Kamis, 08 Mei 2008

Maksud hati menyumpahi orang, apa daya kuasa adat tak punya


Setelah mendapat penolakan total dari para penerima undangan sumpah adat di kampung lama Lewoingu di Flores Timur, barulah mereka sadar bahwa rancangan yang mereka buat itu salah besar. Mereka lantas berusaha menarik kembali surat undangan yang sudah mereka sebarkan, tetapi sudah terlambat. Mereka yang dimaksud adalah Geroda Tukan, Damasus Likuwatang Kumanireng, dan Eman Weruin. Pada tanggal 3 Mei 2008, mereka menandatangani surat undangan, yang kemudian dikirim kepada sejumlah warga Eputobi untuk disumpah secara adat. Dalam undangan disebutkan, bahwa sumpah adat dilakukan pada Selasa, 6 Mei 2008, di kampung lama Lewoingu, di Flores Timur.

Surat undangan itu ditembuskan kepada Kapospol Titehena di Lewolaga, dan kepada Camat Titehena di Lato. Tidak ada tembusannya kepada Kapolres Flores Timur. Tetapi pada hari Senin, 5 Mei 2008, Geroda Tukan dan Damasus Likuwatang Kumanireng menyampaikan rencana sumpah adat itu kepada salah seorang pejabat di Polres Flores Timur di Larantuka. Ceriterannya, mereka mau membantu polisi untuk mengungkapkan sebab kematian Akim Maran. Untuk itu, mereka meminta agar Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Lorens Kumanireng diizinkan keluar dari tahanan. Kata mereka, keempat orang ini perlu disumpah di kampung lama Lewoingu. Jika benar mereka telah membunuh Akim Maran, maka mereka akan mati. Jika setelah disumpah, mereka tidak mati, maka kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Permintaan tersebut jelas ditolak, karena tidak sesuai dengan peraturan hukum. Kalau mau membantu aparat kepolisian, mereka mestinya mau menyampaikan secara jujur berbagai informasi penting tentang kematian Akim Maran. Mustahil mereka tidak mengetahui sedikit pun ikhwal kematian warga Eputobi, yang tidak bersalah itu. Padahal sehari-hari mereka seiring sejalan dengan Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya itu. Ke mana Damasus Likuwatang Kumanireng pergi pada Selasa pagi, 31 Juli 2007, sebelum warga Eputobi memperoleh informasi, bahwa Akim Maran ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di Blou? Di mana pagi hari itu dia dan rekan-rekannya berada? Geroda Tukan sendiri perlu ingat akan apa saja yang pernah dia ucapkan setelah kematian Akim Maran. Lantas coba tanyakan pula kepada Eman Weruin, mengapa dia berkasak-kusuk mencari visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran? Apakah dia adalah orang yang berhak mengetahui visum dokter tersebut?

Menandatangani surat undangan untuk menyumpahi orang merupakan suatu tindakan sembrono, jika dilihat dari hukum adat Lewoingu. Seperti hukum adat lain, hukum adat Lewoingu pun mengenal sumpah adat. Yang dimaksud sumpah di sini adalah pernyataan yang diucapkan seseorang sebagai kesaksian di hadapan sesuatu yang dianggap sakral, yang disertai tekad untuk berani menderita atau mengalami kematian jika pernyataannya itu tidak benar. Dasar sumpah adat adalah kebenaran. Di Lewoingu, sumpah adat diterapkan dalam kasus kejahatan, dalam sengketa tanah, dan dalam sengketa lainnya. Orang yang diduga kuat melakukan kejahatan, tetapi tidak mau mengakuinya perlu dikenakan sumpah. Sengketa tanah yang sukar diselesaikan dapat diatasi dengan sumpah adat. Hasil dari sumpah adat menunjukkan kepada seluruh masyarakat adat yang bersangkutan siapa atau pihak mana yang benar dan siapa atau pihak mana yang salah.

