Pertanyaan semacam itu sering muncul belakangan ini. Pertanyaan itu dipicu oleh lambannya penanganan perkara pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Bukan hanya masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya yang mengajukan pertanyaan semacam itu. Sejumlah pemerhati di beberapa kota di NTT pun mengajukan pertanyaan yang sama. Di antara mereka ada yang sangat khawatir kalau kasus kejahatan itu ditangani dengan cara yang tidak serius, akhirnya perkaranya pun menjadi gelap, lantas lenyap begitu saja.
Kekhawatiran semacam itu punya alasan yang jelas. Memang, sebelumnya sudah ada preseden, di mana orang dibilang mati karena kecelakaan lalulintas, padahal sepeda motor yang dikendarai korban tetap dalam keadaan utuh alias tidak mengalami kerusakan. Mana ada kecelakaan lalulintas yang melibatkan sepeda motor, tetapi sepeda motornya tetap dalam keadaan utuh? Sebelum kematian Akim Maran, ada kejadian yang semacam itu di Flores Timur. Nasib penanganan kasus dimaksud dan kasus Doni tidak jelas hingga kini. Sehingga kepercayaan masyarakat di Flores Timur terhadap keseriusan Polres Flores Timur dalam menangani kasus-kasus semacam itu kian meluntur.
Ketika kasus pembunuhan Akim Maran meletus, banyak orang sempat pesimis bahwa kasus kejahatan itu dapat diungkap oleh Polres Flores Timur. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa di situ pun bermain oknum-oknum polisi nakal. Tetapi setelah mengetahui bahwa pihak keluarga korban terus berusaha mengungkap kasus pembunuhan tersebut, dan terutama setelah empat tersangka pelakunya berhasil ditangkap dan ditahan di sel Polres Flores Timur, mereka yang tadinya pesimis menjadi optimis, bahwa kasus pembunuhan Akim Maran dapat diproses ke pengadilan, dan siapa pun pelakunya akan dihukum. Penangkapan Mikhael Torangama Kelen dkk pada Jumat 18 April 2008 itu merupakan hasil kerja tim penyidik Polda NTT.
Tetapi rasa khawatir dan pesimisme kembali menyergap mereka, setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng, akhirnya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, konon demi hukum. Di kota Larantuka, sejumlah kalangan mengeluhkan cara kerja aparat kepolisian Polres Timur yang asal-asalan dan tidak jelas itu. "Masa perkara yang sudah begitu jelas, bisa jadi begini penanganannya?" Begitu keluh mereka.
Orang lantas bertanya, "Ada apa dengan Polres Flores Timur, sehingga perkara pembunuhan yang sudah jelas ujung pangkalnya itu ditangani dengan cara yang tidak jelas?" Jawaban atas pertanyaan ini jelas. Di sana masih bercokol beberapa oknum polisi nakal. Anda tentu masih ingat bahwa menjelang akhir September 2007 dan awal November 2007, ada upaya-upaya formal oleh oknum-oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut. Namun upaya itu akhirnya gagal.
Kapolres Flores Timur AKBP Syamsul Huda punya tekad yang jelas. Beliau bertekad untuk membawa perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran ke pengadilan negeri Larantuka. Namun masih terdapat ganjalan di sana sini. Maka penanganan perkara pembunuhan tersebut pasca-16 Agustus 2008 cenderung berjalan di tempat. Tetapi tidak ada ceritera tentang penghentian pemrosesan perkara kejahatan tersebut, karena Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak akan membiarkan kejahatan semacam itu tidak ditangani. Tidak ada ceritera bahwa Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak kandung Lamber Liko Kumanireng telah dibebaskan dari tersangka pelaku pembunuhan atas Akim Maran. Isu pembebasan mereka itu dihembus-hembuskan oleh oknum-oknum polisi nakal itu. Selain empat orang Eputobi, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu, masih terdapat beberapa orang lain yang akan diseret ke pengadilan.
