Minggu, 31 Juli 2011

Empat Tahun Kemudian

Empat tahun kemudian setelah tanggal 31 Juli 2007 adalah hari ini 31 Juli 2011. Pada hari Selasa, 31 Juli 2007, selepas jam 09.00 waktu setempat, masyarakat Lewoingu di Flores Timur dikejutkan dengan berita tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di pinggir jalan raya di Blou yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga. Menurut kabar yang beredar pada hari itu, jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan oleh seorang petani bernama Moses Hodung Werang pada jam 09.00 pagi waktu setempat. Konon, orang ini pula yang melaporkan penemuannya itu ke Kapospol Titehena di Lewolaga. Dan bersama Kapospol Titehena, Fransiskus Raga L. dia kembali ke tempat kejadian perkara.

Yang tidak diketahui oleh banyak orang pada hari itu ialah fakta bahwa pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007, beberapa jam sebelum jam 09.00 waktu setempat, Yohakim Tolek Kumanireng telah menyampaikan kepada beberapa tukang ojek di Eputobi bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran mengalami kecelakaan dan sedang terbaring di Blou dengan muka pucat pasi. Kabar itu dia sampaikan setelah dia turun dari ojek. Ojek itu distopnya di larang metineng (jalan menuju pantai Keletakeng). Sebelum jam 09.00 pagi hari itu, salah seorang dari kubu Mikhael Torangama Kelen menyampaikan kabar tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Konga.

Ketika Kapospol Titehena dan Moses Hodung Werang berada di tempat kejadian perkara, Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng pun muncul di situ. Oleh Kapospol Titehena mereka diminta untuk menyampaikan kabar duka ke pihak keluarga orang yang meninggal itu di Eputobi. Dalam perjalanan ke Eputobi, mereka menunjukkan rasa gembira mereka. Di Eputobi, mereka tidak menyampaikannya ke keluarga Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang mereka tunjukan ke masyarakat setempat adalah rasa suka cita, bukan rasa duka cita.

Yang tidak diketahui oleh masyarakat setempat pada hari itu adalah fakta bahwa jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran tidak ditemukan oleh Moses Hodung Werang. Ceritera Moses Hodung Werang bahwa dia menemukan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran itu merupakan suatu kebohongan. Terdapat saksi yang bertemu dengan Moses Hodung Werang berjalan dari arah Wairunu ke Lewolaga, paling kurang dua jam sebelum jam 09.00 pada pagi hari itu. Seandainya Moses Hodung Werang menjadi orang pertama yang menemukan jenazah korban, dia mestinya menceriterakannya kepada orang-orang yang dijumpainya di ruas jalan antara Blou dan Lewolaga. Untuk apa dia merahasiakannya? Juga aneh bahwa setelah dari Blou, dia pun tidak langsung melaporkannya ke Pospol di Lewolaga. Juga aneh bahwa tak lama setelah Moses Hodung Werang dan Kapospol Titehena berada di tempat kejadian perkara, muncul pula di situ Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng.

Tampak jelas bahwa sejak pagi hari itu Moses Hodung Werang pun ikut berusaha merahasiakan kegiatan yang dilakukan oleh para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou. Hingga hari ini, Moses Hodung Werang masih berusaha bertahan dengan versi ceriteranya bahwa dialah yang pada jam 09.00 waktu setempat (Selasa, 31/7/2011) menemukan jenazah korban di dalam parit di pinggir jalan di Blou. Tetapi apa yang coba dirahasiakannya itu sebenarnya sudah terbongkar. Tak ada gunanya dia terus berusaha merahasiakan barang busuk itu.

Empat tahun setelah tanggal 31 Juli 2007, suasana kehidupan di kampung Eputobi mengalami perubahan terutama dalam dimensi relasi sosial antara kubu timur dan kubu barat. Setelah capek membela posisi Mikhael Torangama Kelen, sebagian dari mereka yang dari kubu timur mulai bertegur sapa dengan orang-orang dari kubu barat. Di antara mereka muncul kesadaran bahwa selama ini mereka membela orang yang tidak jujur. Jelas bahwa kubu timur mengalami perpecahan. Dan Mikhael Torangama Kelen semakin tak mampu untuk mempersatukan serta memperkuat kubunya. Wibawanya sebagai kepala desa Lewoingu semakin terjun bebas. Dalam suasana semacam itu makin jelas tampak ke permukaan fakta-fakta tentang perbuatan sangat keji yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Yang tidak berubah adalah status Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Yang juga tidak berubah adalah usaha Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya untuk bertahan dalam dusta, suatu usaha yang pada dasarnya sia-sia. Segala macam dusta mereka itu tak akan menghapuskan kenyataan bahwa mereka punya utang darah dan nyawa. Utang itu pun harus mereka bayar. ***

Jumat, 29 Juli 2011

Empat Tahun Yang Disia-siakan

Hari ini tanggal 29 Juli 2011. Besok tanggal 30 Juli 2011. Lusa tanggal 31 Juli 2011.

