Rabu, 06 Februari 2008

Kekerasan Terhadap Perempuan

Mengharapkan terciptanya suasana hidup yang nyaman, aman, dan damai di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, rupanya tinggal harapan. Selain seringnya terjadi pertengkaran, yang disertai dengan kata-kata kasar penuh penghinaan, belakangan ini mulai terjadi kekerasan bermotifkan politik terhadap perempuan. Dari hari Minggu, tanggal 20 sampai dengan hari Selasa, 22 Januari 2008 saja, tiga orang perempuan menjadi korban kekerasan. Pelakunya terdiri dari dua orang pria, yang berasal dari kelompok pro-pemerintah desa tersebut. Selain itu terjadi juga kekerasan terhadap perempuan oleh perempuan.
Bentuk kekerasannya adalah pemukulan dan pencekekan. Pemukulan dilakukan oleh Marse Manuk terhadap Nona Endah, puteri dari Yose Laga Making dan Emy Hayon. Ini terjadi pada hari Minggu, 20 Januari 2008. Pencekekan dengan keras dilakukan oleh Yanto Lubur terhadap Ece Koten dan Flori Koten, pada hari Selasa pagi, 22 Januari 2008.
Pemukulan yang dilakukan oleh Marse Manuk terhadap Nona Endah merupakan lanjutan dari kekerasan yang dialami oleh gadis itu sesaat sebelumnya. Sebelum dipukul oleh Marse Manuk, Nona Endah dijatuhkan oleh Mina Kweng dan anaknya bernama Ivon Tukan.
Dua kekerasan fisik yang menimpa Nona Endah itu terjadi tak lama setelah Damasus Likuwatang Kumanireng menyampaikan pengumuman yang berkaitan dengan urusan-urusan desa. Dalam pengumumannya, Damasus Kumanireng antara lain mengimbau agar tulisan (berita) di Flores Pos (16 & 18 Januari 2008) tentang penolakan pelantikan Mikhael Torangama Kelen dan tentang penyalahgunaan keuangan desa tidak perlu ditanggapi. Setelah mendengar pengumumnan tersebut, Nona Endah berjalan pulang ke rumahnya sambil bernyanyi. Rupanya nyanyian Nona Endah itu tidak suka didengar oleh Mina Kweng dan anaknya, yang berjalan di depannya. Maka terjadilah kekerasan.
Setelah bangun dari tanah, akibat ulah kedua perempuan itu, Nona Endah membuang luda. Buangan ludahnya itu secara kebetulan mengenai Marse Manuk. Tetapi Marse Manuk langsung meradang. Tanpa berpikir panjang, Marse Manuk langsung memukul Nona Endah. Kata Marse Manuk, "Siapa yang hatinya tidak marah, dia membuang ludah dan mengenai saya." Kejadian ini membuat ibu anak gadis itu marah dan sempat mengamuk.
Tak jauh dari tempat kejadian itu, Mikhael Torangama Kelen berada. Orang ini sempat mengeluarkan ucapan begini, "Pasti ada orang pintar di belakang, siapa yang makan uang?" Tetapi tidak jelas, kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Di antara pendukung Mikhael Torangama Kelen, ada juga yang mengoceh sendiri, "Siapa yang makan uang, uang itu mereka bisa cari, dan bisa mereka ganti. Mereka yang ngomong di koran itu sakit hati, karena kesana kemari, tetapi tidak berhasil, maka mereka pun mulai tulis macam-macam di koran."
Pada hari Minggu, 20 Januari 2008 ini juga, Saver Lubur memarahi Mery Koten. Rupanya, orang bernama Saver Lubur ini tersinggung, ketika dia lewat di depan tempat tinggal Mery Koten, ada yang membuang ludah. Ceriteranya yang membuang ludah adalah Marse Kumanireng. Itu dia lakukan secara spontan, setelah mendengar suaminya yang sudah almarhum, yaitu Akim Maran, dituduh memakan uang Rp 7 juta rupiah. Tetapi tindakan ini tidak ditujukan kepada Saver Lubur, karena yang melancarkan tuduhan tersebut bukan Saver Lubur. Anehnya, yang dimarahi oleh Saver Lubur adalah Mery Koten.
Serangan dengan kata-kata ke rumah Pius Koten juga dilakukan oleh Sula Lubur, saudari dari Saver Lubur. Kepada Pius Koten, perempuan yang satu ini bertanya, "Untuk apa kasih makan anak-anak perempuan yang tidak berguna?" Ayah dari Saver Lubur, Yanto Lubur, dan Sula Lubur pun muncul di rumah Pius Koten.
Buntut dari pertengkaran pada hari Minggu, 20 Januari 2008, adalah peristiwa kekerasan pada Selasa pagi, 22 Januari 2008, di mana Yanto Lubur mencekek Ece' Koten dan Flori Koten. Dua gadis ini dicekek dengan keras, sehingga makanan yang mereka bawa pun terjatuh. Akibat kekasarannya terhadap dua gadis kakak beradik itu, Yanto Lubur diadukan ke Polisi. Waktu dijemput Polisi, Yanto Lubur berada di rumah Mikhael Torangama Kelen. Tetapi pelaku kekerasan ini tidak mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Bukan baru kali ini saja, orang bernama Yanto Lubur itu memamerkan sikap tidak terpuji. Pada bulan November 2007, di Blou, orang bernama Yanto Lubur ini pula yang dengan sengaja memalang kakinya untuk menghalangi langkah turun Flori Koten dari angkutan umum yang sama-sama mereka tumpangi. Tindakannya itu membuat Flori Koten nyaris jatuh.