Jalan yang ditempuh untuk menangani perkara pembunuhan Akim Maran memang berliku. Tetapi di ujung jalan yang berliku itu nanti anda akan jumpai keruntuhan kerajaan kejahatan yang dibangun oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya. Dan oknum-oknum polisi yang nakal itu pun akan "gigit jari jemari mereka sendiri." ***
Kamis, 18 Desember 2008
Jumat, 12 Desember 2008
Masyarakat Eputobi di Flores Timur dan Gerakan Anti Korupsi
Selasa, 9 Desember 2008, di seluruh dunia diadakan peringatan Hari Anti Korupsi. Di Indonesia, peringatan Hari Anti Korupsi ditandai dengan gerakan masyarakat di berbagai daerah untuk memberantas korupsi. Presiden SBY dan Ibu Negara memperingati Hari Anti Korupsi di lapangan Monas, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung. Dalam kesempatan itu Presiden SBY mencanangkan tekadnya untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Mengatakan tidak pada korupsi adalah pesan pokok iklan partai Demokrat, yang belakangan ini sering ditayangkan televisi.
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengimbau penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi. Masyarakat diimbau untuk tidak berkolusi dengan penyelenggara negara untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Pada hari Selasa, 9 Desember 2008, kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan didatangi sejumlah pengunjuk rasa yang bergabung dalam Gerakan Rakyat Tangkap Koruptor (Gertak). Mereka menuntut KPK untuk menuntaskan kasus BLBI, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tidak hanya itu. Para demonstran itu pun menuntut KPK untuk menangkap dan menembak mati Liem Sie Liong, Anthony Salim, Usman Atmajaya, dan Samadikun Hartono.
Suka atau tidak suka korupsi merupakan penyakit sosial yang sudah menjadi sangat kronis dan mewabah ke mana-mana. Korupsi tidak hanya menjadi cara elite-elite busuk di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia untuk memperkaya diri. Korupsi juga sudah menjadi cara hidup elite-elite busuk tertentu di daerah, termasuk elite-elite busuk tertentu di daerah pedesaan. Salah satu contonya adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Toranagama Kelen dan rekan-rekannya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur selama kurun waktu 2000 hingga 2007.
Yang mereka praktekan adalah salah satu model korupsi yang kasar dan terang-terangan. Seperti tikus yang kelaparan, apa saja yang layak digerogoti, mereka gerogoti. Termasuk yang digerogoti adalah iuran pasar desa, material bekas TK Demon Tawa yang dicuri pada malam hari lalu dijual untuk kepentingan pribadi mereka. Belum terhitung berapa uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan desa, tetapi akhirnya masuk ke kantong pribadi Mikhael Torangama Kelen dkk. Bahkan honor yang menjadi hak orang lain pun disikatnya juga tanpa ampun. Maka tak usah heran bila hasil audit sementara yang dilakukan oleh Banwasda Fores Timur menunjukkan bahwa jumlah uang yang dikorupsi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk mencapai angka 14 juta rupiah. Angka ini bisa membengkak bila proses audit dilanjutkan.
Proses audit itu diakukan berkat dorongan sekelompok warga kampung Eputobi desa Lewoingu yang punya kepedulian besar akan kebenaran, keadilan dan HAM. Kelompok masyarakat ini memelopori gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa Lewoingu. Mereka mewakili suara para warga Eputobi yang menghendaki terselenggaranya suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa di desa Lewoingu. Meskipun menghadapi tantangan dan ancaman pengganyangan dari Mikhael Torangama Kelen dkk, kelompok yang dimotori oleh sejumlah tokoh muda itu bejuang dengan cara damai. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia kelompok ini tidak berteriak sana, tidak berteriak sini, tidak mengancam sana, tidak mengancam sini. Ini sangat berbeda dengan metode yang dtempuh oleh kubu pemerintah desa Lewoingu, yang beteriak sana beteriak sini seraya membusungkan dada sebagai penguasa politik, yang menebarkan fitnah dan caci maki, yang juga menebarkan ancaman pertumpahan darah terhadap orang-orang atau pihak-pihak lawan politik.
Di seluruh kecamatan Titehena di Flores Timur, hanya di kampung Eputobi bangkit gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan rekan-rekannya. Selain mendapat dukungan dari kelompok masyarakat beradab di kampung Eputobi, gerakan ini pun mendapat simpati dari elite-elite tertentu di tubuh pemerintahan kabupaten Flores Timur. Tetapi di kampung Eputobi pemerintah desa Lewoingu dan antek-anteknya yang sangat korup itu mencap mereka sebagai pengacau. Label pengacau itu mereka gunakan untuk menutup-nutupi praktek-praktek korupsi yang selama itu mereka lakukan.
