Rabu, 27 Februari 2008

Maju terus, bela kebenaran dan keadilan


Maju terus bela kejahatan? Jangan. Maju terus bela kebenaran dan keadilan. Membela orang yang melakukan kesalahan itu perlu, karena dia itu manusia. Tetapi perbuatannya yang salah jangan dibela, apalagi perbuataannya itu jahat. Dalam membela orang yang bersalah, anda perlu tahu kode etiknya. Anda membela dia dalam rangka membawa dia pada kebenaran. Jika dia terbukti bersalah, anda perlu membantu dia untuk mengakui kesalahannya, kemudian mendorong dia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang salah. Jika kesalahannya itu tergolong kejahatan, dia perlu dibantu untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Jika perlu, anda yang menyerahkannya dia ke polisi.

Jadi membela orang yang bersalah pun tak dapat dilakukan secara membabi buta. Kita perlu perhatikan bahwa pembelaan bagi orang yang bersalah pun harus dilakukan secara benar. Pembelaan yang benar itu ditempuh berdasarkan prinsip-prinsip moral dan sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada. Orang yang bersalah itu perlu dibela demi kebaikan dia dan demi kebaikan orang atau pihak lain yang terkena dampak negatif dari perbuatannya. Dalam semangat itu, dia perlu disemangati untuk berani mengakui kesalahan atau kejahatannya.

Jika prinsip pembelaan tersebut berlaku dalam kasus pembunuhan Akim Maran, maka kasus kejahatan yang mengerikan itu sudah lama ditangani oleh aparat penegak hukum di Flores Timur secara jelas dan tegas. Tetapi, mereka yang membunuh Akim Maran itu rupanya tidak memiliki pembela yang tahu arti pembelaan yang benar. Yang mereka miliki adalah pembela-pembela yang berusaha sekuat tenaga untuk menutup-nutupi perbuatan sangat jahat yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Pendek kata, yang mereka miliki adalah pembela-pembela yang nekad maju terus bela kesalahan dan kejahatan. Dikira, dengan kenekadan semacam itu mereka dapat meloloskan diri dari jerat hukum. Tampaknya mereka lupa bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, karena kejahatan itu tak bisa ditutup-tutupi.

Ketidaksadaran akan hal tersebut membuat mereka terus bersikap sembrono. Ada orang tua di kampung Eputobi, yang meskipun tahu perbuatan jahat anak-anaknya pada Senin malam, 30 Juli 2007, terus saja menyangkali kejahatan anak-anaknya. Pernah orang tua itu mengatakan kepada saya bahwa Akim Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Katanya, "Akim Maran naik motor dalam keadaan mabuk berat, maka jatuh lantas mati." Padahal sebuah sumber sangat terpercaya di Lato menyebutkan bahwa waktu meninggalkan Lato, Akim Maran tidak berada dalam keadaan mabuk. Sumber itu juga berceritera, bahwa tak lama setelah Akim Maran dan Marse Kumanireng pamit untuk pulang ke Eputobi, ada orang yang menyampaikan kepadanya bahwa Akim Maran jatuh dari sepeda motor. Mendengar itu, dia pun cepat-cepat ke tempat yang menurut si pembawa informasi sebagai tempat jatuhnya Akim Maran. Ternyata Akim Maran dan Marse Kumanireng tidak jatuh dari sepeda motor. Informasi yang disampaikan kepada dia, bahwa Akim Maran jatuh dari sepeda motor itu tidak benar.

Mengapa informasi palsu semacam itu disebarkan? Dan pihak manakah yang sengaja menyebarkan informasi-informasi palsu semacam itu?. Perlu anda ketahui, bahwa pada hari Senin siang, 30 Juli 2007, di kantor Camat Titehena di Lato digelar perkara tanah. Pihak Ata Maran dituduh menyerobot tanah Betu Kelasa di dekat Kanada. Tetapi ternyata tuduhan itu tidak benar, karena Ata Maran mengerjakan ladang di tanah miliknya, bukan di tanah milik Betu Kelasa. Karena itu, gelar perkara tanah pun dibatalkan oleh Camat Titehena. Meskipun demikian sudah terlanjur hadir orang-orang yang ingin menyaksikan jalannya perkara termaksud. Hadir pula di kantor Camat Titehena, siang itu, orang-orang Eputobi, yang terkenal beriri-hati dan membenci Akim Maran. Di antara mereka hadir pula orang-orang yang kemudian menghadang, mengeroyok, dan menyiksa Akim Maran hingga mati pada Senin malam, 30 juli 2007. Saksi mata menyebutkan bahwa dari siang hingga sore menjelang malam, mereka itu berada di Lato.

Kiranya jelas, bahwa keberadaan mereka di Lato bukan sekedar menyaksikan gelar perkara tanah tersebut di atas, tetapi juga untuk mewujudkan rencana jahat mereka, yaitu membunuh Akim Maran. Mereka tahu persis, bahwa pada hari itu, Akim Maran menghadiri acara Nebo di Lato. Maka sejak di Lato, Akim Maran dan Marse Kumanireng sudah dibayang-bayangi oleh beberapa penjahat.Sepanjang jalan dari Lato ke Bokang dua orang penjahat yang mengendarai sepeda motor tanpa lampu terus membayang-bayangi perjalanan Akim Maran dan isterinya. Kedua orang ini yang kemudian menyampaikan informasi tentang keberadaan Akim Maran di Bokang kepada rekan-rekan penjahat mereka yang sedang berada di Wairunu dan di sekitar Tobi Bele'eng. Maka diutuslah si penjemput. Untuk mengantar si penjemput, dua sepeda motor dikerahkan menuju Bokang.

Kedua sepeda motor itu sempat dipergoki keberadaannya, di pinggir kampung Bokang ke arah Wairunu, oleh orang-orang tertentu di Bokang. Setelah mengetahui ada orang Bokang yang memandang ke arah mereka, kedua pengendara sepeda motor itu langsung tancap gas ke arah Wairunu. Mereka meninggalkan si penjemput sendirian bersembunyi dalam gelap di balik dua batang pohon pisang. Dari balik pohon pisang itulah tragedi Senin malam, 30 Juli 2007 mulai digelar.

Sore hari Senin, tanggal 30 Juli 2007, ada saksi mata yang melihat si MK bergerak ke arah barat. Ini sesuai dengan skenario yang sudah mereka rancang. Selain mengskenariokan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menghadang dan menghabisi Akim Maran, mereka juga telah mengskenariokan alasan palsu kematian Akim Maran. Alasan palsu termaksud berbunyi, "Akim Maran mati karena kecelakaan lalu lintas. Dia mengalami kecelakaan lalu lintas, karena dia mengendarai sepeda motor dalam keadaan mabuk." Maka tak mengherankan kalau pihak penjahat itu pun terus ngotot dalam menyebarkanluaskan alasan palsu kematian Akim Maran.

Tapi siapa yang mau percaya dengan omongan mereka itu? Orang-orang Eputobi, Lewolaga, Riang Duli, dan Riang Kung yang tahu seluk-beluk persoalan-persoalan besar yang terjadi di Eputobi, sejak tahun 2006 hingga Juli 2007 tidak akan percaya akan alasan palsu yang digembar-gemborkan oleh para penjahat Eputobi itu. Setelah satu per satu fakta tentang pembunuhan Akim Maran terkuak, makin banyak orang yang yakin bahwa sebab kematian Akim Maran, seperti yang digembar-gemborkan oleh para penjahat itu palsu adanya. Setelah kasus kematian Akim Maran dimunculkan oleh media cetak lokal dan media elektronik global, makin bertambah jumlah orang yang tidak percaya akan anggapan bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas.

Menarik bahwa akhir-akhir ini kian terjalin suatu jaringan solidaritas kemanusiaan yang melihatkan juga berbagai pihak di luar komunitas Lewoingu. Dorongan semangat untuk "maju terus membela yang benar" terus bermunculan dari berbagai pihak di luar komunitas Lewoingu. Ada pula aparat kepolisian yang memberi semangat untuk maju terus, pantang mundur dalam mencari kebenaran dan keadilan. Dan cepat atau pun lambat akan terbangun pula suatu jaringan solidaritas kemanusiaan mondial, karena kasus kejahatan kemanusiaan tersebut pun sudah mulai dimunculkan ke komunitas internasional.

Yang tetap mempertahankan informasi palsu tersebut hanya segelintir orang Eputobi, yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dalam kasus pembunuhan Akim Maran. Perbuatan jahat mereka itu secara gigih dibela oleh orang-orang tertentu. Di kalangan mereka, rupanya berlaku prinsip: maju terus pantang mundur, bela kejahatan. Padahal, dengan membela kejahatan, apalagi membelanya secara gigih, si pembela yang bersangkutan ikut melakukan kejahatan. Jiika anda tahu bahwa si A melakukan suatu kejahatan, tetapi anda tidak melaporkannya kepada pihak berwajib, anda pun ikut melakukan kejahatan itu.

