Selasa, 23 Maret 2010

Ulah Si Sinyo Timur di suatu kota besar

 

Dari desa Si Sinyo Timur merantau ke kota. Mulanya dia terdampar di suatu kota kecil nun jauh dari desanya. Di situ dia sempat menimba ilmu selama tiga tahun.

Berbekalkan ilmu dari kota itu Si Sinyo Timur berusaha mengabdikan dirinya sebagai seorang guru agama di suatu kota besar. Gemerlap kota besar sempat menyilaukan matanya. Dan dia pun nyaris banting setir. Tapi suara hatinya berkata, “Tak apa-apa jadi guru agama, meskipun gajinya kecil. Bukankah pekerjaan semacam itu tinggi nilainya?” Sebagai anak desa, Si Sinyo Timur berusaha patuh pada suara hatinya. Maka bertahanlah dia di sekolah yang telah menerimanya menjadi guru agama.

Selain mengajar, Si Sinyo Timur pun aktif dalam berbagai forum keluarga Timur.  Bersama mereka sering berkumpul dan berpesta keluarga. Sebagai guru agama Si Sinyo Timur sering didaulat untuk mengangkat doa. Setelah mengangkat doa, dia dan mereka yang hadir merasa bahwa doanya naik membubung ke Altar di sorga. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu pasti apakah benar doa yang diangkatnya itu naik hingga ke Altar di sorga.

Tahun-tahun berlalu. Tak terasa beberapa tahun sudah Si Sinyo Timur mengabdikan diri sebagai guru agama di sekolah yang terletak di tengah kota besar itu. Selama itu Si Sinyo Timur sungguh dihormati oleh rekan-rekan dan murid-muridnya. Selama itu Si Sinyo Timur terus menghidupkan mimpinya menjadi seorang manusia yang baik dan berbudi luhur, hingga tiba suatu hari mimpi itu buyar.

Pada hari itu Si Sinyo Timur menjadi orang yang sangat peka rasa. Dia menjadi mudah tersinggung, dan emosinya gampang tersulut api amarah oleh guyon canda seorang rekan guru wanita di sekolah itu. Dalam sekejap api amarah itu membakar seluruh dirinya. Maka tangannya pun gampang melayang hingga menerpa wajah rekannya yang seorang guru wanita itu. Kejadian semacam itu baru pertama kali terjadi di sekolah itu, tempat anak-anak muda dididik untuk menjadi manusia yang berperikemanusiaan. Maka rasa aneh pun cepat menjalar ke seluruh pelosok kompleks sekolah itu.

Meskipun memalukan, tetapi Si Sinyo Timur sempat merasa bangga akan kebolehannya dalam memperlihatkan kekuatan ototnya. Dia juga lupa bahwa tangannya telah membakar bara dendam dalam diri guru wanita itu. Api dendam itu terus membesar tak bisa dipadamkan begitu saja. Dendam itu mengundang pembalasan. Maka datanglah ke sekolah itu seorang saudara laki-laki dari guru wanita itu. Di situ Si Sinyo Timur yang seorang laki-laki dihakimi pula dengan tangan berotot laki-laki juga tanpa ada yang bisa menghalanginya.

Pembalasan itu menimbulkan rasa takut dan malu dalam diri Si Sinyo Timur, yang sebelumnya tampak gagah perkasa. Setelah hari pembalasan itu, Si Sinyo Timur tak pernah kembali lagi ke sekolah tempat dia mengabdikan diri sebagai guru agama selama beberapa tahun. Selama beberapa bulan setelah kejadian itu, dia lebih banyak bertapa di rumahnya yang terletak di pinggir kota.  Selama itu dia merenungkan nasib hidupnya dalam pedih. Tetapi tak ada cahaya yang menerangi hatinya, sehingga sukar pula baginya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan, mengapa dua kejadian yang memalukannya itu dapat menimpa dirinya.

Pada suatu hari dia mencoba menyusuri kembali jalan hidupnya di masa lalu di desanya. Dia menemukan bahwa di masa lalu di desanya, dia pun, tanpa alasan yang jelas, pernah memukul dari belakang kepala seorang pemuda hingga membuat korbannya jatuh dan rebah di tanah. Setelah menjatuhkan korbannya dari belakang, dia langsung kabur tanpa menunjukkan sedikit pun tanggungjawabnya sebagai seorang laki-laki.