Besok malam, 30 Juli 2011, tragedi Blou berusia empat tahun. Pada malam itu, empat tahun lalu, Mikhael Torangama Kelen memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, warga kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Aksi pembunuhan tersebut didahului dengan penghadangan, pengeroyokan, serta penganiayaan sangat berat terhadap korban. Yoakim Gresituli Ata Maran yang sendirian, dalam perjalanan dengan sepeda motor dari Lato menuju kampung Eputobi, tak berdaya melawan komplotan penjahat yang dikepalai oleh Mikhael Torangama Kelen. Dia akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir ditempat kejadian perkara. Keesokan harinya, Selasa, 31 Juli 2007, tersiar kabar tentang kematiannya. Pada hari itu, tersiar pula berita bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalulintas.

Tetapi di tempat kejadian perkara sama sekali tidak ditemukan jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalulintas. Di tempat kejadian perkara di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga, ditemukan petunjuk-petunjuk yang amat benderang, bahwa kematiannya adalah akibat pembunuhan. Karena itu, keluarga korban memohon polisi untuk menyelidiki kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu. Permohonan secara lisan pertama disampaikan ke Kapospol Titehena, Fransiskus Raga L. di Lewolaga pada tanggal 5 Agustus 2007. Tetapi permohonan itu tak mendapat respons positif dari Kapospol Titehena.

Permohonan tersebut juga disampaikan secara lisan dan tertulis kepada Kapolres Flores Timur di Larantuka dan kepada Kapolsek Wulanggitang di Boru. Tetapi sampai dengan akhir tahun 2007, permohonan dari pihak keluarga korban itu tidak mendapat tanggapan positif. Sebelum akhir tahun, yaitu pada bulan Oktober 2007 di Polres Flores Timur muncul suatu tim yang menyebarkanluaskan kabar bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Aktif dalam tim, yang dipimpin oleh K. Melki Bagailan itu, Fransiskus Raga L.  Seorang polwan pun ikut serta dalam tim tersebut.

Apa yang disebarluaskan oleh tim tersebut jelas merupakan kebohongan. Tim yang menyebarkan kebohongan itu dipimpin oleh K. Melki Bagailan yang pada waktu itu menjabat sebagai Kasat Lantas Polres Flores Timur. Dikiranya hanya K. Melki Bagailan dkk yang menyebarkanluaskan kebohongan. Ternyata Abdul Syukur, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kapolres Flores Timur pun melakukan kebohongan publik. Kebohongannya disebarluaskan melalui surat yang dikirim kepada semua kepala desa di Kecamatan Titehena. Surat itu dibuat berdasarkan permintaan mereka yang terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut. Permintaan itu disampaikan secara terbuka di Eputobi melalui K. Melki Bagailan dan timnya.

Pada bulan Januari 2008, setelah mengetahui bahwa keluarga korban melaporkan kasus pembunuhan tersebut ke Polda NTT dan ke Mabes Polri, serta ke Presiden RI, Abdul Syukur membentuk suatu tim yang ditugaskan untuk menyelidiki perkara pembunuhan tersebut. Tetapi keesokan harinya tim itu langsung pecah ke dalam dua kelompok. Di satu pihak terdapat anggota-anggota polisi yang mau melakukan tugas tersebut. Di lain pihak terdapat anggota-anggota polisi yang tak mau melaksanakan tugas tersebut. Beberapa polisi yang mau melaksanakan tugas tersebut sempat turun ke lapangan untuk melakukan penyelidikan. Tetapi hasil kerja mereka pun tidak jelas.

Kasus pembunuhan tersebut baru mulai terungkap secara jelas setelah Polda NTT menerjunkan dua penyidiknya untuk melakukan penyelidikan. Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup, Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan terahdap Yoakim Gresituli Ata Maran. Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang kini menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Tiga tersangka lainnya adalah anak kandung dari Lamber Liko Kumanireng. Pada tanggal 18 April 2008, keempat tersangka tersebut ditangkap. Dan selama empat bulan mereka ditahan di Polres Flores Timur.

Pada tanggal 1 April 2008, AKBP Syamsul Huda diangkat menjadi Kapolres Flores Timur. Abdul Syukur dimutasi ke Kefa. Ketika dia menjadi Kapolres di Kefa, terjadi pembunuhan terhadap Paulus Usnaat. AKBP Syamsul Huda bertekad membawa kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran ke Pengadilan Negeri Larantuka. Namun upayanya itu gagal, karena lemahnya dukungan dari para bawahannya. Memang, sejak awal terdapat upaya-upaya nyata dari oknum-oknum polisi tertentu untuk mengalihkan kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran menjadi kasus kecelakaan lalulintas.

