggih, segala macam dusta yang selama ini mereka perlihatkan mudah dipatahkan.

Dari berita bohong, yaitu bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas, yang mereka sebarluaskan sejak Selasa pagi 31 Juli 2007, sebelum jenazahnya ditemukan di Blou, bisa dipertanyakan, “Dari mana mereka bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas, kalau mereka itu tidak berada di tempat kejadian perkara?” Pagi-pagi hari Selasa 31 Juli 2007, Yohakim Tolek Kumanireng menyampaikan kepada beberapa orang tukang ojek yang biasa mangkal tak jauh dari rumah Mikhael Torangama Kelen di Eputobi kabar begini, “Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup tidak jelas, mukanya pucat pasi, dia sedang tergeletak di Blou.” Kabar itu dia sampaikan setelah dia turun dari ojek yang membawanya dari Berobang ke Eputobi. Ketika menyampaikan kabar itu dia bercelana pendek, berbaju kotor, kusut. Tangan kirinya menjepit kelewang di ketiaknya.

Kabar yang disampaikannya pada pagi hari itu membuat beberapa tukang ojek tertarik untuk meluncur ke Blou. Mereka ingin menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Yoakim Gresituli Ata Maran. Melihat itu, Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang berada di situ berusaha mencegah dengan mengatakan, “Jangan ke sana! Nanti orang menuduh kamu yang melakukan.” Mendengar kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen yang juga berada di situ berkata, “Cabe’ atau jahe sehingga pedes, biar kita tahu sekarang.”

Perlu dicatat bahwa adegan tersebut di atas terjadi beberapa jam sebelum tersiar kabar tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di pinggir jalan raya di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Maka yang jadi pertanyaan ialah dari mana Yohakim Tolek Kumanireng bisa mengetahui bahwa Akim Maran (Yoakim Gresituli Ata Maran) mengalami kecelakaan dan sedang tergeletak di Blou? Dari mana dia bisa mengetahui bahwa muka orang yang mengalami kecelakaan itu dalam keadaan pucat pasi? Mungkinkah kabar semacam itu dapat dia sampaikan kepada beberapa tukang ojek di Eputobi, kalau dia tidak berada di Blou, dan kalau dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri wajah orang yang dikatakannya pucat pasi itu?

Jelas bahwa adegan yang dipentaskannya pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007 itu merupakan bagian dari suatu sandiwara yang telah dirancang untuk menghilangkan jejak. Kabar bahwa Akim Maran mengalami kecelakaan merupakan suatu kebohongan. Tetapi kebohongan itu secara jelas menunjukkan bahwa si pembawa kabar itu berada di Blou ketika Yoakim Gresituli Ata Maran dalam keadaan tidak berdaya, ketika wajahnya menjadi pucat pasi karena kehabisan darah. Mustahil toh kalau dia tidak berada di Blou, mustahil juga kalau dia tidak menyaksikan sendiri seperti apa keadaan Akim Maran yang dikatakannya sedang tergeletak di Blou, tetapi dia bisa mewartakannya secara jelas kepada beberapa tukang ojek di Eputobi.

Lalu perhatikan juga kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Kalau benar Akim Maran mengalami kecelakaan, mengapa dia harus mencegah orang-orang yang bermaksud ke Blou untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana? Bukankah orang yang mengalami kecelakaan itu perlu ditolong? Dengan menggunakan kata-kata, “Nanti orang menuduh kamu yang melakukan” tampak jelas bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu akibat perlakuan atau perbuatan dari orang tertentu. Dari mana kata-kata semacam itu dia peroleh, kalau dia sendiri tidak mengetahui apa yang menimpa Akim Maran di Blou sana. Lalu kata-kata yang keluar dari mulut Mikhael Torangama Kelen itu hanyalah basa basi. Dengan itu dia ingin menunjukkan bahwa sebelumnya dia tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Yoakim Gresitu Ata Maran di Blou.

Yang jelas pada pagi hari itu Yohakim Tolek Kumanireng, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan Mikhael Torangama Kelen mementaskan adegan dari suatu sandiwara yang telah mereka rancang untuk menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan bersama-sama di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kabar bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas mereka sebarluaskan ke mana-mana, dengan perhitungan, publik setempat mempercayai apa yang mereka sebarluaskan itu. Mereka lupa bahwa sejak awal, banyak orang sudah mempertanyakan, bagaimana mungkin mereka bisa menyebarluaskan informasi semacam itu, kalau mereka sendiri tidak berada di Blou, kalau mereka sendiri tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka masing-masing keadaan Yoakim Gresituli Ata Maran ketika dia berada dalam keadaan tidak berdaya?

Sejak lama perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou itu terungkap jelas. Tetapi mereka tetap coba bertahan dalam dan dengan dusta-dusta mereka. Kelambanan Polres Flores Timur menangani perkara pembunuhan tersebut membuat dusta mereka seakan-akan memiliki kekuatan ampuh untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Sampai kapan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya bertahan dalam dusta? Jawabannya terserah mereka. Tetapi ingatlah bahwa kejahatan yang mereka lakukan di Blou itu tidak akan tidak diberantas.***

Rabu, 29 Juni 2011

Dari korupsi mereka ke Blou, dari Blou mereka ke ……?

“Siapa lagi yang akan kamu bunuh?” Pertanyaan tersebut pernah disemburkan langsung ke muka kepala komplotan penjahat Eputobi, Mikhael Torangama Kelen. Oleh siapa? Oleh seorang tokoh dari kubu barat di kampung Eputobi, Flores Timur.

Apa reaksi si kepala komplotan penjahat itu? Dia hanya diam membisu di hadapan banyak orang yang hadir dalam kesempatan itu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Para pendukungnya yang hadir dalam momen itu pun tak berkata apa-apa. Semua mereka hanya berdiam diri. Padahal sebelum-sebelumnya, mereka biasanya berani membusungkan dada ke mana-mana, berani mencongkakkan diri sebagai orang-orang hebat.

Pertanyaan tersebut di atas memang perlu diajukan kepada si kepala komplotan penjahat itu. Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, dia pernah mengatakan begini, “Satu sudah mati, tinggal empat orang lagi.” Dia lalu menyebut nama empat orang termaksud. Kata-kata itu dia ucapkan ketika dia berada di suatu rumah makan di Larantuka. Kata-katanya itu menunjukkan bahwa 1) pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran yang terjadi di Blou, Flores Timur itu dilakukan berdasarkan rencana yang telah mereka susun, 2) selain Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka juga menjadikan empat orang rekan seperjuangannya sebagai target pembunuhan. Mulanya tiga orang mereka jadikan target pembunuhan. Kemudian dua orang lagi mereka masukan dalam target.

Mereka yang dijadikan target pembunuhan itu adalah tokoh-tokoh yang menjadi motor penegak kebenaran dan keadilan bagi masyarakat Eputobi. Dalam rangka itu mereka melancarkan gerakan anti praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya. Keluarnya Yoakim Gresituli Ata Maran, Sis Tukan, dan Ardi Namang dari struktur pemerintahan yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen, karena mereka menentang praktek-praktek korupsi yang dipelopori oleh Mikhael Torangama Kelen.