Sudah jelas bagi kita, bahwa kematian Akim Maran disebabkan oleh pembunuhan terencana. Siapa perancangnya pun sudah sangat jelas bagi kita. Dan justru karena penjahat-penjahat itu masih bebas berkeliaran, maka kita pun harus maju terus pantang mundur dalam mencari kebenaran dan keadilan. Karena selama ini kita maju terus cari keadilan dan kebenaran, maka penjahat-penjahat Eputobi itu pun mulai kocar-kacir. Nyali mereka sudah menciut drastis. Ada yang jadi panik dan ketakutan, lalu mulai ngoceh dan ngoceh sembarangan sesuai dengan dorongan emosi dangkal.

Siapa suruh kalian nekad melakukan kejahatan, setelah itu nekad pula untuk menipu dan menipu diri terus-menerus? ***

Sabtu, 23 Februari 2008

Relasi antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong di Lewoingu, Flores Timur, NTT, Indonesia


Masyarakat Lewoingu terdiri dari satuan-satuan sosial yang disebut suku. Yang dimaksud suku di sini adalah golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan. Di Lewoingu dan Lamaholot, suku adalah identitas bersama. Jika nama adalah identitas pribadi, suku adalah identitas sosial. Sebagai identitas sosial, suku menjelaskan asal usul seseorang, status dan peran sosialnya dalam masyarakatnya. Tidak hanya itu, suku juga menentukan model relasi sosial antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dalam tatanan sosial budaya Lewoingu.


Ada beberapa model relasi sosial yang berlaku dalam masyarakat Lewoingu. Salah satunya adalah model relasi orangtua-anak. Dalam model relasi ini, ada suku yang berperan sebagai orang tua atau ibu bapa (ema bapa', menurut bahasa Lamaholot) bagi suku lainnya. Suku Ata Maran, misalnya, menjadi orang tua bagi suku Kumanireng Blikololong. Mengapa suku Ata Maran beperan sebagai orang tua bagi suku Kumanireng Blikololong?


Tugas orang tua bukan sekedar melahirkan seorang anak, tetapi merawat dengan baik, mendidik anaknya agar si anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia adanya. Tugas khas orang tua ialah menjaga agar kelangsungan hidup anaknya terjamin baik dan aman, hingga tiba masa di mana anak menjadi dewasa. Ketika seorang anak menjadi dewasa, dia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.


Dalam sejarah Lewoingu, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, suku Ata Maran pernah memainkan peranan yang dapat dianalogikan (dibandingkan) dengan peranan khas orang tua terhadap anak kandung sendiri. Sejarah Lewoingu secara jelas menuturkan kepada kita upaya suku Ata Maran menyelamatkan nyawa dua orang, yaitu Brahang Tana dan Ratu Noeng. Dua orang bersaudara ini diancam dibunuh oleh musuh yang sangat ganas. Tetapi upaya pembunuhan itu berhasil digagalkan berkat perlindungan suku Ata Maran. Dengan tinggal di rumah suku Ata Maran, kedua anak laki-laki itu aman dari ancaman pembunuhan. Di rumah suku Ata Maran, mereka dipelihara, dirawat dengan baik seperti anak kandung Ata Maran sendiri.


Nama Brahang Tana dan Ratu Noeng merupakan simbol dari saat-saat di mana kedua orang itu hanya tinggal menunggu waktu untuk dihabisi, setelah saudara-saudara mereka yang lain sudah dibunuh oleh musuh yang sangat ganas. Nama Brahang Tana adalah simbol, bahwa yang punya nama itu sudah berada di dalam tanah, sementara musuhnya sedang menikam-nikamnya untuk mematikannya. Dia berada dalam posisi tak berdaya apa-apa lagi, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Nama Ratu Noeng merupakan simbol bahwa yang punya nama sedang digantung oleh musuh di tiang gantungan. Dengan begitu dia pun hanya tinggal menunggu waktu untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Tetapi pada akhirnya kedua anak laki-laki itu tidak jadi dibunuh, berkat perlindungan dari suku Ata Maran. Sesuai dengan misi kemanusiaan yang diembannya sejak awal mula pembentukan tatanan sosial budaya Lewoingu, suku Ata Maran perlu melakukan tindakan penyelamatan bagi kedua orang itu. Di rumah suku Ata Maran, mereka dipelihara, dirawat dengan baik, hingga tiba waktu aman, mereka dikembalikan ke tengah kehidupan masyarakat Lewoingu dan bebas menentukan jalan hidup mereka sendiri. Brahang Tana dan Ratu Noeng inilah yang menjadi mata rantai yang meneruskan tradisi kehidupan suku Kumanireng Blikololong. Tanpa perlindungan suku Ata Maran, sejarah kehidupan suku Kumanireng Blikololong telah berakhir dengan kematian kedua anak laki-laki tersebut. Seandainya tidak ada perlindungan dari suku Ata Maran, kisah kehidupan mereka di panggung sejarah dunia ini berakhir sangat tragis, di tangan orang-orang yang sangat jahat.


Peristiwa penyelamatan itulah yang menyebabkan suku Ata Maran dipandang sebagai orang tua, ibu bapa (ema' bapa') oleh suku Kumanireng Blikololong. Itu juga menjadi alasan, mengapa relasi antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong pun bermodelkan relasi kekeluargaan atau persaudaraan. Model relasi sosial semacam itu berpengaruh dalam berbagai urusan sosial budaya lain di masyarakat Lewoingu, termasuk dalam urusan adat perkawinan. Dan para bapa-ibu Kumanireng Blikololong menjunjung tinggi model relasi sosial budaya semacam itu.


Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong, misalnya, sangat menjunjung tinggi model relasi sosial semacam itu. Ini beliau buktikan waktu dia mengurus adat perkawinan Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong. Dalam urusan itu, beliau meminta Akim Maran hadir, sebagai wakil suku Ata Maran. Dalam adat perkawinan, restu pihak ema' bapa' diperlukan. Maka hadirlah Akim Maran dalam urusan itu. Dia didudukkan di kepala meja, tanda kehormatan. Setelah itu, barulah urusan lain-lainnya dapat dilakukan.


Sepanjang sejarah Lewoingu, hingga beberapa tahun lalu, hubungan antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong berlangsung sangat baik. Sikap saling menghormati terus dipupuk dan dikembangkan di semua level kehidupan sosial budaya Lewoingu. Anggota-anggota suku Kumanireng Blikololong yang tahu sejarah tetap berusaha mempertahankan hubungan yang sangat baik itu. Tak pernah ada kata hina menghina di antara mereka. Saya pernah mendengar sendiri bagaimana Bernardus Sani Ata Maran dan Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong bergurau, bernostalgia tentang masa-masa silam mereka, ketika mereka masih muda. Waktu itu mereka sering bersama-sama. Di masa-masa muda, mereka merasa saling membantu. Tak ada yang merasa lebih berjasa daripada yang lain. Mereka sama-sama tertawa mengenang masa muda mereka bersama, di masa lalu. Dan mereka pun merasa lucu dengan diri mereka sendiri di masa-masa lalu itu.


Di lihat dari sejarah, suku Ata Maran pula yang melindungi Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong dan isterinya bernama Belaong dari ancaman pembunuhan. Tetapi orang bernama Bernardus Sani Ata Maran, yang menjadi pelindung bapak tersebut dan isterinya itu tidak pernah menggembar-gemborkan jasanya itu. Hanya dalam canda gurau di atas, mereka secara tidak langsung pernah sama-sama menyinggung soal itu.


Dalam abad ke-20, tidak hanya kedua orang itu yang menikmati perlindungan dari suku Ata Maran. Banyak orang lain pun menikmatinya. Selama beberapa tahun dalam era 1970-an, serombongan orang yang terdiri dari ibu, anak-anak, bapak dari anak-anak itu, dan beberapa saudara kandungnya serta ibu kandungnya menikmati perlindungan di rumah suku Ata Maran. Karena selama beberapa tahun itu di rumah Bernardus Sani Ata Maran terdapat cukup banyak orang, hari-hari yang kami lalui seakan-akan dalam suasana pesta-pesta kecil. Hidup bersama sesama manusia dalam suasana aman dan damai itu jauh lebih bermakna, ketimbang hidup dalam suasana benci membenci.


Meskipun penuh risiko, misi kemanusiaan itu dijalankan dengan senang hati. Setiap generasi suku Ata Maran, dalam setiap abad, sadar betul akan panggilan tugas kemanusiaannya itu.

Misi kemanusiaan itu akan terus diemban di hari-hari mendatang, di minggu-minggu mendatang, di bulan-bulan mendatang, di tahun-tahun mendatang, di abad-abad mendatang, dalam situasi apa pun. Sebagai orang Lewoingu, kalau suatu waktu nanti, anda merasa diancam dibunuh oleh orang jahat, anda tak perlu ragu untuk datang dan meminta perlindungan di rumah suku Ata Maran. Di rumah suku Ata Maran, anda akan menemukan keamanan diri sebagai manusia. ***

Sabtu, 16 Februari 2008

Para penghalang upaya pembongkaran kejahatan 30 Juli 2007

Setelah jenazah Akim Maran ditemukan di Blou, Lewoingu, Flores Timur, pada hari Selasa, 31 Juli 2007, dan setelah masyarakat Lewolaga, Eputobi, Riang Duli, dan Riang Kung mengetahui berita tentang kematiannya, ada saja orang-orang tertentu di Eputobi, yang kelihatan panik dan ketakutan. Hidup mereka tampak tidak tenang pada hari-hari setelah kepergian Akim Maran dari dunia Eputobi dan sekitarnya. Reaksi dari rasa panik dan takut dalam diri mereka bermacam-macam. Ada yang jadi gampang tersinggung, ada yang mengintimidasi dan mengancam orang-orang yang dianggap membantu pihak keluarga korban untuk membongkar kejahatan yang terjadi pada malam 30 Juli 2007, ada yang jadi marah-marah sendiri tanpa alasan yang jelas.