Berusaha menutup-nutupi praktek korupsi memang sudah menjadi kebiasaan para koruptor. Bahkan mereka pun bisa menggunakan segala macam cara untuk melawan upaya pemerintah dan masyarakat yang bertekad memberantas korupsi. Berbagai kalangan masyarakat di kampung Eputobi pun menjadi saksi hidup kerasnya perlawanan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk terhadap gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Banyak orang tidak menyadari bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, selama dia menjabat sebagai kepala desa, menjadi salah satu sebab terjadinya kerusakan sosial budaya yang parah di kampung Eputobi hingga hari ini. Bahkan pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 itu pun merupakan salah satu bentuk perlawanan paling brutal terhadap gerakan anti korupsi tersebut di atas. Orang yang tidak bersalah itu menjadi korban dari suatu rezim yang korup dan lalim. Celakanya, meskipun Mikhael Torangama Kelen sudah tidak lagi menjadi kepala desa, kaki tangannya masih bercokol dan menjalankan roda pemerintahan desa Lewoingu. Padahal, mereka yang kini bercokol di tubuh pemerintahan desa Lewoingu itu pun merupakan bagian tak terpisahkan dari penyebab terjadinya persoalan-persoalan besar di kampung Eputobi. Itulah sebabnya Kelompok Pencinta Kebenaran, Keadilan, dan HAM dari desa Lewoingu sempat menyatakan penolakan mereka terhadap pengangkatan Damasus Liikuwatang Kumanreng sebagai pelaksana tugas kepala desa Lewoingu.
Gerakan penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa dari suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup tidak mungkin dihasikan kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan real bagi segenap lapisan masyarakat yang bersangkutan. Di dalam kenyataan, pemerintah desa Lewoingu berpihak ke blok timur. Tentang ini seorang anggota polisi pernah nyeletuk, "Repot ya, kalau kepala desanya (masudnya PLTnya) tidak netral. Seharusnya, dia tidak boleh berpihak ke kubu tertentu." Pak polsi itu lalubertanya kepada saya, "Apakah perlu kepala desanya orang dari luar Eputobi?"
Suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup hanya mampu menghasilkan kemajuan semu, keadilan semu, kebaikan semu, dan keadilan semu bagi masyarakat yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, korupsi secara real menyebabkan suatu bangsa terpuruk dan sukar untuk bangkit dari keterpurukannya. Bangsa semacam itu akhirnya mengalami pejajahan secara ekonomi, politik, dan lain-lain bentuk penjajahan.
Menyadari seriusnya dampak-dampak buruk dari korupsi, setiap orang Eputobi-Lewoingu yang waras mestinya mendukung gerakan pemberantasan korupsi yang dimotori oleh sejumlah orang muda di kampung Eputobi, desa Lewoiingu itu. Celakanya, di antara kaum terpelajar Eputobi sendiri pun terdapat orang-orang yang tiada henti membela para koruptor Eputobi itu. Padahal masyarakat Eputobi tidak membutuhkan kepala desa dan aparatur-aparaturnya yang korup. Hanya sesama koruptor yang saling membutuhkan. Yang dibutuhkan masyarakat Eputobi adalah kepala desa yang bersih dan berwibawa, yang mampu membaktikan diri demi kebaikan dan kesejahteraan bagi segenap lapisan masyarakat Eputobi. Jika kepala desanya sendiri menjadi teladan korupsi, maka berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi rusak, persis seperti yang sedang tejadi di kampung Eputobi sekarang ini.
Kiranya jelas bahwa sikap membela dan karena itu membenarkan praktek korupsi tersebut adalah sikap orang tidak bermoral. Sikap semacam itu juga bertentangan dengan tekad presiden SBY untuk meningkatkan upaya-upaya pemberantasan korupsi.Kita perlu terus mendorong agar kelompok masyarakat anti korupsi di kampung Eputobi untuk meneruskan perjuangannya hingga berhasil menyeret para pelaku korupsi di kampung tersebut ke pengadilan.
