Rabu, 29 Juni 2011

Dari korupsi mereka ke Blou, dari Blou mereka ke ……?

“Siapa lagi yang akan kamu bunuh?” Pertanyaan tersebut pernah disemburkan langsung ke muka kepala komplotan penjahat Eputobi, Mikhael Torangama Kelen. Oleh siapa? Oleh seorang tokoh dari kubu barat di kampung Eputobi, Flores Timur.

Apa reaksi si kepala komplotan penjahat itu? Dia hanya diam membisu di hadapan banyak orang yang hadir dalam kesempatan itu. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Para pendukungnya yang hadir dalam momen itu pun tak berkata apa-apa. Semua mereka hanya berdiam diri. Padahal sebelum-sebelumnya, mereka biasanya berani membusungkan dada ke mana-mana, berani mencongkakkan diri sebagai orang-orang hebat.

Pertanyaan tersebut di atas memang perlu diajukan kepada si kepala komplotan penjahat itu. Setelah berhasil membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, dia pernah mengatakan begini, “Satu sudah mati, tinggal empat orang lagi.” Dia lalu menyebut nama empat orang termaksud. Kata-kata itu dia ucapkan ketika dia berada di suatu rumah makan di Larantuka. Kata-katanya itu menunjukkan bahwa 1) pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran yang terjadi di Blou, Flores Timur itu dilakukan berdasarkan rencana yang telah mereka susun, 2) selain Yoakim Gresituli Ata Maran, mereka juga menjadikan empat orang rekan seperjuangannya sebagai target pembunuhan. Mulanya tiga orang mereka jadikan target pembunuhan. Kemudian dua orang lagi mereka masukan dalam target.

Mereka yang dijadikan target pembunuhan itu adalah tokoh-tokoh yang menjadi motor penegak kebenaran dan keadilan bagi masyarakat Eputobi. Dalam rangka itu mereka melancarkan gerakan anti praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya. Keluarnya Yoakim Gresituli Ata Maran, Sis Tukan, dan Ardi Namang dari struktur pemerintahan yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen, karena mereka menentang praktek-praktek korupsi yang dipelopori oleh Mikhael Torangama Kelen.

Kuatnya tekanan dari para tokoh anti korupsi itu pula yang membuat Mikhael Torangama Kelen nyaris tak bisa kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua. Karena takut kehilangan kursi kepala desa Lewoingu, dia dan kroni-kroninya merancang serangan ke kubu gerakan anti korupsi di kampung Eputobi. Dalam rancangan awal, mereka bermaksud membunuh tiga orang, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, Yosef Kehuler,  dan Sis Tukan. Untuk menghabisi tiga orang itu, Lambertus Lagawuyo Kumanireng pernah berusaha mencari orang-orang yang bersedia dibayar untuk melakukan rencana jahat mereka. Namun orang-orang yang pernah ditawari pekerjaan jahat itu menolak tawarannya. Di kemudian hari, dua orang lagi, yaitu Pius Koten dan Dere Hayon pun dimasukan sebagai target.

Dari lima orang yang mereka jadikan target, satu orang, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran, berhasil mereka bunuh di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Seandainya kasus pembunuhan di Blou itu tidak terungkap, bisa jadi target-target lainnya pun dihabisi satu per satu sesuai rancangan kriminal yang telah mereka susun. Bagi orang-orang jahat itu, pembunuhan adalah cara yang dihalalkan demi pemenuhan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka. Yang selama itu mereka perjuangkan adalah uang dan kekuasaan. Demi uang dan kekuasaan itu pula, maka mereka pun membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Pada tanggal 30 Juli 2011 nanti, tragedi Blou berusia empat tahun. Sudah lebih dari tiga tahun kasus pembunuhan tersebut diproses secara hukum. Tetapi arah penanganannya belum juga jelas hingga kini. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan itu terang benderang. Penanganan perkara pembunuhan tersebut penuh dengan kejanggalan.

