Sabtu, 02 Februari 2008

Berani Berbuat, Takut Bertanggung Jawab

Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Itu kata orang-orang bijak. Tetapi dalam masyarakat manusia, kita menemukan cukup banyak orang yang berani berbuat tetapi takut bertanggung jawab. Apalagi yang mereka buat adalah perbuatan yang jahat. Dalam hidup ini, kita dengan mudah menjumpai, adanya penjahat yang berani berbuat jahat, tetapi takut bertanggung jawab. Kalau mau cari sempelnya, pergilah sekarang ini juga ke Eputobi-Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Tanpa disadari banyak orang, sejak tahun 2000 hingga sekarang ini, dan bisa jadi untuk beberapa tahun ke depan, kampung Eputobi-Lewoingu telah disulap menjadi sarang penjahat. Bagaimana prosesnya? Jangan tanya rumput yang bergoyang, karena di sana tak ada jawabannya. Coba, tanya saja kepala desanya. Tampaknya dia tahu apa yang terjadi sejak tahun 2000 hingga sekarang ini. Kalau dia bilang dia tidak tahu, itu berarti selama ini dia lebih banyak bersemedi di suatu dunia yang lain.

Sebelum tahun 2006, geng penjahat itu tampil biasa-biasa saja. Tetapi sejak tahun 2006 hingga Januari 2008, tampilan mereka luar biasa. Aksi mereka mencakup penyelewengan uang desa, pencurian dan penjualan material bekas bangunan yang seharusnya menjadi milik desa, mengintimidasi orang, mengancam mengganyang dan membunuh orang lain, menghasut orang untuk memusuhi pihak lain. Dan kreasi puncak kejahatan mereka di tahun 2007 adalah tragedi Senin malam, 30 Juli 2007. Jejak-jejak kejahatan mereka tampak jelas mulai dari jalan keluar dari Bokang, ke Tobi Bele'eng, hingga Pondok, dan Parit di tepi jalan negara di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga (dari arah Barat ke Timur), di Kabupaten, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Korban kejahatan mereka pada malam itu adalah Yoakim Gresituli Ata Maran.

Pada malam hari itu, dengan cara pengecut, mereka bersembunyi dalam gelap malam, kemudian menghadangnya, mengeroyok dan menyiksanya hingga sekarat, lalu membiarkan dia mati sendirian di dalam parit persis di bawah sebuah deker di Blou. Setelah berbuat jahat, tidak ada satu pun dari penjahat-penjahat itu yang berani bertanggung jawab. Padahal seluruh lapisan masyarakat Lewoingu, dan banyak kalangan di Flores Timur, sudah tahu siapa-siapa saja pelaku pembunuhan terencana itu. Masyarakat beradab dengan penuh kesabaran mengharapkan keberanian penjahat-penjahat itu untuk bertanggung jawab. Masyarakat beradab juga menanti pembuktian efektifitas kerja polisi dalam mengatasi kejahatan dalam rupa apa pun. Masyarakat beradab tidak mengharapkan kasus kejahatan terencana yang sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan sangat mengerikan di daerah pedesaan itu ditutup-tutupi berdasarkan alasan-alasan yang tidak masuk akal.

Wewenang menangkap penjahat ada pada pihak kepolisian, bukan pada warga negara biasa-biasa seperti kita. Kalau kita menangkap sendiri penjahat-penjahat di Eputobi-Lewoingu itu, Polisi akan menuduh kita main hakim sendiri. Tetapi kita pun sudah tahu persis lemahnya kinerja oknum-oknum polisi tertentu di republik ini. Ingat, polisi itu kuat, tetapi oknum-oknum tertentunya lemah.

Di Polres Flores Timur, seorang polisi senior dengan rendah hati mengakui kelemahan kinerja oknum-oknum anggota polisi tertentu. Dia memohon pengertian dari pihak keluarga korban akan kelemahan tersebut. Dalam hati, kita berkata, tanpa diminta pun pihak kita, selama ini sudah berusaha mengerti akan hal itu. Tidak hanya itu, pihak keluarga korban, sesuai dengan posisi dan peran sosialnya dalam tradisi adat Lewoingu, sudah berusaha mengendalikan keamanan kampung. Padahal intimidasi dan ancaman terhadap keselamatan jiwa keluarga korban dan anggota-anggota suku yang bersatu padu dengan pihak keluarga korban terus bermunculan. Karena menjunjung tinggi prinsip negara hukum demokratis, maka kita mau bersabar dalam menghadapi arogansi penjahat-penjahat itu.

Kelambanan polisi dalam menyergap dan menangkap para penjahat yang bersarang di bagian timur kampung Eputobi itu membuat mereka merasa kebal hukum. Berlalu dan berlalunya lagi momentum pembekukan, membuat penjahat-penjahat itu kian arogan. Padahal, penjahat-penjahat itu berasal dari kelompok kecil dan tidak memiliki pengaruh yang kuat di seluruh Lewoingu.

