Senin, 19 Mei 2008

Saksi mata versus pembela kejahatan 30 Juli 2007


Tuhan menciptakan manusia dengan mata. Maka kita pun dapat melihat dunia. Dengan mata, anda dapat melihat indah warna-warni alam ciptaan Tuhan. Dengan mata, anda dapat melihat keunikan rupa sesamamu. Dengan mata anda tahu arti terang dan gelap. Dengan mata, anda dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini.

Setiap kita dapat menjadi saksi mata peristiwa-peristiwa tertentu. Ada peristiwa yang menarik untuk dilihat. Tetapi ada pula peristiwa yang membuat mata kita enggan atau bahkan tak mau melihatnya. Rupanya, mata kita diciptakan untuk melihat hal-hal yang baik dan mempesona. Maka biasanya kita pun tak suka melihat peristiwa-peristiwa buruk, apalagi yang tragis. Tapi yang buruk dan tragis pun seringkali terjadi dalam hidup kita di dunia ini. Dan mungkin anda pun pernah menjadi saksi mata suatu tragedi kemanusiaan.

Ketika seseorang atau beberapa orang melakukan kejahatan, mereka tak ingin ada mata yang menyaksikan perbuatan jahat yang sedang mereka lakukan. Mata para penjahat tak ingin melihat saksi mata. Soalnya, si saksi mata dapat mnceriterakan perbuatan jahat mereka, dan mereka pun diringkus oleh aparat penegak hukum.

Diringkusnya empat anggota komplotan penjahat Eputobi di Flores Timur pun berkat kesaksian saksi mata. Dengan matanya dia melihat orang-orang yang menghadang korban (Yoakim Gresituli Ata Maran). Dengan matanya dia pun melihat orang yang pertama kali memukul korban. Dengan kupingnya dia juga mendengar kata-kata yang keluar dari mulut orang yang pertama kali melontarkan pukulan itu. Ada pula saksi yang melihat siapa berbuat apa di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007.

Apakah kesaksian saksi mata itu palsu? Bagi si pembela kejahatan, si saksi mata memberikan kesaksian palsu. Tetapi penilaiannya ini tidak didasari bukti. Dia mendasarkan penilaiannya pada perasaan subjektifnya. Bermodalkan perasaan subjektifnya, dia bertarung melawan si saksi mata. Tapi ujung dari pertarungan itu mudah ditebak. Dia akan bertekuk lutut oleh kesalahannya sendiri. Waktunya akan tiba, di mana si pembela kejahatan pun akan mengalami nasib seperti yang dialami oleh empat orang tersangka itu. Bukankah membela kejahatan adalah suatu kejahatan?

Suatu hari si pembela kejahatan dibuai oleh mimpi indah tentang pembebasan. Dan spontan dia mengira bahwa semua ini adalah karya Allah. Mungkin karena itu, dia pun merancang jerat hukum bagi si saksi mata. Dalam buaian mimpi itu, dia merasa seakan-akan telah memenangkan suatu perang besar. Kepalanya sempat ditegakkan. Dadanya sempat dibusungkan. Dalam hatinya sempat tumbuh riak kegembiraan.

Setelah terjaga, barulah dia sadar bahwa semua itu hanyalah mimpi, mimpi yang hanya indah sesaat lantas berubah menjadi kengerian yang menyesakkan dadanya sendiri. Di siang yang terik itu, dia akhirnya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seperti apa nasib yang harus ditanggung oleh penjahat-penjahat itu. Wajahnya yang tadinya sempat berseri langsung memucat. Sinar matanya pun meredup. Untung bahwa gelap tak langsung menyergapnya.

Lalu pada sebuah kapal dia berdiri. Di situ, sekali lagi dia mencoba mengadu nasib. Dia coba bertarung melawan kenyataan yang bertolak belakang dengan mimpinya. Tapi sekali lagi dia harus mengakui kegagalannya untuk meraih mimpi indahnya. Lantas, siapakah yang mau perduli dengannya? Ada banyak mata yang memandangnya, tapi bukan mata-mata yang menghiburnya. Dengan matanya, dia menyaksikan nasib penjahat-penjahat itu. Sempat, mereka saling memandang, tapi pandang memandang tanpa arti. Lalu, dengan matanya dia pun melihat si saksi mata. Tetapi sorot mata si saksi mata terasa menusuk hatinya yang penuh dengki. Dendam pun membara dalam hatinya. Dia bertekad untuk bertempur melawan kebenaran. Si saksi mata telah mengungkapkan kebenaran. Dan dia bertekad untuk membelanya. Mungkinkah seorang pembela kejahatan dapat menaklukkan kebenaran?

Ingatlah, bahwa kebenaran itu datang dari langit abadi, sedangkan kejahatan itu datang dari dunia fana. Mungkinkah yang fana mampu mengalahkan yang abadi? ***

Kamis, 15 Mei 2008

SMS


SMS. Akronim yang satu ini sudah sangat familiar dengan komunitas pengguna telepon seluler. SMS itu singkatan dari short message service. Bahasa Indonesianya, layanan pesan singkat. Bagi pengguna ponsel, hidup menjadi hambar jika tidak mengirim atau menerima SMS. Entah berapa jumlah SMS yang menyebar ke seluruh penjuru dunia ini dalam sehari. Yang jelas, banyak orang yang jadi keranjingan ber-SMS. Singkat, cepat, langsung sampai, dan langsung diketahui balasannya juga, kalau yang sebelah sana lagi on, dan kalau salurannya serba ok. Maka tak heran kalau SMS pun jadi "candu" bagi banyak orang.

SMS membuat dunia menjadi selebar daun asam. Cukup dengan ujung ibu jari tangan, anda menguasai dunia. Tapi dengan cara apa anda menguasai dunia? Tergantung orangnya. Si humoris berusaha menguasai dunia dengan SMS yang membuat orang lain terpingkal-pingkal. Dengan membaca SMS humor, usia seseorang jadi bertambah panjang, mungkin satu jam, mungkin satu hari, mungkin satu tahun, atau malah mungkin "seribu tahun." Pendek kata, melalui SMS, orang bisa saling memperpanjang umur.

Melalui SMS, mereka yang sedang bercinta ria, bisa saling berbagi cinta. Yang jauh jadi dekat. Yang dekat jadi jauh juga. Yang susah diucapkan waktu ketemu pandang, jadi mudah terucap melalui SMS. Bagi sepasang merpati, SMS jadi segala-galanya juga, dan dunia pun jadi indah.

Mereka yang sehari-hari menjalani hidupnya berdasarkan Firman Tuhan menyebarluaskan ayat-ayat suci melalui SMS. Melalui SMS, mereka ingin menerangi dunia dengan Cahaya Ilahi. Melalui SMS, mereka ingin menerangi dan menggarami dunia dengan cahaya dan garam surgawi. Melalui SMS, para bijak pun mewartakan kebijaksanaan ke seluruh dunia. Pendek kata, melalui SMS, banyak orang ingin menguasai dunia dengan kekuatan-kekuatan yang positif.