Jika kasus korupsi di desa Lewoingu tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Larantuka, kasus tersebut dapat dilaporkan ke Jakarta. Tanpa laporan dari masyarakat, pemberantasan korupsi tidak berjalan optimal. Guna menyukseskan program pemberantasan korupsi, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama.***
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengimbau penyelenggara negara untuk tidak melakukan korupsi. Masyarakat diimbau untuk tidak berkolusi dengan penyelenggara negara untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Pada hari Selasa, 9 Desember 2008, kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan didatangi sejumlah pengunjuk rasa yang bergabung dalam Gerakan Rakyat Tangkap Koruptor (Gertak). Mereka menuntut KPK untuk menuntaskan kasus BLBI, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tidak hanya itu. Para demonstran itu pun menuntut KPK untuk menangkap dan menembak mati Liem Sie Liong, Anthony Salim, Usman Atmajaya, dan Samadikun Hartono.
Suka atau tidak suka korupsi merupakan penyakit sosial yang sudah menjadi sangat kronis dan mewabah ke mana-mana. Korupsi tidak hanya menjadi cara elite-elite busuk di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia untuk memperkaya diri. Korupsi juga sudah menjadi cara hidup elite-elite busuk tertentu di daerah, termasuk elite-elite busuk tertentu di daerah pedesaan. Salah satu contonya adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Toranagama Kelen dan rekan-rekannya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur selama kurun waktu 2000 hingga 2007.
Yang mereka praktekan adalah salah satu model korupsi yang kasar dan terang-terangan. Seperti tikus yang kelaparan, apa saja yang layak digerogoti, mereka gerogoti. Termasuk yang digerogoti adalah iuran pasar desa, material bekas TK Demon Tawa yang dicuri pada malam hari lalu dijual untuk kepentingan pribadi mereka. Belum terhitung berapa uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan desa, tetapi akhirnya masuk ke kantong pribadi Mikhael Torangama Kelen dkk. Bahkan honor yang menjadi hak orang lain pun disikatnya juga tanpa ampun. Maka tak usah heran bila hasil audit sementara yang dilakukan oleh Banwasda Fores Timur menunjukkan bahwa jumlah uang yang dikorupsi oleh Mikhael Torangama Kelen dkk mencapai angka 14 juta rupiah. Angka ini bisa membengkak bila proses audit dilanjutkan.
Proses audit itu diakukan berkat dorongan sekelompok warga kampung Eputobi desa Lewoingu yang punya kepedulian besar akan kebenaran, keadilan dan HAM. Kelompok masyarakat ini memelopori gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa Lewoingu. Mereka mewakili suara para warga Eputobi yang menghendaki terselenggaranya suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa di desa Lewoingu. Meskipun menghadapi tantangan dan ancaman pengganyangan dari Mikhael Torangama Kelen dkk, kelompok yang dimotori oleh sejumlah tokoh muda itu bejuang dengan cara damai. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia kelompok ini tidak berteriak sana, tidak berteriak sini, tidak mengancam sana, tidak mengancam sini. Ini sangat berbeda dengan metode yang dtempuh oleh kubu pemerintah desa Lewoingu, yang beteriak sana beteriak sini seraya membusungkan dada sebagai penguasa politik, yang menebarkan fitnah dan caci maki, yang juga menebarkan ancaman pertumpahan darah terhadap orang-orang atau pihak-pihak lawan politik.
Di seluruh kecamatan Titehena di Flores Timur, hanya di kampung Eputobi bangkit gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan rekan-rekannya. Selain mendapat dukungan dari kelompok masyarakat beradab di kampung Eputobi, gerakan ini pun mendapat simpati dari elite-elite tertentu di tubuh pemerintahan kabupaten Flores Timur. Tetapi di kampung Eputobi pemerintah desa Lewoingu dan antek-anteknya yang sangat korup itu mencap mereka sebagai pengacau. Label pengacau itu mereka gunakan untuk menutup-nutupi praktek-praktek korupsi yang selama itu mereka lakukan.