Pada hari Rabu, 1 Agustus 2007, waktu gali kubur, Amsy Makin bilang, "Kene' (panggilan terhadap Akim Maran berdasarkan hubungan persaudaraan) ini meninggal bukan karena kecelakaan." Mendengar ucapan Amsy itu, Hery Kelen, anak dari Anis Kelen dan Marta Angin langsung marah-marah. Dia tidak setuju dengan perkataan Amsy Makin.

Kamis pagi, 2 Agustus 2007, si LK, si MK, dan si LK terlihat panik. Wajah serta gerak-gerik mereka menampakkan adanya rasa takut dalam diri mereka masing-masing. Pagi ini, dua kali si MK bertandang ke rumah LK. Di sana ada LK. Ketiga orang itu terlibat dalam pembicaraan yang serius, masing-masing dengan ekspresi wajah yang tegang. Pagi itu, mereka berdiri dan berbicara di antara rumah besar dan dapur (rumah si LK).

Jumat, 10 Agustus 2007, di Taman Kanak-Kanak (TKK) Demong Tawa, Eputobi, Evi Kumanireng memarahi Tien Maran, guru di TKK yang sama, dengan mengatakan, "Untuk apa repot-repot cari dukun, Akim mati karena kecelakaan atau karena Mike (Mikhael Torangama Kelen) dan Lambe (Lambertus Lagawuyo Kumanireng) yang pukul.' Kata-kata aslinya bunyinya begini, "Untuk apa repot-repot seba' molang, Akim mata karena kecelakaan le Mike we Lambe benge?"

Sabtu, 11 Agustus 2007, pagi hari di rumahnya, si EK bicara sambil marah-marah, "Apakah Mike dan Lambe yang pukul? Itu karena jalan-jalan minum tuak arak sehingga jatuh mati." ("Nele Mike we Lambe bengo? Peeng pana lega renung tua ara opa nele deka mata"). Pada hari ini pun Laurensius Kweng memarahi Aci Koten, hanya karena ucapan Aci Koten, bahwa pipa air minum diperbaiki oleh Akim Maran (dan kawan-kawan). Mendengar itu, Pote Kweng dan saudarinya bernama Klara Kweng langsung mengamok. Klara Kweng sempat meramas mulut Aci Koten dengan tangannya. Laurensius Kweng pun tidak mau ketinggalan untuk memarahi Aci Koten. Kepada Aci Koten, dia bilang, "Untung kamu itu perempuan, kalau kamu laki-laki saya sudah banting kamu?" (Untung mo inawae, kalau mo inamelake go banting mo kae?"

Yang lebih seru adalah kejadian berikut ini. Sekarang kita berada di hari Sabtu, 8 September 2007, di Riang Duli. Yohakim Kumanireng, Laurens Kumanireng, dan Sipri Kelen mencari dan mengancam Yan Perason, warga Riang Kung. Yohakim Kumanireng dan Sipri Kelen berputar-putar dengan sepeda motor mencari-cari Yan Perason baik di Riang Kung maupun di Riang Duli. Sambil berputar-putar, mereka berkata, "Kalau jago, siang hari, bukan malam hari." Sementara itu Laurens Kumanireng mencari-cari Yan Perason di lapangan sepak bola Riang Duli. Kata Laurens Kumanireng, "Mana orang yang namanya Yan Perason itu?"

Minggu, 9 September 2007, sore hari pukul 16:30 sampai dengan 18:30 di Riang Kung, tujuh orang dari Eputobi mencari-cari dan mengancam lagi Yan Perason warga desa Dun Tana Lewoingu, yang tinggal di Riang Kung. Tujuh orang itu adalah 1) Lambertus Lagawuyo Kumanireng, 2) Laurensius Kweng, 3) Yohakim Kumanireng, 4) Laurens Kumanireng, 5) Yosef Lubur, 6) Sipri Kelen, 7) Longginus Kelen (guru SDK Eputobi, sepupu dari Mikhael Torangama Kelen).

Sejumlah besar warga Riang Duli dan Riang Kung menyaksikan ulah tingkah orang-orang yang sedang panik lalu mengancam orang itu. Orang-orang itu kemudian digiring ke rumah Donatus Seng Lein. Mereka yang tadinya kelihatan gagah berani langsung gugup di hadapan kepungan banyak orang. Setelah dibrifing secara tegas oleh Donatus Seng Lein, mereka lalu mundur teratur ke Eputobi. Ulah tingkah mereka itu menjadi bahan tertawaan banyak orang di Lewoingu.

Nah, mengapa orang-orang itu kok berusaha sekuat tenaga untuk mengintimidasi dan mengancam Yan Perason? Ceriteranya, Yan Perason itu paranormal. Dan Yan Perason berusaha membantu membongkar kasus kejahatan yang menyebabkan kematian Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007. Ini dia lakukan atas dasar sukarela, karena merasa mengenal baik Akim Maran. Upaya Yang Perason ini tidak disetujui oleh orang-orang itu. Maka mereka pun berusaha menghalang-halangi dia dengan segala cara.

Selain mengancam Yan Perason, makhluk-makhluk semacam itu pun pernah mengancam seorang pemuda bernama Arnold Manuk, yang pada saat-saat tertentu membantu keluarga Ata Maran dalam menangani kasus kematian Akim Maran. Ingatlah baik-baik, keluarga Ata Maran dan keluarga Lewomanuk memiliki hubungan yang sangat baik.

Ancaman-ancaman tersebut pun sudah dilaporkan kepada aparat kepolisian setempat. Tetapi tindak lanjut dari aparat kepolisian tidak ada. Karena tidak ada tindak lanjut, makhluk-makhluk semacam itu tadi terus saja menebarkan intimidasi dan ancaman kepada orang-orang yang dianggap lawan politik mereka. Mereka merasa berada di atas hukum.

Yang menjadi pertanyaan masyarakat Lewoingu yang berakal sehat, "Ada apa sehingga mereka itu menghalang-halangi orang untuk mengungkapkan sebab sebenarnya dari kematian Akim Maran? Sementara kita lain justru turut membantu pihak keluarga korban untuk menemukan kebenaran dan keadilan dalam kasus tersebut."

Memang, masyarakat Eputobi, Riang Duli, Riang Kung, Lewolaga dan sekitarnya, sudah lama berharap-harap agar orang-orang yang terlibat dalam kejahatan pada Senin malam 30 Juli 2007 itu ditangkap oleh aparat kepolisiaan. Mereka sering bertanya, "Kapan? Usahakan supaya polisi lebih cepat bertindak?"

Nah, tindakan yang jelas dan tegas dari pihak kepolisian sedang kita tunggu. Dan ingat, kalau sampai sekarang polisi belum bertindak, itu tidak berarti penjahat-penjahat Eputobi , yang membunuh Akim Maran akan bebas merdeka seumur hidup mereka. Kadang-kadang kita juga coba mengikuti irama kerja polisi yang lamban dan pelan-pelan, bahkan kadang-kadang tidak jelas juga maju mundur gerak langkahnya. Sebentar mereka bilang begini, sebentar mereka bilang begitu. Tetapi yang jelas ialah begini: Cepat atau pun lambat kalian akan dibekuk hai penjahat-penjahat Eputobi.

Ingatlah baik-baik, seorang Tomy Suharto pun dapat ditangkap dan dipenjara. Seorang Polycarpus B. yang tempohari sempat keluar dari bui pun kini dibui lagi dengan hukuman yang lebih berat. Pembekukan kalian itu hanya soal waktu saja. Kapan dan di mana saja kalian berada pasti akan dibekuk ramai-ramai. Jadi sekarang ini, kalian itu sebenarnya sedang dalam antrian untuk menunggu giliran untuk dibekuk. Siapa pun orang di belakang kalian akan dibekuk juga. Dan kami selalu sabar berusaha ke arah itu. Kalau kalian mau supaya hukuman menjadi lebih ringan, kalian mestinya segera menyerahkan diri ke kantor polisi setempat. ***

Orang pintar dan orang bodoh, tolol versi kebudayaan Lewoingu


Planet bumi punya manusia, maka punya arti yang melebihi arti segala planet dan benda langit lainnya. Manusia yang hidup dalam beragam cara di planet ini memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri. Setiap versi kebudayaan memiliki kekhasannya masing-masing. Tetapi, karena kodrat manusia itu sama, maka terdapat pula elemen-elemen yang sama pada masing-masing kebudayaan. Kebudayaan itu relatif serentak universal.

