Kamis, 01 Mei 2008

Kebenaran yang tak mau mengelak


Segera setelah meninggalnya Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran), banyak orang di Eputobi-Lewoingu, di Flores Timur, NTT, berlomba mencari kebenaran. Perlombaan itu dipicu oleh bau kriminal yang menyembur dari balik kejadian di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Sengitnya bau kriminal membuat banyak orang di Eputobi dan sekitarnya tidak percaya akan informasi bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Informasi itu tak sesuai dengan situasi nyata di tempat kejadian perkara dan dengan keadaan jenazah orang yang tak bersalah itu. Maka banyak orang pun kontan berusaha keras mencari kebenaran sebab kematiannya.

Dalam upaya tersebut tak sedikit orang yang merasa letih. Bahkan ada saja orang yang kemudian dihinggapi rasa frustrasi. Soalnya, apa yang dicari itu seakan terus mengelakkan diri untuk ditemukan. Kemudian tidak sedikit pula orang yang terpaksa pasrah pada nasib. Soalnya, mereka sendiri menyaksikan adanya upaya keras oleh oknum-oknum aparat kepolisian untuk menutupi kasus kejahatan yang sangat mengerikan itu. Laporan-laporan yang disampaikan oleh pihak keluarga korban kepada aparat kepolisian setempat tidak digubris. Di pihak lain, terjalin hubungan akrab antara pelaku-pelaku kejahatan 30 Juli 2007 dengan oknum-oknum aparat kepolisian tertentu. Maka tak heran jika timbul tanda tanya besar dalam diri banyak orang: "Ada udang apa di balik keakraban mereka itu?"

Karena merasa bersekutu dekat dengan oknum-oknum aparat kepolisian tertentu, para penjahat Eputobi itu pun tampil penuh percaya diri dalam meneror, mengintimidasi, dan mengancam pihak-pihak yang berusaha membantu keluarga korban untuk membongkar kasus kejahatan tersebut. Ancaman-ancaman yang sangat nyata itu pernah dilaporkan kepada aparat kepolisian setempat. Tetapi laporan itu tidak ditanggapi. Di sisi lain, aparat kepolisian setempat dengan mudah merespons laporan-laporan tanpa dasar yang diajukan oleh penjahat-penjahat itu. Misalnya, berdasarkan suatu laporan palsu yang diajukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan Yoakim Kumanireng, pada bulan September 2007, beberapa orang Eputobi, termasuk salah seorang anggota keluarga korban, dipanggil oleh Kapospol Titehena di Lewolaga untuk dimintai keterangan.

Meskipun jalan yang ditempuh berkelok-kelok dan penuh tantangan, harapan akan meraih kebenaran terus berkobar dalam diri mereka yang tak mau terperdaya oleh jurus-jurus tipu muslihat yang ramai dipentaskan oleh para pelaku kejahatan 30 Juli 2007. Meski kerap berbenturan dengan tembok-tembok penghalang yang kokoh, mereka terus bergerak maju guna meraih kebenaran.

Memang, kebenaran bukanlah sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit. Kebenaran adalah sesuatu yang mesti diperjuangkan, seringkali dengan susah payah, bahkan menuntut pengorbanan. Meskipun demikian, kebenaran bukan sesuatu yang mustahil untuk dapat diperoleh. Paradoks kebenaran ialah bahwa ia dekat dengan kita tetapi ia juga jauh dari kita. Ia ada tetapi ia pun seakan terus mengelak dari upaya pencarian kita. Ia nyata ada tetapi tidak terlihat oleh kita. Tetapi yang jelas, kebenaran itu ada dan dapat ditemukan. Ia senantiasa ada dan tak pernah lenyap. Kita dapat menemukannya asal kita tahu jalannya.

Kematian Akim Maran di Blou adalah suatu fakta. Dan tentu saja ada kejadian tertentu yang menyebabkan kematiannya di situ. Kejadian apa yang menyebabkan kematiannya? Itu yang ingin diketahui oleh banyak orang di Eputobi dan sekitarnya. Dan kini kita telah memperoleh kesaksian bahwa kematiannya disebabkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Fakta itu diungkapkan oleh saksi mata. Dia disebut saksi mata, karena dengan matanya sendiri dia melihat apa yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007, setelah Akim Maran dihadang di tikungan sebelum Tobi Bele'eng. Selain itu, masih ada saksi mata lainnya.

Adanya SMS dari kepala dinas pendidikan Flores Timur, yang isinya berupa ancaman pemecatan terhadap si saksi mata menunjukkan bahwa kesaksiannya itu benar adanya. Isi SMS itu juga mengandung ceritera, bahwa si kepala dinas tersebut pun mengetahui persis apa yang dilakukan oleh adik kandungnya pada Senin malam 30 Juli 2007. Karena itu tak perlu ada keraguan lagi pada kita untuk mengatakan bahwa yang menghadang, mengeroyok, dan menyiksa Akim Maran hingga meninggal dunia adalah Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Sebagian dari kawan-kawannya kini sudah ditahan di Polres Flores Timur. Sebagian lainnya masih bebas berkeliaran. Termasuk yang masih bebas berkeliaran adalah si aktor intelektual, dalang, dan penyandang dananya.

Jika hingga saat ini, Mikhael Torangama Kelen masih saja menyangkali keterlibatannya dalam peristiwa kejahatan Senin malam, 30 Juli 2007, itu boleh-boleh saja. Tetapi segala macam jurus penyangkalannya tak akan mempan untuk mematahkan kebenaran yang mulai mengungkapkan diri. Kini kebenaran tak mau mengelakkan diri. Percayalah, dalam hari-hari mendatang Mikhael Torangama Kelen dkk akan mewartakan sendiri kepada petugas penyiidik dan masyarakat Eputobi-Lewoingu dan sekitarnya, bahkan kepada umat manusia di seluruh dunia, bahwa "Benar kami telah membunuh Akim Maran." Ingatlah bahwa siapa pun yang berdusta dalam perkara kejahatan yang sangat mengerikan itu akan mengalami kebinasaan serta kepunahan.

Pemulihan situasi damai di Eputobi harus dimulai dari keberanian para penjahat Eputobi, baik yang sudah ditahan maupun yang masih berada di luar tahanan untuk mengungkapkan secara jujur apa saja yang telah mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 mulai dari Tobi Bele'eng hingga Blou. Keberanian untuk jujur pun diharapkan dari si tokoh intelektual dan mereka yang terlibat dalam perencanaan kejahatan tersebut.

Akim Maran telah meninggalkan dunia ini. Tapi kini dia telah memperoleh tempat yang layak di rumah Bapa di sorga. Bersama dia, kami telah menyerahkan sepenuhnya segala perkara kejahatan itu kepadaMu Tuhan. Dan kami sungguh-sungguh percaya,

"Engkau membinasakan orang-orang yang berkata bohong. Tuhan jijik melihat penumpah darah dan penipu." (Mazmur 5 ayat 7)