Kuatnya tekanan dari para tokoh anti korupsi itu pula yang membuat Mikhael Torangama Kelen nyaris tak bisa kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua. Karena takut kehilangan kursi kepala desa Lewoingu, dia dan kroni-kroninya merancang serangan ke kubu gerakan anti korupsi di kampung Eputobi. Dalam rancangan awal, mereka bermaksud membunuh tiga orang, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler,  dan Sis Tukan. Untuk menghabisi tiga orang itu, Lambertus Lagawuyo Kumanireng pernah berusaha mencari orang-orang yang bersedia dibayar untuk melakukan rencana jahat mereka. Namun orang-orang yang pernah ditawari pekerjaan jahat itu menolak tawarannya. Di kemudian hari, dua orang lagi, yaitu Pius Koten dan Dere Hayon pun dimasukan sebagai target.

Dari lima orang yang mereka jadikan target, satu orang, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, berhasil mereka bunuh di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Seandainya kasus pembunuhan di Blou itu tidak terungkap, bisa jadi target-target lainnya pun dihabisi satu per satu sesuai rancangan kriminal yang telah mereka susun. Bagi orang-orang jahat itu, pembunuhan adalah cara yang dihalalkan demi pemenuhan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka. Yang selama itu mereka perjuangkan adalah uang dan kekuasaan. Demi uang dan kekuasaan itu pula, maka mereka pun membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Pada tanggal 30 Juli 2011 nanti, tragedi Blou berusia empat tahun. Sudah lebih dari tiga tahun kasus pembunuhan tersebut diproses secara hukum. Tetapi arah penanganannya belum juga jelas hingga kini. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan itu terang benderang. Penanganan perkara pembunuhan tersebut penuh dengan kejanggalan.

Ya, dari korupsi, Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya meluncur ke Blou dengan sepeda motor. Di Blou Mikhael Torangama Kelen memimpin aksi pembunuhan terhadap orang yang mereka jadikan target utama, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah berhasil menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama dan dua anggota komplotannya mengeluarkan kata-kata yang sama, “Satu sudah mati, tinggal empat lagi.” Mereka pun menyebut dengan jelas nama empat orang yang akan menyusul Yoakim Gresituli Ata Maran itu.

Dari korupsi, mereka pergi ke Blou, dari Blou mereka akan ke mana …..? ***

Minggu, 19 Juni 2011

Siapa lagi yang ingin mereka bodohi dan sesatkan?

Selama beberapa tahun terakhir sejumlah orang Eputobi berhasil dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang kemudian terkenal sebagai komplotan penjahat Eputobi. Dalam lapangan operasional, komplotan itu dikepalai oleh orang yang kini menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di belakang dia ada aktor intelektual yang merancang proyek pembodohan dan penyesatan tersebut untuk seluruh masyarakat Lewoingu. Tetapi di dalam kenyataan, mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan. Alasannya jelas. Proyek pembodohan dan penyesatan termaksud dirancang dengan cara-cara yang sangat bodoh, sehingga mudah diketahui omong kosongnya.

Upaya pembodohan yang mereka lakukan itu tampak dalam bentuk 1) pemutarbalikkan sejarah Lewoingu yang mencakup pula sejarah kepemilikan tanah ulayat di kampung Eputobi, 2) penyebarluasan berita bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalu lintas, 3) penyangkalan dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pemutarbalikkan sejarah Lewoingu dengan sengaja dirancang untuk menjungkirbalikkan tatanan adat warisan para leluhur Lewoingu. Dalam rangka itu mereka menciutkan peran Gresituli sebagai pendiri Lewoingu. Versi dongeng tentang asal usul Gresituli diangkat sebagai versi sejarah. Lalu mereka itu pun membuat dongeng bahwa Raga Ata Maran itu bukan anak Sani. Peran Raga sebagai penerus kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu mereka hapus. Upaya semacam itu dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan adat. Mereka yang memotori aksi pengrusakan adat pada bulan April 2006 itu berusaha menonjolkan diri sebagai penguasa tertinggi adat Lewoingu. Mereka itu pula yang menyerobot batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada bulan Mei 2006. Perbuatan semacam itu didorong oleh keserakhan yang selama itu terpendam dalam diri mereka.

Selain memutarbailkkan sejarah bersama Lewoingu, di antara mereka pun ada yang berusaha memutarbalikkan sejarah relasi antarsuku di Lewowerang-Lewoingu. Donatus Doni Kumanireng Blikololong, misalnya, dengan enteng beranggapan bahwa sukunya berposisi sebagai orang tua bagi suku Ata Maran. Anggapan ngawur semacam itu lahir dari kebutaannya tentang sejarah sukunya dalam kaitan dengan sejarah suku Ata Maran, juga lahir dari nafsu besarnya untuk menjadi penguasa kampung Eputobi. Ya, melalui suatu pesan singkat, orang ini pernah memperkenalkan diri sebagai penguasa kampung Eputobi kepada seseorang. Perkenalan dirinya itu dibarengi dengan pernyataan bahwa semua orang di kampung Eputobi takut dengannya.

Mudah-mudahan dia sudah belajar kembali sejarah sukunya dalam kaitan dengan suku Ata Maran. Dengan belajar kembali sejarah tersebut dia diharapkan mengerti mengapa sejak zaman Lewoingu kuno telah terjalin tali kekeluargaan yang sangat erat antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong. Sejak zaman Lewoingu kuno, Kumanireng Blikololong telah menjadi bagian dari keluarga besar Ata Maran. Itulah sebabnya, anggota-anggota suku Kumanireng Blikololong yang tahu akan dimensi sejarah tersebut tidak mau mengikuti langkah-laku dia. Mereka tidak mau mengkhianati Ata Maran. Mereka juga tidak mau ikut-ikutan dalam aksi pengrusakan sejarah bersama Lewoingu dengan tatanan adatnya, hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Dari aksi pengrusakan tatanan adat, termasuk penyerobotan batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada tahun 2006, mereka bergerak ke aksi kriminal yang lebih dahsyat, yaitu aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Aksi pembunuhan tersebut lebih didominasi oleh motif politik kekuasaan. Perbuatan sangat jahat itu terjadi, karena Mikhael Torangama Kelen bernafsu untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, dan dia melihat Yoakim Gresituli Ata Maran sebagai ganjalan utamanya. Demi kepentingan itulah banyak rupiah dikeluarkan, antara lain untuk membayar orang-orang yang bersedia mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada hari, tanggal tersebut di atas. Selain menggunakan uang, mereka yang merancang pembunuhan tersebut pun menggunakan sentimen adat sebagaimana disinggung di atas sebagai daya rangsang keberanian dalam diri orang-orang yang mereka plotkan sebagai eksekutor utama untuk mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran pada hari, tanggal dan tempat tersebut. Agar tujuan jahat itu tercapai, di kalangan para penjahat itu pun ditumbuhkan kesadaran palsu, bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan itu demi kebaikan lewotana (kampung halaman).

Ketika Mikhael Torangama Kelen ditangkap di Eputobi bersama dua anak Lamber Liko Kumanireng, dan ketika mereka hendak dibawa ke Polres Flores Timur, dia berujar, “Saya pergi bersama lewotana, saya akan kembali bersama lewotana.” Padahal aksi pembunuhan yang dilakukannya bersama orang-orang yang dibayarnya itu murni kriminal. Juga kriminal aksi pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah ulayat tersebut di atas. Mana ada lewotana yang mendukung perbuatan kriminal semacam itu? Dalam sejarah Lewoingu pramodern, kepada pelaku aksi kriminal semacam itu dikenai hukuman adat berupa hukuman mati.