Meskipun berbeda, tiap kebudayaan memiliki tujuan yang sama, yaitu merawat, memelihara manusia yang membentuknya agar dia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang manusiawi, jadi orang yang berperikemanusiaan. Ciri orang berperikemanusiaan antara lain menghormati hak hidup orang lain, siapa pun mereka, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, mengupayakan perdamaian, kebaikan, kesejahteraan bagi orang-orang yang membutuhkannya, dll. Penipu, pembohong, pemalsu sejarah, tukang korupsi, tukang caci maki orang, tukang hasut orang untuk membenci orang lain, tukang bunuh orang, tukang suap pihak berwajib agar keterlibatannya dalam perkara kejahatan ditutupi, yang suka memandang diri lebih tinggi dari orang-orang lain, dan semacamnya dan semacamnya tentu tidak masuk hitungan orang berperikemanusiaan.

Demi tujuan luhur tersebut, masing-masing kebudayaan memerlukan orang-orang pintar. Makin banyak orang pintar dalam suatu komunitas budaya makin beradablah masyarakatnya, makin manusiawi kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang manusawi tidak perlu takut dihina, tidak perlu takut dipukul, tidak perlu takut barang-barang miliknya dicuri, tidak perlu takut dibunuh, dll.

Tidak hanya di Timur, tidak hanya di Barat, tidak hanya di Utara, tidak hanya di Selatan, tidak hanya di daerah pedesaan, tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi di segala tempat dan waktu, yang namanya manusia itu berusaha jadi pintar, dan sedapat mungkin menghindari diri dari segala macam kebodohan, apalagi ketololan. Maka dalam berbagai lingkup kebudayaan di dunia, bangsa-bangsa berlomba-lomba menjadi pintar dan lebih pintar lagi. Tetapi karena yang berusaha itu manusia, hasil capaiannya bisa beda-beda. Ada yang berusaha lantas menjadi pintar dan makin pintar. Ada yang berusaha tetapi menjadi sedikit lebih pintar. Ada yang berusaha malah tetap bodoh. Lebih parah, ada yang membiarkan dirinya menjadi lebih tolol ketimbang generasi -generasi sebelumnya. Maka dalam sejarah umat manusia, selalu saja ada orang-orang pintar, ada pula orang-orang bodoh, dan parahnya, ada juga orang-orang tolol.

Sejauh mana kebudayaan Lewoingu menjadikan orang-orangnya pintar-pintar? Nah ini pertanyaan yang menantang daya pikir dan imajinasi kreatif kita untuk menelaahnya. Hasil telaahnya bisa beda-beda. Tak apa. Karena dalam masyarakat Lewoingu pun ada orang-orang pintar, ada orang-orang bodoh dan tolol. Orang-orang pintar akan meresponsnya secara pintar. Orang-orang bodoh akan meresponsnya secara bodoh. Lebih parah, si tolol akan meresponsnya berdasarkan ketololannya. Tak apa juga. Karena, orang pintar, orang bodoh sama-sama manusia. Dan setiap manusia bebas berpendapat, meski terkadang melanggar etika komunikasi publik. Tetapi orang tolol? Dia itu manusia tetapi perilakunya mirip hewan. Maka ada relevansinya juga pesan Bupati Flores Timur, pada 16 Januari 2008, "Kita itu jangan seperti muna (monyet), yang ………"

Kalau di sini aku gunakan istilah kebudayaan Lewoingu, yang kumaksud dengan kata Lewoingu di sini tidak identik dengan Eputobi, melainkan Lewoingu asli. Lewoingu asli itu mulanya dibangun oleh para bapa (dan para ibu juga) yang mau menempuh hidup bersama berdasarkan tatanan adat istiadat yang berhasil disepakati pada kurun waktu zaman tertentu, dahulu kala. Mereka berasal dari latar belakang keluarga, suku yang berbeda-beda. Tetapi di bawah kepeloporan Gresituli, mereka mau bersatu padu membangun kehidupan bersama berdasarkan prinsip hormat terhadap hak hidup manusia.

Kesepakatan tersebut merupakan suatu kesepakatan kultural serentak kesepakatan spiritual yang agung di tengah belantika perkembangan peradaban-peradaban besar di dunia. Dan sejak saat itu juga masyarakat Lewoingu, yang terdiri dari dua belahan dari jiwa yang satu itu (Lewolein-Lewowerang) merajut, merangkai peri hidupnya sebagai masyarakat yang berbudaya luhur. Ini suatu prestasi yang patut diacungi jempol dari perspektif sejarah perkembangan kebudayaan-kebudayaan di dunia. Ingatlah, bahwa pada abad pertengahan itu, masih banyak sekali manusia di dunia ini hidup tercerai-berai dalam komunitas-komunitas kecil yang saling bermusuhan. Karena itu, masing-masing mereka pun berusaha untuk saling memusnahkan. Tetapi di suatu tempat di Flores Timur, yang terpencil dari segala hiruk pikuk perkembangan peradaban besar dunia, sejumlah orang mau menanggalkan segala bentuk egonya dan memutuskan untuk membangun kehidupan bersama dalam suasana aman dan damai demi kebaikan bersama. Itulah sebabnya, kampung mereka diberi nama Lewoingu, kampung yang dibangun untuk memelihara, merawat manusia dengan segala aspek kemanusiaannya yang luhur.

Selain dikreasikan oleh orang-orang pintar pada masanya, kebudayaan Lewoingu dalam sejarahnya sampai dengan era kita hidup tiada henti melahirkan orang-orangnya yang pintar, dan hanya sedikit melahirkan orang-orangnya yang bodoh dan tolol. Menarik bahwa para bapa dan ibu Lewoingu sejati tidak membutuhkan sekolah-sekolah formal untuk menjadikan anak-anak mereka pintar. Sekolah mereka adalah di rumah, di jalan ke kebun, atau di kebun, dan di tempat-tempat lain di mana nilai-nilai luhur dapat disosialisasikan secara bertahap, sedikit demi sedikit. Dengan demikian, nilai-nilai luhur itu pun gampang tertancap di sanubari, dan mudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang nyata.

Bagi para nenek moyang dan orang-orang tua Lewoingu sejati dewasa ini, orang pintar adalah orang yang mau menghormati hak hidup orang lain, yang mau menghormati barang-barang milik orang lain, yang mau menjaga persatuan kesatuan sosial, yang mau memelihara perdamaian, yang mau bergotong royong demi kebaikan bersama, yang mau memberi tanpa pamrih, yang tahu menempatkan diri dalam tatanan adat yang sudah disepakati bersama, yang tahu menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan status dan peran sosial budaya, yang mau menyembah Tuhan (Lera-Wulang), Sang Pencipta seluruh alam semesta dan segala isinya. dll. Jadi, tak masuk hitungan orang pintar kalau seseorang itu membunuh sesamanya, apalagi hanya karena iri hati dan benci, kalau dia mencuri barang-barang milik orang lain, kalau dia tidak menjaga persatuan kesatuan sosial, kalau dia tidak menjaga perdamaian, kalau dia tidak mau bergotong royong, kalau dia melanggar sopan santun adat maupun pergaulan hidup sehari-hari, kalau dia tidak tahu menjalankan tugas sesuai dengan status dan peran sosialnya, kalau dia tidak mengabdi Lera Wulang.

Kalau seseorang dipandang tidak pintar, itu sama artinya dengan dia orang bodoh. Dan kalau bodohnya kebangetan, maka dia itu tolol. Orang-orang bodoh dalam versi kebudayaan Lewoingu asli melakukan perbuatan-perbuatan kurang baik. Orang-orang tolol melakukan perbuatan yang biadab. Membunuh orang, misalnya, baik secara fisik maupun dengan cara santet, itu sungguh-sungguh perbuatan orang yang tolol. Dia disebut tolol bukan karena otaknya tolol, atau bukan karena dia cacat mental. Dia disebut tolol, karena dia tidak menggunakan akal budi dan hati nurani yang diberikan Tuhan kepadanya untuk kebaikan manusia sesamanya, masyarakatnya. Dia disebut tolol karena dia melampaui kewenangannya sebagai manusia .

Orang pintar tahu, bahwa mencabut nyawa sesamanya dari kehidupan di dunia ini bukan wewenangnya. Dia tahu bahwa hanya Tuhan yang berwenang mencabut nyawa manusia. Orang pintar tahu menghormati hak hidup orang lain.

Kalau dewasa ini ada orang yang mengaku diri orang Lewoingu, tetapi membenci setengah mati sesamanya, lalu merancang skenario untuk membunuhnya, lalu membunuhnya, orang-orang semacam itu terbilang sangat tolol. Lebih tolol lagi ialah orang-orang yang konon bersekolah dan didewa-dewikan sebagai orang-orang pintar, tetapi malah ikut merancang proyek pembunuhan itu, juga ikut menghasut sana menghasut sini untuk memusuhi dan kalau perlu menghancurkan orang-orang lain yang dipandang musuh politik. Termasuk dalam orang bodoh dan tolol adalah orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, tetapi malah menjadi contoh dalam hal pencurian uang desa; juga menjadi contoh untuk mencaci-maki sesamanya di muka umum, juga menjadi teladan dalam menghina sesamanya di hadapan banyak orang.

Pada masa lalu, jika terjadi pembunuhan baik secara fisik maupun secara nonfisik, hukum adat Lewoingu menerapkan sanksi yang jelas dan tegas. Hukuman yang dikenakan kepada pembunuh adalah hukuman mati atau hukum pengusiran ke kampung-kampung lain. Pencuri, penipu, pengacau kampung pun dihukum secara jelas dan tegas. Maka orang-orang pintar pun berusaha untuk tetap jadi pintar. Soalnya, kebodohan dan ketololan dengan sendirinya membawa dia kepada meja pengadilan adat dengan hukuman yang tidak main-main itu.

