Kamis, 24 April 2008

Air mata atau Mata air?


Masih terdengar jelas gemuruh suara pesta pora kemenangan, yang dirayakan semalam suntuk, (Selasa 27 Maret 2007 malam hingga Rabu, 28 Maret 2007 pagi), di sebuah rumah di bagian timur kampung Eputobi-Lewoingu di Flores Timur. Dalam pesta pora itu, orang-orang bermabuk ria, dan menari-nari, berjingkrak ria, bergoyang badan sepanjang malam. Rasa menang, senang, dan bangga akan kemenangan politik yang baru saja diraih pada siang harinya diekspresikan dengan berbagai cara. Sepanjang malam itu, pihak pemenang pilkades Selasa 27 Maret 2007 mabuk kemenangan. Dan banyak pula sindiran yang bernada cemooh dialamatkan kepada pihak oposisi yang kalah tarung. Tentang pesta itu, ada yang membuat komentar tertulis, rakyat Eputobi berpesta pora menyambut kemenangan orang yang oleh lewotana (kampung halaman) direstui menjadi kepala desa Lewoingu (2007-2013). Dalam catatannya, si pemberi komentar pun membunyikan nada-nada sindiran terhadap pihak yang dianggap tak setuju dengan kemenangan itu.

Di Eputobi, kata "lewotana" sempat menjadi alat legitimasi politik kepentingan, termasuk alat legitimasi politik arogansi. Pada waktu itu, para elite politik merasa bahwa apa saja yang mereka lakukan di desa itu dianggap direstui oleh lewotana. Konyolnya, untuk membunuh Akim Maran, mereka pun meminta restu lewotana di kampung lama.

Pada hari Jumat, 18 April 2008, setelah tahu bahwa suaminya dijemput oleh aparat kepolisian, seorang wanita kontan menangis. Menyaksikan isak tangis isterinya, si suami yang sudah duduk di dalam mobil polisi menghentakkan kakinya seraya berkata, "Saya ini pergi bersama lewotana." Si suami tampak tegar. Dia merasa yakin bahwa lewotana berpihak kepadanya. Padahal selama ini, lewotana justru menjadi saksi segala macam arogansi dan kejahatannya. Dan, mungkin demi lewotana itu pula, maka seorang bapak yang anak-anaknya ikut diangkut ke Polres Flores Timur, pada hari tersebut, pun merasa tenang-tenang saja. Anak-anaknya pun tampak oke-oke saja.

Tetapi, semenjak hari penjemputan itu hingga hari-hari ini banyak air mata bertumpah ruah di kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur. Air mata pun berceceran di sepanjang jalan antara Eputobi dan Larantuka. Air mata pun berguguran di sebuah rumah di Podor. Hujan air mata pun membasahi Polres Flores Timur. Di situ, dinding-dinding sel jadi saksi bisu isak tangis tiada henti penghuninya.

Tetapi di sana tak ada ceritera lara. Yang bertumpah ruah di sana adalah air mata yang keluar dari hati yang telah lama membatu. Hati yang membatu tak mengenal rasa duka lara. Yang bertumpah ruah di sana adalah air yang keluar dari mata yang selama ini tidak pernah dipakai untuk memandang keluhuran manusia dalam diri sesamanya.

Jika di sana sekarang bertumpah ruah banyak air mata, itu hanyalah tanda bahwa barang yang keras itu mudah patah dan hancur. Hati yang membatu mudah remuk. Lidah yang keras pun mudah patah. Hatimu yang membatu hancur oleh kebenaran yang membuka diri di hadapanmu. Lidahmu yang keras pun patah oleh kenyataan. Kini kebenaran telah menemukan jalan untuk menampakkan diri. Itulah terang sorgawi yang datang untuk menghalau kegelapan dari seluruh pelosok Lewoingu.

Mengapa engkau takut akan cahaya kebenaran itu? Perbuatan jahat apalagi yang ingin engkau sembunyikan di hadapan cahaya ilahi? Kuasa alam apalagi yang ingin engkau gunakan untuk menutup-nutupi kejahatan yang telah engkau perbuat? Masih adakah malam yang dapat engkau pakai untuk menyembunyikan dirimu?