Tetapi si pendusta, si jahat pun tak mau kalah. Melalui SMS, mereka berusaha sekuat tenaga untuk meracuni dunia, untuk merusak dunia, untuk membuat dunia jadi gelap-gulita. Melalui SMS, para penjahat bisa saling berkoordinasi untuk menyukseskan proyek kejahatan yang mereka garap. Melalui SMS, mereka menebarkan rasa benci dan permusuhan ke mana saja mereka mau. Melalui SMS mereka bisa meneror, mengintimidasi, dan mengancam lawan mereka. Bagi mereka, suatu SMS bisa menjadi malapetaka bagi orang lain. Di tangan penjahat sejati, SMS merupakan sinyal kematian bagi orang lain.

Lantas di tangan si pendusta? Jelas, di tangannya SMS jadi bisnis tipu daya. Sudah banyak orang yang terjerat oleh SMS yang berisikan tipuan berkedok hadiah puluhan juta. Tetapi tidak hanya itu. Ada penipu yang menggunakan SMS untuk memperoleh uang. Ada pula penipu yang menggunakan SMS untuk menyebarkan kabar bohong. Untuk apa? Untuk memancing kemarahan orang, untuk meresahkan masyarakat, untuk kepentingan politik kelompok, atau bisa juga sekedar untuk memuaskan nafsu untuk menipu.

Orang yang sudah biasa menipu akan terus bernafsu untuk menipu dan menipu. Dia tidak bisa hidup tenang tanpa menipu orang lain. Dia akan terus berusaha mempertahankan keberadaannya dengan jalan menipu. Maka tak heran bila dia pun menggunakan SMS untuk menipu orang lain. Lucunya, yang ikut jadi korban penipuan adalah sesamanya sendiri, bahkan saudara-saudarinya sendiri.

Entah berapa orang di Kupang, di Larantuka, di Eputobi, dan di Lewolaga, yang berhasil ditipu oleh SMS, yang menginformasikan bahwa sangkaan yang dikenakan pada empat tersangka pelaku kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007 tidak terbukti. Entah berapa pula orang di Larantuka dan di Eputobi dan sekitarnya yang tertipu oleh SMS yang mengatakan bahwa empat tersangka itu pasti dibebaskan.

Yang jelas, para warga masyarakat beradab di Larantuka, di Eputobi dan sekitarnya tidak mau terperdaya oleh isi SMS-SMS yang tidak sesuai dengan kenyataan itu (lihat www.geocities.com/atamaran_rr/kdk_mei_2008.html). Yang tertipu adalah sesama dari pengirim SMS. Maka tak usaha heran bila kepanjangan dari akronim SMS pun bisa menjadi Suka Menipu Sesama. Kalau sesama saja bisa ditipu, apalagi orang lain.

Ingat. SMS itu netral. Di tangan orang baik, SMS menjadi sarana perwujudan kebaikan bagi dunia. Tapi di tangan si jahat, SMS menjadi sarana untuk menjahati dunia. Di tangan penipu, SMS menjadi saluran untuk menipu orang lain, termasuk menipu sesama sendiri. Seseorang bisa tertipu jika dia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi orang yang kritis-rasional.

Untung para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya masih memiliki kemampuan untuk menjadi orang yang kritis-rasional. ***

Senin, 12 Mei 2008

Mencari kades yang fit and proper test bagi Lewoingu


Karena menjadi otak dan pelaku pembunuhan atas Akim Maran, Mikhael Torangama Kelen dinonaktifkan sebagai kepala desa (kades) Lewoingu. Tindakan penonaktifan itu saja tidak cukup. Yang dibutuhkan oleh masyarakat Eputobi-Lewoingu adalah 1) pemberhentian dia sebagai kepala desa Lewoingu, dan 2) pemberhentian semua aparatur desa Lewoingu dari posisi mereka masing-masing. Tak pantas, jika roda pemerintahan desa Lewoingu dikendalikan oleh elemen-elemen busuk. Rezim (regime) lalim yang beroperasi selama 2000-2008 harus diganti total agar terbuka ruang bagi pembentukan suatu model pemerintahan demokratis-partisipatif-humanistik di Lewoingu. Untuk itu diperlukan suatu masa transisi politik.

Masa Transisi

Guna membangun suatu model demokrasi yang sehat diperlukan suatu masa transisi. Selama masa transisi, roda pemerintahan desa Lewoingu dijalankan oleh seorang care taker, dengan anggota-anggota "kabinet" yang terdiri dari tokoh-tokoh tua dan muda, yang terkenal bersih-berwibawa-beradab. Tugas care taker dan anggota-anggota kabinetnya adalah mempersiapkan landasan yang kuat bagi pembangunan suatu sistem demokrasi yang partisipatif dan humanistik di Lewoingu. Model ini dapat menjadi contoh bagi pembangunan demokrasi yang sehat di seluruh kawasan Flores Timur.

Masa transisi diperlukan, karena kerusakan sosial budaya yang disebabkan oleh praktek politik tidak sehat selama 2000-2008 sangat parah. Kerusakan sosial ditandai dengan hancurnya relasi antarkeluarga, antarsuku, dan antarkelompok. Karena memprioritaskan kepentingan politik kekuasaan, terjadi saling permusuhan antarorang-orang yang bersaudara kandung, antarorang-orang yang sebelumnya bersahabat baik, antarorang-orang satu suku, antarsuku, dan antarkelompok-kelompok yang ada.

Kerusakan budaya ditandai dengan hancurnya nilai-nilai seperti kebenaran, kejujuran, kebaikan, keadilan, keamanan, gotong royong, dll. Nilai-nilai tersebut bahkan dengan sengaja dirusak oleh rezim lalim itu. Karena itu, tak ada satu pun anggota atau antek komplotan penjahat itu yang pantas duduk dalam tubuh pemerintahan transisi tersebut. Etika politik perlu ditegakkan. Pemerintahan desa Lewoingu harus dibangun di atas landasan moral yang kuat.

Karena kerusakan-kerusakan tersebut sangat parah, maka untuk membangun kembali suatu tatanan sosial budaya yang sehat di Eputobi diperlukan energi kultural-spiritual dan waktu yang tidak sedikit. Karena itu, suatu masa transisi politik sangat diperlukan oleh masyarakat Eputobi-Lewoingu. Masa transisi itu bisa berlangsung selama satu hingga tiga tahun. Masa transisi diharapkan menjadi awal dari suatu gerakan penyadaran diri dan pencerahan rasional-spiritual di berbagai kalangan masyarakat di sana.

Gerakan penyadaran diri diperlukan sebagai langkah nyata ke arah penemuan arti dan tujuan otentik hidup kita sebagai pribadi dan sebagai masyarakat di dunia ini. Sebagai pribadi, setiap kita bermartabat luhur. Merusak yang luhur itu sama dengan merusak diri kita sendiri. Dengan merusak yang luhur itu, kita melawan Tuhan, Sang Pencipta, karena DIAlah yang menciptakan yang luhur itu bagi setiap kita.

Sebagai masyarakat, setiap kita mau tidak mau membutuhkan orang-orang lain agar kita dapat mengembangkan hidup kita sebagai manusia layaknya. Tanpa masyarakat, anda dan saya mustahil tumbuh dan berkembang sebagai person yang unik dan utuh. Tanpa masyarakat, anda dan saya tak dapat beraktivitas. Aktivitas religius, belajar, pendidikan, budaya, seni hanya mungkin terselenggara dalam masyarakat. Karena itu, setiap kita perlu bertanggung jawab agar kehidupan masyarakat kita berkembang secara sehat. Hormat terhadap martabat luhur manusia, hormat terhadap hak-hak hidup sesama manusia merupakan prinsip-prinsip moral dasar yang menentukan kelestarian kehidupan suatu masyarakat. Dalam rangka itu diperlukan seorang kepala desa (kades) yang fit and proper test.