Berdasarkan hukum positif modern yang berlaku di republik ini, para pelaku pembunuhan berencana tersebut dapat dikenai pasal hukuman seumur hidup mengingat dahsatnya kebiadaban yang mereka tunjukan. Secara perdata, mereka pun dapat dihukum dengan ganti rugi dalam jumlah rupiah yang sangat besar untuk membayar kerugian moral yang ditanggung oleh isteri dan anak-anak dari korban pembunuhan mereka. Gugatan perdata itu akan diajukan beriringan dengan keputusan pidana yang akan ditetapkan untuk para pelaku pembunuhan tersebut. Mampukah orang-orang seperti Donatus Doni Kumanireng dan Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka menanggung hukuman perdata termaksud?

Tampak jelas bahwa selama ini, mereka takut akan hukuman pidana, apalagi ditambah dengan hukuman perdata. Karena itu sejak di tempat kejadian perkara Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya menyebarkan informasi bahwa yang sedang terjadi di tempat tersebut pada malam tersebut adalah kecelakaan lalu lintas. Informasi itu dimaksud untuk membodohi dan menyesatkan publik setempat. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka hanya menonton korban yang sedang tergeletak di pinggir jalan itu. Seandainya benar terjadi kecelakaan lalu lintas, sudah semestinya mereka segera memberikan pertolongan kepada korban yang bersangkutan. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka menolak pertolongan yang ditawarkan oleh orang yang sempat menanyakan kepada mereka apa yang sedang terjadi di tempat itu.

Setelah metode pembodohan dan penyesatan tersebut gagal berhasil, mereka menggunakan metode pembodohan dan penyesatan lain, yaitu mengingkari fakta-fakta tentang pembunuhan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Padahal fakta-fakta tentang perbuatan sangat biadab yang mereka lakukan di Blou terus bermunculan. Tak ada satu pun dari kalangan penjahat itu yang mampu membendung aliran fakta-fakta yang berkisah tentang kebiadaban yang mereka lakukan di Blou di bumi Lewoingu itu. Tampak jelas bahwa Donatus Doni Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen, dan anggota-anggota komplotan mereka semakin kehilangan kemampuan real untuk terus membodohi dan menyesatkan publik setempat.

Mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang jahat itu. Hanya orang-orang  yang harga dirinya dapat ditukar dengan uang dan raskin yang masih mau dibodohi dan disesatkan oleh para penjahat itu. Secara sadar atau tidak sadar, mereka selama ini ikut berjuang membentuk suatu komunitas kriminal di kampung Eputobi, yang belakangan ini makin rapuh posisinya. Mikhael Torangama Kelen yang selama ini mereka anggap sebagai jagoan mereka justru semakin tak berkutik oleh tekanan demi tekanan dari pihak “barat” agar dia mengakui secara jujur perbuatan sangat keji yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dari waktu ke waktu muncul keberanian dari “barat” untuk secara langsung menyampaikan baik di hadapan Mikhael Torangama Kelen maupun di hadapan para pendukung setianya bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anak-anak Lamber Liko Kumanireng dll yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Beberapa waktu lalu di Eputobi Lamber Liko Kumanireng sendiri menghadapi langsung tudingan bahwa tiga orang anaknya pun menjadi pelaku utama pembunuhan yang terjadi di Blou itu.

Lamber Liko Kumanireng pernah menumpahkan banyak air dari kedua matanya ketika saya mengajak dia berbicara tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Itu terjadi pada hari Minggu tanggal 30 September 2007. Tetapi menumpahkan air mata saja tidak cukup. Kini sudah tiba waktunya bagi dia untuk berani mendorong tiga anaknya yang berstatus sebagai tersangka itu untuk mengakui secara jujur perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan, yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran dengan segala dampak buruknya bagi masyarakat Eputobi. Keberanian tersebut sangat diperlukan demi kebaikan kampung halaman Eputobi. ***

Jumat, 17 Juni 2011

Apalagi yang ingin mereka sembunyikan?

Kata mereka dalam judul di atas mengacu pada 1) Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, 2) aktor intelektual dan penyandang dana proyek kriminal tersebut, 3) mereka yang ikut berjuang untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Bersama-sama mereka berusaha menyembunyikan bangkai kejahatan yang terjadi di Blou. Padahal yang namanya bangkai, baunya menyebar ke mana-mana.

Kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou itu dapat dianalogikan dengan bangkai gajah. Selama ini mereka coba menyembunyikan bangkai gajah itu di rumah mereka masing-masing. Mereka mengira bahwa bangkai gajah itu tak akan berbau, atau seandainya berbau, baunya tak akan menyebar ke mana-mana.

Tetapi sejak awal bangkai gajah yang mereka bawa dari Blou itu tak dapat mereka sembunyikan. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat menyembunyikan baunya. Sekian pengguna ilmu hitam coba mereka kerahkan untuk meredam bau bangkai gajah itu, tetapi hasilnya nihil. Baunya tetap saja menyebar ke mana-mana. Dan makin lama makin banyak orang tahu dari mana bau busuk itu berasal.

Mungkin karena itu, maka beberapa orang yang selama ini bersekutu erat dengan Mikhael Torangama Kelen pun mulai berputar haluan. Mereka rupanya mulai menyadari bahwa angin barat lebih kuat tenaganya ketimbang angin timur. Mereka mulai bersahabat kembali dengan beberapa tokoh di barat. Belakangan ini mereka terlibat dalam diskusi tentang korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen. Mereka juga mulai mempersoalkan penjualan raskin yang tak ada laporannya, dan lain-lain. Tetapi mereka berusaha menghindari diri dari pembicaraan tentang kasus pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu. Tampaknya dalam urusan yang satu itu, mereka masih berusaha kompak dengan si kepala komplotan penjahat itu.

Jika bau bangkai gajah itu sudah menyebar ke mana-mana, apalagi yang ingin mereka sembunyikan? Apalagi yang coba disembunyikan oleh orang semacam Donatus Doni Kumanireng, Andreas Boli Kelen, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan cs mereka? Dengan cara apalagi mereka coba menyembunyikan bangkai gajah itu? Dengan uang? Dengan menggunakan dukun pengguna ilmu hitam? Dengan tetap bertahan dalam dusta?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Bangkai gajah itu tak dapat mereka sembunyikan. Mereka tak punya cara ampuh untuk menyembunyikannya. Hanya orang-orang bodoh saja yang terus berusaha menyembunyikan bangkai seekor gajah. ***

Rabu, 15 Juni 2011

Uang, Kekuasaan, Kejahatan

Temuan demi temuan kian mempertegas fakta bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotan kriminalnyalah yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Flores Timur pada Senin malam 30 Juli 2007. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut dirancang sebagai suatu proyek yang memberikan keuntungan finansial kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Belum ada temuan tentang berapa persisnya anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan proyek kriminal tersebut. Yang sudah jelas ialah bahwa setiap eksekutor utama diimbali dua juta rupiah. Tiga anak kandung Lamber Liko Kumanireng dan seorang saudara mereka termasuk eksekutor utama.  Secara bersama-sama mereka meraup delapan juta rupiah.