Kepada yang melakukan kejahatan tetapi berusaha menipu diberlakukan sumpah adat. Di Lewowerang sumpah adat itu dilakukan di hadapan Kepala Suku Ata Maran sebagai Raya Lewowerang. Tanpa restu Raya Lewowerang, sumpah adat tak dapat dilakukan. Tanpa persetujuan Raya Lewowerang, hukuman mati atau pun hukuman lainnya tak bisa diterapkan.

Pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2007, dalam pertemuan yang menjelaskan sebab musabab kematian Akim Maran oleh K. Melki Bagailan dan timnya, ada orang di Eputobi yang berkoar-koar mau disumpah secara adat. Mudah-mudahan dia benar-benar berani disumpah secara adat Lewoingu asli yang berlaku dalam tradisi Lewowerang asli. Jangan-jangan nasib dia pun sama dengan mereka yang setelah diancam disumpah (pada hari Minggu 17 Juni 2007), lalu terpaksa mengakui terus terang kebiasaan mereka menilep uang yang seharusnya menjadi uang desa. Padahal sebelumnya, mereka itu matian-matian mengaku diri sebagai orang-orang yang bersih dari korupsi. Kelompok ini bahkan sempat melaporkan orang-orang yang tidak memakan uang desa ke Polsek di Boru. Informasi itu saya peroleh langsung dari polisi di Polsek Boru yang menangani laporan itu. Dia bilang, laporan itu tidak benar.

Hanya orang-orang tolol yang membiarkan dirinya dipertolol oleh orang tolol. Kepada para mahasiswa-mahasiswi di kelas-kelas yang saya ampu, saya sering berpesan, kalau anda mau dibodohi oleh orang bodoh, anda itu lebih bodoh dari orang bodoh itu. Kalau kita "dibodohi " oleh orang pintar tak apa, karena dia memang lebih pintar daripada kita. Tetapi lebih baik, kita jangan dibodohi oleh siapa pun.

Untung bahwa di Eputobi, yang merupakan suatu kepingan Lewoingu itu masih kutemukan orang-orang pintar. Dan saya sangat berbangga, waktu saya pulang ke sana, mereka yang pintar-pintar itu meluangkan waktu untuk berdiskusi denganku. Diskusi kami jauh dari pembicaraan murahan untuk menghadapi orang-orang tolol yang berjubahkan profesor. Diskusi-diskusi kami menyangkut pengembangan metode-metode canggih yang biasa diterapkan di lingkungan masyarakat beradab untuk menghadapi persoalan besar yang sedang terjadi. Waktu pertama kali saya berdiskusi dengan mereka, saya dikejutkan oleh pemikiran-pemikiran mereka yang brilian dan arif dalam menyikapi berbagai persoalan besar yang sedang terjadi di kampung Eputobi. Level pemikiran mereka terbilang sama dengan level pemikiran yang kita temukan di ruang-urang kuliah, di ruang-ruang akademik yang melibatkan orang-orang pintar. Pokoknya beda banget kecanggihan berpikir mereka dengan cara pikir orang-orang Eputobi yang selama ini didewa-dewikan sebagai orang pintar-pintar itu, tetapi di dalam kenyataan payah banget. Saya salut, karena mereka masih muda, tetapi bisa sabar, bahkan terlalu sabar, dan cerdas-arif dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang begitu memalukan itu.

Jelas sekali orang-orang semacam itu yang mengendalikan keamanan dan ketertiban kampung Eputobi selama masa-masa gelap, sejak 2006 hingga sekarang ini. Padahal kami dan mereka sama-sama terus menerus dibayang-bayangi oleh ancaman kekerasan, bahkan pembunuhan oleh orang-orang tolol itu. Jadi yang mengendalikan keamanan dan ketertiban kampung Eputobi itu bukan orang-orang lain, tetapi orang-orang pintar itu.

Memang di seluruh muka bumi ini hanya orang-orang pintar dalam versian yang sama dengan versi budaya Lewoingu asli itulah yang mampu mewujudkan perdamaian, persatuan dan kesatuan, dan kebaikan bersama. Anda harus tahu bahwa berdamai dan bersatu dengan orang-orang tolol, baik yang bersekolah rendah maupun yang bersekolah tinggi bukan pilihan yang arif bagi orang-orang yang mau mewujudkan perdamaian sejati di Eputobi. Orang-orang pintar di Eputobi memiliki tekad untuk memulihkan keadaan, untuk memulihkan perdamaian. Tetapi kami sama-sama sepakat untuk tidak terjebak dalam gendang perdamaian semu yang dimainkan orang-orang bodoh dan tolol.

Kamu pikir, Eputobi menjadi lebih baik, lebih aman, lebih damai, lebih bersatu, lebih sejahtera, lebih adil berdasarkan ketololan demi ketololan yang dikampanyekan dari waktu ke waktu selama beberapa tahun terakhir? Orang tolol tentu mengatakan ya. Orang pintar bilang, jangan tololin aku hai orang-orang tolol. Pergilah ke neraka dengan segala ketololanmu itu. Mana ada korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menghasilkan kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya? Mana ada politik pecah belahyang bisa mewujudkan perdamaian dan persatuan sosial yang mantap? Mana ada pembunuhan yang menjadi jalan untuk menghasilkan keamanan dan ketertiban sosial?

Tekad kami ialah bersatu padu, bahu membahu dengan segala elemen Lewoingu sejati, dengan segala elemen pintar dalam berbagai tataran sosial di sana, bukan dengan musuh-musuh dan para pengkhianat Lewoingu, untuk memulihkan perdamaian dan persatuan di Lewowerang berdasarkan nilai-nilai luhur Lewoingu. Untuk itulah kami berjuang sampai kapan dan di mana pun.
Prinsip kami dan orang-orang pintar di sana, biarlah orang-orang tolol terus menggonggong, kita maju terus pantang mundur membela kebenaran dan keadilan demi kebaikan Lewowerang-Lewoingu sejati. ***

Selasa, 12 Februari 2008

Pemalsuan informasi tentang penyebab kematian Akim Maran, warga desa Lewoingu di Flores Timur, NTT


Ini bukan suatu fiksi, tetapi suatu kisah nyata. Ya, kisah nyata tentang beredarnya informasi palsu tentang sebab kematian Yoakim Gresituli Ata Maran (biasa dipanggil Akim Maran), warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sejak ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di dalam parit, di pinggir jalan raya di daerah Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, di Flores Timur, berhembus informasi bahwa kematiannya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

Versi informasi tersebut dengan cepat menyebar ke seluruh nusantara, bahkan ke seluruh dunia. Dan tidak sedikit orang yang langsung mengamini kebenarannya, tanpa memikirkan kemungkinan lain yang menjadi penyebab kematiannya. Tetapi di Eputobi, terdapat sejumlah orang yang sejak hari Selasa, 31 Juli 2007 tidak terpengaruh oleh informasi semacam itu. Bagi mereka, kematian Akim Maran bukan karena kecelakaan lalu lintas, tetapi karena dihadang dan dikeroyok oleh beberapa orang. Pendek kata, kematian Akim Maran diakibatkan oleh pembunuhan. Dan beberapa nama diduga sebagai pelakunya.

Moses Hodung Werang, yang pada jam 09.00 pagi hari Selasa, 31 Juli 2007 menemukan jenazah Akim Maran menuturkan bahwa posisi jenazahnya seperti orang sedang tidur, dengan sisi badan sebelah kiri menyentuh lanta parit, muka menghadap ke selatan, kepala di sebelah timur, kaki di sebelah barat, tangan kanan sedikit menjorok ke selatan, dan tangan kirinya mengarah ke paha. Ketika ditemukan, kaki jenazah Akim Maran tidak mengenakan alas kaki.

Sementara itu sepeda motor Yamaha Jupiter yang dia kendarai dari Lato terletak rapih, sedikit di sebelah utara, dalam posisi sedikit miring ke kiri, menghadap ke timur. Roda depannya menyentuh batang lamatoro. Sepeda motor itu berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan dengan posisi jenazah Akim Maran. Dari orang-orang yang hadir di lokasi penemuan jenazah, kita memperoleh informasi bahwa sepeda motor tidak mengalami kerusakan, kuncinya dalam posisi off, dan giginya pun dalam keadaan netral.

Setelah mendapat laporan dari Moses Hodung Werang, polisi dari Pos Titehena-Lewolaga segera meluncur ke lokasi kejadian. Tetapi polisi itu tidak menjalankan tugasnya secara profesional. Dia tidak memasang police line untuk mengamankan tempat kejadian perkara (TKP). Olah TKP dilakukan ala kadarnya saja. Sepeda motor, yang merupakan barang bukti, langsung diangkat. Lalu seorang anak muda mengendarai nya dengan lancar dan aman sampai di pos polisi Lewolaga.

