Sabtu, 23 Februari 2008

Relasi antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong di Lewoingu, Flores Timur, NTT, Indonesia


Masyarakat Lewoingu terdiri dari satuan-satuan sosial yang disebut suku. Yang dimaksud suku di sini adalah golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan. Di Lewoingu dan Lamaholot, suku adalah identitas bersama. Jika nama adalah identitas pribadi, suku adalah identitas sosial. Sebagai identitas sosial, suku menjelaskan asal usul seseorang, status dan peran sosialnya dalam masyarakatnya. Tidak hanya itu, suku juga menentukan model relasi sosial antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dalam tatanan sosial budaya Lewoingu.


Ada beberapa model relasi sosial yang berlaku dalam masyarakat Lewoingu. Salah satunya adalah model relasi orangtua-anak. Dalam model relasi ini, ada suku yang berperan sebagai orang tua atau ibu bapa (ema bapa', menurut bahasa Lamaholot) bagi suku lainnya. Suku Ata Maran, misalnya, menjadi orang tua bagi suku Kumanireng Blikololong. Mengapa suku Ata Maran beperan sebagai orang tua bagi suku Kumanireng Blikololong?


Tugas orang tua bukan sekedar melahirkan seorang anak, tetapi merawat dengan baik, mendidik anaknya agar si anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia adanya. Tugas khas orang tua ialah menjaga agar kelangsungan hidup anaknya terjamin baik dan aman, hingga tiba masa di mana anak menjadi dewasa. Ketika seorang anak menjadi dewasa, dia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.


Dalam sejarah Lewoingu, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, suku Ata Maran pernah memainkan peranan yang dapat dianalogikan (dibandingkan) dengan peranan khas orang tua terhadap anak kandung sendiri. Sejarah Lewoingu secara jelas menuturkan kepada kita upaya suku Ata Maran menyelamatkan nyawa dua orang, yaitu Brahang Tana dan Ratu Noeng. Dua orang bersaudara ini diancam dibunuh oleh musuh yang sangat ganas. Tetapi upaya pembunuhan itu berhasil digagalkan berkat perlindungan suku Ata Maran. Dengan tinggal di rumah suku Ata Maran, kedua anak laki-laki itu aman dari ancaman pembunuhan. Di rumah suku Ata Maran, mereka dipelihara, dirawat dengan baik seperti anak kandung Ata Maran sendiri.


Nama Brahang Tana dan Ratu Noeng merupakan simbol dari saat-saat di mana kedua orang itu hanya tinggal menunggu waktu untuk dihabisi, setelah saudara-saudara mereka yang lain sudah dibunuh oleh musuh yang sangat ganas. Nama Brahang Tana adalah simbol, bahwa yang punya nama itu sudah berada di dalam tanah, sementara musuhnya sedang menikam-nikamnya untuk mematikannya. Dia berada dalam posisi tak berdaya apa-apa lagi, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Nama Ratu Noeng merupakan simbol bahwa yang punya nama sedang digantung oleh musuh di tiang gantungan. Dengan begitu dia pun hanya tinggal menunggu waktu untuk menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Tetapi pada akhirnya kedua anak laki-laki itu tidak jadi dibunuh, berkat perlindungan dari suku Ata Maran. Sesuai dengan misi kemanusiaan yang diembannya sejak awal mula pembentukan tatanan sosial budaya Lewoingu, suku Ata Maran perlu melakukan tindakan penyelamatan bagi kedua orang itu. Di rumah suku Ata Maran, mereka dipelihara, dirawat dengan baik, hingga tiba waktu aman, mereka dikembalikan ke tengah kehidupan masyarakat Lewoingu dan bebas menentukan jalan hidup mereka sendiri. Brahang Tana dan Ratu Noeng inilah yang menjadi mata rantai yang meneruskan tradisi kehidupan suku Kumanireng Blikololong. Tanpa perlindungan suku Ata Maran, sejarah kehidupan suku Kumanireng Blikololong telah berakhir dengan kematian kedua anak laki-laki tersebut. Seandainya tidak ada perlindungan dari suku Ata Maran, kisah kehidupan mereka di panggung sejarah dunia ini berakhir sangat tragis, di tangan orang-orang yang sangat jahat.