Yang fit and proper test

Dalam kehidupan modern-kontemporer peranan seorang kepala desa sangat menentukan. Seperti apa jadinya kehidupan sosial budaya di suatu desa sangat dipengaruhi oleh watak kepemimpinan kepala desanya. Di tangan seorang kepala desa yang otoriter lalim, desa menjadi rusak parah, persis seperti yang terjadi di desa Lewoingu. Kepala desa yang membunuh warga desanya, yang tak bersalah, itu hanya ada di Lewoingu. Sepanjang sejarah Lewoingu, hanya kades 2000-2008 itu yang menjadi pembunuh berdarah dingin. Apa yang terjadi pada 30 Juli 2007 mulai di Tobi Bele'eng hingga Blou di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur sama sekali tidak memiliki preseden. Dan keliru besar kalau ada yang mengira bahwa kerusakan-kerusakan besar yang terjadi di Eputobi-Lewoingu bukan bersumber dari kades dan aparatur desa Lewoingu 2000-2008. Kejahatan itulah yang memperdalam kerusakan-kerusakan sosial budaya, yang sudah ditimbulkan oleh orang yang sama pada tahun 2006.

Karena itu pembaruan kehidupan sosial budaya di kampung Eputobi, desa Lewoingu hendaknya dimulai dari perubahan watak kepemimpinan politik di desa itu. Ini penting, mengingat keputusan dan kebijakan politiklah yang menentukan berbagai corak aktivitas masyarakat yang bersangkutan. Maka yang perlu dipersiapkan dari sekarang adalah seorang kades yang fit and proper test (yang layak dan patut). Dengan kata lain, yang diperlukan oleh masyarakat Eputobi adalah seorang kades yang mampu memimpin berdasarkan nilai-nilai moral. Layak dan tidaknya, patut atau tidaknya seseorang menjadi kades dapat dilihat dari rekam jejak perjalanan hidupnya selama ini.

Yang layak dan patut dipilih menjadi kades Lewoingu dalam periode mendatang adalah orang yang memiliki kacakapan sosial, budaya, ekonomi, politik, moral, dan kecakapan religius yang memadai. Kecakapan sosial ditandai antara lain dengan kemampuan membangun relasi yang sehat dengan berbagai elemen masyarakat yang bersangkutan dan dengan berbagai pihak terkait, dan kemampuan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kecakapan budaya ditandai dengan kemampuan dalam melestarikan serta mengembangkan nilai-nilai budaya lokal dan nilai-nilai budaya global, yang relevan bagi pengembangan kreativitas masyarakat yang bersangkutan. Kecakapan ekonomi ditandai dengan kemampuan dalam mengembangkan kehidupan ekonomi dengan cara-cara yang pantas. Kecakapan politik ditandai dengan kemampuan dalam memelihara persatuan kesatuan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Kecakapan moral ditandai dengan kemampuan untuk mendasarkan pilihan hidup dan tindakan berdasarkan nilai-nilai seperti kebebasan, kebenaran, keadilan, tanggung jawab, dan sebagainya. Kecakapan religius ditandai dengan kemampuan mendukung upaya peningkatan kualitas kehidupaan keagamaan. Ini mengandaikan kemampuannya dalam menjalin relasi dan kerjasama yang sehat dengan pejabat-pejabat gereja setempat.

Secara formal, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa merinci sejumlah tugas, wewenang, kewajiban, dan hak seorang kepala desa. Di situ tidak ditemukan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa seorang kepala desa berwenang atau berhak mengubah tatanan adat istiadat, membunuh warganya, melakukan korupsi kolusi dan nepotisme, memicu konflik sosial budaya, melarang warganya untuk bergotong royong, mengancam mengganyang para lawan politiknya di muka umum, dan memberikan pelayanan secara diskriminatif, menyelenggarakan pilkades tanpa peraturan.

Catatan Penutup

Yang dikemukakan di atas adalah sejumlah pokok pikiran yang masih perlu dijabarkan lebih jauh agar dapat dioperasionalkan. Pokok-pokok pikiran tersebut mulai diwacanakan di kalangan terbatas di lingkungan masyarakat beradab di Lewoingu. Diharapkan wacana tersebut akan terus gergulir dan membentuk suatu kerangka landasan pemikiran yang sehat bagi pembaruan kehidupan sosial budaya Lewoingu.

Pada tataran praktis, para warga masyarakat beradab perlu mulai mencari yang fit and proper test bagi Lewoingu. Dan ini tidak sukar, asal mereka mau terbuka terhadap orang-orang muda atau orang-orang tua yang berkemampuan untuk menjadi pemimpin formalnya. Di luar komplotan penjahat Eputobi itu, terdapat sejumlah orang muda dan tua yang, menurut saya, layak dan patut menjadi kades Lewoingu periode selanjutnya. Jika di antara mereka, ada yang nanti dipilih, dia itu perlu didukung secara konsisten oleh segenap lapisan masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya.

Kita perlu mendorong para warga masyarakat beradab di sana untuk terusbergerak maju ke arah penerapan sistem demokrasi yang partisipatif-manusiawi.***

Jumat, 09 Mei 2008

Gagalnya hipotesa lakalantas tunggal


Penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran) di dalam parit di Blou, Flores Timur berhasil memicu terjadinya perdebatan sengit tentang musabab kematiannya. Berbagai kalangan masyarakat di Eputobi dan sekitarnya bertanya, mengapa dia meninggal secara mengenaskan semacam itu? Untuk menjawab pertanyaan ini beberapa hipotesa dikemukakan. Pertama, hipotesa santet. Kedua, hipotesa lakalantas tunggal. Ketiga, hipotesa pembunuhan.

Hipotesa santet: Jika seseorang disantet, maka dia dapat meninggal dunia kapan dan di mana saja dia berada.
Hipotesa ini sempat didukung oleh sejumlah kalangan di Eputobi dan sekitarnya. Dukungan mereka atas hipotesa ini didasari adanya upaya-upaya nyata dari pihak-pihak tertentu untuk menghabisi Akim Maran dan rekan-rekan seperjuangannya dengan black magic. Sejak meletusnya masalah batas tanah pada Senin 10 April 2006, penggunaan black magic oleh orang-orang yang memusuhi suku Ata Maran dan kawan-kawan digalakkan. Upaya itu nyata dari sumpah serapah dan pengerahan para praktisi black magic. Penggunaan black magic oleh komplotan penjahat itu dipergencar setelah meletus kasus penundaan pelantikan kepala desa Lewoingu periode 2007-2013.

Meskipun pada level-level tertentu hipotesa santet memiliki kekuatan penjelas, tetapi kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Hipotesa santet tidak didukung dengan fakta-fakta empiris, terutama fakta-fakta yang dengan mudah ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dan sekitarnya. Hipotesa itu juga tidak klop dengan keadaan jenazah korban. Sehebat apa pun seorang dukun santet, dia tidak mungkin membuat darah korbannya berceceran hingga mencapai radius 70 meter dari tempat jenazah ditemukan. Selain itu, dengan black magic-nya dia pun tidak mampu menempatkan sepeda motor yang dikendarai korban dalam posisi sangat rapih, dengan kondisi tanpa kerusakan.

