Sabtu, 16 Februari 2008

Orang pintar dan orang bodoh, tolol versi kebudayaan Lewoingu


Planet bumi punya manusia, maka punya arti yang melebihi arti segala planet dan benda langit lainnya. Manusia yang hidup dalam beragam cara di planet ini memiliki kebudayaannya sendiri-sendiri. Setiap versi kebudayaan memiliki kekhasannya masing-masing. Tetapi, karena kodrat manusia itu sama, maka terdapat pula elemen-elemen yang sama pada masing-masing kebudayaan. Kebudayaan itu relatif serentak universal.

Meskipun berbeda, tiap kebudayaan memiliki tujuan yang sama, yaitu merawat, memelihara manusia yang membentuknya agar dia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang manusiawi, jadi orang yang berperikemanusiaan. Ciri orang berperikemanusiaan antara lain menghormati hak hidup orang lain, siapa pun mereka, menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, mengupayakan perdamaian, kebaikan, kesejahteraan bagi orang-orang yang membutuhkannya, dll. Penipu, pembohong, pemalsu sejarah, tukang korupsi, tukang caci maki orang, tukang hasut orang untuk membenci orang lain, tukang bunuh orang, tukang suap pihak berwajib agar keterlibatannya dalam perkara kejahatan ditutupi, yang suka memandang diri lebih tinggi dari orang-orang lain, dan semacamnya dan semacamnya tentu tidak masuk hitungan orang berperikemanusiaan.

Demi tujuan luhur tersebut, masing-masing kebudayaan memerlukan orang-orang pintar. Makin banyak orang pintar dalam suatu komunitas budaya makin beradablah masyarakatnya, makin manusiawi kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan. Orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang manusawi tidak perlu takut dihina, tidak perlu takut dipukul, tidak perlu takut barang-barang miliknya dicuri, tidak perlu takut dibunuh, dll.

Tidak hanya di Timur, tidak hanya di Barat, tidak hanya di Utara, tidak hanya di Selatan, tidak hanya di daerah pedesaan, tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi di segala tempat dan waktu, yang namanya manusia itu berusaha jadi pintar, dan sedapat mungkin menghindari diri dari segala macam kebodohan, apalagi ketololan. Maka dalam berbagai lingkup kebudayaan di dunia, bangsa-bangsa berlomba-lomba menjadi pintar dan lebih pintar lagi. Tetapi karena yang berusaha itu manusia, hasil capaiannya bisa beda-beda. Ada yang berusaha lantas menjadi pintar dan makin pintar. Ada yang berusaha tetapi menjadi sedikit lebih pintar. Ada yang berusaha malah tetap bodoh. Lebih parah, ada yang membiarkan dirinya menjadi lebih tolol ketimbang generasi -generasi sebelumnya. Maka dalam sejarah umat manusia, selalu saja ada orang-orang pintar, ada pula orang-orang bodoh, dan parahnya, ada juga orang-orang tolol.

Sejauh mana kebudayaan Lewoingu menjadikan orang-orangnya pintar-pintar? Nah ini pertanyaan yang menantang daya pikir dan imajinasi kreatif kita untuk menelaahnya. Hasil telaahnya bisa beda-beda. Tak apa. Karena dalam masyarakat Lewoingu pun ada orang-orang pintar, ada orang-orang bodoh dan tolol. Orang-orang pintar akan meresponsnya secara pintar. Orang-orang bodoh akan meresponsnya secara bodoh. Lebih parah, si tolol akan meresponsnya berdasarkan ketololannya. Tak apa juga. Karena, orang pintar, orang bodoh sama-sama manusia. Dan setiap manusia bebas berpendapat, meski terkadang melanggar etika komunikasi publik. Tetapi orang tolol? Dia itu manusia tetapi perilakunya mirip hewan. Maka ada relevansinya juga pesan Bupati Flores Timur, pada 16 Januari 2008, "Kita itu jangan seperti muna (monyet), yang ………"

Kalau di sini aku gunakan istilah kebudayaan Lewoingu, yang kumaksud dengan kata Lewoingu di sini tidak identik dengan Eputobi, melainkan Lewoingu asli. Lewoingu asli itu mulanya dibangun oleh para bapa (dan para ibu juga) yang mau menempuh hidup bersama berdasarkan tatanan adat istiadat yang berhasil disepakati pada kurun waktu zaman tertentu, dahulu kala. Mereka berasal dari latar belakang keluarga, suku yang berbeda-beda. Tetapi di bawah kepeloporan Gresituli, mereka mau bersatu padu membangun kehidupan bersama berdasarkan prinsip hormat terhadap hak hidup manusia.

