Senin, 23 Februari 2009

Satu Minggu Yang Penuh Dengan Isu Penangkapan

Bermula pada hari Senin, 16 Februari 2009. Pada hari itu lima anggota polisi dari Polres Flores Timur dan satu anggota polisi dari Pos Polisi Titehena-Lewolaga datang ke Eputobi. Pada hari itu mereka menyempatkan diri mampir ke makam korban pembunuhan Senin malam 30 Juli 2007, yaitu Yoakim Gresituli Ata Maran. Untuk apa? Salah satu di antara mereka bilang, untuk meminta bantuan almarhum.

Keenam anggota polisi itu pun sempat mampir di rumah keluarga Ata Maran, tapi tak lama. Dari situ mereka ke kantor desa Lewoingu. Nah di situ mereka berbincang-bincang cukup lama dengan si tersangka pembunuh berdarah dingin, yang sejak 23 Januari 2009 diaktifkan kembali sebagai kepala desa Lewoingu. Ketika mereka berada di situ, Pak Aneng Tukan sempat dipanggil untuk datang ke kantor desa. Tetapi Pak Aneng Tukan berkeberatan ke sana, karena tidak jelas urusannya.

Apa persisnya yang dibicarakan polisi-polisi itu dengan si tersangka itu hanya mereka yang hadir di kantor desa itu yang tahu. Yang jelas pada hari Selasa 17/2/2009 dan Rabu 18/2/2009, pihak tersangka menunggu dan menunggu kedatangan polisi ke Eputobi . Dalam dua hari itu ramai beredar isu bahwa polisi akan datang untuk menangkap beberapa orang dari kubu barat. Karena tahu, bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, pihak yang diterpa isu murahan semacam itu tidak terpengaruh.

Isu semacam itu terus berhembus ke hari Kamis, 19/2/2009. Lalu ada keramian tidak wajar terjadi pada hari Jumat, 20/2/2009 di kampung Eputobi. Pada hari itu salah seorang tokoh kubu barat dimintai keterangan di Polres Flores Timur, sehubungan dengan penemuan barang-barang bukti di sekitar TKP di Blou. Keterangannya itu diperlukan sebagai kelengkapan berkas perkara yang sedang dipersiapkan oleh penyidik. Tiga jam lamanya dia berada di Polres Flores Timur. Sore hari baru dia muncul kembali di kampung Eputobi .

Sejak siang hari itu, di Eputobi sudah ramai beredar isu bahwa yang bersangkutan dipanggil ke Polres Flores Timur dan ditahan. Serta merta di kubu para tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran timbul keramaian yang tak wajar. Di antara mereka, ada yang berjalan dari rumah ke rumah untuk menyampaikan isu itu. Ada yang bernyanyi dan ada pula yang menari-nari. Pada hari itu, bagian timur kampung Eputobi berubah menjadi suatu panggung pentas suatu adegan yang tak lucu. Di kalangan mereka kegembiraan semu itu berlanjut ke hari Sabtu, 21/2/2009. Sementara itu, pihak barat, karena mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi hanya menjadi penonton setia dari pentas yang tak lucu itu.

Lantas pada hari Minggu, 22/2/2009, dengan keyakinan diri yang semu, si tersangka yang oleh Bupati Flores Timur dikembalikan ke kursi kepala desa Lewoingu itu tampil di halaman depan gereja St. Yosef Eputobi. Di situ dia berkotbah tentang kerjasamanya dengan tim Buser dari Polres Flores Timur untuk mencari tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Di situ dia pun menggunakan kata biadab untuk orang dan pihak yang berusaha mencari kebenaran dan keadilan dalam perkara pembunuhan itu.

Belakangan ini si tersangka itu dan anggota komplotannya kian sibuk menggarap suatu proyek baru, yaitu proyek menjadikan orang-orang yang sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran untuk dijadikan sebagai tersangka pelakunya. Menimpakan kepada orang-orang lain perbuatan sangat keji yang dia dan rekan-rekannya lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 itu adalah kejahatan baru yang sedang mereka garap.