Jika benar terjadi kecelakaan lalu lintas, sepeda motor itu mestinya mengalami kerusakan parah, dan tidak mungkin dapat dikendarai oleh siapa pun. Berdasarkan keadaan sepeda motor seperti disebut di atas, kita dengan mudah menduga adanya tangan-tangan tertentu yang telah meletakkan sepeda motor itu di sebelah jenazah orang yang mengendarainya dari Lato menuju kampung Eputobi, pada hari Senin malam, 30 Juli 2007. Mustahil sepeda motor itu mengalami kecelakaan lalu lintas.

Kondisi jenazah Akim Maran, seperti disaksikan oleh sejumlah orang di TKP dan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter di klinik Lewolaga adalah sebagai berikut: luka hanya terdapat pada kepala dan mukanya. Bagian tubuhnya yang lain tidak mengalami cedera. Padahal kalau seseorang jatuh ketika sedang mengendarai sepeda motor, dia akan mengalami cedera tidak hanya di kepala, tetapi juga di bagian-bagian lain dari tubuhnya. Seandainya terjadi kecelakaan lalu lintas, di mana pengendara dan sepeda motor yang dikendarainya terjun ke dalam parit , maka baik sepeda motor maupun badan pengendaranya mengalami kerusakan yang sangat parah. Dan tidak mungkin, jenazah dan sepeda motor itu terletak dalam posisi sejajar dalam keadaan yang sangat rapih.

Memang, di tempat jenazah ditemukan tidak ditemukan adanya jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalu lintas yang membawa maut. Tidak ditemukan jejak-jejak benturan sepeda motor, entah pada parit, entah pada batang kayu yang berdiri di situ. Batang kayu-kayu kecil pun tetap berdiri pada posisi masing-masing, tanpa mengalami gangguan sedikit pun. Puluhan orang yang sudah sangat berpengalaman dalam mengendarai sepeda motor pernah berhenti di TKP dan melakukan pengamatan. Kesimpulan mereka sama, yaitu bahwa mustahil di tempat itu terjadi kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian Akim Maran.

Kalau benar terjadi kecelakaan lalu lintas, mengapa sendal yang dipakai Akim Maran kok bisa raib begitu saja, dan tidak pernah ditemukan lagi hingga sekarang ini. Masa' ada kecelakaan lalu lintas yang membuat sendal orang yang menjadi korban terpental demikian jauh, sehingga mustahil untuk ditemukan kembali. Ternyata, sendal itu diambil oleh salah satu pembunuh Akim Maran. Mulai tanggal 31 Juli 2007, dia itu mengenakan sendal milik Akim Maran.

Di pinggir jalan raya, dari arah barat ke timur, terdapat jejak ban sepeda motor terseret, yang berhenti beberapa meter di sebelah barat deker. Seretan ban sepeda motor itu mengarah ke badan jalan. Mulanya orang mengira, itulah seretan ban sepeda motor yang dikendarai Akim Maran. Tetapi dari suatu sumber yang sangat dipercaya, kita memperoleh informasi bahwa di tempat itu, salah seorang yang terlibat dalam penghadangan Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007, pernah berlatih jatuh dari sepeda motornya. Artinya, tempat itu memang telah dipersiapkan sebagai salah satu mata rantai kejahatan.

Tetapi aneh bahwa berbagai keadaan yang demikian rapih di lokasi di mana jenazah Akim Maran ditemukan, di Blou itu, membuat polisi setempat sampai pada kesimpulan bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Kiranya jelas bahwa kesimpulan mereka itu tidak berdasarkan fakta-fakta lapangan, tetapi hanya berdasarkan asumsi sepihak. Sejak awal sudah tercium gelagat bahwa oknum-oknum polisi tertentu berusaha memalsukan informasi tentang penyebab sesungguhnya kematian Akim Maran. Hal ini tampak jelas ketika oknum-oknum polisi itu menggunakan nama-nama orang yang sama sekali tidak menyaksikan adanya kecelakaan lalu lintas di Blou, sebagai saksi . K. Melki Bagailan, yang pada waktu itu menjadi Kasat Lantas Polres Flores Timur, menjadikan Moses Hodung Werang, Marse Kumanireng, Bang Hayon, dan Ito de Ornay sebagai saksi kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian Akim Maran. Padahal keempat orang tersebut tidak pernah menyaksikan apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu.

Sejak hari Selasa, 31 Juli 2007 di Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan (Lambertus Lagawuyo Kumanireng, Yohakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, Lorens Kumanireng, Yanto Kumanireng, Maxi Tukan, dan lain-lainnya) sibuk menyebarkan informasi bahwa kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pada hari Minggu tanggal 5 Agustus 2007, Damasus Likuwatang Kumanireng, selalu pelaksana tugas kepala desa Lewoingu, mengimbau masyarakat Eputobi untuk tidak mempersoalkan kematian Akim Maran, karena kematiaannya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pengumuman yang sama diulangnya lagi pada hari Minggu, tanggal 30 September 2007. Kelompok ini matian-matian berusaha memaksa orang lain untuk mengikuti anggapan mereka yang palsu itu. Dan mereka ini bersorak girang, bertepuk tangan ria, ketika K. Melki Bagailan dan timnya mengumumkan di Eputobi, pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2007, bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Sebelum dan setelah pengumuman itu, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan kelihatan berakrab ria dengan oknum-oknum polisi itu.

Bersama oknum-oknum polisi tertentu, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan terlibat langsung dalam pemalsuan informasi tentang penyebab kematian Akim Maran. Mengapa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya itu begitu sibuknya memalsukan informasi tentang penyebab kematian Akim Maran?

Jawaban paling akurat atas pertanyaan itu diperoleh dari arwah Akim Maran sendiri pada tanggal 24, 25, 26, dan 27 November 2007. Kata arwah Akim Maran di hadapan sebagian masyarakat Eputobi, Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya itu menjadi penyebab kematiannya. Pite Koten yang mendengar sendiri namanya disebut sebagai orang yang termasuk terlibat dalam kejahatan yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007 langsung pucat. Sejak ketahuan terlibat dalam perkara kejahatan, sikap dan perilaku sehari-harinya berubah. Dia berusaha menghindar dari perjumpaan dengan orang-orang yang selama ini sudah biasa bertegur sapa dengannya.

Yang sangat memprihatinkan dan mengecewakan ialah, bahwa penjahat-penjahat yang sudah sangat jelas sosoknya itu masih juga dibiarkan menghirup udara segar. Ada yang malah dengan leluasa melarikan diri ke luar dari kampung Eputobi. Ada lagi yang malah dilantik menjadi kepala desa Lewoingu. Di situ prinsip-prinsip negara hukum demokratis belum berlaku, karena aparat penegak hukum sejauh ini gagal menjalankan tugas profesional mereka.

Di Flores Timur, masyarakat sukar sekali memperoleh keadilan dan kebenaran. Dalam perkara kematian Akim Maran, pihak-pihak yang mencari keadilan dan kebenaran malah sempat diperlakukan secara tidak adil oleh oknum-oknum polisi setempat dan oleh aparat desa Lewoingu. ***

