Selasa, 23 Maret 2010

Adakah “markus” di balik bertele-telenya penanganan perkara Blou?

 

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ada. Seandainya tak ada makelar kasus (“markus”), perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran itu sudah lama diajukan ke pengadilan. Dan para pelakunya, yaitu Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya pun sudah dijebloskan ke dalam penjara Larantuka. Soalnya, indikasi-indikasi tentang keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya sebagai pelaku kejahatan tersebut sudah ditemukan sejak awal. Tetapi sejak awal juga telah ditemukan indikasi-indikasi tentang beroperasinya makelar alias calo alias mafia yang berusaha menjadikan kasus pembunuhan tersebut sebagai suatu komoditi bisnis.

Mulanya sepak terjang para “markus” perkara tersebut terselubung. Tetapi lambat laun, selubungnya terbuka sendiri. Dengan demikian pihak keluarga korban dengan mudah dapat menemukan kejelasan tentang alasan di balik bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan tersebut. Ya, sejak awal, perkara pembunuhan tersebut telah dijadikan komoditi bisnis. Komoditi itu dipasarkan dengan harga tinggi untuk ukuran kabupaten yang terbilang miskin itu.

Meskipun mahal, komoditi itu dibeli juga. Oleh siapa? Oleh seseorang yang tinggal di dekat kota Larantuka. Pembelian komoditi tersebut terjadi berdasarkan tekad untuk menggagalkan proses hukum atas para pelaku pembunuhan tersebut. Baginya, jika tidak ditangkal sejak dini, proses hukum tersebut akan sangat menyakitkan dan memalukan pihaknya. Maka dalam pikirannya dia berkata, “Daripada masuk bui, lebih baik aku mengorbankan uang.”  Baginya, uang yang dibuang untuk bisnis kejahatan tersebut dapat dicari lagi, tetapi nama baik keluarga dan harga diri yang terpuruk dan remuk akibat kejahatan itu mustahil dapat dikembalikan ke posisi terpandang dan terhormat. Dengan suap, dia berusaha mencegah keterpurukan dan keremukan tersebut.

Dari rekam jejaknya, paling kurang selama berkiprah di Flores Timur, dapat diketahui bahwa si dia itu sudah pernah bermain pula dengan proyek-proyek tertentu. Dari situ mengalir uang-uang haram ke pundi-pundinya. Tetapi uang-uang haram itu dianggapnya sebagai rejeki-rejeki halal. Dari situ dia pun dalam waktu singkat dapat mewujudkan kemewahan-kemewahan yang mustahil dapat diperolehnya jika dia hanya mengandalkan gajinya sebagai seorang pegawai. Dan demi kemewahan-kemewahan itulah dia menjadi pencinta uang, bahkan dia pun menjadi hamba uang.

Seorang pencinta uang mencari uang. Dia melekatkan hatinya pada uang. Dia tidak mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Seorang hamba uang menghormati uang. Dia tidak menghormati hak hidup sesamanya sebagai makhluk bermartabat luhur.

Dan kiranya seperti itu pula yang dilakukan oleh seorang “markus.” Tetapi si “markus” punya kelebihan tersendiri. Kelebihannya nampak dalam kemampuannya untuk memberikan cinta sejatinya kepada uang. Demi uang dia rela mengorbankan harkat dan harga dirinya sebagai manusia yang dipanggil untuk menjadi abdi Kebenaran dan Keadilan. Cintanya akan uang menjadi sumber energinya untuk terus-menerus melakukan kejahatan. Bukankah cinta akan uang merupakan sumber segala kejahatan? ***