Berusaha menutup-nutupi praktek korupsi memang sudah menjadi kebiasaan para koruptor. Bahkan mereka pun bisa menggunakan segala macam cara untuk melawan upaya pemerintah dan masyarakat yang bertekad memberantas korupsi. Berbagai kalangan masyarakat di kampung Eputobi pun menjadi saksi hidup kerasnya perlawanan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk terhadap gerakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Banyak orang tidak menyadari bahwa korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dkk, selama dia menjabat sebagai kepala desa, menjadi salah satu sebab terjadinya kerusakan sosial budaya yang parah di kampung Eputobi hingga hari ini. Bahkan pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007 itu pun merupakan salah satu bentuk perlawanan paling brutal terhadap gerakan anti korupsi tersebut di atas. Orang yang tidak bersalah itu menjadi korban dari suatu rezim yang korup dan lalim. Celakanya, meskipun Mikhael Torangama Kelen sudah tidak lagi menjadi kepala desa, kaki tangannya masih bercokol dan menjalankan roda pemerintahan desa Lewoingu. Padahal, mereka yang kini bercokol di tubuh pemerintahan desa Lewoingu itu pun merupakan bagian tak terpisahkan dari penyebab terjadinya persoalan-persoalan besar di kampung Eputobi. Itulah sebabnya Kelompok Pencinta Kebenaran, Keadilan, dan HAM dari desa Lewoingu sempat menyatakan penolakan mereka terhadap pengangkatan Damasus Liikuwatang Kumanreng sebagai pelaksana tugas kepala desa Lewoingu.
Gerakan penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa dari suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup tidak mungkin dihasikan kebaikan, kesejahteraan, dan keadilan real bagi segenap lapisan masyarakat yang bersangkutan. Di dalam kenyataan, pemerintah desa Lewoingu berpihak ke blok timur. Tentang ini seorang anggota polisi pernah nyeletuk, "Repot ya, kalau kepala desanya (masudnya PLTnya) tidak netral. Seharusnya, dia tidak boleh berpihak ke kubu tertentu." Pak polsi itu lalubertanya kepada saya, "Apakah perlu kepala desanya orang dari luar Eputobi?"
Suatu rezim yang korup, apalagi yang sangat korup hanya mampu menghasilkan kemajuan semu, keadilan semu, kebaikan semu, dan keadilan semu bagi masyarakat yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, korupsi secara real menyebabkan suatu bangsa terpuruk dan sukar untuk bangkit dari keterpurukannya. Bangsa semacam itu akhirnya mengalami pejajahan secara ekonomi, politik, dan lain-lain bentuk penjajahan.
Menyadari seriusnya dampak-dampak buruk dari korupsi, setiap orang Eputobi-Lewoingu yang waras mestinya mendukung gerakan pemberantasan korupsi yang dimotori oleh sejumlah orang muda di kampung Eputobi, desa Lewoiingu itu. Celakanya, di antara kaum terpelajar Eputobi sendiri pun terdapat orang-orang yang tiada henti membela para koruptor Eputobi itu. Padahal masyarakat Eputobi tidak membutuhkan kepala desa dan aparatur-aparaturnya yang korup. Hanya sesama koruptor yang saling membutuhkan. Yang dibutuhkan masyarakat Eputobi adalah kepala desa yang bersih dan berwibawa, yang mampu membaktikan diri demi kebaikan dan kesejahteraan bagi segenap lapisan masyarakat Eputobi. Jika kepala desanya sendiri menjadi teladan korupsi, maka berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi rusak, persis seperti yang sedang tejadi di kampung Eputobi sekarang ini.
Kiranya jelas bahwa sikap membela dan karena itu membenarkan praktek korupsi tersebut adalah sikap orang tidak bermoral. Sikap semacam itu juga bertentangan dengan tekad presiden SBY untuk meningkatkan upaya-upaya pemberantasan korupsi.Kita perlu terus mendorong agar kelompok masyarakat anti korupsi di kampung Eputobi untuk meneruskan perjuangannya hingga berhasil menyeret para pelaku korupsi di kampung tersebut ke pengadilan.
Jika kasus korupsi di desa Lewoingu tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Larantuka, kasus tersebut dapat dilaporkan ke Jakarta. Tanpa laporan dari masyarakat, pemberantasan korupsi tidak berjalan optimal. Guna menyukseskan program pemberantasan korupsi, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama.***
Langganan:
Postingan (Atom)