Tetapi pertapaan di rumahnya itu hanyalah suatu pelarian sementara, karena rasa takutnya akan pembalasan-pembalasan lebih lanjut. Maka rasa sesal pun tak tumbuh dalam dirinya. Setelah hari-hari dianggap aman baginya, dia kembali melanglang buana di dunia bebas. Tetapi sejak terjadinya dua kejadian yang memalukan itu tadi, dia menjadi orang yang disandera oleh kekerasan yang dihalalkannya.

Waktu kemudian memperlihatkan bahwa Si Sinyo Timur pun menjadi salah seorang pembela suatu kejahatan besar. Padahal wajib hukumnya bagi manusia beragama untuk melawan kejahatan. ***

Terdamparnya seorang gadis desa di sarang mafia

 

Lantaran mengikuti suatu panggilan, seorang gadis desa akhirnya terdampar di sarang mafia di suatu kota kecil. Padahal dia telah menempuh jalan yang seharusnya dia tempuh pada hari itu. Tetapi jalan itu kemudian membawanya ke suatu ruangan. Di situ dia berhadapan dengan empat belas orang lelaki gagah plus seorang wanita perkasa. Untung dia gadis pemberani, sehingga tak ada rasa kecut sedikit pun timbul dalam dirinya.

Di situ dia diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja dilontarkan untuk memojokkan posisinya sebagai pencari kebenaran dan keadilan. Di situ suara-suara para lelaki itu bersahut-sahutan memukul gendang telinganya. Di situ dia diancam dengan tindakan hukum melalui suara si wanita yang terdengar lebih halus tapi nyelekit. Di situ seorang lelaki gendut sempat menggertak, “Untung kau ini perempuan. Kalau kau laki-laki ………” Setelah meluncurkan kata-kata itu si gendut langsung keluar, lalu pergi entah ke mana. Lantas yang wanita pun sempat bertanya, kenalkah kau dengan……..? Kepada si wanita, si gadis desa itu menjawab bahwa dia mengenal orang dimaksud. Kepada si gadis, si wanita perkasa itu berpesan, “Bilang kepada dia bahwa kami sudah mengetahui alamatnya.” Dalam hati, si gadis lantas menyeletuk, “Kalau sudah tahu alamatnya, lalu kau mau buat apa?”

Untung si gadis desa itu bernyali kuat sehingga sanggup menepis semua terpaan tekanan itu dengan tenang. Padahal tak terbilang jumlah tembakan kata-kata dan nada intimidasi yang diarahkan kepadanya. Ketenangannya membuat orang-orang yang berhadapan dengannya kelabakan sendiri. Meskipun di antara mereka ada yang sempat kebakaran jenggot, tetapi ketenangannya dapat memadamkan api amarah yang mulai tersulut dalam hati beberapa orang yang berada di ruangan yang dekil itu.

Di ruangan dekil itu gadis desa itu coba dijerat oleh orang-orang yang telah lama berjalan menyimpang dari tugas dan panggilan mereka sebagai manusia. Tetapi ketenangan menjadi kekuatan gadis desa itu untuk meloloskan diri dari jerat-jerat yang mereka pasang. Dengan tenang dia meninggalkan ruang dekil itu, meninggalkan orang-orang yang tak tahu lagi untuk apa mereka dilahirkan sebagai manusia di dunia ini. Dan dia pun tak mau menoleh ke arah ruangan yang nyaris menjeratnya itu.

Di luar ruangan dekil itu, sinar matahari tampak cerah. Dan gadis desa itu tahu persis ke arah mana dia harus melangkahkan kakinya selanjutnya. Langkah-langkah kakinya membawa dia kembali ke desanya. Di sana dia menemukan bahwa kebenaran adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Kebenaran itulah yang menjadi sumber ketenangannya dalam menghadapi tantangan seperti yang baru saja dihadapinya di suatu ruangan di mana para mafia di kota itu nyaris berhasil menjeratnya.

Sejak hari itu dia terus berusaha berjalan dalam terang kebenaran. ***

Adakah “markus” di balik bertele-telenya penanganan perkara Blou?