Ya, dari korupsi, Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya meluncur ke Blou dengan sepeda motor. Di Blou Mikhael Torangama Kelen memimpin aksi pembunuhan terhadap orang yang mereka jadikan target utama, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran. Setelah berhasil menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran, Mikhael Torangama dan dua anggota komplotannya mengeluarkan kata-kata yang sama, “Satu sudah mati, tinggal empat lagi.” Mereka pun menyebut dengan jelas nama empat orang yang akan menyusul Yoakim Gresituli Ata Maran itu.

Dari korupsi, mereka pergi ke Blou, dari Blou mereka akan ke mana …..? ***

Minggu, 19 Juni 2011

Siapa lagi yang ingin mereka bodohi dan sesatkan?

Selama beberapa tahun terakhir sejumlah orang Eputobi berhasil dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang yang kemudian terkenal sebagai komplotan penjahat Eputobi. Dalam lapangan operasional, komplotan itu dikepalai oleh orang yang kini menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Di belakang dia ada aktor intelektual yang merancang proyek pembodohan dan penyesatan tersebut untuk seluruh masyarakat Lewoingu. Tetapi di dalam kenyataan, mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan. Alasannya jelas. Proyek pembodohan dan penyesatan termaksud dirancang dengan cara-cara yang sangat bodoh, sehingga mudah diketahui omong kosongnya.

Upaya pembodohan yang mereka lakukan itu tampak dalam bentuk 1) pemutarbalikkan sejarah Lewoingu yang mencakup pula sejarah kepemilikan tanah ulayat di kampung Eputobi, 2) penyebarluasan berita bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu karena kecelakaan lalu lintas, 3) penyangkalan dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pemutarbalikkan sejarah Lewoingu dengan sengaja dirancang untuk menjungkirbalikkan tatanan adat warisan para leluhur Lewoingu. Dalam rangka itu mereka menciutkan peran Gresituli sebagai pendiri Lewoingu. Versi dongeng tentang asal usul Gresituli diangkat sebagai versi sejarah. Lalu mereka itu pun membuat dongeng bahwa Raga Ata Maran itu bukan anak Sani. Peran Raga sebagai penerus kepemimpinan Sani di Lewowerang-Lewoingu mereka hapus. Upaya semacam itu dimotivasi oleh kepentingan kekuasaan adat. Mereka yang memotori aksi pengrusakan adat pada bulan April 2006 itu berusaha menonjolkan diri sebagai penguasa tertinggi adat Lewoingu. Mereka itu pula yang menyerobot batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada bulan Mei 2006. Perbuatan semacam itu didorong oleh keserakhan yang selama itu terpendam dalam diri mereka.

Selain memutarbailkkan sejarah bersama Lewoingu, di antara mereka pun ada yang berusaha memutarbalikkan sejarah relasi antarsuku di Lewowerang-Lewoingu. Donatus Doni Kumanireng Blikololong, misalnya, dengan enteng beranggapan bahwa sukunya berposisi sebagai orang tua bagi suku Ata Maran. Anggapan ngawur semacam itu lahir dari kebutaannya tentang sejarah sukunya dalam kaitan dengan sejarah suku Ata Maran, juga lahir dari nafsu besarnya untuk menjadi penguasa kampung Eputobi. Ya, melalui suatu pesan singkat, orang ini pernah memperkenalkan diri sebagai penguasa kampung Eputobi kepada seseorang. Perkenalan dirinya itu dibarengi dengan pernyataan bahwa semua orang di kampung Eputobi takut dengannya.

Mudah-mudahan dia sudah belajar kembali sejarah sukunya dalam kaitan dengan suku Ata Maran. Dengan belajar kembali sejarah tersebut dia diharapkan mengerti mengapa sejak zaman Lewoingu kuno telah terjalin tali kekeluargaan yang sangat erat antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong. Sejak zaman Lewoingu kuno, Kumanireng Blikololong telah menjadi bagian dari keluarga besar Ata Maran. Itulah sebabnya, anggota-anggota suku Kumanireng Blikololong yang tahu akan dimensi sejarah tersebut tidak mau mengikuti langkah-laku dia. Mereka tidak mau mengkhianati Ata Maran. Mereka juga tidak mau ikut-ikutan dalam aksi pengrusakan sejarah bersama Lewoingu dengan tatanan adatnya, hasil kesepakatan para leluhur Lewoingu.