Kesepakatan tersebut merupakan suatu kesepakatan kultural serentak kesepakatan spiritual yang agung di tengah belantika perkembangan peradaban-peradaban besar di dunia. Dan sejak saat itu juga masyarakat Lewoingu, yang terdiri dari dua belahan dari jiwa yang satu itu (Lewolein-Lewowerang) merajut, merangkai peri hidupnya sebagai masyarakat yang berbudaya luhur. Ini suatu prestasi yang patut diacungi jempol dari perspektif sejarah perkembangan kebudayaan-kebudayaan di dunia. Ingatlah, bahwa pada abad pertengahan itu, masih banyak sekali manusia di dunia ini hidup tercerai-berai dalam komunitas-komunitas kecil yang saling bermusuhan. Karena itu, masing-masing mereka pun berusaha untuk saling memusnahkan. Tetapi di suatu tempat di Flores Timur, yang terpencil dari segala hiruk pikuk perkembangan peradaban besar dunia, sejumlah orang mau menanggalkan segala bentuk egonya dan memutuskan untuk membangun kehidupan bersama dalam suasana aman dan damai demi kebaikan bersama. Itulah sebabnya, kampung mereka diberi nama Lewoingu, kampung yang dibangun untuk memelihara, merawat manusia dengan segala aspek kemanusiaannya yang luhur.

Selain dikreasikan oleh orang-orang pintar pada masanya, kebudayaan Lewoingu dalam sejarahnya sampai dengan era kita hidup tiada henti melahirkan orang-orangnya yang pintar, dan hanya sedikit melahirkan orang-orangnya yang bodoh dan tolol. Menarik bahwa para bapa dan ibu Lewoingu sejati tidak membutuhkan sekolah-sekolah formal untuk menjadikan anak-anak mereka pintar. Sekolah mereka adalah di rumah, di jalan ke kebun, atau di kebun, dan di tempat-tempat lain di mana nilai-nilai luhur dapat disosialisasikan secara bertahap, sedikit demi sedikit. Dengan demikian, nilai-nilai luhur itu pun gampang tertancap di sanubari, dan mudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang nyata.

Bagi para nenek moyang dan orang-orang tua Lewoingu sejati dewasa ini, orang pintar adalah orang yang mau menghormati hak hidup orang lain, yang mau menghormati barang-barang milik orang lain, yang mau menjaga persatuan kesatuan sosial, yang mau memelihara perdamaian, yang mau bergotong royong demi kebaikan bersama, yang mau memberi tanpa pamrih, yang tahu menempatkan diri dalam tatanan adat yang sudah disepakati bersama, yang tahu menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan status dan peran sosial budaya, yang mau menyembah Tuhan (Lera-Wulang), Sang Pencipta seluruh alam semesta dan segala isinya. dll. Jadi, tak masuk hitungan orang pintar kalau seseorang itu membunuh sesamanya, apalagi hanya karena iri hati dan benci, kalau dia mencuri barang-barang milik orang lain, kalau dia tidak menjaga persatuan kesatuan sosial, kalau dia tidak menjaga perdamaian, kalau dia tidak mau bergotong royong, kalau dia melanggar sopan santun adat maupun pergaulan hidup sehari-hari, kalau dia tidak tahu menjalankan tugas sesuai dengan status dan peran sosialnya, kalau dia tidak mengabdi Lera Wulang.