 

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ada. Seandainya tak ada makelar kasus (“markus”), perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran itu sudah lama diajukan ke pengadilan. Dan para pelakunya, yaitu Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pun sudah dijebloskan ke dalam penjara Larantuka. Soalnya, indikasi-indikasi tentang keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pelaku kejahatan tersebut sudah ditemukan sejak awal. Tetapi sejak awal juga telah ditemukan indikasi-indikasi tentang beroperasinya makelar alias calo alias mafia yang berusaha menjadikan kasus pembunuhan tersebut sebagai suatu komoditi bisnis.

Mulanya sepak terjang para “markus” perkara tersebut terselubung. Tetapi lambat laun, selubungnya terbuka sendiri. Dengan demikian pihak keluarga korban dengan mudah dapat menemukan kejelasan tentang alasan di balik bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan tersebut. Ya, sejak awal, perkara pembunuhan tersebut telah dijadikan komoditi bisnis. Komoditi itu dipasarkan dengan harga tinggi untuk ukuran kabupaten yang terbilang miskin itu.

Meskipun mahal, komoditi itu dibeli juga. Oleh siapa? Oleh seseorang yang tinggal di dekat kota Larantuka. Pembelian komoditi tersebut terjadi berdasarkan tekad untuk menggagalkan proses hukum atas para pelaku pembunuhan tersebut. Baginya, jika tidak ditangkal sejak dini, proses hukum tersebut akan sangat menyakitkan dan memalukan pihaknya. Maka dalam pikirannya dia berkata, “Daripada masuk bui, lebih baik aku mengorbankan uang.”  Baginya, uang yang dibuang untuk bisnis kejahatan tersebut dapat dicari lagi, tetapi nama baik keluarga dan harga diri yang terpuruk dan remuk akibat kejahatan itu mustahil dapat dikembalikan ke posisi terpandang dan terhormat. Dengan suap, dia berusaha mencegah keterpurukan dan keremukan tersebut.

Dari rekam jejaknya, paling kurang selama berkiprah di Flores Timur, dapat diketahui bahwa si dia itu sudah pernah bermain pula dengan proyek-proyek tertentu. Dari situ mengalir uang-uang haram ke pundi-pundinya. Tetapi uang-uang haram itu dianggapnya sebagai rejeki-rejeki halal. Dari situ dia pun dalam waktu singkat dapat mewujudkan kemewahan-kemewahan yang mustahil dapat diperolehnya jika dia hanya mengandalkan gajinya sebagai seorang pegawai. Dan demi kemewahan-kemewahan itulah dia menjadi pencinta uang, bahkan dia pun menjadi hamba uang.

Seorang pencinta uang mencari uang. Dia melekatkan hatinya pada uang. Dia tidak mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Seorang hamba uang menghormati uang. Dia tidak menghormati hak hidup sesamanya sebagai makhluk bermartabat luhur.

Dan kiranya seperti itu pula yang dilakukan oleh seorang “markus.” Tetapi si “markus” punya kelebihan tersendiri. Kelebihannya nampak dalam kemampuannya untuk memberikan cinta sejatinya kepada uang. Demi uang dia rela mengorbankan harkat dan harga dirinya sebagai manusia yang dipanggil untuk menjadi abdi Kebenaran dan Keadilan. Cintanya akan uang menjadi sumber energinya untuk terus-menerus melakukan kejahatan. Bukankah cinta akan uang merupakan sumber segala kejahatan? ***

Senin, 15 Maret 2010

Dalam perlindungan para penjahat

 

Seorang saksi kunci atau saksi mahkota dalam suatu perkara kriminal misalnya pembunuhan patut mendapat perlindungan dari polisi. Untuk apa? Ya, demi keamanan dan keselamatan saksi yang bersangkutan. Keamanan dan keselamatan saksi yang bersangkutan menjadi syarat bagi kelancaran proses hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.

Dalam perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, Petrus Naya Koten (PNK) tampil sebagai orang pertama yang memberikan kesaksian tentang siapa saja yang menjadi pelaku pembunuhan tersebut. Kesaksiannya itu dia sampaikan kepada penyidik dan kepada salah seorang anggota keluarga korban. Setelah memberikan kesaksiannya kepada penyidik, PNK langsung meminta perlindungan polisi bagi dirinya dan keluarganya. Tetapi perlindungan termaksud berlaku untuk sementara waktu saja.