Dari aksi pengrusakan tatanan adat, termasuk penyerobotan batas tanah ulayat Ata Maran di kampung Eputobi pada tahun 2006, mereka bergerak ke aksi kriminal yang lebih dahsyat, yaitu aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Aksi pembunuhan tersebut lebih didominasi oleh motif politik kekuasaan. Perbuatan sangat jahat itu terjadi, karena Mikhael Torangama Kelen bernafsu untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, dan dia melihat Yoakim Gresituli Ata Maran sebagai ganjalan utamanya. Demi kepentingan itulah banyak rupiah dikeluarkan, antara lain untuk membayar orang-orang yang bersedia mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada hari, tanggal tersebut di atas. Selain menggunakan uang, mereka yang merancang pembunuhan tersebut pun menggunakan sentimen adat sebagaimana disinggung di atas sebagai daya rangsang keberanian dalam diri orang-orang yang mereka plotkan sebagai eksekutor utama untuk mengeksekusi Yoakim Gresituli Ata Maran pada hari, tanggal dan tempat tersebut. Agar tujuan jahat itu tercapai, di kalangan para penjahat itu pun ditumbuhkan kesadaran palsu, bahwa aksi-aksi yang mereka lakukan itu demi kebaikan lewotana (kampung halaman).

Ketika Mikhael Torangama Kelen ditangkap di Eputobi bersama dua anak Lamber Liko Kumanireng, dan ketika mereka hendak dibawa ke Polres Flores Timur, dia berujar, “Saya pergi bersama lewotana, saya akan kembali bersama lewotana.” Padahal aksi pembunuhan yang dilakukannya bersama orang-orang yang dibayarnya itu murni kriminal. Juga kriminal aksi pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah ulayat tersebut di atas. Mana ada lewotana yang mendukung perbuatan kriminal semacam itu? Dalam sejarah Lewoingu pramodern, kepada pelaku aksi kriminal semacam itu dikenai hukuman adat berupa hukuman mati.

Berdasarkan hukum positif modern yang berlaku di republik ini, para pelaku pembunuhan berencana tersebut dapat dikenai pasal hukuman seumur hidup mengingat dahsatnya kebiadaban yang mereka tunjukan. Secara perdata, mereka pun dapat dihukum dengan ganti rugi dalam jumlah rupiah yang sangat besar untuk membayar kerugian moral yang ditanggung oleh isteri dan anak-anak dari korban pembunuhan mereka. Gugatan perdata itu akan diajukan beriringan dengan keputusan pidana yang akan ditetapkan untuk para pelaku pembunuhan tersebut. Mampukah orang-orang seperti Donatus Doni Kumanireng dan Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka menanggung hukuman perdata termaksud?

Tampak jelas bahwa selama ini, mereka takut akan hukuman pidana, apalagi ditambah dengan hukuman perdata. Karena itu sejak di tempat kejadian perkara Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya menyebarkan informasi bahwa yang sedang terjadi di tempat tersebut pada malam tersebut adalah kecelakaan lalu lintas. Informasi itu dimaksud untuk membodohi dan menyesatkan publik setempat. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka hanya menonton korban yang sedang tergeletak di pinggir jalan itu. Seandainya benar terjadi kecelakaan lalu lintas, sudah semestinya mereka segera memberikan pertolongan kepada korban yang bersangkutan. Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa mereka menolak pertolongan yang ditawarkan oleh orang yang sempat menanyakan kepada mereka apa yang sedang terjadi di tempat itu.

Setelah metode pembodohan dan penyesatan tersebut gagal berhasil, mereka menggunakan metode pembodohan dan penyesatan lain, yaitu mengingkari fakta-fakta tentang pembunuhan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Padahal fakta-fakta tentang perbuatan sangat biadab yang mereka lakukan di Blou terus bermunculan. Tak ada satu pun dari kalangan penjahat itu yang mampu membendung aliran fakta-fakta yang berkisah tentang kebiadaban yang mereka lakukan di Blou di bumi Lewoingu itu. Tampak jelas bahwa Donatus Doni Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen, dan anggota-anggota komplotan mereka semakin kehilangan kemampuan real untuk terus membodohi dan menyesatkan publik setempat.