Rabu, 06 Februari 2008

Kekerasan Terhadap Perempuan

Mengharapkan terciptanya suasana hidup yang nyaman, aman, dan damai di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, rupanya tinggal harapan. Selain seringnya terjadi pertengkaran, yang disertai dengan kata-kata kasar penuh penghinaan, belakangan ini mulai terjadi kekerasan bermotifkan politik terhadap perempuan. Dari hari Minggu, tanggal 20 sampai dengan hari Selasa, 22 Januari 2008 saja, tiga orang perempuan menjadi korban kekerasan. Pelakunya terdiri dari dua orang pria, yang berasal dari kelompok pro-pemerintah desa tersebut. Selain itu terjadi juga kekerasan terhadap perempuan oleh perempuan.
Bentuk kekerasannya adalah pemukulan dan pencekekan. Pemukulan dilakukan oleh Marse Manuk terhadap Nona Endah, puteri dari Yose Laga Making dan Emy Hayon. Ini terjadi pada hari Minggu, 20 Januari 2008. Pencekekan dengan keras dilakukan oleh Yanto Lubur terhadap Ece Koten dan Flori Koten, pada hari Selasa pagi, 22 Januari 2008.
Pemukulan yang dilakukan oleh Marse Manuk terhadap Nona Endah merupakan lanjutan dari kekerasan yang dialami oleh gadis itu sesaat sebelumnya. Sebelum dipukul oleh Marse Manuk, Nona Endah dijatuhkan oleh Mina Kweng dan anaknya bernama Ivon Tukan.
Dua kekerasan fisik yang menimpa Nona Endah itu terjadi tak lama setelah Damasus Likuwatang Kumanireng menyampaikan pengumuman yang berkaitan dengan urusan-urusan desa. Dalam pengumumannya, Damasus Kumanireng antara lain mengimbau agar tulisan (berita) di Flores Pos (16 & 18 Januari 2008) tentang penolakan pelantikan Mikhael Torangama Kelen dan tentang penyalahgunaan keuangan desa tidak perlu ditanggapi. Setelah mendengar pengumumnan tersebut, Nona Endah berjalan pulang ke rumahnya sambil bernyanyi. Rupanya nyanyian Nona Endah itu tidak suka didengar oleh Mina Kweng dan anaknya, yang berjalan di depannya. Maka terjadilah kekerasan.
Setelah bangun dari tanah, akibat ulah kedua perempuan itu, Nona Endah membuang luda. Buangan ludahnya itu secara kebetulan mengenai Marse Manuk. Tetapi Marse Manuk langsung meradang. Tanpa berpikir panjang, Marse Manuk langsung memukul Nona Endah. Kata Marse Manuk, "Siapa yang hatinya tidak marah, dia membuang ludah dan mengenai saya." Kejadian ini membuat ibu anak gadis itu marah dan sempat mengamuk.
Tak jauh dari tempat kejadian itu, Mikhael Torangama Kelen berada. Orang ini sempat mengeluarkan ucapan begini, "Pasti ada orang pintar di belakang, siapa yang makan uang?" Tetapi tidak jelas, kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Di antara pendukung Mikhael Torangama Kelen, ada juga yang mengoceh sendiri, "Siapa yang makan uang, uang itu mereka bisa cari, dan bisa mereka ganti. Mereka yang ngomong di koran itu sakit hati, karena kesana kemari, tetapi tidak berhasil, maka mereka pun mulai tulis macam-macam di koran."
Pada hari Minggu, 20 Januari 2008 ini juga, Saver Lubur memarahi Mery Koten. Rupanya, orang bernama Saver Lubur ini tersinggung, ketika dia lewat di depan tempat tinggal Mery Koten, ada yang membuang ludah. Ceriteranya yang membuang ludah adalah Marse Kumanireng. Itu dia lakukan secara spontan, setelah mendengar suaminya yang sudah almarhum, yaitu Akim Maran, dituduh memakan uang Rp 7 juta rupiah. Tetapi tindakan ini tidak ditujukan kepada Saver Lubur, karena yang melancarkan tuduhan tersebut bukan Saver Lubur. Anehnya, yang dimarahi oleh Saver Lubur adalah Mery Koten.
Serangan dengan kata-kata ke rumah Pius Koten juga dilakukan oleh Sula Lubur, saudari dari Saver Lubur. Kepada Pius Koten, perempuan yang satu ini bertanya, "Untuk apa kasih makan anak-anak perempuan yang tidak berguna?" Ayah dari Saver Lubur, Yanto Lubur, dan Sula Lubur pun muncul di rumah Pius Koten.
Buntut dari pertengkaran pada hari Minggu, 20 Januari 2008, adalah peristiwa kekerasan pada Selasa pagi, 22 Januari 2008, di mana Yanto Lubur mencekek Ece' Koten dan Flori Koten. Dua gadis ini dicekek dengan keras, sehingga makanan yang mereka bawa pun terjatuh. Akibat kekasarannya terhadap dua gadis kakak beradik itu, Yanto Lubur diadukan ke Polisi. Waktu dijemput Polisi, Yanto Lubur berada di rumah Mikhael Torangama Kelen. Tetapi pelaku kekerasan ini tidak mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Bukan baru kali ini saja, orang bernama Yanto Lubur itu memamerkan sikap tidak terpuji. Pada bulan November 2007, di Blou, orang bernama Yanto Lubur ini pula yang dengan sengaja memalang kakinya untuk menghalangi langkah turun Flori Koten dari angkutan umum yang sama-sama mereka tumpangi. Tindakannya itu membuat Flori Koten nyaris jatuh.

Pada bulan Desember 2007, Ece Koten pun diancam dipukul oleh Heri Kelen, anak dari seorang guru bernama Anis Kelen. Pada waktu itu, si Anis Kelen pun sempat datang ke rumah Pius Koten (ayah dari Mery Koten, Ece' Koten, dan Flori Koten), dan menantang dengan kata-kata, "Siapa yang mau pukul anak saya?"
Mendengar adanya keributan di rumah Pius Koten itu, Yose Lagamaking datang dan mengatakan, siapa yang mau melawan Pius Koten, lawan saya. Mendengar itu, Anis Kelen dan grupnya pun pergi tanpa banyak bicara.
Keributan pada hari Minggu, tanggal 16 Desember 2007 di rumah Pius Koten itu bermula dari ocehan Martha Angin, isteri seorang guru bernama Anis Kelen. Dia menuduh bahwa Pius Koten berambisi menjadi kepala desa lagi, sehingga berusaha menggagalkan pelantikan Mikhael Torangama Kelen. Ece' Koten yang mendengar tuduhan itu tidak mau menerima, lantas menentang tuduhan itu. Terjadilah pertengkaran antara kedua pihak.
Kalau diperhatikan, tuduhan Martha Angin tersebut di atas tidak masuk akal, karena Pius Koten adalah orang Eputobi yang lama menduduki kursi kepala desa. Kalau dia berambisi menjadi kepala desa Lewoingu, dia dengan mudah dapat mempertahankan kursi kekuasaannya sebagai kepala desa. Tetapi, karena tidak berambisi untuk menjadi kepala desa lagi, maka dia pun tidak mau mencalonkan diri.
Ikut nimbrung dalam keributan pada Minggu, 16 Desember 2007 itu adalah Maria Kelen, yang bersuamikan Anton Teluma. Sementara itu Yose Nunang pun bolak-balik memanggil orang-orang dari kubu Mikhael Torangama Kelen, yang berada di bagian timur kampung Eputobi, untuk datang ke rumah Pius Koten. Dengan demikian hawa panas pertengkaran pun menjalar ke mana-mana.
Tampak jelas bahwa serangan verbal ke rumah Pius Koten dan kekerasan fisik yang menimpa dua orang anak gadisnya itu, juga serangan fisik kepada Nona Endah itu bermotifkan politik. Para penyerang itu adalah orang-orang yang selama ini terkenal sebagai pendukung Mikhael Torangama Kelen, yang memenangkan pilkades di Lewoingu, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa, 27 Maret 2007, melalui suatu proses yang cacat hukum dan cacat moral.
Tetapi orang itu yang dilantik menjadi kepala desa Lewoingu, pada Rabu, 16 Januari 2008, oleh Bupati Flores Timur. Banyak orang di Eputobi menolak pelantikan itu. Soalnya, mereka menemukan adanya indikasi yang sangat jelas, bahwa orang itu menyelewengkan keuangan desa selama dia menjadi kepala desa pada periode 2000-2007. Selain itu, seperti sudah disinggung dalam Buser Timur, mingguan yang diterbitkan di kota Kupang, orang itu pun terlibat dalam kasus pembunuhan terencana terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Keterlibatannya itu sudah menjadi rahasia umum di daerah Lewoingu dan sekitarnya di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Arwah Akim Maran sendiri yang menjelaskan secara gamblang keterlibatan orang itu dalam kejahatan yang terjadi pada hari Senin malam, 30 Juli 2007. Dan kiranya jelas bahwa apa yang dikatakan oleh Arwah Akim Maran itu benar adanya.
Anda perlu tahu, bahwa Polisi di negera supermaju seperti Amerika Serikat pun menggunakan petunjuk dari arwah korban kejahatan, yang tidak memiliki bukti-bukti yang jelas. Dan mereka berhasil menangkap pelakunya. Berdasarkan petunjuk dari arwah korban, entah melalui mimpi, entah melalui mediator tertentu, aparat kepolisian di negara Indonesia pun sudah berkali-kali berhasil membongkar tuntas kasus-kasus kejahatan yang tidak memiliki jejak-jejak bukti yang nyata. Tetapi hingga baris ini diketik, aparat kepolisian di Flores Timur belum mampu menangkap satu pun dari pelaku-pelaku kejahatan tersebut.
Setiap orang Eputobi yang berhati nurani mestinya malu memiliki kepala desa yang secara sangat jelas terindikasi sebagai pelaku kejahatan yang sangat terencana. Kelambanan aparat kepolisan dalam menangani kasus kejahatan tersebut memungkinkan yang busuk, yang sangat jahat naik lagi ke kursi jabatan kepala desa di Lewoingu.
Di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, hati nurani masyarakat beradab sengaja dilecehkan oleh oknum-oknum birokrat lokal maupun oknum-oknum polisi tertentu. Untung, masyarakat yang berhati nurani di Eputobi tidak mau mengakui bahwa mereka, sekarang ini, memiliki seorang kepala desa. Bagi mereka, yang dilantik pada Rabu, 16 Januari 2008 adalah kepala dari orang-orang yang selama ini menghalalkan segala macam cara, termasuk pembunuhan, untuk memenuhi ambisi politik mereka.***

Sabtu, 02 Februari 2008

Berani Berbuat, Takut Bertanggung Jawab

Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Itu kata orang-orang bijak. Tetapi dalam masyarakat manusia, kita menemukan cukup banyak orang yang berani berbuat tetapi takut bertanggung jawab. Apalagi yang mereka buat adalah perbuatan yang jahat. Dalam hidup ini, kita dengan mudah menjumpai, adanya penjahat yang berani berbuat jahat, tetapi takut bertanggung jawab. Kalau mau cari sempelnya, pergilah sekarang ini juga ke Eputobi-Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Tanpa disadari banyak orang, sejak tahun 2000 hingga sekarang ini, dan bisa jadi untuk beberapa tahun ke depan, kampung Eputobi-Lewoingu telah disulap menjadi sarang penjahat. Bagaimana prosesnya? Jangan tanya rumput yang bergoyang, karena di sana tak ada jawabannya. Coba, tanya saja kepala desanya. Tampaknya dia tahu apa yang terjadi sejak tahun 2000 hingga sekarang ini. Kalau dia bilang dia tidak tahu, itu berarti selama ini dia lebih banyak bersemedi di suatu dunia yang lain.