Beberapa orang lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan proyek kriminal tersebut pun dijanjikan diimbali masing-masing dua juta rupiah. Tetapi di antara mereka ada yang baru dibayar satu juta rupiah. Yang satu juta lagi belum masuk ke kantong mereka. Entah kenapa. Yang jelas, mereka yang hadir di tempat kejadian perkara dan menyaksikan adegan pembunuhan tersebut pun diberi jatah. Jatah itu diberikan sebagai uang tutup mulut. Jatah itu mereka peroleh dari tangan Mikhael Torangama Kelen.

Jatah juga diberikan kepada mereka yang tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan di Blou tetapi bersedia mendukung upaya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk menutup perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah jaringan mafia hukum. Mereka yang aktif dalam jaringan ini mendapat jatah yang terbilang besar. Tetapi belum ada informasi yang jelas tentang angka yang diterima oleh masing-masing anggota mafia hukum yang bersangkutan. Pernah ada “bocoran” bahwa salah satu dari mereka memperoleh jatah empat juta rupiah. Tetapi hingga kini kebenarannya belum terkonfirmasi. Terlepas dari belum terkonfirmasinya kebenaran “bocoran” tersebut, pelaksanaan proyek kriminal di Blou dan upaya untuk menutupinya menghabiskan banyak uang.

Beberapa puluh juta rupiah mereka habiskan untuk mempertahankan kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Bagi Mikhael Torangama Kelen sendiri, kekuasaan tersebut perlu dipertahankan, karena dari situlah dia dengan leluasa bisa memperoleh keuntungan-keuntungan finansial, baik dengan cara halal maupun dengan cara tidak halal. Maka ketika kursi kekuasaannya digoyang dengan kasus korupsi yang dilakukannya, dia dan kroni-kroninya panik. Karena takut kursi kekuasaan tersebut terbang melayang menjauhinya, dia pun menggalang aksi untuk melawan kelompok masyarakat yang memprotes praktek-praktek korupsi yang dilakukannya selama periode pertama pemerintahannya. Tokoh-tokoh gerakan antikorupsi di desa itu diancam dibunuh.

Guna merealisasikan rencana jahat itu, salah seorang kroni Mikhael Torangama Kelen mencari pembunuh bayaran dari luar lingkaran mereka. Tetapi upayanya itu tak berhasil. Dengan penawaran dua juta rupiah per orang, mereka akhirnya berhasil merekrut pembunuh bayaran dari dalam lingkaran mereka. Pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen sendiri menuntun para pembunuh bayaran itu ke Blou. Di situ mereka secara bersama-sama mengeroyok dan menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran hingga meninggal.

Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya telah ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 18 April 2008. Tetapi proses hukum atas mereka berjalan di tempat. Penanganan perkara pembunuhan tersebut penuh dengan kejanggalan. ***

Sabtu, 11 Juni 2011

Masih ada ruang waktu bagi mereka untuk menunjukkan keseriusan dan kejujuran

Lebih cepat sebenarnya lebih baik. Tetapi karena proses penanganannya ternyata bertele-tele, maka jalan dengan cara pelan-pelan itu pun coba kami turuti. Yang tidak dan tidak akan kami turuti adalah 1) upaya dari siapapun atau dari pihak manapun untuk menggelapkan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dan 2) metode penanganannya secara bertele-tele yang berkepanjangan.

Sejak terjadinya kasus pembunuhan tersebut hingga kini keluarga korban dan masyarakat yang mengharapkan tegaknya kebenaran dan keadilan berada dalam masa penantian. Yang kami nantikan adalah 1) keseriusan Kapolres Flores Timur dan jajaran penyidiknya untuk mengungkap berbagai aspek kriminal yang terkait dengan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, dan 2) kejujuran Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Sungguh aneh bahwa hingga kini penyidik Polres Flores Timur belum juga menunjukkan keseriusan konkret untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut. Padahal berbagai informasi penting yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut sudah diserahkan kepada Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur. Tetapi hingga kini belum juga jelas seperti apa tindaklanjut nyata dari informasi-informasi termaksud. Padahal ujung pangkal dari kasus pembunuhan tersebut sudah demikian jelas.

Selama ini metode penanganan bertele-tele atas perkara pembunuhan tersebut cukup berhasil untuk membuat kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu (Mikhael Torangama Kelen) terus bercokol di kursi kepala desa Lewoingu. Perlu diperhatikan bahwa terus bercokolnya Mikhael Torangama Kelen di kursi kepala desa Lewoingu adalah sesuatu yang tidak berguna bagi pembangunan dalam rangka peningkatan kebaikan dan kesejahteraan bagi segenap komponen sosial di Eputobi. Yang dikembangkan oleh Mikhael Torangama Kelen selama ini adalah suatu sistem pemerintahan yang menghalalkan korupsi, ancaman, dan kekerasan fisik terhadap lawan-lawan politiknya, terutama terhadap tokoh-tokoh gerakan antikorupsi.

Lantas masyarakat setempat di luar komplotan penjahat Eputobi pun selama ini menanti dan menanti kejujuran dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dalam mengakui perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan di Blou. Selama ini, masyarakat yang bersangkutan masih berusaha menggunakan kesabaran dalam menyikapi ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Ini mereka tempuh untuk menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Di dalam kenyataan, proses hukum yang berjalan berlarut-larut menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ya, wajar bila masyarakat yang bersangkutan merasa resah setelah menyaksikan kejanggalan-kejanggalan dalam penanganan perkara pembunuhan tersebut.

Meskipun demikian masih ada ruang waktu bagi Polres Flores Timur untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menangani perkara pembunuhan tersebut. Masih ada pula ruang waktu bagi Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya untuk mengakui secara jujur perbuatan sangat biadab yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Masih ada pula ruang waktu bagi anggota-anggota keluarga mereka, sanak saudara dan handai tolan mereka untuk mendorong mereka agar berani berkata secara jujur tentang perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan di Blou pada hari, tanggal tersebut di atas.  Termasuk yang juga perlu didorong untuk berani berkata jujur adalah Donatus Doni Kumanireng, mantan pegawai negeri sipil yang tinggal di Kupang itu.

Mereka-mereka itu perlu dibantu agar mereka pun dapat keluar dari belenggu ketidakjujuran. *** 

Minggu, 05 Juni 2011

Pamor desa Lewoingu kian remuk

Pamor desa Lewoingu di Kecamatan Titehena, Flores Timur telah jatuh dan kian remuk. Kisah buruk itu dimulai dari aksi pengrusakan adat pada tahun 2006, kemudian oleh praktek korupsi, yang kemudian berbuntut pada peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kejadian-kejadian buruk dan jahat itu dipelopori oleh Mikhael Torangama Kelen (MTK). Dan dengan masih bercokolnya si MTK di kursi kepala desa Lewoingu, maka keremukan pamor desa tersebut kian parah. Lewoingu tak mampu lagi tampil sebagai desa yang disegani.

Oleh para pendukungnya dan pemujanya di kampung Eputobi, si MTK disapa dengan bapak desa. Tetapi di luar kalangannya, dia dikenal sebagai seorang pengrusak tatanan adat, pelaku korupsi, dan kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Semua julukan ini memang layak dia sandang, ya sesuai dengan perbuatan-perbuatan jahatnya.

Dalam arena politik formal di Titehena, kehadirannya diterima secara formal. Tetapi di luar lingkungan politik formal, muncul pertanyaan, “Mengapa orang semacam itu dipilih menjadi kepala desa Lewoingu?” Pertanyaan yang sama pun muncul dari luar Titehena. Mendengar pertanyaan semacam itu, seorang warga Eputobi pun bertanya, “Siapa yang memilih dia?”

