Sabtu, 14 Januari 2012

Kapolres baru, PR lama

 

Dua bulan setelah Kapolda NTT diganti, Kapolres Flores Timur pun diganti. kursi Kapolres Flores Timur yang sebelumnya diduduki oleh AKBP Eko Kristianto, kini diduduki oleh AKBP Wahyu P. Beberapa hari lalu Kasat Reskrim Polres Flores Timur pun diganti.

Hingga hari pemutasiannya, Eko Kristianto tak mampu mewujudkan keseriusannya dalam menangani perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Penanganan perkara pembunuhan tersebut dibiarkan tetap mengambang. Padahal ujung pangkal kejahatan tersebut telah terang benderang. “Pekerjaan Rumah” (PR) yang diharapkan dapat dikerjakannya hingga tuntas ternyata tak berhasil dikerjakannya. “PR” itu diwariskannya kepada penggantinya.

Yang jadi pertanyaan ialah: Apakah AKBP Wahyu P akan mampu mengerjakan “PR” itu hingga berhasil membawa perkara kejahatan tersebut ke pengadilan? Atau jangan-jangan dia pun akan membiarkan penanganan perkara kejahatan itu tetap mengambang? Jawabannya: Kita tunggu saja seperti apa sikapnya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu.

Seandainya dia mau berprestasi, maka kasus pembunuhan tersebut akan mudah dibongkar hingga tuntas, dan para pelakunya akan diajukan ke pengadilan. Untuk itu dia perlu mengupayakan terobosan-terobosan baru untuk mematahkan jurus dusta yang selama ini digunakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Penyidik-penyidik yang selama ini pasrah pada segala macam dusta yang dikemukakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya perlu diganti dengan anggota-anggota polisi yang punya tekad-kemauan yang kuat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Hingga baris ini diketik, keluarga korban dan masyarakat Lewoingu di luar komplotan penjahat Eputobi masih berharap agar siapa pun pelaku pembunuhan tersebut diajukan ke pengadilan dan dihukum setimpal dengan kejahatannya. Mudah-mudahan harapan tersebut terwujud di masa AKBP Wahyu P menduduki kursi Kapolres Flores Timur. Mudah-mudahan dia akan berhasil mengerjakan “PR” lama itu.

Selain itu, AKBP Wahyu P pun diharapkan dapat memproses Mikhael Torangama Kelen secara hukum atas kasus korupsi yang dilakukannya. ***

Senin, 02 Januari 2012

Orang-orang yang dimangsa sumpah sendiri

 

Setelah melakukan pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah milik Ata Maran di kampung Eputobi pada 2006, sejumlah anggota suku Kumanireng dan para sekutu mereka sibuk menggelar acara Kepasak atau Sumpah. Pagelaran acara tersebut pun digencarkan setelah meletus peristiwa pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran pada 2007. Dengan Kepasak, mereka berharap dapat menghabisi Ata Maran dan para sekutu dekatnya.

Setelah menghadiri salah satu acara Kepasak yang mereka gelar di Eputobi, seorang polisi dari Polres Flores Timur berkata, “Katanya banyak anggota keluarga Ata Maran meninggal.” Rupanya dari pihak pelaku Kepasak dia memperoleh informasi bahwa banyak anggota keluarga Ata Maran meninggal. Setelah isi informasi itu dibantah, polisi yang bersangkutan pun diam.

Sejak awal, banyak pemuka adat Lewoingu yang tahu makna Kepasak telah memprediksi ke arah mana meluncur dampak destruktif Kepasak yang dilakukan oleh Kumanireng dan sekutu-sekutunya itu. Maka mereka tidak merasa heran ketika terjadi kematian demi kematian di pihak pelaku Kepasak. Para pemuka adat Lewoingu tahu persis bahwa dasar Kepasak itu KEBENARAN. Tujuan Kepasak adalah mengungkap KEBENARAN yang coba disembunyikan oleh orang atau pihak tertentu. Jika engkau melakukan kesalahan atau kejahatan tetapi engkau berani menyumpahi orang lain untuk menutupi kesalahan atau kejahatanmu itu, maka engkau akan menuai akibat destruktifnya.

Setelah terjadi kematian demi kematian di pihak sendiri tanpa sebab-musabab yang jelas, pihak pelaku Kepasak akhirnya menggelar acara Seba’ Lirong  untuk mencari tahu sebab-musababnya. Dari Seba’ Lirong, mereka menemukan beberapa alasan dari masalah yang menimpa pihak mereka. Salah satu alasannya ialah karena Kepasak yang mereka gelar selama ini. Selain Kepasak, mereka juga menemukan kesalahan lain yang pernah mereka buat, yaitu melakukan Edeng (upacara penyembelihan binatang korban) di tanah milik Ata Maran. Dan masih ada beberapa alasan lain yang tak perlu saya tulis satu per satu di sini. Yang jelas, temuan-temuan lain itu pun mengacu pada kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan selama beberapa tahun terakhir.

Setelah mengetahui kesalahan-kesalahan sendiri, mereka menyediakan sejumlah hewan korban untuk diupacarakan dalam serangkaian acara yang dimaksud untuk mencegah berlanjutnya dampak destruktif bagi anggota-anggota mereka yang masih hidup. Apakah dengan itu mereka akan berhasil menangkal dampak destruktif lanjutan dari serangkaian Kepasak yang pernah mereka gelar dan dari pelanggaran-pelanggaran adat yang mereka lakukan selama ini? Jawaban atas pertanyaan ini sangat jelas, yaitu: Mereka gagal dan akan terus gagal untuk menghentikan dampak destruktif dari perbuatan-perbuatan mereka itu. Mengapa? Karena upaya mereka itu tidak memenuhi syarat-syarat pokok untuk mencapai standar keberhasilan menurut adat Lewoingu. ***