Sebelum tahun 2006, geng penjahat itu tampil biasa-biasa saja. Tetapi sejak tahun 2006 hingga Januari 2008, tampilan mereka luar biasa. Aksi mereka mencakup penyelewengan uang desa, pencurian dan penjualan material bekas bangunan yang seharusnya menjadi milik desa, mengintimidasi orang, mengancam mengganyang dan membunuh orang lain, menghasut orang untuk memusuhi pihak lain. Dan kreasi puncak kejahatan mereka di tahun 2007 adalah tragedi Senin malam, 30 Juli 2007. Jejak-jejak kejahatan mereka tampak jelas mulai dari jalan keluar dari Bokang, ke Tobi Bele'eng, hingga Pondok, dan Parit di tepi jalan negara di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga (dari arah Barat ke Timur), di Kabupaten, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Korban kejahatan mereka pada malam itu adalah Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pada malam hari itu, dengan cara pengecut, mereka bersembunyi dalam gelap malam, kemudian menghadangnya, mengeroyok dan menyiksanya hingga sekarat, lalu membiarkan dia mati sendirian di dalam parit persis di bawah sebuah deker di Blou. Setelah berbuat jahat, tidak ada satu pun dari penjahat-penjahat itu yang berani bertanggung jawab. Padahal seluruh lapisan masyarakat Lewoingu, dan banyak kalangan di Flores Timur, sudah tahu siapa-siapa saja pelaku pembunuhan terencana itu. Masyarakat beradab dengan penuh kesabaran mengharapkan keberanian penjahat-penjahat itu untuk bertanggung jawab. Masyarakat beradab juga menanti pembuktian efektifitas kerja polisi dalam mengatasi kejahatan dalam rupa apa pun. Masyarakat beradab tidak mengharapkan kasus kejahatan terencana yang sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan sangat mengerikan di daerah pedesaan itu ditutup-tutupi berdasarkan alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Wewenang menangkap penjahat ada pada pihak kepolisian, bukan pada warga negara biasa-biasa seperti kita. Kalau kita menangkap sendiri penjahat-penjahat di Eputobi-Lewoingu itu, Polisi akan menuduh kita main hakim sendiri. Tetapi kita pun sudah tahu persis lemahnya kinerja oknum-oknum polisi tertentu di republik ini. Ingat, polisi itu kuat, tetapi oknum-oknum tertentunya lemah.

Di Polres Flores Timur, seorang polisi senior dengan rendah hati mengakui kelemahan kinerja oknum-oknum anggota polisi tertentu. Dia memohon pengertian dari pihak keluarga korban akan kelemahan tersebut. Dalam hati, kita berkata, tanpa diminta pun pihak kita, selama ini sudah berusaha mengerti akan hal itu. Tidak hanya itu, pihak keluarga korban, sesuai dengan posisi dan peran sosialnya dalam tradisi adat Lewoingu, sudah berusaha mengendalikan keamanan kampung. Padahal intimidasi dan ancaman terhadap keselamatan jiwa keluarga korban dan anggota-anggota suku yang bersatu padu dengan pihak keluarga korban terus bermunculan. Karena menjunjung tinggi prinsip negara hukum demokratis, maka kita mau bersabar dalam menghadapi arogansi penjahat-penjahat itu.

Kelambanan polisi dalam menyergap dan menangkap para penjahat yang bersarang di bagian timur kampung Eputobi itu membuat mereka merasa kebal hukum. Berlalu dan berlalunya lagi momentum pembekukan, membuat penjahat-penjahat itu kian arogan. Padahal, penjahat-penjahat itu berasal dari kelompok kecil dan tidak memiliki pengaruh yang kuat di seluruh Lewoingu.

Setelah berhasil mengeroyok Akim Maran hingga meninggal dunia, penjahat-penjahat Eputobi itu, sempat berada dalam posisi ketakutan dan terjepit. Ada yang sempat tidak berani keluar rumah, ada yang bermaksud menjual sepeda motornya untuk melarikan diri, ada yang karena alasan sakit kepala, maka ke mana-mana helm (helmet) tetap dipakai, sampai-sampai di acara pesta pun helm tetap melekat di kepala. Karena lehernya juga sakit, ke mana-kemana krah jeketnya ditegakkan agar tidak ketahuan lukanya. Itu terjadi setelah tanggal 30 Juli 2007. Kalau ada polisi lewat, ada di antara mereka yang langsung ngumpet. Sampai dengan pertengahan bulan Oktober 2007, mereka berada dalam posisi ketakutan. Mereka takut ditangkap polisi. Stamina mereka bangkit lagi setelah oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur merestui keinginan mereka untuk menyebarluaskan informasi bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Ceriteranya, terjadi lakalantas tunggal.

Meskipun bersifat palsu, pernyataan bahwa "kematian Yoakim Gresituli Ata Maran adalah murni karena kecelakaan lalu lintas" menjadi semacam ayat favorite mereka, yang menjadi pedoman dasar perilaku mereka pasca 26 Oktober 2007. Beberapa hari sebelum tanggal 10 Januari 2008, orang yang dilantik bersyarat pada 16 Januari 2008, mengeluarkan omongan begini, "mereka di sebelah sana itu (maksudnya warga yang tinggal di bagian barat kampung Eputobi) bodoh; masa orang sudah bilang bahwa kematian Akim Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas, tetapi terus saja ke Blou (ke lokasi kejadian perkara)." Orang ini rupanya tidak tahu, bahwa yang ke Blou itu tidak hanya warga biasa dari kampung Eputobi, tetapi juga apara kepolisian yang menjalankan tugas mereka. Lalu coba tanyakan kepada dia juga, untuk apa pihaknya sendiri juga sering kasak-kusuk ke lokasi kejadian perkara di Blou sana?

Meskipun tutur kata dan kasak-kusuk mereka memperlihatkan secara jelas perbuatan jahat mereka, mereka terus memainkan sandiwara tutup mulut di antara sesama mereka. Pentas yang tidak lucu itu hanya menjadi bahan tertawaan masyarakat beradab di Lewoingu dan sekitarnya.

Yang juga tidak lucu ialah sikap oknum-oknum polisi tertentu, yang menunggu dan menunggu. Sehingga sampai dengan awal bulan ketujuh setelah perkara pembunuhan itu terjadi pun belum jelas hasil kerja mereka. Padahal semua barang bukti, semua informasi penting, sudah dilimpahkan kepada pihak kepolisian setempat. Arwah korban kejahatan itu sendiri pun sudah menyampaikan secara terang benderang nama-nama penjahat-penjahat yang membunuhnya. Tidak hanya satu dua kali dia menyampaikan hal itu, tetapi berkali-kali kepada berbagai pihak. Apa yang dia sampaikan cocok dengan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Tetapi aparat kepolosian setempat rupanya masih membiarkan penjahat-penjahat Eputobi-Lewoingu itu bebas berkeliaran menghirup udara segar.

Memang menjadi mudah kerja polisi, kalau di antara penjahat-penjahat itu ada yang berani buka mulut untuk menyanyikan lagu tentang apa yang mereka lakukan pada hari Senin malam tanggal 30 Juli 2007. Tetapi keliru, jika mengharapkan hal semacam itu terjadi begitu saja. Rupanya, aparat kepolisian setempat belum tahu, bahwa penjahat Eputobi-Lewoingu itu berasal dari nenek moyang yang juga sudah biasa menjagal orang tanpa alasan yang jelas. Kalau sudah jadi bakat alamiah, siapa di antara mereka yang merasa perlu bertanggung jawab.

Di dalam kenyataan, mereka berani membunuh orang, tetapi tidak berani bertanggung jawab. Mereka bukan tipe penjahat yang berani berbuat jahat dan berani bertanggung jawab atas perbuatan jahat mereka. Mereka bukan tipe orang di Flores Timur, yang berani membunuh orang, lalu berani langsung pergi ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan diri sambil membawa parang atau jenis senjata lainnya yang dipakai untuk mencabut nyawa korbannya.

Penjahat-penjahat di Eputobi-Lewoingu akan mengakui perbuatan jahat mereka, kalau aparat kepolisian setempat berani menyergap dan menangkap mereka kapan dan di mana pun berdasarkan petunjuk-petunjuk awal yang sudah teramat terang benderang itu. Masyarakat beradab menunggu tindakan yang jelas dan tegas dari aparat kepolisian setempat untuk menghancurkan sarang penjahat di Eputobi-Lewoingu.

Aku yakin, hari itu akan tiba. Setelah itu, kita akan menata Lewowerang-Lewoingu dengan cara baru berdasarkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang pendiri Lewoingu sejati.

Benih Lewoingu baru itu sudah ditanamkan. Dan benih itu akan tumbuh, dan akan merekah, dan akan berkembang di halaman-halaman rumah-rumah kita yang baru, segera setelah berlalunya zaman gelap yang edan ini. Warna-warni dan harum-wangi aneka kembang dari halaman-halaman rumah-rumah Lewowerang-Lewoingu baru itu sudah mulai menampakkan diri, dari kejauhan. Maka mari, dari sekarang ini juga, kita gulung saja zaman gelap edan ini. ***