Hipotesa lakalantas tunggal: Jika seseorang lalai atau melakukan kesalahan dalam mengendarai sepeda motor, maka dia dapat mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat.
Hipotesa ini dikemukakan oleh aparat kepolisian setempat, yang pada hari Selasa pagi 31 Juli 2007 datang ke TKP. Bermodalkan pengamatan sepintas di TKP dan berdasarkan keterangan yang mereka peroleh dari Marse Kumanireng (isteri korban), Moses Hodung Werang (seorang petani yang pada Selasa pagi 31 Juli 2007 pukul 09:00 wita menemukan jenazah korban), Bang Hayon (orang yang pada Senin malam 30 Juli 2007 mengantar Marse Kumanireng dari Bokang ke Eputobi), dan Ito de Ornay (orang yang pada hari Selasa pagi 31 Juli 2007 selepas jam 09:00 datang ke TKP setelah memperoleh informasi tentang penemuan jenazah di Blou), aparat kepolisian setempat kemudian menyimpulkan bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal. Artinya, dia meninggal karena mengalami kecelakaan lalu lintas akibat kelalaian atau kesalahannya sendiri dalam mengendarai sepeda motor, bukan karena bertabrakan dengan kendaraan bermotor lain.

Selain didukung oleh sejumlah oknum aparat kepolisian setempat, hipotesa ini pun didukung oleh anggota-anggota komplotan penjahat Eputobi dan para pendukung mereka. Tetapi sejak awal, hipotesa ini tak dapat diandalkan dalam menjelaskan sebab kematian Akim Maran. Hipotesa ini tidak sesuai dengan situasi-situasi empiris di TKP dan di tubuh jenazah korban. Di tempat kejadian perkara tidak ditemukan adanya jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sendal yang dipakai korban dalam perjalanan dari Lato menuju kampung Eputobi pada hari Senin malam 30 Juli 2007 tidak ditemukan di TKP. Sepeda motor yang dikendarai korban dalam keadaan baik, tidak mengalami kerusakan. Darah korban ditemukan berceceran di suatu pondok yang berjarak 70 meter dari lokasi penemuan jenazah. Keadaan luka-luka di kepala dan wajah korban menunjukkan bahwa kematiannya bukan karena kecelakaan lalu lintas. Hipotesa ini pun tidak sesuai dengan isi visum dokter tentang keadaan jenazah korban.

Meskipun mendapat dukungan kuat dari pimpinan Polres Flores Timur, waktu itu, kebenaran hipotesa lakalantas tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Kesimpulan bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas dibuat bukan berdasarkan serangkaian penyelidikan ilmiah, melainkan berdasarkan suatu asumsi belaka. Sehingga gampang bagi kita untuk melihat kelemahannya.

Hipotesa pembunuhan: Jika ada orang-orang di Eputobi yang selama ini sangat iri dan benci terhadap Akim Maran, maka mereka itu bisa menghadang dan membunuh dia ketika dia sedang dalam perjalanan.
Sejak hari penemuan jenazah korban di Blou, hipotesa ini pun sudah dikemukakan oleh sejumlah orang, baik di Eputobi maupun di kampung-kampung sekitarnya. Berbagai situasi yang terdapat di TKP membuat mereka yakin bahwa kematian Akim Maran disebabkan oleh pembunuhan, bukan karena kecelakaan lalu lintas. Bagi mereka, apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu hanyalah suatu rekayasa.

Meskipun demikian kebenaran hipotesa ini pun masih perlu dibuktikan secara ilmiah. Untuk itu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Tugas TPF adalah mengumpulkan berbagai informasi terkait dari berbagai sumber; mengolah TKP secara luas dan mendalam; mengumpulkan barang-barang bukti. Berbagai informasi dan barang bukti yang berhasil dihimpun kemudian dianalisis secara ilmiah. Setelah dipandang cukup memadai, TPF lalu menyusun suatu laporan yang bersifat menyeluruh dan mendasar untuk disampaikan kepada Kapolres Flores Timur, kepada Kapolda NTT, kepada Kapolri, dan kepada Presiden RI. Sebelumnya, TPF pun pernah menyampaikan laporan-laporan yang bersifat parsial ke aparat kepolisian setempat.

Konfirmasi ilmiah atas kebenaran hipotesa pembunuhan diperoleh dari Laboratorium Forensik Mabes Polri di Denpasar, Bali. Di laboratorium tersebut darah yang terdapat pada sejumlah barang bukti diuji dalam dua tahap. Dalam tahap pertama, diuji apakah darah pada barang-barang bukti seperti batu, kayu, dan kaus serta kain itu adalah darah manusia. Perlu dicatat bahwa barang-barang bukti seperti kayu, kaos putih kumal, dan kain itu berada di tempat-tempat yang berbeda, yang berjarak 70 meter dari lokasi penemuan jenazah korban. Jika darah pada barang-barang bukti itu adalah darah manusia, maka dalam tahap kedua diuji apakah darah pada barang-barang bukti itu adalah darah korban. Proses uji dalam tahap kedua mudah dilakukan, berkat adanya darah korban, yang diambil dari genangan darah yang keluar dari tengkorak belakangnya yang remuk, di lokasi penemuan jenazahnya. Sejak hari Selasa 31 Juli 2007, darah itu disimpan dengan baik di rumah Keluagra Ata Maran di Eputobi-Lewoingu, Flores Timur.

Hasil uji pertama dan kedua adalah positif. Itu berarti kematian Akim Maran disebabkan oleh pembunuhan, bukan oleh kecelakaan lalu lintas. Maka penyilidikan atas perkara kematian Akim Maran harus dilakukan untuk mengungkap siapa-siapa saja yang melakukan pembunuhan itu. Perkara kejahatan itu tak boleh ditutup-tutupi oleh siapa pun.

Kebenaran hipotesa pembunuhan kemudian dikonfirmasi pula secara jelas oleh kesaksian seorang saksi mata, ketika dia diperiksa di Polres Timur oleh Tim Penyidik dari Polda NTT. Kesaksian dari saksi-saksi lain pun mendukung kebenaran hipotesa pembunuhan. Berdasarkan cara kerja ilmiah dan kesaksian dari si saksi mata dan saksi-saksi lainnya, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya dibekuk di Eputobi, Flores Timur pada hari Jumat 18 April 2008.

Sekarang ini sedang diusahakan satu lagi tahap pembuktian ilmiah. Jika proses pembuktian ilmiah yang satu lagi itu berhasil ditempuh, maka semua anggota kompoltan penjahat Eputobi, yang terlibat dalam pembunuhan tersebut lebih mudah dibekuk. Dengan demikian,seluruh jaringan mereka pun akan lebih mudah dilumpuhkan.