Tak perlu dijelaskan lagi di sini dengan cara-cara apa si MTK berusaha mempertahankan kursi kekuasaannya pada tahun 2007. Yang jelas, praktek korupsi yang dilakukannya selama 2000 hingga 2006 dan pembunuhan yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 dapat menjadi alasan yang memadai untuk menggagalkan dia kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Sungguh tak pantas, bila kursi kepala desa Lewoingu diduduki oleh seorang koruptor yang sekaligus menjadi seorang kepala komplotan pembunuh berdarah dingin.

Tetapi di dalam kenyataan, si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu masih bercokol di kursi kepala desa Lewoingu. Ini bisa terjadi berkat keputusan tidak rasional Simon Hayon, selaku Bupati Flores Timur melantik dia menjadi kepala desa Lewoingu pada bulan Januari 2008. Karena ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan di Blou, Simon Hayon kemudian menonaktifkan si MTK sebagai kepala desa Lewoingu. Tetapi Simon Hayon itu pula yang mengaktifkan dia kembali pada bulan Januari 2009. Padahal pada waktu itu hingga kini si MTK masih berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jelas bahwa permainan politik kotorlah yang berada di balik masih bercokolnya si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu di kursi kepala desa Lewoingu. Meskipun menentang keputusan Simon Hayon, para warga beradab di kampung Eputobi tidak menempuh cara-cara anarkis untuk menurunkan si MTK dari kursi kepala desa Lewoingu. Mereka berusaha menjunjung etika politik. Mereka berpegang pada prinsip, bahwa kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan dengan cara yang baik.

Karena berpegang pada prinsip itu, maka kelompok masyarakat beradab di sana ditafsirkan sebagai kelompok yang lemah dan gampang dipermainkan oleh kelompok kriminal yang dipimpin oleh MTK. Di dalam kenyataan tidak demikian. Cuma tak perlu dibeberkan seperti apa kuatnya kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya.

Dari kalangan masyarakat beradab itulah akan muncul kekuatan yang bakal mengembalikan pamor kampung Eputobi, desa Lewoingu. Anda-anda yang hanya berkoar-koar tentang perlunya damai bagi masyarakat Eputobi, tetapi mengabaikan fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh si MTK dan anggota-anggota komplotannya, pada dasarnya tak punya andil apa pun untuk memulihkan pamor desa Lewoingu. Anda-anda juga tak punya andil apa pun bagi upaya ke arah perwujudan damai sejahtera bagi masyarakat Eputobi. Bagaimana mungkin anda-anda yang selama ini ikut menentang kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan masyarakat beradab di sana dapat mengupayakan perdamaian.

Damai sejahtera di desa Lewoingu telah dirusak oleh Donatus Doni Kumanireng dan si MTK serta oleh anggota-anggota komplotan kriminal mereka. Yang selama ini secara nyata berusaha menjaga agar kerusakan sosial budaya tidak menjadi lebih parah adalah para warga masyarakat beradab yang juga disebut kelompok “jabar.” Dalam rangka itu mereka membiarkan diri tampil sebagai pihak yang lemah tak berdaya ketika diprovokasi dan dicaci maki oleh para anggota kelompok kriminal yang dipimpin oleh si MTK. Ya, di kalangan kelompok “jabar” sering muncul kata-kata, “Kita ini kelompok yang lemah.” Tetapi ketika sekali-sekali kelompok yang merasa diri lemah ini bersuara, siapa pun dari pihak yang selama ini sering memperlihatkan otot dan taring itu tak berkutik.

Aksi-aksi primitif seperti yang diperlihatkan oleh MTK dan DDK serta anggota-anggota komplotan mereka itulah yang membuat pamor desa Eputobi runtuh dan remuk berkeping-keping. Aksi-aksi jahat semacam itu membuat sebagian orang Eputobi kembali ke era primitif. ***

Menunggu kejujuran MTK dan anggota-anggota komplotannya

Hebat betul upaya Mikhael Torangama Kelen (MTK) dan anggota-anggota komplotannya untuk mempertahankan dusta. Meskipun terang benderang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, di Blou, pada Senin malam, 30 Juli 2007, si MTK terus menyangkali perbuatan sangat biadabnya itu. Dia pula yang mengancing mulut para anggota-anggota komplotannya agar pengakuan tak meluncur dari mereka. Bersama-sama mereka coba mempertahankan dusta, hingga kini. Tapi sampai kapan dusta semacam itu dapat mereka pertahankan?

Tak ada ceritera tentang pendusta dapat mempertahankan dustanya hingga selamanya, apalagi urusannya menyangkut darah dan nyawa orang yang tak bersalah. Menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa orang yang tak bersalah itu perbuatan sangat keji. Perbuatan semacam itu tak akan menenteramkan hati para pelakunya. Apalagi saksi sejati tak pernah lupa untuk mengingatkan mereka tentang kebiadaban yang mereka lakukan di Blou pada malam hari itu sekaligus menuntut mereka untuk mempertanggungjawabkannya. Semakin mereka berusaha menutup-nutupinya, semakin tidak tenang hati mereka. Bukan hanya si MTK dan anggota-anggota komplotannya yang beraksi langsung di Blou yang terus menerus dihantui rasa tidak tenang, orang semacam Donatus Doni Kumanireng (DDK) pun telah lama didera rasa tidak tenang. Padahal sosok si DDK tidak ditemukan di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara. Pada malam kejadian perkara itu dia berada di Kupang. Tetapi karena berandil besar di belakang layar panggung kriminal di Blou, maka hatinya terus didera rasa gelisah. Karena punya andil bagi keberhasilan bagi proyek pembunuhan di Blou itu, maka si DDK pun sibuk berkasak-kusuk untuk menggagalkan proses hukum bagi si MTK dan kawan-kawan. Soalnya jelas. Jika proses hukum berjalan dengan mantap, maka dirinya pun terjerat. Untuk menghindari diri dari jerat hukum, segala cara coba ditempuhnya.

Cara si MTK dan DDK serta anggota-anggota komplotan mereka menutup-nutupi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran sudah lama menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat beradab di kampung Eputobi dan di seluruh kawasan Lewoingu. Di kalangan masyarakat beradab di sana, sejak lama tumbuh keyakinan bahwa cepat atau lambat para pelaku kejahatan tersebut akan dihukum. Semakin nekad mereka menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou, semakin besar malapetaka yang akan mereka tanggung. Malapetaka lebih besar tak akan menimpa mereka, jika mereka secara jujur mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pengakuan secara jujur itu harus dibarengi dengan penyerahan diri mereka ke pihak berwajib.

Hal berikut ini pun perlu diperhatikan. Dengan dijebloskannya si ABK ke bui karena kasus korupsi, dan dengan mulai berhembusnya angin perubahan politik di bumi Flores Timur, kursi kepala desa Lewoingu yang selama ini diduduki oleh si MTK, kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu telah kehilangan backing politik. Ingatlah baik-baik bahwa selain melakukan pembunuhan, si MTK juga melakukan korupsi. Kedua perkara pidana itu akan menggiring dia ke bui atau ke tempat hukuman yang mengerikan. Baginya akan berlaku, “Kakak keluar, adik masuk.” Untuk sementara, biar kakaknya saja dulu yang masuk dan menjadi penghuni penjara. Pada waktunya nanti, si adik akan digiring ke sana.***

Jumat, 20 Mei 2011

Di mana lilin demi kematian itu dipasang?