Mayoritas orang Lewoingu tidak mau dibodohi dan disesatkan oleh orang-orang jahat itu. Hanya orang-orang  yang harga dirinya dapat ditukar dengan uang dan raskin yang masih mau dibodohi dan disesatkan oleh para penjahat itu. Secara sadar atau tidak sadar, mereka selama ini ikut berjuang membentuk suatu komunitas kriminal di kampung Eputobi, yang belakangan ini makin rapuh posisinya. Mikhael Torangama Kelen yang selama ini mereka anggap sebagai jagoan mereka justru semakin tak berkutik oleh tekanan demi tekanan dari pihak “barat” agar dia mengakui secara jujur perbuatan sangat keji yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Dari waktu ke waktu muncul keberanian dari “barat” untuk secara langsung menyampaikan baik di hadapan Mikhael Torangama Kelen maupun di hadapan para pendukung setianya bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anak-anak Lamber Liko Kumanireng dll yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Beberapa waktu lalu di Eputobi Lamber Liko Kumanireng sendiri menghadapi langsung tudingan bahwa tiga orang anaknya pun menjadi pelaku utama pembunuhan yang terjadi di Blou itu.

Lamber Liko Kumanireng pernah menumpahkan banyak air dari kedua matanya ketika saya mengajak dia berbicara tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran. Itu terjadi pada hari Minggu tanggal 30 September 2007. Tetapi menumpahkan air mata saja tidak cukup. Kini sudah tiba waktunya bagi dia untuk berani mendorong tiga anaknya yang berstatus sebagai tersangka itu untuk mengakui secara jujur perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan, yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran dengan segala dampak buruknya bagi masyarakat Eputobi. Keberanian tersebut sangat diperlukan demi kebaikan kampung halaman Eputobi. ***

Jumat, 17 Juni 2011

Apalagi yang ingin mereka sembunyikan?

Kata mereka dalam judul di atas mengacu pada 1) Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, 2) aktor intelektual dan penyandang dana proyek kriminal tersebut, 3) mereka yang ikut berjuang untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Bersama-sama mereka berusaha menyembunyikan bangkai kejahatan yang terjadi di Blou. Padahal yang namanya bangkai, baunya menyebar ke mana-mana.

Kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou itu dapat dianalogikan dengan bangkai gajah. Selama ini mereka coba menyembunyikan bangkai gajah itu di rumah mereka masing-masing. Mereka mengira bahwa bangkai gajah itu tak akan berbau, atau seandainya berbau, baunya tak akan menyebar ke mana-mana.

Tetapi sejak awal bangkai gajah yang mereka bawa dari Blou itu tak dapat mereka sembunyikan. Dan tak ada satu pun dari mereka yang dapat menyembunyikan baunya. Sekian pengguna ilmu hitam coba mereka kerahkan untuk meredam bau bangkai gajah itu, tetapi hasilnya nihil. Baunya tetap saja menyebar ke mana-mana. Dan makin lama makin banyak orang tahu dari mana bau busuk itu berasal.

Mungkin karena itu, maka beberapa orang yang selama ini bersekutu erat dengan Mikhael Torangama Kelen pun mulai berputar haluan. Mereka rupanya mulai menyadari bahwa angin barat lebih kuat tenaganya ketimbang angin timur. Mereka mulai bersahabat kembali dengan beberapa tokoh di barat. Belakangan ini mereka terlibat dalam diskusi tentang korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen. Mereka juga mulai mempersoalkan penjualan raskin yang tak ada laporannya, dan lain-lain. Tetapi mereka berusaha menghindari diri dari pembicaraan tentang kasus pembunuhan yang terjadi di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 itu. Tampaknya dalam urusan yang satu itu, mereka masih berusaha kompak dengan si kepala komplotan penjahat itu.