Kesaksiannya itu dibuat berdasarkan apa yang dilihatnya di tempat kejadian perkara (TKP), pada malam kejadian perkara. Maka PNK disebut saksi kunci atau saksi mahkota. Sebagai saksi mahkota, PNK diperlakukan dengan sangat baik. Untuk kepentingan penyidikan, dia pernah diinapkan di kantor polisi setempat. Dia tidur di salah satu ruang kerja di Mapolres Flores Timur. Selama menginap di situ, makan minumnya dijamin oleh polisi. Kemudian dia tinggal di rumah seorang saudara iparnya di Weri, Flores Timur. Tetapi tidak jelas, apakah selama tinggal di Weri, PNK berada dalam perlindungan polisi atau tidak. Yang jelas, selama berada di rumah saudara iparnya itu, PNK dengan mudah dijumpai oleh para anggota keluarga dan rekan-rekan para tersangka. Dan selama itu pula dia menghadapi bertubi gelombang tekanan yang mendesak dia untuk menarik kembali keterangannya yang telah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Sebelum mendapat surat panggilan dari penyidik, PNK sudah diarahkan oleh Mikhael Torangama Kelen (MTK) untuk mengatakan tidak tahu kepada penyidik, kalau penyidik menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kematian Yoakim Gresituli Atamaran. Pengarahan tersebut dibuat dalam rapat. Untuk mengantisipasi panggilan dari polisi, rapat semacam itu sering digelar. Rapat semacam itu sering dihadiri pula oleh Donatus Doni Kumanireng (DDK). Sebagai misal, dua minggu setelah Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya beraksi di Blou, DDK muncul di Eputobi. Pada tanggal 16 Agustus 2007 dia hadir dalam rapat yang digelar di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Sebelum dan setelah peristiwa 10 April 2006, sebelum dan setelah peristiwa 30  Juli 2007, rumah DDK di Kupang pun sering dijadikan tempat rapat berkedok diskusi.

Menurut Andreas Boli Kelen (ABK), DDK adalah orang yang paling tahu tentang urusan yang berkenaan dengan penetapan MTK dkk sebagai tersangka. Dia juga mengatakan bahwa semua urusan tersebut berada di tangan DDK. Hal ini dia ungkapkan kepada seseorang yang pernah menemuinya di kantor Dinas Pendidikan Flores Timur di Larantuka. 

Si ABK yang lebih banyak bergerak di belakang panggung melancarkan tekanan dahsyat pula terhadap PNK. Si ABK mengancam memecat PNK. Ancamannya itu membuat PNK sempat merasa grogi. Tetapi, pada waktu itu, April 2008, tekanan dari si ABK dapat ditepisnya dengan mudah. Pada waktu itu hatinya masih diterangi oleh seberkas cahaya kebenaran. Kiranya cahaya kebenaran itu pula yang membuat PNK kuat menghadapi tekanan langsung dari para tersangka. Ketika dikonfrontir dengan empat tersangka, dia tetap mempertahankan kesaksiannya sesuai dengan apa yang dilihatnya pada Senin malam, 30 Juli 2007, di Blou.

Tetapi imannya kemudian luntur, setelah dia dan para tersangka pulang dari Kupang. PNK, yang sejak awal diperalat untuk mensukseskan pelaksanaan proyek pembunuhan tersebut akhirnya mengikuti keinginan mereka yang selama itu mendesak dan menuntut dia untuk menarik kembali keterangannya. Pernyataan penarikan kembali keterangannya dibuat dan ditandatanganinya. San Kweng yang juga tinggal di Weri, kemudian berperan sebagai kurir yang mengantar Surat Pernyataan tersebut ke Polres Flores Timur. Di Polres Flores Timur, San Kweng bertemu dengan Gopal yang pada waktu itu menjabat sebagai Kasat Reskrim. Tetapi Gopal tidak dapat dipengaruhi oleh Surat Pernyataan yang dibuat di luar proses hukum itu. Tetapi jangan lupa, bahwa pada suatu hari di Polres Flores Timur, Lambertus Lagawuyo Kumanireng dan Laurensius Kweng pernah bertutur bahwa mereka sudah sering bertamu dan bertemu dengan Gopal di rumahnya. Siang hari itu mereka ingin bertemu dengan Gopal di Polres Flores Timur. Itu terjadi tak lama setelah Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditangkap dan ditahan di Polres Flores Timur. Tetapi pada hari itu Gopal sedang tidak berada di tempat.