Kiranya jelas bahwa dalam perkara kematian Akim Maran, hipotesa lakalantas tunggal, yang didengung-dengungkan oleh oknum-oknum polisi tertentu di Flores Timur dan oleh anggota-anggota komplotan penjahat Eputobi itu mengalami kegagalan total. Hipotesa santet pun tak dapat diandalkan. Yang teruji secara ilmiah adalah hipotesa pembunuhan. ***

Kamis, 08 Mei 2008

Maksud hati menyumpahi orang, apa daya kuasa adat tak punya


Setelah mendapat penolakan total dari para penerima undangan sumpah adat di kampung lama Lewoingu di Flores Timur, barulah mereka sadar bahwa rancangan yang mereka buat itu salah besar. Mereka lantas berusaha menarik kembali surat undangan yang sudah mereka sebarkan, tetapi sudah terlambat. Mereka yang dimaksud adalah Geroda Tukan, Damasus Likuwatang Kumanireng, dan Eman Weruin. Pada tanggal 3 Mei 2008, mereka menandatangani surat undangan, yang kemudian dikirim kepada sejumlah warga Eputobi untuk disumpah secara adat. Dalam undangan disebutkan, bahwa sumpah adat dilakukan pada Selasa, 6 Mei 2008, di kampung lama Lewoingu, di Flores Timur.

Surat undangan itu ditembuskan kepada Kapospol Titehena di Lewolaga, dan kepada Camat Titehena di Lato. Tidak ada tembusannya kepada Kapolres Flores Timur. Tetapi pada hari Senin, 5 Mei 2008, Geroda Tukan dan Damasus Likuwatang Kumanireng menyampaikan rencana sumpah adat itu kepada salah seorang pejabat di Polres Flores Timur di Larantuka. Ceriterannya, mereka mau membantu polisi untuk mengungkapkan sebab kematian Akim Maran. Untuk itu, mereka meminta agar Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Lorens Kumanireng diizinkan keluar dari tahanan. Kata mereka, keempat orang ini perlu disumpah di kampung lama Lewoingu. Jika benar mereka telah membunuh Akim Maran, maka mereka akan mati. Jika setelah disumpah, mereka tidak mati, maka kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Permintaan tersebut jelas ditolak, karena tidak sesuai dengan peraturan hukum. Kalau mau membantu aparat kepolisian, mereka mestinya mau menyampaikan secara jujur berbagai informasi penting tentang kematian Akim Maran. Mustahil mereka tidak mengetahui sedikit pun ikhwal kematian warga Eputobi, yang tidak bersalah itu. Padahal sehari-hari mereka seiring sejalan dengan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya itu. Ke mana Damasus Likuwatang Kumanireng pergi pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sebelum warga Eputobi memperoleh informasi, bahwa Akim Maran ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di Blou? Di mana pagi hari itu dia dan rekan-rekannya berada? Geroda Tukan sendiri perlu ingat akan apa saja yang pernah dia ucapkan setelah kematian Akim Maran. Lantas coba tanyakan pula kepada Eman Weruin, mengapa dia berkasak-kusuk mencari visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran? Apakah dia adalah orang yang berhak mengetahui visum dokter tersebut?

Menandatangani surat undangan untuk menyumpahi orang merupakan suatu tindakan sembrono, jika dilihat dari hukum adat Lewoingu. Seperti hukum adat lain, hukum adat Lewoingu pun mengenal sumpah adat. Yang dimaksud sumpah di sini adalah pernyataan yang diucapkan seseorang sebagai kesaksian di hadapan sesuatu yang dianggap sakral, yang disertai tekad untuk berani menderita atau mengalami kematian jika pernyataannya itu tidak benar. Dasar sumpah adat adalah kebenaran. Di Lewoingu, sumpah adat diterapkan dalam kasus kejahatan, dalam sengketa tanah, dan dalam sengketa lainnya. Orang yang diduga kuat melakukan kejahatan, tetapi tidak mau mengakuinya perlu dikenakan sumpah. Sengketa tanah yang sukar diselesaikan dapat diatasi dengan sumpah adat. Hasil dari sumpah adat menunjukkan kepada seluruh masyarakat adat yang bersangkutan siapa atau pihak mana yang benar dan siapa atau pihak mana yang salah.

Sebagai salah satu mekanisme hukum adat Lewoingu, sumpah adat hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan para pemimpin adat. Merekalah yang memiliki otoritas dan wewenang untuk menegakkan hukum adat dalam masyarakatnya. Seperti halnya dalam kehidupan bernegara, pemerintah yang sah, yang memiliki otoritas dan wewenang resmi untuk menegakkan hukum di negara yang bersangkutan. Dalam tubuh pemerintah terdapat aparatur penegak hukum. Misalnya, yang berwenang menangkap seorang penjahat adalah polisi. Seorang warga negara biasa bisa saja menangkap seorang pencuri, tetapi dia tidak berwenang untuk menghakimi si pencuri. Setelah ditangkap, pencuri itu harus diserahkan kepada polisi untuk diproses sesuai dengan prosedur hukum yang resmi berlaku.

Kiranya jelas bahwa acara sumpah adat tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya pihak yang memiliki otoritas adat yang berwenang menyelenggarakannya. Masyarakat adat yang bersangkutan menjadi saksi pelaksanaannya. Di hadapan para pemimpin dan masyarakat adat setempat seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan disumpah.

Dalam tatanan adat Lewoingu di Flores Timur, Geroda Tukan, Damasus Likuwatang Kumanireng, dan Eman Weruin tidak dikenal sebagai pemegang otoritas yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan sumpah adat. Dalam kasus itu, mereka keliru dalam mengidentifikasi diri mereka. Karena silau oleh kekuasaan politik dan ambisi untuk menjadi penguasa, mereka lupa akan status dan peran sosial mereka dalam masyarakat adat asli Lewoingu. Meskipun tidak memiliki otoritas dan wewenang adat, mereka mau menyumpahi orang-orang yang mereka anggap lawan politik mereka. Penolakan masyarakat adat asli Lewoingu atas undangan itu merupakan salah satu bentuk koreksi atas kekeliruan tersebut.

Meskipun di Polres Flores Timur, mereka bilang mau membantu polisi, sumpah adat rancangan mereka itu pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk itu. Kalau mau membantu polisi, mengapa tidak dari kemarin-kemarin? Jadi, mereka tidak bermaksud menyumpahi Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya yang sedang ditahan di Polres Flores Timur. Sumpah adat tidak perlu diterapkan kepada mereka itu, karena perbuatan jahat yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 sudah jelas dari kesaksian seorang saksi kunci. Kiranya jelas bahwa di balik rancangan sumpah adat itu tersembunyi suatu maksud buruk. Dengan rancangan itu mereka memancing di air keruh. Kekeruhan baru bisa timbul jika pihak yang dipancing-pancing terjebak oleh pancingan mereka. Untung bahwa para warga masyarakat bradab di Eputobi menggunakan akal sehat dalam menghadapi provokasi semacam itu. Melalui kerja sama yang baik dengan aparat kepolisian setempat, mereka berhasil mengagalkan pelaksanaan sumpah adat tersebut secara elegan. Pada akhirnya yang berlaku adalah kata-kata ini: maksud hati menyumpahi orang, apa daya kuasa adat tak punya.

Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak kandung Lamber Liko Kumanireng sudah ditahan. Tetapi anda perlu perhatikan bahwa yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 adalah suatu bentuk kejahatan berjamaah. Maka jelas bahwa sebagian dari anggota komplotan penjahat itu masih bebas berkeliaran. Selama mereka masih bebas berkeliaran, mereka masih memiliki ruang gerak untuk melakukan tindakan-tindakan provokatif lebih lanjut di hari-hari mendatang.