Jika bau bangkai gajah itu sudah menyebar ke mana-mana, apalagi yang ingin mereka sembunyikan? Apalagi yang coba disembunyikan oleh orang semacam Donatus Doni Kumanireng, Andreas Boli Kelen, Mikhael Torangama Kelen, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan cs mereka? Dengan cara apalagi mereka coba menyembunyikan bangkai gajah itu? Dengan uang? Dengan menggunakan dukun pengguna ilmu hitam? Dengan tetap bertahan dalam dusta?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Bangkai gajah itu tak dapat mereka sembunyikan. Mereka tak punya cara ampuh untuk menyembunyikannya. Hanya orang-orang bodoh saja yang terus berusaha menyembunyikan bangkai seekor gajah. ***

Rabu, 15 Juni 2011

Uang, Kekuasaan, Kejahatan

Temuan demi temuan kian mempertegas fakta bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotan kriminalnyalah yang menghabisi Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, Flores Timur pada Senin malam 30 Juli 2007. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa pembunuhan tersebut dirancang sebagai suatu proyek yang memberikan keuntungan finansial kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Belum ada temuan tentang berapa persisnya anggaran yang disediakan untuk pelaksanaan proyek kriminal tersebut. Yang sudah jelas ialah bahwa setiap eksekutor utama diimbali dua juta rupiah. Tiga anak kandung Lamber Liko Kumanireng dan seorang saudara mereka termasuk eksekutor utama.  Secara bersama-sama mereka meraup delapan juta rupiah.

Beberapa orang lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan proyek kriminal tersebut pun dijanjikan diimbali masing-masing dua juta rupiah. Tetapi di antara mereka ada yang baru dibayar satu juta rupiah. Yang satu juta lagi belum masuk ke kantong mereka. Entah kenapa. Yang jelas, mereka yang hadir di tempat kejadian perkara dan menyaksikan adegan pembunuhan tersebut pun diberi jatah. Jatah itu diberikan sebagai uang tutup mulut. Jatah itu mereka peroleh dari tangan Mikhael Torangama Kelen.

Jatah juga diberikan kepada mereka yang tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan di Blou tetapi bersedia mendukung upaya Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk menutup perbuatan sangat keji yang mereka lakukan itu. Termasuk dalam kelompok ini adalah jaringan mafia hukum. Mereka yang aktif dalam jaringan ini mendapat jatah yang terbilang besar. Tetapi belum ada informasi yang jelas tentang angka yang diterima oleh masing-masing anggota mafia hukum yang bersangkutan. Pernah ada “bocoran” bahwa salah satu dari mereka memperoleh jatah empat juta rupiah. Tetapi hingga kini kebenarannya belum terkonfirmasi. Terlepas dari belum terkonfirmasinya kebenaran “bocoran” tersebut, pelaksanaan proyek kriminal di Blou dan upaya untuk menutupinya menghabiskan banyak uang.

Beberapa puluh juta rupiah mereka habiskan untuk mempertahankan kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Bagi Mikhael Torangama Kelen sendiri, kekuasaan tersebut perlu dipertahankan, karena dari situlah dia dengan leluasa bisa memperoleh keuntungan-keuntungan finansial, baik dengan cara halal maupun dengan cara tidak halal. Maka ketika kursi kekuasaannya digoyang dengan kasus korupsi yang dilakukannya, dia dan kroni-kroninya panik. Karena takut kursi kekuasaan tersebut terbang melayang menjauhinya, dia pun menggalang aksi untuk melawan kelompok masyarakat yang memprotes praktek-praktek korupsi yang dilakukannya selama periode pertama pemerintahannya. Tokoh-tokoh gerakan antikorupsi di desa itu diancam dibunuh.

Guna merealisasikan rencana jahat itu, salah seorang kroni Mikhael Torangama Kelen mencari pembunuh bayaran dari luar lingkaran mereka. Tetapi upayanya itu tak berhasil. Dengan penawaran dua juta rupiah per orang, mereka akhirnya berhasil merekrut pembunuh bayaran dari dalam lingkaran mereka. Pada Senin malam 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen sendiri menuntun para pembunuh bayaran itu ke Blou. Di situ mereka secara bersama-sama mengeroyok dan menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran hingga meninggal.

Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya telah ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 18 April 2008. Tetapi proses hukum atas mereka berjalan di tempat. Penanganan perkara pembunuhan tersebut penuh dengan kejanggalan. ***

Sabtu, 11 Juni 2011

Masih ada ruang waktu bagi mereka untuk menunjukkan keseriusan dan kejujuran

Lebih cepat sebenarnya lebih baik. Tetapi karena proses penanganannya ternyata bertele-tele, maka jalan dengan cara pelan-pelan itu pun coba kami turuti. Yang tidak dan tidak akan kami turuti adalah 1) upaya dari siapapun atau dari pihak manapun untuk menggelapkan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dan 2) metode penanganannya secara bertele-tele yang berkepanjangan.