Tak ada peristiwa yang tersembunyi di bawah kolong langit. Dusta demi dustamu tak berarti apa-apa. Kini engkau pun tak sanggup lagi membentangkan saya-sayap kebohongan dan kemunafikanmu. Sayap-sayap dustamu telah patah dan hancur berkeping. Engkau tak dapat terbang mengitari bumi guna mencari kekuatan yang kau anggap dapat menutupi kejahatan yang telah engkau perbuat. Sayap-sayamu telah patah oleh keinginanmu sendiri untuk menantang tingginya langit dan luasnya samudra bumi. Kecongkakanmu sendirilah yang membuat engkau terjerembab.

Kini rasa takut menyergapmu. Dan engkau tak berdaya untuk menghalaunya pergi barang sejenak pun. Kini tangan-tanganmu tak dapat lagi kau pakai untuk membuka dan menutup pintu-pintu dan jendela-jendela rumahmu sendiri. Kaki-kakimu tak dapat lagi kau pakai untuk menapaki tanahmu sendiri. Matamu tak dapat lagi kau pakai untuk melihat indahnya panorama alam. Tak ada lagi kerlap-kerlip bintang yang kau temukan di langit malam. Kini engkau hanya dapat memandang ke bawah, ke tanah yang terasing bagimu.

Musim berganti musim, tanda perubahan. Kehidupan di bumi Lewoingu pun harus berubah dari hari-hari silam yang kelam, ke hari-hari baru penuh terang. Jalan hidup baru kini terbuka lebar di hadapan kita. Kehidupan baru tak butuh air mata. Ia butuh keberanian kita untuk berjalan dalam terang. Maka biarkan mereka saja yang menumpah ruahkan air mata dalam hari-hari kelam mereka. Bumi Lewoingu tak membutuhkan air mata kemunafikan. Ia butuh mata air kehidupan sejati, yang menumbuhkan tunas-tunas kehidupan baru yang menyegarkan jiwa raga anak-anaknya.

Berpjaklah pada dunia nyata dan arahkanlah mata hati kita dan seluruh diri kita ke atas, dan mintalah kepada Bapa kita di sorga untuk menurunkan hujan berkat melimpah agar tumbuh kehidupan baru penuh damai sejahtera di Lewoingu.

Musim harus berganti. Tak ada kuasa manusia yang dapat menghentikan perubahan alam. Maka kita pun harus berani memohon kepadaNya agar langit terus menurunkan hujan berkat persatuan dan perdamaian sejati bagi setiap orang yang berkehendak baik di setiap pelosok tanah Lewoingu.

Jangan biarkan dirimu terbelenggu oleh masa lalu yang kelam. ***

Sabtu, 19 April 2008

Pak Tua dan ceritera tentang rancangan kejahatan 30 Juli 2007


Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak. Tua-tua orang, makin tua, mestinya makin bijaksana. Tetapi Pak Tua yang satu ini rupanya ingin tampil beda. Makin tua dia ingin menjadi batu yang makin keras. Di permukaan, Pak Tua dari kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, NTT itu makin menjadi alim. Apalagi, Pak Tua pun rajin sembahyang.

Tapi siapa sangka, kalau di belakang layar, Pak Tua punya permainan lain? Memang di masa lalu sudah beredar sejumlah ceritera tentang permainan Pak Tua itu. Tetapi oleh banyak orang, isi ceritera itu dianggap dongeng.

Pernah terjadi sengketa di antara sesama satu suku. Waktu itu, Pak Tua sempat dituduh sebagai "pemain malam." Tuduhan itu tentu membuat Pak Tua marah. Tetapi pada waktu itu Pak Tua berhasil memendamnya dalam hati. Hanya sang anak yang sibuk membuat pembelaan. Dan Pak Tua sendiri terus berusaha bersandiwara.