Masyarakat adat beradab di seluruh pelosok Lewoingu perlu meningkatkan kewaspadaannya agar kesembronoan semacam itu tidak terulang di hari-hari mendatang. Perlu sungguh-sungguh dicamkan bahwa kerusakan adat Lewoingu berakibat pada kerusakan jati diri kelewoinguan kita. Tanpa jati diri hidup anda menjadi absurd, hampa, tiada arti. ***

Minggu, 04 Mei 2008

Aparatur jahat di desa Lewoingu dan apa yang diharapkan dari Bupati Flores Timur


Di Polres Flores Timur, pada hari Kamis, 17 April 2008, seorang saksi mata telah memberi kesaksian bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan yang menghadang dan mengeroyok Akim Maran. Kesaksian ini membenarkan dugaan banyak orang di Eputobi selama ini, yakni bahwa kepala desa (kades) Lewoingu itu adalah salah satu pelaku utama kejahatan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Bahkan dia pun diduga sebagai otak kejahatan itu.

Kini kades yang sangat jahat itu mendekam di sel Polres Flores Timur, NTT. Ditahannya orang itu membuat masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya merasa lebih lega ketimbang pada hari-hari sebelumnya. Meskipun masih ada keresahan yang mengusik rasa tenang di hati, kini mereka merasa lebih tenang, karena mata mereka sendiri telah melihat datangnya cahaya kebenaran di bumi Lewoingu. Mereka berharap penjahat-penjahat itu dihukum seberat mungkin. Kalau perlu mereka tak perlu kembali lagi ke tengah kehidupan sehari-hari di Eputobi, karena kejahatan yang mereka lakukan itu sungguh-sungguh di luar nalar masyarakat beradab. Rasanya wajar, bila para warga masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya memiliki harapan semacam itu. Selama ini mereka terus-menerus didera dengan dusta dan tipu muslihat, juga dengan segala macam arogansi oleh orang-orang yang seharusnya mengayomi mereka.

Dari segi apa pun, perbuatan jahat yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya itu merupakan kejahatan besar. Setelah mengetahui kejadian pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu, banyak orang di Flores Timur, di NTT, dan di Jakarta merasa terkejut. Mereka terkejut, bahwa ada kepala desa di Flores Timur yang membunuh seorang warga desanya, dengan cara yang amat sangat kejam. Yang jadi pertanyaan ialah "Apakah Simon Hayon, selaku Bupati Flores Timur pun ikut terkejut setelah mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen?"

Mestinya Pak Bupati Flores Timur itu tidak perlu terkejut. Soalnya, sebelum hari Rabu, 16 Januari 2008, perwakilan masyarakat beradab di Eputobi sudah menyampaikan penolakan mereka atas rencana pelantikan Mikhael Torangama Kelen menjadi kades Lewoingu untuk periode kedua (2007-2013). Keberatan mereka didasari alasan yang sangat kuat. Pertama, pilkades yang memenangkan Mikhael Torangama Kelen itu dilaksanakan tanpa mengacu pada peraturan hukum yang berlaku. Kedua, terdapat indikasi-indikasi yang sangat jelas tentang penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Selain itu, indikasi keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam kasus kejahatan yang menewaskan Akim Maran pun sudah pernah disampaikan kepadanya.

Respons Simon Hayon atas aspirasi masyarakat beradab dari Eputobi itu ialah penundaan pelantikan Mikhael Torangama Kelen selama delapan bulan. Karena melihat konsistensinya dalam menegakkan peraturan, para warga masyarakat beradab di Eputobi sempat berharap agar Simon Hayon berani membatalkan hasil pilkades 27 Maret 2007 di Lewoingu. Apalagi dari audit Banwasda Flores Timur atas Mikhael Torangama Kelen ditemukan bukti-bukti bahwa kades Lewoingu periode 2000-2007 itu menyalahgunakan keuangan desa yang dipimpinnya. Selain itu, indikasi keterlibatan Mikhael Torangama Kelen dalam kejahatan tersebut makin jelas dari hari ke hari. Tetapi harapan masyarakat beradab di Eputobi itu akhirnya kandas begitu saja.

Pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Simon Hayon bersama staf-stafnya muncul di Eputobi. Pada hari itu Pak Bupati datang untuk melantik Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu untuk periode 2007-2013. Meskipun diembel-embeli dengan kata-kata, bahwa pelantikan itu adalah pelantikan bersyarat, tetapi bagi Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan, restu Bupati Flores Timur itu merupakan segala-galanya. Oleh para pendukungnya, restu itu pun dibaca sebagai tanda bahwa Mikhael Torangama Kelen tidak terlibat dalam kasus kejahatan yang menewaskan Akim Maran di Blou. Tak lama setelah hari pelantikan bersyarat itu, arogansi dari kubu yang merasa diri menang tampak jelas di Eputobi. Padahal sempat terbetik berita bahwa pelantikan Mikhael Torangama Kelen dimaksudkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di Eputobi. Pak Bupati Flores Timur tentu tidak tahu bahwa yang merusak kamtibmas di Eputobi, yang memecahbelah persatuan masyarakat Eputobi adalah orang yang pada 16 Januari 2008 direstuinya menjadi kades Lewoingu.

Almarhum Akim Maran pernah berkata, "Kamu cari penjahat jauh-jauh, padahal penjahatnya berada dekat sini." Ya, mulanya kita mencari penjahat-penjahat yang membunuh Akim Maran itu sampai ke mana-mana, tau-taunya penjahat-penjahat itu berada dalam tubuh pemerintahan desa Lewoingu. Dia yang berseragamkan kepala desa , dan para kaki-tangannya itu ternyata penjahat-penjahat yang dicari-cari banyak orang Eputobi dan sekitarnya selama ini. Di antara mereka ada yang menjadi otak dan pelaku utama. Ada pula yang mengetahui persis, bahwa sesama rekan mereka adalah pelaku kejahatan tersebut, tetapi berusaha gigih menutup-nutupi perbuatan jahat rekan-rekan mereka itu. Dengan kata lain, mereka lebih suka membela kejahatan ketimbang membela kebenaran.

Nah setelah keadaan di Eputobi menjadi kacau begini, apa yang diharapkan dari Bupati Flores Timur? Sudah sewajarnya jika seorang Bupati tidak perlu mendengar masukan-masukan dari pembisik-pembisiknya yang tidak mau membela kebenaran. Sudah selayaknya Bupati Flores Timur mau mendengar dan menindaklanjuti aspirasi yang sungguh-sungguh baik dari para warga masyarakat beradab di Eputobi-Lewoingu.

Tindakan tegas Bupati Flores Timur untuk mencabut Surat Keputusan Pelantikan Mikhael Torangama Kelen menjadi kades Lewoingu untuk periodenya yang kedua sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Eputobi dan sekitarnya. Keberanian Bupati Flores Timur untuk "menyapu bersih" semua sampah dalam tubuh pemerintahan desa Lewoingu sekarang ini sedang dinanti-nantikan oleh para warga masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya.

Sampah-sampah perlu disapu agar rumah dan halaman rumah kita jadi bersih dan sehat. Piring-piring yang kotor perlu segera dicuci agar tidak menjadi sumber penyakit bagi orang-orang yang menggunakannya. Bangkai-bangkai yang busuk harus segera dikuburkan agar bau busuknya tidak merusak hidung dan paru-paru kita.