Kampung Eputobi akan menjadi sangat terkutuk, jika kejahatan demi kejahatan dirancang dengan sengaja semacam itu. Masyarakat beradab di kampung Eputobi perlu terus memperhatikan ada atau tidak adanya elemen-elemen eksternal yang ikut nimbrung dalam penggarapan proyek itu. ***

Kamis, 19 Februari 2009

Masyarakat Lewoingu di Flores Timur Menanti Kado Terindah

Ditahannya mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur, Andreas Boli Kelen, menambah semarak parade pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya di Flores Timur. Memang. Larantuka sebagai kota religius mestinya menjadi teladan dalam pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Akan menjadi sangat payah, kalau Larantuka pun ikut-ikutan merawat cara hidup korup. Sudah sewajarnya bila setiap elite politik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat serta aparatur penegak hukum di sana punya tekad yang sama, yaitu membersihkan Flores Timur dari korupsi.

Partisipasi masyarakat Flores Timur dalam upaya pemberantasan korupsi sangat diperlukan. Partisipasi itu dapat direalisasikan dalam beberapa bentuk, seperti mengawasi penggunaan anggaran pembangunan di daerahnya, termasuk di desanya, melaporkan kepada pihak berwajib jika ditemukan adanya indikasi-indikasi yang jelas tentang penyalahgunaan anggaran pembangunan, dan mengawal proses hukum atas kasus korupsi. Setelah mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur itu ditahan, masyarakat perlu terus memonitor agar proses hukumnya berjalan sebagaimana mestinya, bukan sebagaimana keinginannya.

Penahanan mantan Kepala Dinas Pendidikan itu menimbulkan harapan tersendiri bagi masyarakat Lewoingu. Setelah lama dikecewakan dan diresahkan, kini mereka sedang menanti kado terindah dari aparat penegak hukum di Flores Timur. Yang mereka nantikan adalah 1) Tindakan hukum yang jelas dan tegas terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan yang kini mendekam di rumah tahanan itu, 2) Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kroni-kroninya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, dan 3) Adanya tindakan hukum yang sangat jelas dan tegas terhadap Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Yang terakhir ini menjadi kado terindah yang kini sedang mereka nanti-nantikan.

Penahanan mantan Kepala Dinas Pendidikan itu diharapkan berdampak positif bagi penanganan kasus pembunuhan tersebut, meskipun dua kasus pidana itu tidak berhubungan secara langsung. Tetapi sudah menjadi rahasia umum, khususnya di Lewoingu bahwa si mantan Kepala Dinas Pendidikan itulah yang sibuk berkutak-katik di belakang layar sehingga membuat penanganan perkara pembunuhan tersebut terkatung-katung tak karuan. Duetnya dengan si "penguasa kampung Eputobi" membuat proses penanganan perkara kejahatan yang dilakukan adik kandungnya itu sempat terbengkalai, dan nyaris tertutup rapat selamanya. Dia pun berpartisipasi dalam upaya menggarap Petrus Naya Koten, sehingga si saksi mahkota itu pun sempat menarik kembali isi BAP-nya. Pendek kata, permainan dia di belakang layar sangat menentukan irama penanganan perkara pembunuhan tersebut pada waktu itu. Maka tak mengherankan bila ada yang sempat nyeletuk dia itu orang kuat.

Kini masyarakat Lewoingu sedang menanti penuh harap, semoga kado terindah itu akan menjadi kenyataan bagi mereka. Kado itu akan menjadi modal yang kuat bagi mereka untuk menata ulang tata hidup di kampung mereka, di desa mereka agar tumbuh dan berkembang lagi suasana hidup sehari -hari yang nyaman dan aman, yang adil dan damai. ***

Jumat, 13 Februari 2009

Setelah Mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur Ditahan

Setelah mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur, Andreas Boli Kelen, ditahan di rumah tahanan (rutan) Larantuka, beberapa orang dari kampung Eputobi pun datang ke rumahnya di Podor, dekat kota Larantuka. Di situ mereka saling berbagi air mata. Tentu air mata itu pun sudah mulai menetes, ketika mereka hendak beranjak dari kampung Eputobi menuju Podor. Tetapi tidak jelas air mata macam apa yang mereka tumpahkan pada hari itu.