Delapan bulan setelah Selasa 31 Juli 2007, Pak Tua bermimpi. Dalam mimpinya, Pak tua mengetahui isi hatinya sendiri. Pak Tua menemukan dirinya sedang didera kesusahan. Ada derita yang tumbuh dalam batinnya. Ada luka yang menyayat jantungnya. Rasa sakit dan derita kian menyatu dalam dirinya. Hatinya yang selama ini keras seperti wadas, kini mulai remuk. Dia pun merintih sedih dalam malam-malam yang dingin. Padahal pesta pora kemenangan belum usai. Mestinya dia terus merasa bangga. Tetapi nyala api kebanggaannya tampaknya telah padam.

Pak Tua rupanya semakin tak kuat menanggung beban sandiwara, yang selama ini dia pentaskan, dari panggung yang satu ke panggung yang lain. Pak Tua akhirnya terpaksa buka mulut. Pada suatu malam yang dingin, Pak Tua berceritera tentang rancangan maut yang mereka persiapkan di kampung lama, pada hari Minggu, 29 Juli 2007. Tanpa sungkan-sungkan, Pak Tua berceritera, bahwa di situ Akim Maran "dibakar." Dengan polos, Pak Tua pun bertutur tentang apa saja yang mereka perbuat di bekas kampung Lewoingu asli itu.

Salah satu tenaga inti yang memungkinkan terlaksananya upacara "pembakaran" itu adalah si cow boy kampung. Setelah Akim Maran meninggal, ada tokoh masyarakat yang bertanya kepada si cow boy, mengapa dia membuat upacara jahat semacam itu di kampung lama. Dengan mantap si cow boy menjawab, "saya mau mencari ketenangan." Itu jawaban yang luar biasa. Baginya, merancang kematian orang lain merupakan jalan untuk memperoleh ketenangan. Yang dia ucapkan itu tentu kata-kata iblis, yang berbicara melalui lidahnya.

Jadi di kampung lama pada hari Minggu, 29 Juli 2007 itu, Pak Tua dan sejumlah pengikutnya memantapkan rancangan aksi kejahatan yang akan digelar pada Senin malam, 30 Juli 2007. Hari Minggu malam, 29 Juli 2007, sebelum tidur, Pak Tua tak lupa berdoa. Tapi kali ini dia tidak berdoa kepada Tuhan. Ujud doanya adalah memohon kematian Akim Maran. Setelah berdoa, dia menjadi tidak sabar menunggu datangnya fajar hari Senin 30 Juli 2007. Ketika fajar itu tiba, dia berharap agar jarum waktu berputar lebih cepat, biar sore cepat datang. Sore yang ditunggu akhirnya datang. Dalam hati Pak Tua berkata, waktunya hampir tiba. Waktu itu Akim Maran dan isterinya berada di Lato. Pak Tua tahu itu. Pak Tua juga tahu kejadian yang bakal menimpa Akim Maran pada malam harinya.

Harapan Pak Tua akhirnya terpenuhi. Senin malam itu juga, 30 Juli 2007, Pak Tua tahu bahwa Akim Maran, orang yang selama ini dia benci itu sudah dihabisi, sesuai dengan skenario yang sudah mereka rancang bersama. Pada malam itu juga, berita tentang kematian Akim Maran cepat beredar dari kuping ke kuping di sekitar rumahnya. Pak Tua merasa puas dan bangga akan keberanian "anak-anaknya" untuk menjalankan "tugas" mereka. Tapi Pak Tua pun menginginkan kepastian. Maka dia pun menjadi tidak sabar untuk menunggu datangnya pagi hari Selasa, 31 Juli 2007.