Jika tidak ada tekad dan kemauan yang kuat dari Bupati Flores Timur untuk merespons secara nyata aspirasi masyarakat Eputobi untuk menegakkan suatu sistem pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan manusiawi, Eputobi akan menjadi kampung para penjahat, paling kurang untuk sekian tahun ke depan. ***

Sabtu, 03 Mei 2008

Menanti kejujuran sang tokoh


Pengakuan seorang saksi mata tentang apa yang dilihatnya pada Senin malam, 30 Juli 2007, di Tobi Bele'eng, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, membuat dirinya merasa lega. Kini kepalanya kembali tegak. Matanya pun tak lagi takut untuk memandang wajah sesamanya. Hatinya terasa lebih plong. Ayunan langkahnya tak lagi berat, setelah beban masalah kejahatan dilepaskannya, meski baru sebagian. Apalagi kalau seluruh beban itu ditanggalkan dari hati dan pikirannya. Dia tentu dapat menemukan cahaya baru.

Secara polos dia berceritera, bahwa selama ini dia merasa sangat terbebani oleh kasus kejahatan itu. Dia merasa tidak tenang. Resah dan gelisah senantiasa menghantuinya. Tapi sekarang ini dia merasa lebih enak. Baginya, barang busuk itu tak perlu disimpan terus-menerus dalam hatinya. "Untuk apa barang busuk itu disimpan terus-menerus?" Begitu tanyanya.

Waktu di Polres Flores Timur, dia sempat tertekan oleh sebuah SMS yang masuk ke ponselnya. SMS dari seseorang yang punya jabatan di Larantuka itu membuat dia takut kehilangan statusnya sebagai seorang pegawai negeri sipil. Dia takut, karena pengirim SMS mengancam memecatnya. Gara-gara SMS itu, si saksi mata nyaris membatalkan isi pengakuannya. Tetapi dia kemudian sadar, bahwa dirinya harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kejahatan. Dan kebenaran yang dia ungkapkan itu menjadi kekuatan dia dalam menjalani hari-hari sebagai seorang tahanan. Dia pun mengharapkan bantuan doa agar proses penyidikan berjalan lancar, hingga semua aspek kejahatan tersebut menjadi jelas.

Kejelasan segala aspek kejahatan yang sangat mengerikan itu sangat berarti, bukan hanya bagi Keluarga Besar Suku Ata Maran, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat beradab di seluruh pelosok Lewoingu dan sekitarnya. Dari situ, barulah kita dapat mengambil langkah-langkah konkret ke arah penataan ulang kehidupan sosial budaya masyarakat Eputobi. Yang perlu ditata ulang adalah tatanan adat Lewowerang dan tatanan politik desa Lewoingu. Kedua tatanan tersebut dirusak oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Pemulihannya membutuhkan energi sosial budaya yang tidak sedikit.

Demi kebaikan lewotana (kampung halaman) kejujuran Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang rekannya yang kini sedang ditahan di Polres Flores Timur sangat diharapkan. Mereka perlu berkata jujur tentang apa yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007, terhadap Akim Maran. Mereka juga perlu bicara secara apa adanya tentang orang-orang yang terlibat dalam kejahatan tersebut.

Jika selama ini mereka berkata dan bertindak atas nama lewotana, kini lewotana menuntut kejujuran dari mereka. Jika mereka tidak jujur, mereka akan mengalami kebinasaan dan kepunahan. Dengan berpedoman pada kebenaran, lewotana punya cara khas untuk menyelesaikan kejahatan yang ditimbulkan oleh anak-anaknya. Jika benar, engkau tidak membunuh orang yang tidak bersalah itu, engkau akan selamat. Tetapi, jika benar engkau membunuh dia, maka engkau akan binasa dan punah.

Selain berguna bagi diri mereka masing-masing, kejujuran akan mendorong sejumlah orang di Eputobi,yang selama ini berlaku arogan dalam urusan adat maupun dalam urusan politik untuk menjadi lebih rendah hati. Tanpa kerendahan hati, jangan anda bermimpi akan tercipta kembali suasana hidup penuh damai di Eputobi. Kerendahan hati pun sangat diharapkan dari sang tokoh. Tanpa kerendahan hati, dia akan tetap berperan sebagai provokator yang merusak tatanan adat dan tatanan politik desa Lewoingu.

Banyak orang tidak sadar akan suatu kenyataan, bahwa kerusakan adat dan politik di kampung Eputobi berawal dari munculnya "pandangan sesat." "Pandangan sesat" itu kemudian dimanfaatkan secara optimal oleh sang tokoh. Untuk apa? Ya, untuk membangun basis kekuatan. Ceriteranya, mereka mau tampil sebagai penguasa. Mereka juga mau menunjukkan, bahwa pihak merekalah yang lebih pantas memimpin desa Lewoingu ketimbang pihak-pihak lainnya. Dalam rangka itu, rapat-rapat konsolidasi sering digelar, baik di rumahnya maupun di kampung Eputobi. Ibarat pejabat negara orde baru, sang tokoh sering bersafari ke daerah. Bermodalkan lidah yang tak bertulang dan uang, dia dipandang sebagai tokoh idola.

Dan mungkin lantaran itu, maka pada suatu siang bolong sang tokoh bermimpi menjadi penguasa kampung Eputobi. Dalam mimpinya, dia berkata kepada dirinya sendiri "Aku adalah penguasa kampung Eputobi, tidak ada orang di kampung ini yang berani melawan aku." Setelah terjaga, dia menceriterakan isi mimpinya itu kepada seseorang yang belum dia kenal. Dan sejak saat itu juga, secara diam-diam dia berusaha tampil sebagai penguasa kampung Eputobi.

Nafsu menjadi penguasa kampung membuat dia tidak takut kepada siapa pun. Dia pun tidak takut akan Tuhan. Tetapi suatu hari dia merasa khawatir. Dia khawatir mimpinya itu tidak menjadi kenyataan. Dia berdoa meminta jawaban. Tetapi tak pernah ada jawaban yang dia peroleh. Seluruh dirinya diliputi kecemasan. Karena itu dia pun sibuk berhilir-mudik tanpa arah tujuan yang jelas. Dia coba menghibur dirinya sendiri, dengan berusaha tampil penuh percaya diri di sejumlah pertemuan. Tetapi mereka yang hadir dalam pertemuan-pertemuan itu tak mau lagi terkecoh oleh tampilannya yang munafik, terutama oleh lidahnya yang kian tak bertulang.

Suatu hari dia mengeluh tentang apa yang menurutnya "keanehan yang sedang menimpa anak-anak didiknya." Tapi tak ada yang perduli dengan keluh-kesahnya. Dia lalu diam, dan hanya diam saja. Padahal diam bukanlah kebiasaannya. Dalam diam dia coba merakit jurus pemungkas untuk mengalahkan lawannya. Tetapi kali ini dia sungguh-sungguh tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada satu dewa-dewi pun yang datang menolongnya. Tak ada lagi sentuhan magis yang dapat mengubah jalan ceritera tentang kebenaran. Sementara itu, di rumahnya mulai tumbuh duri-duri yang semakin kuat menikam perasaannya. Tapi kecongkakannya masih saja menggunung. Dia belum mau mengakui kebenaran peristiwa kejahatan itu. Dia belum sanggup untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Padahal dia tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada malam itu.