Setelah kembali ke Eputobi, PNK tidak tinggal di rumahnya. Dia memilih bersembunyi di rumah kakaknya yang terletak di dekat jalan raya di blok timur kampung Eputobi. Di situ dia berada dalam perlindungan pihak tersangka. Setelah keadaan dianggap aman baginya, barulah dia kembali ke rumahnya yang terletak di blok barat. Tetapi ke timur dia berkubu. Dan ke timur pula dia terus berlindung. Bersama Mikhael Torangama Kelen dkk, dia pun terlibat aktif dalam upaya pemutarbalikkan fakta-fakta tentang tragedi Blou. Menurut perhitungannya, jika proses hukum terhadap Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng itu berhasil digagalkan, maka dirinya pun dengan sendirinya dapat lolos dari jerat hukum. 

Tetapi PNK lupa bahwa keberadaannya di tempat kejadian perkara pada malam kejadian perkara, Senin malam, 30 Juli 2007, disaksikan lebih dari satu pasang mata. Dan itu sudah cukup menjadi alat bukti yang membuat PNK dapat ditetapkan sebagai tersangka. Karena keberadaan PNK di tempat kejadian perkara tak dapat dibantah, maka segala jurus dusta yang selama ini diperlihatkan oleh MTK dkk itu menjadi sia-sia belaka.

Entah PNK mempertahankan kesaksiannya dalam BAP pertama, entah  PNK menarik kembali kesaksiannya dari BAP tersebut, PNK akan dihukum. Jika dia mempertahankan kesaksiannya dalam BAP pertama, maka dia akan dihukum karena keterlibatannya sebagai salah satu anggota komplotan pembunuh yang menghabisi Yoakim Gresituli Atamaran. Jika dia menarik kembali kesaksiannya dari BAP pertama, maka dia akan dihukum karena dia adalah salah satu dari anggota-anggota komplotan pembunuh yang berusaha menutup-nutupi kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007. Pendek kata, apa pun alternatif yang dia pilih, dia akan dihukum.

Kepada siapa atau pihak mana pun PNK berusaha berlindung, dia akan dihukum atas keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. ***

Cara Bupati Flores Timur menyikapi kasus Lewoingu

 

Selama menjadi kepala desa Lewoingu, di Flores Timur, NTT, Mikhael Torangama Kelen berhasil menjadi penyebab terjadinya dua kasus yang memalukan. Kedua kasus termaksud adalah pengrusakan tatanan adat Lewoingu dan kasus korupsi. Dan selama berstatus sebagai kepala desa terpilih, dia merancang dan memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Dua dari tiga kasus tersebut adalah kasus pidana menurut hukum positif yang berlaku di negeri ini. Korupsi itu pidana khusus. Pembunuhan adalah pidana umum.

Karena terindikasi melakukan korupsi, maka Badan Perwakilan Desa (BPD) Lewoingu menolak Laporan Pertanggung Jawaban yang disampaikan oleh Mikhael Torangama Kelen pada bulan Februari 2007. Laporan penggunaan keuangan yang disampaikannya dinilai penuh dengan kebohongan oleh BPD dan oleh masyarakat antikorupsi di Lewoingu. Karena itu BPD mengajukan permohonan kepada Bupati Flores Timur agar Mikhael Torangama Kelen diaudit. Permohonan ini dikabulkan. Tim Banwasda diturunkan. Mikhael Torangama Kelen diaudit.

Tetapi pekerjaan audit tersebut berhenti di tengah jalan tanpa alasan yang jelas. Meskipun demikian, tim Banwasda berhasil menemukan bahwa Mikhael Torangama Kelen menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta. Penemuan Banwasda itu sudah dilaporkan kepada Bupati Flores Timur sebelum hari Rabu, 16 Januari 2008.  Sebelumnya, sebagian warga Eputobi pun telah melaporkan pula bahwa kemenangan Mikhael Torangama Kelen dalam pilkades 27 Maret 2007 itu dicapai melalui suatu proses yang cacat hukum dan cacat moral.