Beberapa hari sebelum Paskah 2011, salah seorang berasal-usul kampung Eputobi mengatakan kepada seorang warga kampung yang sama bahwa sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, dirinya sudah tahu bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal. “Dari mana engkau bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal?” Tanya orang yang mendengar pernyataannya. Apa jawabannya?

Dia menjelaskan, bahwa “Sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, saya bersama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng pergi ke kampung lama (Lewo Okineng). Di sana kami memasang lilin di makam Gresituli. Di situ kami sembahyang. Setelah kembali dari kampung lama, kami memperoleh petunjuk bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal.”

Setelah berceritera demikian, dia memberikan isyarat untuk tidak menyampaikan apa yang baru saja diceriterakannya itu kepada orang lain. Isyarat tersebut mengindikasikan bahwa apa yang mereka lakukan di kampung lama itu merupakan suatu rahasia yang perlu dijaga kerahasiaannya. Padahal apa yang dianggapnya rahasia itu sudah menjadi rahasia umum sejak hari jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di Blou. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa dia sendiri pada dasarnya akhirnya mengungkapkan tentang keterlibatannya dalam perencanaan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng adalah dua orang dari sekian banyak praktisi black magic yang selama ini beroperasi di kampung Eputobi. Mereka termasuk kalangan pengguna ilmu hitam yang berbasiskan kekuatan roh jahat. Salah seorang andalan mereka pernah mengaku diri sebagai orang merah. Ya, seorang pengguna ilmu hitam biasa disebut juga orang merah. Makin tinggi level ilmu hitamnya, makin merah dia. Orang yang mengaku diri sebagai orang merah itu pernah mengatakan kepada salah seorang kakak dari korban pembunuhan di Blou begini, “Adikmu sudah, engkau menunggu giliran.”

Karena dimotori oleh sejumlah praktisi black magic, maka dalam skenario mereka, mereka pun berencana untuk menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran dengan menggunakan black magic. Selain itu mereka juga menyiapkan rencana  penggunaan kekuatan fisik. Kedua alternatif itu diusahakan berjalan paralel. Dalam rangka penggunaan black magic, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng serta beberapa anggota komplotan mereka sering “berziarah” ke kampung lama. Dari “ziarah” dengan niat kriminal itu, mereka berharap bisa menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran tanpa perlu menggunakan kekuatan fisik. Delapan hari sebelum tanggal 30 Juli 2007, mereka “berziarah” ke kampung lama untuk memastikan tanggal kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Di sana mereka kembali memasang lilin di makam Gresituli, bapak pendiri Lewoingu. Selain itu mereka juga menodai Ling Pati dengan niat jahat mereka itu. Dalam ziarah itu mereka memastikan bahwa pada hari Selasa, 24 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran akan meninggal.

Setelah kembali dari “ziarah” dengan niat kriminal itu, mereka menunggu datangnya hari Selasa, 24 Juli 2007. Hari Selasa yang ditunggu akhirnya tiba. Tetapi Yoakim Gresituli Ata Maran tak mati pada hari itu. Pada hari itu dia tampil segar bugar. Kenyataan ini membuat mereka merasa heran.  Mereka lalu memutuskan untuk menghabisi dia dengan metode kedua, yaitu dengan menggunakan kekuatan fisik, yang juga telah lama mereka persiapkan. Karena tak ada satu pun dari mereka yang berani berhadapan sendirian dengan Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka lalu memutuskan untuk membunuhnya secara berjamaah, tidak di kampung Eputobi, tetapi di luar kampung Eputobi, dan waktunya bukan siang, tapi malam hari. Maka Blou pun dipilih dan waktunya adalah Senin malam, 30 Juli 2007.

Sebagai tahap persiapan akhir, pada tanggal 29 Juli 2007, mereka kembali “berziarah” ke kampung lama. Kali ini mereka tak lagi mengharapkan kekuatan black magic dari kampung lama. Soalnya, black magic tak dapat diandalkan. Yang mereka lakukan di sana adalah makan bersama iblis besar yang selama ini diyakini bertahta di kampung lama. Acara ini mereka lakukan sekedar untuk memotivasi diri mereka untuk berani melakukan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran pada hari Senin 30 Juli 2007. Pembunuhan itu telah direncanakan dalam serangkaian pertemuan sebelum tanggal 30 Juli 2007. Tetapi pelaksanaannya tertunda-tunda karena mereka sempat berusaha mengandalkan black magic.

Rencana pembunuhan itu diketahui oleh dia yang pernah bersama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng memasang lilin di makam Gresituli di kampung lama. Apakah dia juga ikut “berziarah” ke kampung lama pada hari Minggu tanggal 29 Juli 2007? Hingga kini, saya belum memperoleh informasi yang jelas tentang itu. Yang jelas dia itu tidak tinggal di kampung Eputobi. Jika ada hari libur dan jika ada kesempatan, baru dia muncul di kampung Eputobi. Pada hari Rabu dalam Pekan Suci 2011, dia berada di kampung Eputobi. Selama ini, dia tampil sebagai salah satu pendukung setia Mikhael Torangama Kelen. Ketika pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu tertunda-tunda, dia ikut berkasak-kusuk, termasuk ke kantor Bupati Flores Timur, demi pelantikan jagoannya itu. Dalam rangka menggalang dukungan bagi pelantikan Mikhael Torangama Kelen, dia pernah mengundang berbagai pihak di Eputobi untuk menghadiri suatu pertemuan. Tetapi pertemuan yang dirancangnya gagal dilaksanakan. 

Pada bulan April 2011, dia bertamu ke eputobi.net. Di situ, dia menggoreskan catatan-catatan baik atas namanya sendiri maupun atas nama orang lain. Ya, jika demi kematian Yoakim Gresituli Ata Maran, dia ikut memasang lilin di makam Gresituli, demi ambisi pribadinya, dia mencatut nama orang lain. ***

Minggu, 01 Mei 2011

Catatan untuk beberapa isi buku tamu eputobi.net

Sebuah info yang disampaikan oleh seorang warga kampung Eputobi ke telepon selulerku membuat aku bertandang ke buku tamu eputobi.net sore ini. Ya, sudah lebih dari setengah tahun aku tidak berkunjung ke eputobi.net yang bermarkas di Jerman itu. Karena itu, sebelum mengklik buku tamu di situs tersebut, saya sempat berharap akan menemukan adanya kata-kata yang lebih baik dari setiap tamu yang berkunjung ke sana. Tetapi ternyata, buku tamu eputobi.net pun masih saja berhiaskan pula dengan banyak kata yang membuat situs kampung Eputobi itu kian terpolusi. Polusi historis, misalnya, dipicu oleh pernyataan Chris Hayon yang menyinggung perasaan anggota-anggota tertentu dari suku Kebele’eng Kelen.

Tidak hanya itu. Situs kampung Eputobi itu dipolusikan pula oleh komentar-komentar dua orang tamu yang mengaku bernama Anis Kelen dan Paul Maran tentang isi KdK (Kabar dari Kampung) di sukuatamaran.weebly.com.  Komentar-komentar kedua orang ini mendapat tanggapan dari saudara Abdisa Eduard Kuswendo K. Menurut saya, tanggapan-tanggapan dari saudara Abdisa Eduard Kuswendo K. itu cukup representatif bagi orang-orang Eputobi yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di kampung Eputobi.