Sejak terjadinya kasus pembunuhan tersebut hingga kini keluarga korban dan masyarakat yang mengharapkan tegaknya kebenaran dan keadilan berada dalam masa penantian. Yang kami nantikan adalah 1) keseriusan Kapolres Flores Timur dan jajaran penyidiknya untuk mengungkap berbagai aspek kriminal yang terkait dengan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou, dan 2) kejujuran Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Sungguh aneh bahwa hingga kini penyidik Polres Flores Timur belum juga menunjukkan keseriusan konkret untuk membongkar kasus pembunuhan tersebut. Padahal berbagai informasi penting yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut sudah diserahkan kepada Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur. Tetapi hingga kini belum juga jelas seperti apa tindaklanjut nyata dari informasi-informasi termaksud. Padahal ujung pangkal dari kasus pembunuhan tersebut sudah demikian jelas.

Selama ini metode penanganan bertele-tele atas perkara pembunuhan tersebut cukup berhasil untuk membuat kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu (Mikhael Torangama Kelen) terus bercokol di kursi kepala desa Lewoingu. Perlu diperhatikan bahwa terus bercokolnya Mikhael Torangama Kelen di kursi kepala desa Lewoingu adalah sesuatu yang tidak berguna bagi pembangunan dalam rangka peningkatan kebaikan dan kesejahteraan bagi segenap komponen sosial di Eputobi. Yang dikembangkan oleh Mikhael Torangama Kelen selama ini adalah suatu sistem pemerintahan yang menghalalkan korupsi, ancaman, dan kekerasan fisik terhadap lawan-lawan politiknya, terutama terhadap tokoh-tokoh gerakan antikorupsi.

Lantas masyarakat setempat di luar komplotan penjahat Eputobi pun selama ini menanti dan menanti kejujuran dari Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dalam mengakui perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan di Blou. Selama ini, masyarakat yang bersangkutan masih berusaha menggunakan kesabaran dalam menyikapi ketidakjujuran yang diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Ini mereka tempuh untuk menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Di dalam kenyataan, proses hukum yang berjalan berlarut-larut menimbulkan keresahan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ya, wajar bila masyarakat yang bersangkutan merasa resah setelah menyaksikan kejanggalan-kejanggalan dalam penanganan perkara pembunuhan tersebut.

Meskipun demikian masih ada ruang waktu bagi Polres Flores Timur untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menangani perkara pembunuhan tersebut. Masih ada pula ruang waktu bagi Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya untuk mengakui secara jujur perbuatan sangat biadab yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Masih ada pula ruang waktu bagi anggota-anggota keluarga mereka, sanak saudara dan handai tolan mereka untuk mendorong mereka agar berani berkata secara jujur tentang perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan di Blou pada hari, tanggal tersebut di atas.  Termasuk yang juga perlu didorong untuk berani berkata jujur adalah Donatus Doni Kumanireng, mantan pegawai negeri sipil yang tinggal di Kupang itu.

Mereka-mereka itu perlu dibantu agar mereka pun dapat keluar dari belenggu ketidakjujuran. *** 

Minggu, 05 Juni 2011

Pamor desa Lewoingu kian remuk

Pamor desa Lewoingu di Kecamatan Titehena, Flores Timur telah jatuh dan kian remuk. Kisah buruk itu dimulai dari aksi pengrusakan adat pada tahun 2006, kemudian oleh praktek korupsi, yang kemudian berbuntut pada peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kejadian-kejadian buruk dan jahat itu dipelopori oleh Mikhael Torangama Kelen (MTK). Dan dengan masih bercokolnya si MTK di kursi kepala desa Lewoingu, maka keremukan pamor desa tersebut kian parah. Lewoingu tak mampu lagi tampil sebagai desa yang disegani.