Masih segar dalam memori kita gemuruh pesta pora yang selama ini mereka selenggarakan di kampung Eputobi. Belum terhitung ritual-ritual sakti yang mereka kerjakan siang malam selama ini. Sumpah serapah pun sudah mereka lakukan. Dengan itu mereka ingin membuktikan diri sebagai orang-orang yang benar dalam menghadapi kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi sumpah serapah macam apa pun yang mereka lakukan selama ini tak pernah ada yang berhasil. Bahkan tak ada sedikit pun rasa takut yang timbul dalam diri pihak-pihak yang disumpah. Soalnya jelas. Sumpah itu dilakukan atas dasar dusta. Padahal dasar sumpah adat adalah kebenaran.

Hingga kini belum jelas apakah sudah diselenggarakan atau belum upacara sakti guna membantu Andreas Boli Kelen yang sejak Jumat sore, 6 Februari 2009, diinapkan di rumah tahanan kejaksaan negeri Larantuka. Sebelum hari itu, Andreas Boli Kelen, dengan sepeda motor meluncur ke Eputobi. Di kubur kedua orang tuanya, dia memasang lilin dan berdoa. Kedatangannya dengan sepeda motor pada hari itu mengundang pertanyaan dari sejumlah orang, "Ke mana mobilnya sehingga dia naik sepeda motor?" Seandainya pertanyaan itu diajukan langsung kepadanya, dia tentu tak mau menjawabnya secara jelas juga. Maklum, dia sedang menghadapi persoalan besar.

Yang jelas, penahanan dan proses hukum atas mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur itu merupakan salah satu momentum terbaik untuk memberantas tikus-tikus yang selama ini menggerogoti anggaran pembangunan di Flores Timur. Jika momentum ini tidak dimanfaatkans ecara efektif, maka tikus-tikus itu akan terus berpesta pora di atas penderitaan rakyat Flores Timur. Dan cepat atau lambat Larantuka akan masuk dalam top ranking dalam hal korupsi.

Setelah Kupang dibaptis menjadi kota terkorup pada tahun 2008, banyak orang yang lantas bertanya-tanya, bagaimana dengan Larantuka, bagaimana dengan Flores Timur. Memang belum ada suatu penilaian independen atas praktek-praktek korupsi di Larantuka, atau di Flores Timur. Tapi keluhan-keluhan tentang praktek-praktek korupsi di Flores Timur sudah menyebar ke mana-mana. Dalam suatu seminar yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Jakarta sempat disinggung pula tentang penyakit korupsi yang secara serius melanda Larantuka.

Yang sangat memprihatinkan ialah penyakit itu sudah mulai menjalar ke desa. Kasus korupsi yang paling jelas terjadi di desa Lewoingu, yang terletak 29 km di sebelah barat kota Larantuka. Anggaran pembangunan di desa itu digerogoti oleh tikus-tikus kampung yang leluasa beroperasi selama Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa. Lucunya si kepala desanya sendiri yang memelopori penggerogotan anggaran pembangunan desa itu. Namun laporan sejumlah warga dari desa itu ke Bupati Flores Timur tentang permainan tikus-tikus itu tidak digubris. Pelopor penggerogotan itu malah dilantik menjadi kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua, pada hari Rabu 16 Januari 2008.

Karena ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan, si kepala desa itu ditangkap pada hari Jumat 18 April 2008. Pada hari Sabtu, 16 Agustus 2008, dia dan tiga orang anggota komplotannya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur dengan status tetap sebagai tersangka. Perbuatan yang dia dan anggota-anggota komplotannya lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu sangat keji. Karena itu tak pantas dia kembali ke kursi kepala desa Lewoingu. Tetapi pada hari Jumat, 23 Januari 2009, Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon mengaktifkan kembali dia sebagai kepala desa Lewoingu. Padahal kasus pembunuhan yang dilakukannya sedang diproses di Polres Flores Timur. Pengaktifan kembali tersebut mirip dengan pemberian posisi Asisten III kepada orang yang jelas terindikasi melakukan korupsi . Padahal tak ada rumus baku bahwa dari Kepala Dinas Pendidikan yang bersangkutan harus menjadi Asisten I, II, atau III? Penempatan posisi-posisi yang terbilang terhormat itu mestinya dilakukan secara lebih objektif, berdasarkan kompetensi real orang yang besangkutan dalam bidangnya dan berdasarkan moralitasnya. Sinergi dari tokoh-tokoh yang bersih dan berwibawa dalam lingkaran dalam seorang kepala daerah akan sangat menentukan kualitas pembangunan di daerahnya.