Kalau seseorang dipandang tidak pintar, itu sama artinya dengan dia orang bodoh. Dan kalau bodohnya kebangetan, maka dia itu tolol. Orang-orang bodoh dalam versi kebudayaan Lewoingu asli melakukan perbuatan-perbuatan kurang baik. Orang-orang tolol melakukan perbuatan yang biadab. Membunuh orang, misalnya, baik secara fisik maupun dengan cara santet, itu sungguh-sungguh perbuatan orang yang tolol. Dia disebut tolol bukan karena otaknya tolol, atau bukan karena dia cacat mental. Dia disebut tolol, karena dia tidak menggunakan akal budi dan hati nurani yang diberikan Tuhan kepadanya untuk kebaikan manusia sesamanya, masyarakatnya. Dia disebut tolol karena dia melampaui kewenangannya sebagai manusia .

Orang pintar tahu, bahwa mencabut nyawa sesamanya dari kehidupan di dunia ini bukan wewenangnya. Dia tahu bahwa hanya Tuhan yang berwenang mencabut nyawa manusia. Orang pintar tahu menghormati hak hidup orang lain.

Kalau dewasa ini ada orang yang mengaku diri orang Lewoingu, tetapi membenci setengah mati sesamanya, lalu merancang skenario untuk membunuhnya, lalu membunuhnya, orang-orang semacam itu terbilang sangat tolol. Lebih tolol lagi ialah orang-orang yang konon bersekolah dan didewa-dewikan sebagai orang-orang pintar, tetapi malah ikut merancang proyek pembunuhan itu, juga ikut menghasut sana menghasut sini untuk memusuhi dan kalau perlu menghancurkan orang-orang lain yang dipandang musuh politik. Termasuk dalam orang bodoh dan tolol adalah orang-orang yang seharusnya menjadi panutan, tetapi malah menjadi contoh dalam hal pencurian uang desa; juga menjadi contoh untuk mencaci-maki sesamanya di muka umum, juga menjadi teladan dalam menghina sesamanya di hadapan banyak orang.

Pada masa lalu, jika terjadi pembunuhan baik secara fisik maupun secara nonfisik, hukum adat Lewoingu menerapkan sanksi yang jelas dan tegas. Hukuman yang dikenakan kepada pembunuh adalah hukuman mati atau hukum pengusiran ke kampung-kampung lain. Pencuri, penipu, pengacau kampung pun dihukum secara jelas dan tegas. Maka orang-orang pintar pun berusaha untuk tetap jadi pintar. Soalnya, kebodohan dan ketololan dengan sendirinya membawa dia kepada meja pengadilan adat dengan hukuman yang tidak main-main itu.

Kepada yang melakukan kejahatan tetapi berusaha menipu diberlakukan sumpah adat. Di Lewowerang sumpah adat itu dilakukan di hadapan Kepala Suku Ata Maran sebagai Raya Lewowerang. Tanpa restu Raya Lewowerang, sumpah adat tak dapat dilakukan. Tanpa persetujuan Raya Lewowerang, hukuman mati atau pun hukuman lainnya tak bisa diterapkan.

Pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2007, dalam pertemuan yang menjelaskan sebab musabab kematian Akim Maran oleh K. Melki Bagailan dan timnya, ada orang di Eputobi yang berkoar-koar mau disumpah secara adat. Mudah-mudahan dia benar-benar berani disumpah secara adat Lewoingu asli yang berlaku dalam tradisi Lewowerang asli. Jangan-jangan nasib dia pun sama dengan mereka yang setelah diancam disumpah (pada hari Minggu 17 Juni 2007), lalu terpaksa mengakui terus terang kebiasaan mereka menilep uang yang seharusnya menjadi uang desa. Padahal sebelumnya, mereka itu matian-matian mengaku diri sebagai orang-orang yang bersih dari korupsi. Kelompok ini bahkan sempat melaporkan orang-orang yang tidak memakan uang desa ke Polsek di Boru. Informasi itu saya peroleh langsung dari polisi di Polsek Boru yang menangani laporan itu. Dia bilang, laporan itu tidak benar.

Hanya orang-orang tolol yang membiarkan dirinya dipertolol oleh orang tolol. Kepada para mahasiswa-mahasiswi di kelas-kelas yang saya ampu, saya sering berpesan, kalau anda mau dibodohi oleh orang bodoh, anda itu lebih bodoh dari orang bodoh itu. Kalau kita "dibodohi " oleh orang pintar tak apa, karena dia memang lebih pintar daripada kita. Tetapi lebih baik, kita jangan dibodohi oleh siapa pun.