Pada bulan Desember 2007, Ece Koten pun diancam dipukul oleh Heri Kelen, anak dari seorang guru bernama Anis Kelen. Pada waktu itu, si Anis Kelen pun sempat datang ke rumah Pius Koten (ayah dari Mery Koten, Ece' Koten, dan Flori Koten), dan menantang dengan kata-kata, "Siapa yang mau pukul anak saya?"
Mendengar adanya keributan di rumah Pius Koten itu, Yose Lagamaking datang dan mengatakan, siapa yang mau melawan Pius Koten, lawan saya. Mendengar itu, Anis Kelen dan grupnya pun pergi tanpa banyak bicara.
Keributan pada hari Minggu, tanggal 16 Desember 2007 di rumah Pius Koten itu bermula dari ocehan Martha Angin, isteri seorang guru bernama Anis Kelen. Dia menuduh bahwa Pius Koten berambisi menjadi kepala desa lagi, sehingga berusaha menggagalkan pelantikan Mikhael Torangama Kelen. Ece' Koten yang mendengar tuduhan itu tidak mau menerima, lantas menentang tuduhan itu. Terjadilah pertengkaran antara kedua pihak.
Kalau diperhatikan, tuduhan Martha Angin tersebut di atas tidak masuk akal, karena Pius Koten adalah orang Eputobi yang lama menduduki kursi kepala desa. Kalau dia berambisi menjadi kepala desa Lewoingu, dia dengan mudah dapat mempertahankan kursi kekuasaannya sebagai kepala desa. Tetapi, karena tidak berambisi untuk menjadi kepala desa lagi, maka dia pun tidak mau mencalonkan diri.
Ikut nimbrung dalam keributan pada Minggu, 16 Desember 2007 itu adalah Maria Kelen, yang bersuamikan Anton Teluma. Sementara itu Yose Nunang pun bolak-balik memanggil orang-orang dari kubu Mikhael Torangama Kelen, yang berada di bagian timur kampung Eputobi, untuk datang ke rumah Pius Koten. Dengan demikian hawa panas pertengkaran pun menjalar ke mana-mana.
Tampak jelas bahwa serangan verbal ke rumah Pius Koten dan kekerasan fisik yang menimpa dua orang anak gadisnya itu, juga serangan fisik kepada Nona Endah itu bermotifkan politik. Para penyerang itu adalah orang-orang yang selama ini terkenal sebagai pendukung Mikhael Torangama Kelen, yang memenangkan pilkades di Lewoingu, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Selasa, 27 Maret 2007, melalui suatu proses yang cacat hukum dan cacat moral.
Tetapi orang itu yang dilantik menjadi kepala desa Lewoingu, pada Rabu, 16 Januari 2008, oleh Bupati Flores Timur. Banyak orang di Eputobi menolak pelantikan itu. Soalnya, mereka menemukan adanya indikasi yang sangat jelas, bahwa orang itu menyelewengkan keuangan desa selama dia menjadi kepala desa pada periode 2000-2007. Selain itu, seperti sudah disinggung dalam Buser Timur, mingguan yang diterbitkan di kota Kupang, orang itu pun terlibat dalam kasus pembunuhan terencana terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Keterlibatannya itu sudah menjadi rahasia umum di daerah Lewoingu dan sekitarnya di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Arwah Akim Maran sendiri yang menjelaskan secara gamblang keterlibatan orang itu dalam kejahatan yang terjadi pada hari Senin malam, 30 Juli 2007. Dan kiranya jelas bahwa apa yang dikatakan oleh Arwah Akim Maran itu benar adanya.
Anda perlu tahu, bahwa Polisi di negera supermaju seperti Amerika Serikat pun menggunakan petunjuk dari arwah korban kejahatan, yang tidak memiliki bukti-bukti yang jelas. Dan mereka berhasil menangkap pelakunya. Berdasarkan petunjuk dari arwah korban, entah melalui mimpi, entah melalui mediator tertentu, aparat kepolisian di negara Indonesia pun sudah berkali-kali berhasil membongkar tuntas kasus-kasus kejahatan yang tidak memiliki jejak-jejak bukti yang nyata. Tetapi hingga baris ini diketik, aparat kepolisian di Flores Timur belum mampu menangkap satu pun dari pelaku-pelaku kejahatan tersebut.
Setiap orang Eputobi yang berhati nurani mestinya malu memiliki kepala desa yang secara sangat jelas terindikasi sebagai pelaku kejahatan yang sangat terencana. Kelambanan aparat kepolisan dalam menangani kasus kejahatan tersebut memungkinkan yang busuk, yang sangat jahat naik lagi ke kursi jabatan kepala desa di Lewoingu.
Di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, hati nurani masyarakat beradab sengaja dilecehkan oleh oknum-oknum birokrat lokal maupun oknum-oknum polisi tertentu. Untung, masyarakat yang berhati nurani di Eputobi tidak mau mengakui bahwa mereka, sekarang ini, memiliki seorang kepala desa. Bagi mereka, yang dilantik pada Rabu, 16 Januari 2008 adalah kepala dari orang-orang yang selama ini menghalalkan segala macam cara, termasuk pembunuhan, untuk memenuhi ambisi politik mereka.***