Laporan dari sebagian masyarakat Eputobi tersebut hanya berhasil membuat Bupati Flores Timur menunda acara pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Laporan tersebut dan laporan dari kepala Banwasda tentang adanya penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen akhirnya diabaikan. Dibungkus dengan istilah “bersyarat,” pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Bupati Flores Timur melantik Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Mikhael Torangama Kelen ialah bahwa dia harus mengembalikan uang yang telah disalahgunakannya itu dalam tempo enam bulan setelah dilantik. Tetapi hingga kini belum jelas apakah syarat tersebut sudah dipenuhi atau belum.

Selain terindikasi melakukan korupsi, pada waktu itu orang yang dilantik menjadi kepala desa Lewoingu itu pun jelas terindikasi melakukan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Maka jelas pula bahwa keputusan Bupati Flores Timur melantik Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu mengecewakan masyarakat beradab di kampung Eputobi. 

Setelah Mikhael Torangama Kelen ditetapkan sebagai salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran, dan karenanya dia pun ditahan di Polres Flores Timur, Simon Hayon menonaktifkan dia sebagai kepala desa Lewoingu. 120 hari lamanya, Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditahan di Polres Flores Timur. Karena berkas perkara mereka belum P21, maka pada hari Sabtu, 16 Agustus 2008, Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur. Beberapa hari sebelum tanggal tersebut Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur menegaskan di hadapan keluarga korban, bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk tetap berstatus sebagai tersangka. Kepada mereka dikenai ketentuan wajib lapor dua kali dalam satu minggu.

Pada tanggal 23 Januari 2009, tanpa peduli akan status Mikhael Torangama Kelen sebagai seorang tersangka dalam perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, Simon Hayon mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Padahal di lapangan penyidikan telah terjadi perkembangan yang memperjelas status Mikhael Torangama Kelen dkk sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Tidak jelas pertimbangan-pertimbangan apa yang mendasari keputusannya itu. Yang jelas, dengan kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen kembali menemukan ruang untuk menjalankan kekuasaannya semau selera pribadinya. Dia pun kembali menjalankan kebijakan-kebijakan yang diprioritaskan untuk memenuhi kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Program bantuan langsung tunai (blt) dan beras untuk orang miskin (raskin) terus dipolitisasi sebagai hasil dari perjuangannya. Di masa lalu metode itu pun dipakai untuk meraup dukungan suara dalam pilkades 27 Maret 2007. Padahal pengadaan blt dan raskin murni merupakan program pemerintah pusat.

Tidak hanya itu. Keputusan Bupati tersebut pun dimanfaatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan sebagai kesempatan untuk mempertajam jurus dusta, jurus yang mereka pakai untuk mengelakkan diri mereka dari tanggungjawab hukum. Mereka secara membabibuta menuduh orang-orang lain sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng menyebarkan isu yang menyesatkan, bahwa mereka adalah korban salah tangkap. Dengan segala macam cara, para penjahat itu berusaha memutarbalikkan fakta-fakta kasus Blou. Mereka berusaha secara konsisten untuk menipu serentak menimbulkan keresahan publik. Tidak hanya itu. Melalui kerja sama dengan oknum-oknum polisi tertentu, mereka berusaha untuk mengkriminalisasi keluarga korban.

Melalui corong mereka, yaitu Marsel Sani Kelen, upaya penyesatan publik digenjot pula melalui dunia maya. Meskipun berusaha tampil dengan gaya orang akademik, tetapi yang disuarakannya adalah kebohongan demi kebohongan baik tentang kasus Blou maupun tentang sejarah Lewoingu. Dengan menggunakan argumentum ad ignorantiam, Marsel Sani Kelen berusaha menyesatkan para pembaca blognya. Karena kekurangan data, fakta, dia akhirnya kehilangan cara untuk mengembangkan argumen-argumen rasional yang canggih. Maka tak mengherankan pula bila dia pun akhirnya menghilang dari ring polemik.