Untung bahwa di Eputobi, yang merupakan suatu kepingan Lewoingu itu masih kutemukan orang-orang pintar. Dan saya sangat berbangga, waktu saya pulang ke sana, mereka yang pintar-pintar itu meluangkan waktu untuk berdiskusi denganku. Diskusi kami jauh dari pembicaraan murahan untuk menghadapi orang-orang tolol yang berjubahkan profesor. Diskusi-diskusi kami menyangkut pengembangan metode-metode canggih yang biasa diterapkan di lingkungan masyarakat beradab untuk menghadapi persoalan besar yang sedang terjadi. Waktu pertama kali saya berdiskusi dengan mereka, saya dikejutkan oleh pemikiran-pemikiran mereka yang brilian dan arif dalam menyikapi berbagai persoalan besar yang sedang terjadi di kampung Eputobi. Level pemikiran mereka terbilang sama dengan level pemikiran yang kita temukan di ruang-urang kuliah, di ruang-ruang akademik yang melibatkan orang-orang pintar. Pokoknya beda banget kecanggihan berpikir mereka dengan cara pikir orang-orang Eputobi yang selama ini didewa-dewikan sebagai orang pintar-pintar itu, tetapi di dalam kenyataan payah banget. Saya salut, karena mereka masih muda, tetapi bisa sabar, bahkan terlalu sabar, dan cerdas-arif dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang begitu memalukan itu.

Jelas sekali orang-orang semacam itu yang mengendalikan keamanan dan ketertiban kampung Eputobi selama masa-masa gelap, sejak 2006 hingga sekarang ini. Padahal kami dan mereka sama-sama terus menerus dibayang-bayangi oleh ancaman kekerasan, bahkan pembunuhan oleh orang-orang tolol itu. Jadi yang mengendalikan keamanan dan ketertiban kampung Eputobi itu bukan orang-orang lain, tetapi orang-orang pintar itu.

Memang di seluruh muka bumi ini hanya orang-orang pintar dalam versian yang sama dengan versi budaya Lewoingu asli itulah yang mampu mewujudkan perdamaian, persatuan dan kesatuan, dan kebaikan bersama. Anda harus tahu bahwa berdamai dan bersatu dengan orang-orang tolol, baik yang bersekolah rendah maupun yang bersekolah tinggi bukan pilihan yang arif bagi orang-orang yang mau mewujudkan perdamaian sejati di Eputobi. Orang-orang pintar di Eputobi memiliki tekad untuk memulihkan keadaan, untuk memulihkan perdamaian. Tetapi kami sama-sama sepakat untuk tidak terjebak dalam gendang perdamaian semu yang dimainkan orang-orang bodoh dan tolol.

Kamu pikir, Eputobi menjadi lebih baik, lebih aman, lebih damai, lebih bersatu, lebih sejahtera, lebih adil berdasarkan ketololan demi ketololan yang dikampanyekan dari waktu ke waktu selama beberapa tahun terakhir? Orang tolol tentu mengatakan ya. Orang pintar bilang, jangan tololin aku hai orang-orang tolol. Pergilah ke neraka dengan segala ketololanmu itu. Mana ada korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menghasilkan kebaikan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya? Mana ada politik pecah belahyang bisa mewujudkan perdamaian dan persatuan sosial yang mantap? Mana ada pembunuhan yang menjadi jalan untuk menghasilkan keamanan dan ketertiban sosial?

Tekad kami ialah bersatu padu, bahu membahu dengan segala elemen Lewoingu sejati, dengan segala elemen pintar dalam berbagai tataran sosial di sana, bukan dengan musuh-musuh dan para pengkhianat Lewoingu, untuk memulihkan perdamaian dan persatuan di Lewowerang berdasarkan nilai-nilai luhur Lewoingu. Untuk itulah kami berjuang sampai kapan dan di mana pun.
Prinsip kami dan orang-orang pintar di sana, biarlah orang-orang tolol terus menggonggong, kita maju terus pantang mundur membela kebenaran dan keadilan demi kebaikan Lewowerang-Lewoingu sejati. ***