Oleh para pendukungnya dan pemujanya di kampung Eputobi, si MTK disapa dengan bapak desa. Tetapi di luar kalangannya, dia dikenal sebagai seorang pengrusak tatanan adat, pelaku korupsi, dan kepala komplotan pembunuh berdarah dingin. Semua julukan ini memang layak dia sandang, ya sesuai dengan perbuatan-perbuatan jahatnya.

Dalam arena politik formal di Titehena, kehadirannya diterima secara formal. Tetapi di luar lingkungan politik formal, muncul pertanyaan, “Mengapa orang semacam itu dipilih menjadi kepala desa Lewoingu?” Pertanyaan yang sama pun muncul dari luar Titehena. Mendengar pertanyaan semacam itu, seorang warga Eputobi pun bertanya, “Siapa yang memilih dia?”

Tak perlu dijelaskan lagi di sini dengan cara-cara apa si MTK berusaha mempertahankan kursi kekuasaannya pada tahun 2007. Yang jelas, praktek korupsi yang dilakukannya selama 2000 hingga 2006 dan pembunuhan yang dilakukannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 dapat menjadi alasan yang memadai untuk menggagalkan dia kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Sungguh tak pantas, bila kursi kepala desa Lewoingu diduduki oleh seorang koruptor yang sekaligus menjadi seorang kepala komplotan pembunuh berdarah dingin.

Tetapi di dalam kenyataan, si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu masih bercokol di kursi kepala desa Lewoingu. Ini bisa terjadi berkat keputusan tidak rasional Simon Hayon, selaku Bupati Flores Timur melantik dia menjadi kepala desa Lewoingu pada bulan Januari 2008. Karena ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan di Blou, Simon Hayon kemudian menonaktifkan si MTK sebagai kepala desa Lewoingu. Tetapi Simon Hayon itu pula yang mengaktifkan dia kembali pada bulan Januari 2009. Padahal pada waktu itu hingga kini si MTK masih berstatus sebagai tersangka kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran.

Jelas bahwa permainan politik kotorlah yang berada di balik masih bercokolnya si pelaku korupsi dan si kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu di kursi kepala desa Lewoingu. Meskipun menentang keputusan Simon Hayon, para warga beradab di kampung Eputobi tidak menempuh cara-cara anarkis untuk menurunkan si MTK dari kursi kepala desa Lewoingu. Mereka berusaha menjunjung etika politik. Mereka berpegang pada prinsip, bahwa kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan dengan cara yang baik.

Karena berpegang pada prinsip itu, maka kelompok masyarakat beradab di sana ditafsirkan sebagai kelompok yang lemah dan gampang dipermainkan oleh kelompok kriminal yang dipimpin oleh MTK. Di dalam kenyataan tidak demikian. Cuma tak perlu dibeberkan seperti apa kuatnya kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya.

Dari kalangan masyarakat beradab itulah akan muncul kekuatan yang bakal mengembalikan pamor kampung Eputobi, desa Lewoingu. Anda-anda yang hanya berkoar-koar tentang perlunya damai bagi masyarakat Eputobi, tetapi mengabaikan fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh si MTK dan anggota-anggota komplotannya, pada dasarnya tak punya andil apa pun untuk memulihkan pamor desa Lewoingu. Anda-anda juga tak punya andil apa pun bagi upaya ke arah perwujudan damai sejahtera bagi masyarakat Eputobi. Bagaimana mungkin anda-anda yang selama ini ikut menentang kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan masyarakat beradab di sana dapat mengupayakan perdamaian.

Damai sejahtera di desa Lewoingu telah dirusak oleh Donatus Doni Kumanireng dan si MTK serta oleh anggota-anggota komplotan kriminal mereka. Yang selama ini secara nyata berusaha menjaga agar kerusakan sosial budaya tidak menjadi lebih parah adalah para warga masyarakat beradab yang juga disebut kelompok “jabar.” Dalam rangka itu mereka membiarkan diri tampil sebagai pihak yang lemah tak berdaya ketika diprovokasi dan dicaci maki oleh para anggota kelompok kriminal yang dipimpin oleh si MTK. Ya, di kalangan kelompok “jabar” sering muncul kata-kata, “Kita ini kelompok yang lemah.” Tetapi ketika sekali-sekali kelompok yang merasa diri lemah ini bersuara, siapa pun dari pihak yang selama ini sering memperlihatkan otot dan taring itu tak berkutik.