Sebagai salah satu mekanisme hukum adat Lewoingu, sumpah adat hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan para pemimpin adat. Merekalah yang memiliki otoritas dan wewenang untuk menegakkan hukum adat dalam masyarakatnya. Seperti halnya dalam kehidupan bernegara, pemerintah yang sah, yang memiliki otoritas dan wewenang resmi untuk menegakkan hukum di negara yang bersangkutan. Dalam tubuh pemerintah terdapat aparatur penegak hukum. Misalnya, yang berwenang menangkap seorang penjahat adalah polisi. Seorang warga negara biasa bisa saja menangkap seorang pencuri, tetapi dia tidak berwenang untuk menghakimi si pencuri. Setelah ditangkap, pencuri itu harus diserahkan kepada polisi untuk diproses sesuai dengan prosedur hukum yang resmi berlaku.

Kiranya jelas bahwa acara sumpah adat tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya pihak yang memiliki otoritas adat yang berwenang menyelenggarakannya. Masyarakat adat yang bersangkutan menjadi saksi pelaksanaannya. Di hadapan para pemimpin dan masyarakat adat setempat seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan disumpah.

Dalam tatanan adat Lewoingu di Flores Timur, Geroda Tukan, Damasus Likuwatang Kumanireng, dan Eman Weruin tidak dikenal sebagai pemegang otoritas yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan sumpah adat. Dalam kasus itu, mereka keliru dalam mengidentifikasi diri mereka. Karena silau oleh kekuasaan politik dan ambisi untuk menjadi penguasa, mereka lupa akan status dan peran sosial mereka dalam masyarakat adat asli Lewoingu. Meskipun tidak memiliki otoritas dan wewenang adat, mereka mau menyumpahi orang-orang yang mereka anggap lawan politik mereka. Penolakan masyarakat adat asli Lewoingu atas undangan itu merupakan salah satu bentuk koreksi atas kekeliruan tersebut.

Meskipun di Polres Flores Timur, mereka bilang mau membantu polisi, sumpah adat rancangan mereka itu pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk itu. Kalau mau membantu polisi, mengapa tidak dari kemarin-kemarin? Jadi, mereka tidak bermaksud menyumpahi Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya yang sedang ditahan di Polres Flores Timur. Sumpah adat tidak perlu diterapkan kepada mereka itu, karena perbuatan jahat yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 sudah jelas dari kesaksian seorang saksi kunci. Kiranya jelas bahwa di balik rancangan sumpah adat itu tersembunyi suatu maksud buruk. Dengan rancangan itu mereka memancing di air keruh. Kekeruhan baru bisa timbul jika pihak yang dipancing-pancing terjebak oleh pancingan mereka. Untung bahwa para warga masyarakat bradab di Eputobi menggunakan akal sehat dalam menghadapi provokasi semacam itu. Melalui kerja sama yang baik dengan aparat kepolisian setempat, mereka berhasil mengagalkan pelaksanaan sumpah adat tersebut secara elegan. Pada akhirnya yang berlaku adalah kata-kata ini: maksud hati menyumpahi orang, apa daya kuasa adat tak punya.

Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang anak kandung Lamber Liko Kumanireng sudah ditahan. Tetapi anda perlu perhatikan bahwa yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 adalah suatu bentuk kejahatan berjamaah. Maka jelas bahwa sebagian dari anggota komplotan penjahat itu masih bebas berkeliaran. Selama mereka masih bebas berkeliaran, mereka masih memiliki ruang gerak untuk melakukan tindakan-tindakan provokatif lebih lanjut di hari-hari mendatang.

Masyarakat adat beradab di seluruh pelosok Lewoingu perlu meningkatkan kewaspadaannya agar kesembronoan semacam itu tidak terulang di hari-hari mendatang. Perlu sungguh-sungguh dicamkan bahwa kerusakan adat Lewoingu berakibat pada kerusakan jati diri kelewoinguan kita. Tanpa jati diri hidup anda menjadi absurd, hampa, tiada arti. ***