Untuk memperoleh kepastian termaksud, sebelum terbit surya, beberapa orang meluncur ke Blou. Di dalam parit di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, jenazah Akim Maran tergeletak. Dari mereka, Pak Tua memperoleh kepastian bahwa Akim Maran benar-benar sudah tewas. Maka Pak Tua pun merasa perlu mempersiapkan diri untuk "menyambut" kedatangan jenazah orang yang diburunya dari malam ke malam, dari hari ke hari. Sesaat setelah jenazah Akim Maran lewat di jalan masuk kampung Eputobi dalam perjalanan menuju rumah duka, Pak Tua bergerak ke arah jalan raya. Dia mengenakan topi. Tangannya memegang parang dan tombak. Di pinggir jalan raya, dia menikam tombaknya ke tanah, lalu melambai-lambaikan parangnya di udara. Tidak jelas arti tindakannya itu. Yang jelas dia telah menikam bumi yang tak bersalah. Dia pun telah mencincang udara yang tak berdosa.

Hari-hari setelah Selasa, 31 Juli 2007 dilaluinya dengan mantap. Bahkan kian hari kian tumbuh keyakinan dalam dirinya sebagai penguasa bumi ini. Suatu hari Pak Tua membandingkan dirinya dengan penguasa langit. Pak Tua merasa perkasa di hari-hari senja hidupnya. Dalam hatinya, dia sering beteriak, "Aku adalah penguasa bumi ini." Tetapi Pak Tua lupa bahwa cepat atau lambat sandiwaranya akan berakhir.

Setelah duri-duri kesusahan kian dalam menancapi jantungnya, Pak Tua sendiri akhirnya menutup layar panggung sandiwaranya. Karena derita dan susah kian tak tertahankan, Pak Tua mengharapkan pertolongan dari orang lain. Kali ini dia mengharapkan pertolongan dari orang-orang yang selama ini dia musuhi, bahkan yang ingin dia habisi juga. Tetapi siapa yang mau menolongnya? Apakah "anak-anak" kebanggaannya itu yang akan menolongnya? Entahlah…..

Yang jelas, "anak-anak" itu kini beralih status, dari orang-orang bebas menjadi orang-orang terbelenggu. Kebenaran yang selama ini mereka tutup-tutupi kini mulai menampakkan diri secara jelas. Maka Pak Tua pun harus bersiap diri untuk menyambut kebenaran itu. Tetapi jika kebenaran itu memang akan tiba di rumahnya, maka derita dan kesusahan yang lebih besar akan menimpanya. Jika itu memang garis hidupnya, Pak Tua harus menempuh jalan derita itu.

Bukankah hidup adalah suatu pilihan? Jika selama ini, dia lebih banyak memilih menempuh jalan gelap, maka tak aneh dia pun pada akhirnya akan terdampar dalam lembah kelam pekat. Dalam gelap pekat, orang tak mungkini berpesta pora.***

Rabu, 09 April 2008

Korupsi di kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur, dan dampak negatifnya


Apa yang disebut korupsi itu sungguh-sungguh sudah menjalar ke pelosok nusantara. Korupsi tidak hanya tumbuh dan berkembang di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, tetapi juga di kampung-kampung dan desa-desa. Di kampung Eputobi, desa Lewoingu pun tumbuh dan berkembang korupsi. Demikian maraknya, praktek korupsi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir, sehingga muncul ucapan, bahwa yang terjadi di Eputobi adalah korupsi berjamaah.

Ucapan korupsi berjamaah terungkap setelah hari Minggu, tanggal 17 Juni 2007. Pada tanggal ini diadakan pertemuan di kantor desa Lewoingu untuk membereskan kasus tuding-menuding penyalahgunaan uang iuran pasar. Pertemuan itu diadakan, karena adanya laporan oleh pihak pemerintah desa Lewoingu ke Polsek Wulanggitang di Boru, bahwa ada pihak di bagian barat kampung Eputobi menyalahgunakan uang iuran pasar. Waktu itu orang bernama Mikhael Torangama Kelen besrtatus sebagai mantan kepala desa Lewoingu.

Pada hari Sabtu pagi, tanggal 4 Agustus 2007, sekitar pukul 09:00 waktu setempat, oknum polisi yang menerima laporan itu di Polsek Wulanggitang di Boru, menyampaikan kepada saya, bahwa laporan mantan kepala desa itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pak polisi itu mengatakan, "ternyata uang yang menurut laporan disalahgunakan itu ada." Artinya, uang itu tidak disalahgunakan oleh pihak yang dituduh menyalahgunakannya.