Peristiwa penyelamatan itulah yang menyebabkan suku Ata Maran dipandang sebagai orang tua, ibu bapa (ema' bapa') oleh suku Kumanireng Blikololong. Itu juga menjadi alasan, mengapa relasi antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong pun bermodelkan relasi kekeluargaan atau persaudaraan. Model relasi sosial semacam itu berpengaruh dalam berbagai urusan sosial budaya lain di masyarakat Lewoingu, termasuk dalam urusan adat perkawinan. Dan para bapa-ibu Kumanireng Blikololong menjunjung tinggi model relasi sosial budaya semacam itu.


Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong, misalnya, sangat menjunjung tinggi model relasi sosial semacam itu. Ini beliau buktikan waktu dia mengurus adat perkawinan Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong. Dalam urusan itu, beliau meminta Akim Maran hadir, sebagai wakil suku Ata Maran. Dalam adat perkawinan, restu pihak ema' bapa' diperlukan. Maka hadirlah Akim Maran dalam urusan itu. Dia didudukkan di kepala meja, tanda kehormatan. Setelah itu, barulah urusan lain-lainnya dapat dilakukan.


Sepanjang sejarah Lewoingu, hingga beberapa tahun lalu, hubungan antara suku Ata Maran dan suku Kumanireng Blikololong berlangsung sangat baik. Sikap saling menghormati terus dipupuk dan dikembangkan di semua level kehidupan sosial budaya Lewoingu. Anggota-anggota suku Kumanireng Blikololong yang tahu sejarah tetap berusaha mempertahankan hubungan yang sangat baik itu. Tak pernah ada kata hina menghina di antara mereka. Saya pernah mendengar sendiri bagaimana Bernardus Sani Ata Maran dan Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong bergurau, bernostalgia tentang masa-masa silam mereka, ketika mereka masih muda. Waktu itu mereka sering bersama-sama. Di masa-masa muda, mereka merasa saling membantu. Tak ada yang merasa lebih berjasa daripada yang lain. Mereka sama-sama tertawa mengenang masa muda mereka bersama, di masa lalu. Dan mereka pun merasa lucu dengan diri mereka sendiri di masa-masa lalu itu.


Di lihat dari sejarah, suku Ata Maran pula yang melindungi Bapak Subang Donihing Kumanireng Blikololong dan isterinya bernama Belaong dari ancaman pembunuhan. Tetapi orang bernama Bernardus Sani Ata Maran, yang menjadi pelindung bapak tersebut dan isterinya itu tidak pernah menggembar-gemborkan jasanya itu. Hanya dalam canda gurau di atas, mereka secara tidak langsung pernah sama-sama menyinggung soal itu.


Dalam abad ke-20, tidak hanya kedua orang itu yang menikmati perlindungan dari suku Ata Maran. Banyak orang lain pun menikmatinya. Selama beberapa tahun dalam era 1970-an, serombongan orang yang terdiri dari ibu, anak-anak, bapak dari anak-anak itu, dan beberapa saudara kandungnya serta ibu kandungnya menikmati perlindungan di rumah suku Ata Maran. Karena selama beberapa tahun itu di rumah Bernardus Sani Ata Maran terdapat cukup banyak orang, hari-hari yang kami lalui seakan-akan dalam suasana pesta-pesta kecil. Hidup bersama sesama manusia dalam suasana aman dan damai itu jauh lebih bermakna, ketimbang hidup dalam suasana benci membenci.


Meskipun penuh risiko, misi kemanusiaan itu dijalankan dengan senang hati. Setiap generasi suku Ata Maran, dalam setiap abad, sadar betul akan panggilan tugas kemanusiaannya itu.

Misi kemanusiaan itu akan terus diemban di hari-hari mendatang, di minggu-minggu mendatang, di bulan-bulan mendatang, di tahun-tahun mendatang, di abad-abad mendatang, dalam situasi apa pun. Sebagai orang Lewoingu, kalau suatu waktu nanti, anda merasa diancam dibunuh oleh orang jahat, anda tak perlu ragu untuk datang dan meminta perlindungan di rumah suku Ata Maran. Di rumah suku Ata Maran, anda akan menemukan keamanan diri sebagai manusia. ***