Saya sendiri tidak mengenal siapa itu Anis Kelen dan siapa pula Paul Maran itu. Dari catatan di buku tamu eputobi.net pada 20 Februari 2011, saya hanya memperoleh informasi bahwa kedua orang itu mengaku bersaudara, bersahabat, dan tinggal bersama di Larantuka. Di situ dicatat pula bahwa mereka “memiliki pemikiran yang sama terhadap sikon  desa Eputobi yang merupakan asal usul” mereka. Karena tinggal di Larantuka, “maka hampir setiap saat” mereka “menengok kampung halaman” mereka.

Setahu saya, tidak ada anggota suku Ata Maran dari kampung Eputobi bernama Paul Maran. Lalu akan dicek, apakah dari kampung Eputobi pun ada orang bernama Anis Kelen selain Anis Kelen, kakak dari Mikhael Torangama Kelen itu. Lalu coba perhatikan penggunaan kata “desa Eputobi” dalam catatan yang dibuat Paul Maran pada tanggal tersebut di atas. Di Kecamatan Titehena tidak dikenal desa Eputobi. Yang dikenal adalah desa Lewoingu. 

Lantas, benarkah kedua orang itu hampir setiap saat menengok kampung halaman mereka itu? Kalau benar demikian, itu berarti hampir setiap saat hidup mereka, mereka berada di kampung Eputobi. Tetapi di kampung Eputobi tidak dikenal nama Paul Maran. Dan yang dikenal di Eputobi adalah Anis Kelen yang berprofesi sebagai guru SD. Dari Larantuka, saya memperoleh informasi bahwa di kota tersebut tidak ada anggota suku Ata Maran dari kampung Eputobi yang tinggal bersama dengan anggota suku Kelen dari kampung yang sama.

Siapakah Anis Kelen dan Paul Maran yang pernah beberapa kali bertamu ke eputobi.net itu?  Saya sendiri belum bisa menjawab pertanyaan ini. Mudah-mudahan pada suatu waktu nanti, saya bisa mengetahui siapa sesungguhnya yang menggunakan nama Anis Kelen dan Paul Maran itu. Untuk sementara, saya hanya bisa mengatakan bahwa orang yang menggunakan nama Anis Kelen dan Paul Maran itu berasal dari kelompok yang membela kejahatan berupa korupsi dan pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Orang-orang dari kelompok kriminal tersebut, yang bisa mengakses KdK menentang isi KdK. Karena isi KdK itu benar, maka mereka berusaha keras untuk menentangnya. Maklum, mereka adalah orang-orang yang takut akan kebenaran. Karena takut akan kebenaran, maka mereka pun bersama-sama berusaha menutup kejahatan yang terjadi di Blou.

Bagi mereka, keadaan di kampung Eputobi, desa Lewoingu baik-baik saja seakan-akan tidak terjadi masalah. Padahal di situ terjadi perpecahan sosial yang kian sukar untuk diperbaiki akibat terjadinya dua kasus kejahatan, yaitu kejahatan adat atau kejahatan kultural pada tahun 2006, dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 2007. Praktek korupsi yang dilakukan Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya menimbulkan dampak destruktif sangat besar berupa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dengan segala dampak lanjutannya. Ancaman pembunuhan juga dialamatkan kepada beberapa rekan seperjuangannya. Kedua kasus kejahatan itu dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tatanan adat bersama warisan para leluhur Lewoingu dirusak oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Pengrusakan tersebut ditandai dengan pembentukan lembaga adat yang diketuai oleh Geroda Tukan. Lembaga adat yang diketuai oleh Geroda Tukan itu merupakan lembaga adat politik, yang dijadikan tandingan bagi lembaga adat warisan para leluhur Lewoingu.

Kiranya jelas bahwa orang-orang yang membela kejahatan itu semakin tak berani tampil secara terbuka dengan menggunakan identitas yang jelas. Jelas bahwa Paul Maran itu nama samaran. Dan bukan tidak mungkin Anis Kelen itu pun nama samaran. Dengan menggunakan nama Paul Maran, orang yang bersangkutan berusaha menimbulkan kesan bahwa ada pula anggota suku Ata Maran dari Eputobi yang menentang perjuangan RRM bersama saudara-saudarinya serta para simpatisannya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tapi siapa yang mau terkecoh oleh permainan tidak bermutu semacam itu? Bagiku, cara semacam itu nggak ngaruh. Kami berada pada posisi pantang mundur untuk melawan kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Hanya karena memprioritaskan penyelesaiannya secara hukum, maka upaya pemberantasan kejahatan tersebut berjalan secara mengambang. Tetapi itu tidak berarti bahwa kejahatan tersebut tak bisa diberantas.  Pada dasarnya, kejahatan itu mudah diberantas. ***

Rabu, 20 April 2011

Kisah Sengsara di Blou, Flores Timur

Inilah sengsara Yoakim Gresituli Ata Maran, orang Eputobi, Lewoingu, Flores Timur.

Pada hari itu, Senin 30 Juli 2007, Yoakim Gresituli Ata Maran bersama isterinya pergi ke Lato, ibukota Kecamatan Titehena di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, untuk menghadiri acara Nebo (Kenduri) untuk almarhumah Maria Ose Sogen. Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang telah berencana untuk membunuhnya pun tahu bahwa pada hari itu Yoakim dan isterinya pergi ke situ. Maka orang-orang yang sedang dikuasai oleh iblis itu pun pergi ke sana, sebelum Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya tiba di rumah, tempat Nebo tersebut diselenggarakan.

Pada jam 13.00, Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya tiba di tempat Nebo. Di situ banyak orang telah berkumpul untuk mengenang kepergian ibu Maria Ose Sogen. Kemudian datang pula ke situ orang dari mereka yang telah berencana membunuhnya. Sementara itu satu orang dari mereka yang berniat jahat itu berdiri di gang dekat rumah, tempat Nebo diselenggarakan. Dari gang itu dia bercekak pinggang seraya melayangkan pandangannya ke orang-orang yang sedang menghadiri acara tersebut. Waktu itu jam 14.00 siang.

Ketika malam mulai turun di Lato, Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya pun pamit untuk pulang ke Eputobi. Dengan sepeda motor mereka meninggalkan Lato, ketika lampu-lampu listrik mulai menerangi ibukota Kecamatan Titehena itu. Setelah mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran dan isterinya meninggalkan Lato, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu pun bersiap untuk melaksanakan niat jahat yang telah mereka rancang. 

Hari masih terang ketika Mikhael Torangama Kelen meninggalkan kampung Eputobi. Dengan sepeda motor Supra Fit dia meluncur ke arah barat menuju tempat yang telah ditentukan itu. Kemudian meluncur pula ke sana Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan rekan-rekannya. Hari sudah malam ketika Petrus Naya Koten berada di pertigaan Wairunu-Bokang untuk melaksanakan tugasnya. Dia bergerak ke arah Bokang. Di pinggir selatan kampung Bokang, dalam gelap, dia berdiri menanti kedatangan Yoakim Gresituli Ata Maran dari arah Lato. Tak jauh dari situ sedang menunggu pula beberapa orang kawannya. Mereka mengendarai dua sepeda motor.

Ketika orang yang dinanti-nantinya sendirian muncul di dekatnya, Petrus Naya Koten menyapanya dengan ramah, “Kelake……” Orang yang disapanya pun berhenti, lalu bertanya, “Mau pulangkah…..?” “Ya,” jawab Petrus Naya Koten. “Ayo…., naik,” ajak Yoakim Gresituli Ata Maran.