Setelah berhasil mengeroyok Akim Maran hingga meninggal dunia, penjahat-penjahat Eputobi itu, sempat berada dalam posisi ketakutan dan terjepit. Ada yang sempat tidak berani keluar rumah, ada yang bermaksud menjual sepeda motornya untuk melarikan diri, ada yang karena alasan sakit kepala, maka ke mana-mana helm (helmet) tetap dipakai, sampai-sampai di acara pesta pun helm tetap melekat di kepala. Karena lehernya juga sakit, ke mana-kemana krah jeketnya ditegakkan agar tidak ketahuan lukanya. Itu terjadi setelah tanggal 30 Juli 2007. Kalau ada polisi lewat, ada di antara mereka yang langsung ngumpet. Sampai dengan pertengahan bulan Oktober 2007, mereka berada dalam posisi ketakutan. Mereka takut ditangkap polisi. Stamina mereka bangkit lagi setelah oknum polisi tertentu di Polres Flores Timur merestui keinginan mereka untuk menyebarluaskan informasi bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalu lintas. Ceriteranya, terjadi lakalantas tunggal.

Meskipun bersifat palsu, pernyataan bahwa "kematian Yoakim Gresituli Ata Maran adalah murni karena kecelakaan lalu lintas" menjadi semacam ayat favorite mereka, yang menjadi pedoman dasar perilaku mereka pasca 26 Oktober 2007. Beberapa hari sebelum tanggal 10 Januari 2008, orang yang dilantik bersyarat pada 16 Januari 2008, mengeluarkan omongan begini, "mereka di sebelah sana itu (maksudnya warga yang tinggal di bagian barat kampung Eputobi) bodoh; masa orang sudah bilang bahwa kematian Akim Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas, tetapi terus saja ke Blou (ke lokasi kejadian perkara)." Orang ini rupanya tidak tahu, bahwa yang ke Blou itu tidak hanya warga biasa dari kampung Eputobi, tetapi juga apara kepolisian yang menjalankan tugas mereka. Lalu coba tanyakan kepada dia juga, untuk apa pihaknya sendiri juga sering kasak-kusuk ke lokasi kejadian perkara di Blou sana?

Meskipun tutur kata dan kasak-kusuk mereka memperlihatkan secara jelas perbuatan jahat mereka, mereka terus memainkan sandiwara tutup mulut di antara sesama mereka. Pentas yang tidak lucu itu hanya menjadi bahan tertawaan masyarakat beradab di Lewoingu dan sekitarnya.

Yang juga tidak lucu ialah sikap oknum-oknum polisi tertentu, yang menunggu dan menunggu. Sehingga sampai dengan awal bulan ketujuh setelah perkara pembunuhan itu terjadi pun belum jelas hasil kerja mereka. Padahal semua barang bukti, semua informasi penting, sudah dilimpahkan kepada pihak kepolisian setempat. Arwah korban kejahatan itu sendiri pun sudah menyampaikan secara terang benderang nama-nama penjahat-penjahat yang membunuhnya. Tidak hanya satu dua kali dia menyampaikan hal itu, tetapi berkali-kali kepada berbagai pihak. Apa yang dia sampaikan cocok dengan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Tetapi aparat kepolosian setempat rupanya masih membiarkan penjahat-penjahat Eputobi-Lewoingu itu bebas berkeliaran menghirup udara segar.

Memang menjadi mudah kerja polisi, kalau di antara penjahat-penjahat itu ada yang berani buka mulut untuk menyanyikan lagu tentang apa yang mereka lakukan pada hari Senin malam tanggal 30 Juli 2007. Tetapi keliru, jika mengharapkan hal semacam itu terjadi begitu saja. Rupanya, aparat kepolisian setempat belum tahu, bahwa penjahat Eputobi-Lewoingu itu berasal dari nenek moyang yang juga sudah biasa menjagal orang tanpa alasan yang jelas. Kalau sudah jadi bakat alamiah, siapa di antara mereka yang merasa perlu bertanggung jawab.

Di dalam kenyataan, mereka berani membunuh orang, tetapi tidak berani bertanggung jawab. Mereka bukan tipe penjahat yang berani berbuat jahat dan berani bertanggung jawab atas perbuatan jahat mereka. Mereka bukan tipe orang di Flores Timur, yang berani membunuh orang, lalu berani langsung pergi ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan diri sambil membawa parang atau jenis senjata lainnya yang dipakai untuk mencabut nyawa korbannya.

Penjahat-penjahat di Eputobi-Lewoingu akan mengakui perbuatan jahat mereka, kalau aparat kepolisian setempat berani menyergap dan menangkap mereka kapan dan di mana pun berdasarkan petunjuk-petunjuk awal yang sudah teramat terang benderang itu. Masyarakat beradab menunggu tindakan yang jelas dan tegas dari aparat kepolisian setempat untuk menghancurkan sarang penjahat di Eputobi-Lewoingu.

Aku yakin, hari itu akan tiba. Setelah itu, kita akan menata Lewowerang-Lewoingu dengan cara baru berdasarkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang pendiri Lewoingu sejati.

Benih Lewoingu baru itu sudah ditanamkan. Dan benih itu akan tumbuh, dan akan merekah, dan akan berkembang di halaman-halaman rumah-rumah kita yang baru, segera setelah berlalunya zaman gelap yang edan ini. Warna-warni dan harum-wangi aneka kembang dari halaman-halaman rumah-rumah Lewowerang-Lewoingu baru itu sudah mulai menampakkan diri, dari kejauhan. Maka mari, dari sekarang ini juga, kita gulung saja zaman gelap edan ini. ***