Dalam pertemuan pada hari Minggu, tanggal 17 Juni 2007, barulah terungkap secara jelas bahwa yang menyalahgunakan uang iuran pasar desa Lewoingu selama ini adalah pihak yang melaporkan kasus tersebut ke Polsek Wulanggitang di Boru, bukan pihak yang dilapor. Mulanya, mereka yang selama ini memakan uang iuran pasar desa Lewoingu tidak mengakui perbuatan mereka itu. Setelah diancam dengan sumpah menurut agama, mereka sendiri akhirnya takut akan risiko dari kebohongan yang selama ini mereka pupuk. Mereka akhirnya mengakui secara terus terang, bahwa merekalah yang selama ini menyalahgunakan uang iuran pasar desa Lewoingu. Semua saksi yang mendengar langsung pengakuan itu masih hidup segar bugar tidak kurang suatu apa pun. Kapan dan di mana pun mereka dengan senang hati mau menjadi saksi atas kejadian tersebut.

Bahwa ada penyalahgunaan uang desa Lewoingu, selama masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen, itu diperjelas oleh temuan Banwas Kabupaten Flores Timur. Berdasarkan audit yang baru sebagian dilakukan, Banwas Kabupaten Flores Timur menemukan adanya penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu selama periode 2000-2006 sebesar Rp 14.836.000 (empat belas juta depalan ratus tiga puluh enam ribu rupiah). Temuan penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu ini dilaporkan oleh Kepala Banwas Kabupaten Flores Timur, dalam suatu rapat resmi di Aula Setda Flores Timur di Larantuka pada hari Senin, 14 Januari 2008. Rapat itu dipimpin oleh Asisten Tata Praja, bernama Dominikus Demon. Mendengar itu, seorang pejabat di Kantor Bupati Flores Timur menyesalkan keterlambatan pihak Banwas Flores Timur menyampaikan temuannya itu.

Berdasarkan temuan Banwas tersebut, di kemudian hari, setelah Mikhael Torangama Kelen dilantik bersyarat menjadi Kepala Desa Lewoingu 2007-2013, Bupati Flores Timur mengeluarkan surat agar Mikhael Torangama Kelen mengembalikan uang yang telah disalahgunakan itu. Saya belum sempat mencek ke Eputobi atau ke Kantor Bupati Flores Timur, apakah uang yang dikorupsi itu telah dikembalikan atau belum. Yang jelas, pihak Mikhael Torangama Kelen pernah berkoar bahwa mereka bisa mencari uang untuk mengembalikan uang yang mereka korupsi itu. Sementara itu Mikhael Torangama Kelen sendiri sempat sibuk meminta para warga Eputobi untuk tidak mempercayai berita tentang korupsi di desa Lewoingu, seperti sempat dilansir oleh media cetak lokal.

Jika salah seorang pembela setianya pun terus membantah bahwa Mikhael Torangama Kelen melakukan korupsi, itu salah satu contoh tipikal pembelaan secara membabi-buta terhadap orang yang jelas-jelas menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu. Perlu anda ketahui bahwa sampai dengan detik ini, pihak Mikhael Torangama Kelen sendiri tidak bisa membuktikan bahwa uang tersebut tidak diselewengkan. Jelas sekali bahwa pembelaan semacam itu tidak sesuai dengan fakta. Pembelaan semacam itu dilakukan oleh orang yang hanya pergi-pulang Eputobi, tetapi tidak berusaha menguasai kenyataan-kenyataan sesungguhnya yang terjadi di kampung halamannya sendiri. Karena itu setelah mengetahui adanya kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, dia lalu sibuk membantah tanpa dasar apa pun.

Selain temuan Banwas Kabupaten Flores Timur tersebut di atas, indikasi korupsi pun tampak dari berbagai item laporan keuangan yang pernah disampaikan oleh Mikhael Torangama Kelen. Setelah mempelajari laporan tersebut dan mendiskusikan dengan pihak-pihak yang mengetahui seluruh ceritera tentang sepak terjang pemerintah desa Lewoingu periode 2000-2006 yang masa pemerintahannya bablas sampai dengan tahun 2007 karena tidak taat peraturan, ditemukan indikasi-indikasi penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di bawah ini.