Petrus Naya Koten pun naik dan duduk di belakang Yoakim Gresituli Ata Maran. Berdua mereka bergerak ke arah Wairunu. Dengan kedua tangannya, Petrus Naya Koten memeluk erat Yoakim Gresituli Ata Maran seraya mengingatkan dia untuk tidak ngebut. Kepada Yoakim Gresituli Ata Maran dia berkata, “Saya takut kalau ngebut, kita berjalan perlahan-lahan saja.”

Setelah mengetahui bahwa Petrus Naya Koten dan Yoakim Gresituli Ata Maran sedang bergerak meninggalkan Bokang dan Wairunu, beberapa orang yang mengendarai dua sepeda motor itu tancap gas. Dengan cepat mereka menembus gelap malam ke arah Wairunu lalu selanjutnya ke arah Lewolaga. Di tempat yang telah mereka tentukan, yaitu di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, mereka berkoordinasi dengan Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng serta kawan-kawan mereka lainnya untuk melakukan pencegatan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, yang bersama salah seorang anggota komplotan mereka sedang bergerak ke tempat mereka menunggu.

Tak lama kemudian Yoakim Gresituli Ata Maran dan Petrus Naya Koten muncul di hadapan mereka. Seperti singa yang sedang lapar, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu pun menghadang dan langsung mengancam keselamatan Yoakim Gresituli Ata Maran. Aksi penghadangan itu membuat Yoakim Gresituli Ata Maran menghentikan sepeda motor yang dikendarainya. Pada saat itu, Petrus Naya Koten turun dari sepeda tersebut. Sesudah itu Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha menembus hadangan dengan menabrak sepeda motor GL hitam yang oleh Yoka Kumanireng dipalang di depannya. Upaya tersebut membuat sepeda motor GL hitam dan pengendaranya sempat terpelanting ke aspal.

Mengetahui nyawanya terancam, Yoakim Gresituli Ata Maran berusaha memberikan perlawanan terhadap serangan keroyokan yang mulai dilancarkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Mikhael Torangama Kelen adalah orang pertama yang melayangkan pukulan ke muka Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah menerima pukulan itu, Yoakim Gresituli Ata Maran bertanya, “Mengapa kamu memukul aku?” “Karena kamu keras kepala,” jawab orang yang memukulnya. Pukulan-pukulan lain pun mengenainya. Pada suatu momen, suatu pukulan keras dengan sepotong kayu keras yang dilancarkan oleh Yohakim Tolek Kumanireng membuat Yoakim Gresituli Ata Maran jatuh di pinggir jalan.

Tak lama kemudian sebuah mobil dari arah timur berhenti di tempat para penjahat itu sedang beraksi. Mata pengemudi mobil itu melihat seseorang sedang tergeletak di pinggir jalan di sebelah kanannya. Matanya juga melihat beberapa pria sedang berdiri di dekat orang yang sedang tergeletak itu. Salah seorang dari mereka tidak mengenakan helm (helmet). Dia ingat dengan baik wajah orang yang tidak mengenakan helm itu.

Dalam hatinya, pengemudi mobil itu mengira bahwa orang yang sedang tergeletak itu membutuhkan pertolongan. Maka dia pun turun dari mobilnya. Kemudian dia menghampiri mereka yang sedang berdiri di situ. Dia ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan orang yang sedang tergeletak itu. Kepada mereka dia bertanya tentang apa yang terjadi. Kepadanya mereka menjelaskan bahwa mereka mau ke pesta, tetapi terjadi kecelakaan lalulintas. Setelah mendengar itu dia pun menawarkan bantuan. Dia mau membawa korban ke klinik atau rumah sakit terdekat agar korban bisa mendapat pertolongan. Tetapi mereka yang berada di situ menolak tawaran pertolongannya. Karena tawaran pertolongannya ditolak, pengemudi mobil itu pun meninggalkan tempat itu. Tetapi dalam hatinya dia bertanya, “Benarkah terjadi kecelakaan lalulintas? Kalau benar terjadi kecelakaan lalulintas, mengapa mereka itu tidak mau ditolong?”

Setelah mobil itu pergi, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu meneruskan aksi mereka. Untuk memuaskan hawa nafsu kriminal mereka, mereka menyeret orang yang sudah tak berdaya itu ke sebuah pondok yang terletak 70 meter di sebelah utara jalan raya. Di pondok itu terdapat sebuah bangku kayu cukup panjang. Di bangku kayu itu, Yoakim Gresituli Ata Maran didudukkan dengan muka menghadap ke timur. Pada bangku kayu itu, mereka mengikat tangan dan kakinya. Mereka membungkus kepalanya dengan kaos rombeng dan selembar kain. Dalam posisi semacam itu, mereka dengan leluasa menganiaya dan menyiksanya. Untuk mempermalukan dia, mereka pun menghantam alat kelaminnya.

Rasa sakit yang dideritanya membuat dia menangis seraya menyerukan pertolongan. Tetapi tak ada yang datang menolongnya. Sebagai jawaban atas tangis dan seruannya itu, salah seorang dari penjahat itu menyundut mulutnya dengan api rokok. Serangkaian pukulan dengan kayu akhirnya meremukkan tengkorak belakangnya. Matanya pun membiru legam akibat hantaman kayu. Dia akhirnya tak bisa bersuara apa-apa. Di bangku kayu itu dia akhirnya sekarat. Dari kepalanya yang remuk mengucur darah. Darahnya membasahi bangku kayu itu. Selembar kain dan kaos rombeng yang mereka pakai untuk membungkus kepalanya pun basah oleh darahnya.

Dalam keadaan sekarat dia dibawa ke pinggir jalan raya. Kemudian mereka meletakkannya di dalam parit, persis di mulut sebuah gorong-gorong. Di situ dia dibaringkan. Di situ dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di dunia ini, pada subuh hari Selasa 31 Juli 2007.

Setelah melampiaskan hawa nafsu jahat mereka, orang-orang yang sedang dikuasai iblis itu berkumpul di pondok tempat Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya dan disiksa secara kejam. Sebelum meninggalkan ladang pembantaian itu, beberapa di antara mereka pergi ke pantai Waigema untuk membersihkan diri dengan air laut. Sebelum kembali ke Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng mengontak Kupang untuk melaporkan kepada si aktor intelektual tentang keberhasilan pelaksanaan proyek kriminal mereka di Blou.

Ketika tiba kembali di Eputobi pada malam itu, mereka disambut oleh gonggongan anjing. Beberapa di antara mereka berkumpul di rumah Mikhael Torangama Kelen. Di situ mereka begadang hingga tiba pagi hari Selasa 31 Juli 2007.

Pada pagi hari itu, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan beberapa anggota komplotan mereka pergi ke Blou. Yang mereka lakukan pagi itu ialah memposisikan sepeda motor yang dikendarai Yoakim Gresituli Ata Maran guna menimbulkan kesan bahwa kematiannya akibat kecelakaan lalu lintas. Dari mulut para penjahat itu, beredar kabar bohong, yaitu bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalulintas.

Pada hari Selasa siang 31 Juli 2007, jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran tiba di rumah duka di Eputobi. Pada hari Rabu 1 Agustus 2007, jenazahnya dikuburkan di Riang Duli, Lewoingu.***