Syukur bahwa di Flores Timur pun kita masih menemukan adanya semangat memberantas korupsi, meskipun semangat itu kadang timbul kadang tenggelam. Setelah mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur itu ditahan, terbit harapan akan terberantasnya praktek-praktek korupsi secara signifikan. Para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi juga punya harapan. Mereka berharap proses hukum yang jelas dan tegas atas mantan Kepala Dinas Pendidikan dapat membuka jalan bagi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh adiknya di desa Lewoingu. Selain itu, mereka juga berharap agar tindakan hukum yang jelas dan tegas terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur dapat membantu aparat kepolisian Polres Flores Timur untuk mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.***

Jumat, 06 Februari 2009

Apa Dasar Hukum Pengaktifan Kembali Si Tersangka Pembunuh Itu Sebagai Kepala Desa Lewoingu?

Setelah mengalami penundaan selama berbulan-bulan, Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon, pada hari Rabu, 16 januari 2008 melantik secara bersyarat Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Dipenuhi atau tidaknya syarat-syarat dimaksud tidak jelas hingga kini. Yang jelas pelantikan tersebut dilakukan berdasarkan hasil pemilihan kepala desa (pilkades) 27 Maret 2007 di kampung Eputobi, desa Lewoingu. Padahal pelaksanaan pilkades tersebut tidak berdasarkan peraturan hukum terkait, juga tidak berdasarkan petunjuk teknis tentang tahap-tahap pelaksanaan pemilihan kepala desa di kabupaten Flores Timur, yang diterbitkan oleh Bupati Flores Timur.

Karena ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan atas Yoakim Gresituli Ata Maran, dan karena itu ditangkap pada hari Jumat, 18 April 2008, Mikhael Torangama Kelen kemudian diberhentikan sementara (dinonaktifkan) sebagai kepala desa Lewoingu oleh Bupati Flores Timur. Dasar hukum yang dipakai untuk menonaktifkan yang bersangkutan adalah Perda Kabupaten Flores Timur Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Desa.

Pasal 24 ayat 1 dari perda tersebut mengatakan bahwa

Kepala Desa diberhentikan sementara tanpa melalui usulan BPD apabila dinyatakan melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 25 ayat 1 menyebutkan bahwa

Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lama setelah 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan putusan pengadilan, Bupati harus merehabilitasi dan/atau mengaktifikan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatan.

Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan merehabilitasi adalah pemulihan nama baik.

Pasal 26 ayat 1 menyebutkan bahwa

Apabila Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Kepala Desa kecuali mengangkat dan memberhentikan Perangkat Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal-pasal dan ayat-ayat tertera di atas cukup jelas, sehingga mudah ditafsir. Perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota komplotannya, pada Senin malam 30 Juli 2007 bukan saja diancam pidana penjara 5 (lima) tahun, tetapi bisa seumur hidup, bahkan bisa diancam dengan hukuman mati. Terdapat alat-alat bukti yang cukup untuk sangkaan kriminal berat yang dikenakan kepada Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak Lamber Liko Kumanireng itu. Karena itu sangat layak, jika Mikhael Torangama Kelen dinonaktifkan sebagai kepala desa Lewoingu, setelah dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel Polres Timur.

Karena kelambanan tim penyidik dalam melakukan tugas penyidikan, maka Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yoahens Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur pada hari Sabtu 16 Agustus 2008. Meskipun dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, status mereka itu tetap sebagai tersangka dan kepada mereka dikenai ketentuan wajib lapor dua kali dalam satu minggu.

Meskipun berkas perkara pembunuhan tersebut belum memperoleh status P21, proses hukum di tingkat penyidik terus berjalan. Dan ancaman ancaman pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun tetap berlaku bagi Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Karena itu pengaktifan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu itu tidak sesuai legal reasoning (tidak sesuai dengan penalaran hukum). Dengan kata lain, tidak ada dasar hukum yang mendasari keputusan Bupati Flores Timur untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu.

Jika anda perhatikan dengan cermat mulai dari proses pilkades hingga pelantikan si kepala desa terpilih itu secara bersyarat pada hari Rabu 16 Januari 2008, kemudian dinonaktifkan lalu diaktifkan kembali, anda pun kiranya dapat melihat bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah kepala desa Lewoingu, yang ilegal alias kepala desa yang tidak berdasarkan hukum.***