Dana yang disediakan oleh desa Lewoingu untuk pengresmian Desa Dung Tana Lewoingu sebesar Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Di dalam kenyataan, panitia pengresmian Desa Dung Tana Lewoingu hanya menerima uang sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) plus seekor anak babi milik kepala desa Lewoingu plus beras raskin 2 karung. Benarkah harga seekor anak babi plus 2 karung raskin adalah Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu ripiah)? Ini contoh kecil. Selanjutnya perhatikan contoh berikut.

Pada tahun 2005 gedung TKK Demon Tawa di Eputobi dibangun. Total dana pembangunannya (termasuk pengadaan material dan upah tukang) sebesar Rp 10.215.000 (sepuluh juta dua ratus lima belas ribu rupiah) disediakan oleh WVI. Pembangunan gedung tersebut rampung 100% pada tahun itu. Namun pada tahun yang sama dilaporkan dana pembangunan gedung TKK Demon Tawa sebesar Rp 1.153.000 (satu juta seratus lima puluh tiga ribu rupiah). Pada tahun 2006 dalam LKPJ dilaporkan terjadi pembangunan gedung TKK Demon Tawa lagi dengan dana sebesar Rp 9.062.000 (sembilan juta enam puluh dua ribu rupiah). Padahal pada tahun 2006 tidak ada aktivitas pembangunan gedung TKK tersebut.

Penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu pun mencakup perampasan hak orang lain dan pemalsuan tanda tangan. Pelakunya adalah orang yang itu-itu juga. Tunjangan yang seharusnya diberikan kepada Sekdes 2004 selama 5 bulan, yaitu Pebruari - Juni 2004 sebanyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) ternyata tidak dibayar. Uang tunjangan tersebut dipakai oleh si kades Lewoingu. Padahal SK Pemberhentian Sekdes diterbitkan pada tanggal 2 Juli 2004. Yang lebih memalukan ialah bahwa si kades Lewoingu itu pun memalsukan tanda tangan dua orang mantan perangkat desa Lewoingu untuk mengambil dana TPAD (Tunjangan Penghasilan Aparat Desa) di Kecamatan Titehena. Dana yang diambilnya dipakai untuk kepentingan pribadinya.

Apa yang dicatat di atas hanyalah sebagian kecil dari indikasi-indikasi korupsi yang terjadi pada masa Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu 2000-2006, yang kebablasan sampai tahun 2007. Dengan menyelenggarakan pilkades tanpa peraturan pada tanggal 27 maret 2007, orang ini dinyatakan sebagai pemenang. Dan baru pada hari Rabu, tanggal 16 Januari 2008, orang ini dilantik bersyarat untuk menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Tapi siapa yang mengakui dia sebagai kepala desa Lewoingu 2007-2013? Jawabannya, hanya segelintir orang Eputobi.

Hendaknya kita tidak boleh lupa bahwa sistem pemerintahan yang sangat korup selama periode 2000-2006 berdampak sangat buruk bagi kehidupan sosial budaya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur. Pemerintah yang korup itu telah menimbulkan perpecahan sosial budaya yang sangat serius di kampung tersebut. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007, dengan korban Akim Maran merupakan dampak paling buruk dari upaya segelintir orang di Eputobi, Lewoingu untuk melestarikan rezim yang sangat korup itu.

Guna mencegah terjadinya kerusakan sosial budaya yang lebih dahsyat di kampung Eputobi, Lewoingu, para warga masyarakat beradab di sana kini mengharapkan keberanian Bupati Kabupaten Flores Timur untuk mencabut SK Pelantikan bersyarat Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Dan kita perlu memperkuat posisi mereka yang selama ini berjuang dengan cara damai untuk merwujudkan suatu sistem pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan manusiawi di Eputobi, Lewoingu. ***