Aksi-aksi primitif seperti yang diperlihatkan oleh MTK dan DDK serta anggota-anggota komplotan mereka itulah yang membuat pamor desa Eputobi runtuh dan remuk berkeping-keping. Aksi-aksi jahat semacam itu membuat sebagian orang Eputobi kembali ke era primitif. ***

Menunggu kejujuran MTK dan anggota-anggota komplotannya

Hebat betul upaya Mikhael Torangama Kelen (MTK) dan anggota-anggota komplotannya untuk mempertahankan dusta. Meskipun terang benderang memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, di Blou, pada Senin malam, 30 Juli 2007, si MTK terus menyangkali perbuatan sangat biadabnya itu. Dia pula yang mengancing mulut para anggota-anggota komplotannya agar pengakuan tak meluncur dari mereka. Bersama-sama mereka coba mempertahankan dusta, hingga kini. Tapi sampai kapan dusta semacam itu dapat mereka pertahankan?

Tak ada ceritera tentang pendusta dapat mempertahankan dustanya hingga selamanya, apalagi urusannya menyangkut darah dan nyawa orang yang tak bersalah. Menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa orang yang tak bersalah itu perbuatan sangat keji. Perbuatan semacam itu tak akan menenteramkan hati para pelakunya. Apalagi saksi sejati tak pernah lupa untuk mengingatkan mereka tentang kebiadaban yang mereka lakukan di Blou pada malam hari itu sekaligus menuntut mereka untuk mempertanggungjawabkannya. Semakin mereka berusaha menutup-nutupinya, semakin tidak tenang hati mereka. Bukan hanya si MTK dan anggota-anggota komplotannya yang beraksi langsung di Blou yang terus menerus dihantui rasa tidak tenang, orang semacam Donatus Doni Kumanireng (DDK) pun telah lama didera rasa tidak tenang. Padahal sosok si DDK tidak ditemukan di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara. Pada malam kejadian perkara itu dia berada di Kupang. Tetapi karena berandil besar di belakang layar panggung kriminal di Blou, maka hatinya terus didera rasa gelisah. Karena punya andil bagi keberhasilan bagi proyek pembunuhan di Blou itu, maka si DDK pun sibuk berkasak-kusuk untuk menggagalkan proses hukum bagi si MTK dan kawan-kawan. Soalnya jelas. Jika proses hukum berjalan dengan mantap, maka dirinya pun terjerat. Untuk menghindari diri dari jerat hukum, segala cara coba ditempuhnya.

Cara si MTK dan DDK serta anggota-anggota komplotan mereka menutup-nutupi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran sudah lama menjadi bahan tertawaan di kalangan masyarakat beradab di kampung Eputobi dan di seluruh kawasan Lewoingu. Di kalangan masyarakat beradab di sana, sejak lama tumbuh keyakinan bahwa cepat atau lambat para pelaku kejahatan tersebut akan dihukum. Semakin nekad mereka menyangkali perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou, semakin besar malapetaka yang akan mereka tanggung. Malapetaka lebih besar tak akan menimpa mereka, jika mereka secara jujur mengakui perbuatan jahat yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pengakuan secara jujur itu harus dibarengi dengan penyerahan diri mereka ke pihak berwajib.

Hal berikut ini pun perlu diperhatikan. Dengan dijebloskannya si ABK ke bui karena kasus korupsi, dan dengan mulai berhembusnya angin perubahan politik di bumi Flores Timur, kursi kepala desa Lewoingu yang selama ini diduduki oleh si MTK, kepala komplotan pembunuh berdarah dingin itu telah kehilangan backing politik. Ingatlah baik-baik bahwa selain melakukan pembunuhan, si MTK juga melakukan korupsi. Kedua perkara pidana itu akan menggiring dia ke bui atau ke tempat hukuman yang mengerikan. Baginya akan berlaku, “Kakak keluar, adik masuk.” Untuk sementara, biar kakaknya saja dulu yang masuk dan menjadi penghuni penjara. Pada waktunya nanti, si adik akan digiring ke sana.***