Sepak terjangnya sebagai pahlawan kesorean selama ini terlihat jelas. Suaranya pada malam itu masih terdengar jelas. Dia lupa, bahwaTuhan tak pernah tidur. DIA menyaksikan semua yang terjadi pada malam itu. Dan lewotana pun tak ingin menentang kehendakNYA. Maka lewotana pun kini menuntut kejujuran dari sang tokoh.

Jika di hadapan TUHAN dan lewotana pun engkau masih saja berani berdusta, maka kebinasaan dan kepunahan menjadi ujung dari jalan hidupnya. Masyarakat Eputobi dan sekitarnya menanti kejujuran darimu hai sang tokoh. ***

Kamis, 01 Mei 2008

Kebenaran yang tak mau mengelak


Segera setelah meninggalnya Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran), banyak orang di Eputobi-Lewoingu, di Flores Timur, NTT, berlomba mencari kebenaran. Perlombaan itu dipicu oleh bau kriminal yang menyembur dari balik kejadian di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Sengitnya bau kriminal membuat banyak orang di Eputobi dan sekitarnya tidak percaya akan informasi bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Informasi itu tak sesuai dengan situasi nyata di tempat kejadian perkara dan dengan keadaan jenazah orang yang tak bersalah itu. Maka banyak orang pun kontan berusaha keras mencari kebenaran sebab kematiannya.

Dalam upaya tersebut tak sedikit orang yang merasa letih. Bahkan ada saja orang yang kemudian dihinggapi rasa frustrasi. Soalnya, apa yang dicari itu seakan terus mengelakkan diri untuk ditemukan. Kemudian tidak sedikit pula orang yang terpaksa pasrah pada nasib. Soalnya, mereka sendiri menyaksikan adanya upaya keras oleh oknum-oknum aparat kepolisian untuk menutupi kasus kejahatan yang sangat mengerikan itu. Laporan-laporan yang disampaikan oleh pihak keluarga korban kepada aparat kepolisian setempat tidak digubris. Di pihak lain, terjalin hubungan akrab antara pelaku-pelaku kejahatan 30 Juli 2007 dengan oknum-oknum aparat kepolisian tertentu. Maka tak heran jika timbul tanda tanya besar dalam diri banyak orang: "Ada udang apa di balik keakraban mereka itu?"

Karena merasa bersekutu dekat dengan oknum-oknum aparat kepolisian tertentu, para penjahat Eputobi itu pun tampil penuh percaya diri dalam meneror, mengintimidasi, dan mengancam pihak-pihak yang berusaha membantu keluarga korban untuk membongkar kasus kejahatan tersebut. Ancaman-ancaman yang sangat nyata itu pernah dilaporkan kepada aparat kepolisian setempat. Tetapi laporan itu tidak ditanggapi. Di sisi lain, aparat kepolisian setempat dengan mudah merespons laporan-laporan tanpa dasar yang diajukan oleh penjahat-penjahat itu. Misalnya, berdasarkan suatu laporan palsu yang diajukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan Yoakim Kumanireng, pada bulan September 2007, beberapa orang Eputobi, termasuk salah seorang anggota keluarga korban, dipanggil oleh Kapospol Titehena di Lewolaga untuk dimintai keterangan.

Meskipun jalan yang ditempuh berkelok-kelok dan penuh tantangan, harapan akan meraih kebenaran terus berkobar dalam diri mereka yang tak mau terperdaya oleh jurus-jurus tipu muslihat yang ramai dipentaskan oleh para pelaku kejahatan 30 Juli 2007. Meski kerap berbenturan dengan tembok-tembok penghalang yang kokoh, mereka terus bergerak maju guna meraih kebenaran.

Memang, kebenaran bukanlah sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit. Kebenaran adalah sesuatu yang mesti diperjuangkan, seringkali dengan susah payah, bahkan menuntut pengorbanan. Meskipun demikian, kebenaran bukan sesuatu yang mustahil untuk dapat diperoleh. Paradoks kebenaran ialah bahwa ia dekat dengan kita tetapi ia juga jauh dari kita. Ia ada tetapi ia pun seakan terus mengelak dari upaya pencarian kita. Ia nyata ada tetapi tidak terlihat oleh kita. Tetapi yang jelas, kebenaran itu ada dan dapat ditemukan. Ia senantiasa ada dan tak pernah lenyap. Kita dapat menemukannya asal kita tahu jalannya.

Kematian Akim Maran di Blou adalah suatu fakta. Dan tentu saja ada kejadian tertentu yang menyebabkan kematiannya di situ. Kejadian apa yang menyebabkan kematiannya? Itu yang ingin diketahui oleh banyak orang di Eputobi dan sekitarnya. Dan kini kita telah memperoleh kesaksian bahwa kematiannya disebabkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Fakta itu diungkapkan oleh saksi mata. Dia disebut saksi mata, karena dengan matanya sendiri dia melihat apa yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007, setelah Akim Maran dihadang di tikungan sebelum Tobi Bele'eng. Selain itu, masih ada saksi mata lainnya.

Adanya SMS dari kepala dinas pendidikan Flores Timur, yang isinya berupa ancaman pemecatan terhadap si saksi mata menunjukkan bahwa kesaksiannya itu benar adanya. Isi SMS itu juga mengandung ceritera, bahwa si kepala dinas tersebut pun mengetahui persis apa yang dilakukan oleh adik kandungnya pada Senin malam 30 Juli 2007. Karena itu tak perlu ada keraguan lagi pada kita untuk mengatakan bahwa yang menghadang, mengeroyok, dan menyiksa Akim Maran hingga meninggal dunia adalah Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Sebagian dari kawan-kawannya kini sudah ditahan di Polres Flores Timur. Sebagian lainnya masih bebas berkeliaran. Termasuk yang masih bebas berkeliaran adalah si aktor intelektual, dalang, dan penyandang dananya.

Jika hingga saat ini, Mikhael Torangama Kelen masih saja menyangkali keterlibatannya dalam peristiwa kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007, itu boleh-boleh saja. Tetapi segala macam jurus penyangkalannya tak akan mempan untuk mematahkan kebenaran yang mulai mengungkapkan diri. Kini kebenaran tak mau mengelakkan diri. Percayalah, dalam hari-hari mendatang Mikhael Torangama Kelen dkk akan mewartakan sendiri kepada petugas penyiidik dan masyarakat Eputobi-Lewoingu dan sekitarnya, bahkan kepada umat manusia di seluruh dunia, bahwa "Benar kami telah membunuh Akim Maran." Ingatlah bahwa siapa pun yang berdusta dalam perkara kejahatan yang sangat mengerikan itu akan mengalami kebinasaan serta kepunahan.

Pemulihan situasi damai di Eputobi harus dimulai dari keberanian para penjahat Eputobi, baik yang sudah ditahan maupun yang masih berada di luar tahanan untuk mengungkapkan secara jujur apa saja yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 mulai dari Tobi Bele'eng hingga Blou. Keberanian untuk jujur pun diharapkan dari si tokoh intelektual dan mereka yang terlibat dalam perencanaan kejahatan tersebut.

Akim Maran telah meninggalkan dunia ini. Tapi kini dia telah memperoleh tempat yang layak di rumah Bapa di sorga. Bersama dia, kami telah menyerahkan sepenuhnya segala perkara kejahatan itu kepadaMu Tuhan. Dan kami sungguh-sungguh percaya,

"Engkau membinasakan orang-orang yang berkata bohong. Tuhan jijik melihat penumpah darah dan penipu." (Mazmur 5 ayat 7)