Kiranya jelas bahwa keputusan Simon Hayon mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat kampung Eputobi desa Lewoingu. Dalam menyikapi kasus kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen, seorang Bupati seperti Simon Hayon mestinya bersikap lebih arif demi kebaikan masyarakat Eputobi-Lewoingu. Merestui seorang pelaku korupsi yang juga pelaku pembunuhan menjadi kepala desa Lewoingu itu sama dengan mencederai upaya masyarakat beradab untuk mencari kebenaran dan keadilan sehubungan dengan terjadinya kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran.

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dengan keputusan yang dibuatnya berdasarkan kekuasaan politik yang ada dalam genggamannya, dia pun ikut berandil bagi perubahan nasi menjadi bubur. Untung bahwa para warga masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya masih bisa mengendalikan diri sehingga mereka tidak ikut-ikutan mengubah nasib menjadi bubur. Itulah cara arif masyarakat beradab di sana untuk tidak memperparah kerusakan-kerusakan yang selama ini dirancang dan dilaksanakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan.

Masyarakat beradab di kampung Eputobi-Lewoingu yang telah dikecewakan oleh Simon Hayon itu kini mengarahkan pandangan mereka ke depan. Mereka akan menyaksikan seperti apa ujung karir politik dari Simon Hayon dan Mikhael Torangama Kelen. Yang jelas, kasus kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen di Blou terus diproses.  Dia dan anggota-anggota komplotannya akan diajukan ke pengadilan. Kasus korupsinya pun dapat diproses secara hukum. Dia akan menuai hasil dari perbuatan-perbuatan kriminal yang selama ini dia taburkan. Lalu, kalau KPK nanti berhasil menemukan fakta-fakta yang membenarkan dugaan yang telah dilansir oleh Aliansi Masyarakat Flores Timur, maka Simon Hayon mau tidak mau harus bersiap-siap pula untuk menuai sendiri hasil dari cara dia menjalankan kekuasaan politik yang pernah dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Flores Timur kepadanya selama ini. ***

Sabtu, 13 Maret 2010

Bupati Flores Timur terindikasi terlibat mark up anggaran pengadaan alat kesehatan?

 

Siang hari ini, Jumat, 12 Maret 2010, Aliansi Masyarakat Flores Timur mendatangi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Kuningan Jakarta Selatan. Untuk apa? Mereka meminta KPK memeriksa Bupati Flores Timur, Simon Hayon yang diduga melakukan mark up alias penggelembungan anggaran pengadaan alat kesehatan pada tahun 2009.  Diduga, penggelembungan mencapai angka satu miliar rupiah. Kepada KPK, mereka menyerahkan berkas yang mengindikasikan adanya penggelembungan tersebut.

Langkah yang ditempuh oleh Aliansi Masyarakat Flores Timur itu menunjukkan bangkitnya kesadaran, paling kurang dalam diri sebagian masyarakat Flores Timur, untuk berpartisipasi aktif dalam upaya penegakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa di daerahnya. Selanjutnya, KPK, yang oleh UU ditugaskan untuk memberantas korupsi diharapkan dapat menindaklanjuti laporan tersebut dalam waktu dekat, sehingga menjadi jelas duduk perkaranya.

Perlu diperhatikan bahwa beberapa bulan yang akan datang, periode pertama pemerintahan Simon Hayon di Flores Timur akan berakhir. Jika KPK dapat bergerak lebih cepat, langkah itu dapat membantu masyarakat Flores Timur dalam menentukan sikap politik mereka dalam pemilihan Bupati Flores Timur yang akan digelar dalam bulan Juni tahun 2010. Dari Larantuka diperoleh kabar bahwa Simon Hayon bertekad maju sebagai salah satu calon Bupati Flores Timur periode 2010-2015. Tetapi resistensi terhadap pencalonannya kembali itu pun terbilang kuat.

Demi tegaknya kebenaran dan keadilan, Aliansi Masyarakat Flores Timur yang pada siang hari ini tadi melaporkan indikasi adanya kecurangan yang dilakukan oleh Simon Hayon dalam proyek pengadaan alat-alat kesehatan tersebut diharapkan terus mengawal agar laporannya dapat ditindaklanjuti oleh KPK secara efektif dalam waktu dekat. Dari pemeriksaan KPK nanti masyarakat Flores Timur dapat mengetahui benar atau tidaknya Simon Hayon terlibat dalam kasus penggelembungan anggaran pengadaan alat-alat kesehatan tersebut. ***