Setelah dua tahun lebih menduduki kursi Kapolres Flores Timur, AKBP Syamsul Huda diganti oleh AKBP Eko Kristianto. Kepada keluarga korban, AKBP Eko Kristianto pernah menyatakan keseriusannya untuk menangani perkara pembunuhan tersebut. Tetapi hingga kini, penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan di tempat. Mungkin apa yang pernah dialami oleh AKBP Syamsul Huda dialami pula oleh AKBP Eko Kristianto. Tampaknya keseriusan verbalnya tak dapat diterjemahkan secara nyata ke para bawahannya.

Yang mengejutkan banyak pihak di Lewoingu adalah keputusan AKBP Eko Kristianto mengangkat Fransiskus Raga L. menjadi Kepala Pos Titehena yang bermarkas di Lewolaga. Padahal Fransiskus Raga L. adalah orang yang aktif dalam tim yang melakukan kebohongan publik seperti telah disinggung di atas. Keputusannya itu menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang selama ini mengharapkan keseriusan Kapolres Flores Timur dan para bawahannya untuk mengungkap berbagai aspek yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut.

Karena penanganan perkara pembunuhan tersebut berjalan di tempat, selama tiga pekan dalam bulan Juli 2011, pihak keluarga korban berusaha menemui Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur untuk menanyakan perkembangan penanganan perkara pembunuhan tersebut. Tetapi upaya pihak keluarga korban tersebut tidak berhasil, karena Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur tidak berada di tempat. Mudah-mudahan dalam hari mendatang ini, kedua pejabat di Kapolres Flores Timur itu lebih sering berada di tempat sehingga lebih mudah ditemui oleh keluarga korban. Selama ini mereka sendiri pun mengharapkan kerja sama dari pihak keluarga korban untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Tetapi kalau mereka sendiri susah ditemui, bagaimana mungkin kerjasama yang diharapkan itu dapat berjalan secara efektif.

Tak terasa, empat tahun sudah usia kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Seandainya Kasat Reskrim, Kapolres, dan para penyidik Polres Flores Timur serius menangani kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya itu, maka perkara tersebut mudah diungkap hingga tuntas, dan para pelakunya pun sudah dijebloskan ke bui.

Terdapat celah-celah yang pada dasarnya terbuka untuk digunakan untuk mematahkan dusta demi dusta yang selama ini dijadikan sebagai senjata untuk mengelabui para penyidik. Tetapi para penyidik yang bersangkutan tak mau menggunakannya. Tak jelas apa alasannya. Yang jelas, empat tahun telah disia-siakan oleh mereka yang oleh Negara Republik Indonesia ditugaskan (dipercayakan) untuk memberantas kejahatan. Tampaknya, reposisi lebih lanjut di tubuh Polres Flores Timur perlu dilakukan agar kasus pembunuhan yang ujung pangkalnya telah terang benderang itu dapat diungkap hingga tuntas. ***

Senin, 11 Juli 2011

Siapa yang menabur kejahatan, dia akan menuai ……..?

Sebelum tahun 2006, masyarakat Eptuobi, Lewoingu, di Kecamatan Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur hidup dalam suasana rukun dan damai. Suasana damai itu saya rasakan hingga tahun 2004, ketika saya berlibur ke kampung Eputobi. Pada tahun itu dua kali saya ke kampung Eputobi. Kesempatan itu saya gunakan untuk berbicara dengan beberapa tokoh senior di kampung Eputobi. Ketika itu saya tidak menemukan adanya tanda-tanda akan terjadinya malapetaka besar di kampung Eputobi.

Dua tahun kemudian, yaitu pada bulan April dan Mei tahun 2006, kerukunan dan kedamaian mulai tercabik. Oleh siapa? Oleh sekelompok orang yang mengacaukan tata adat dan melanggar batas tanah milik Ata Maran di kampung Eputobi. Kasus itu membuat saya pulang pada bulan Juni 2006. Untuk apa? Untuk melihat dari dekat apa yang sesungguhnya terjadi. Di lapangan saya menemukan jejak-jejak pelanggaran batas tanah tersebut. Selama berada di Eputobi saya pun berdiskusi dengan sejumlah orang termasuk dengan beberapa pemuka adat keturunan Gresituli. Dari berbagai informasi yang berhasil saya himpun dari berbagai pihak, saya menemukan bahwa pelanggaran adat pada 10 April 2006 dan pelanggaran batas tanah pada 19 Mei 2006 itu dengan sengaja dirancang oleh kelompok pengacau tersebut untuk menunjukkan bahwa merekalah yang menjadi penguasa adat Lewoingu. Kelompok pengacau adat itu dipayungi oleh kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Kelompok itu mengandalkan Donatus Doni Kumanireng sebagai aktor intelektual.

Setelah tanggal 10 April 2006, pihak Ata Maran berusaha menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme musyawarah-mufakat. Upaya itu disampaikan kepada Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu. Agar Donatus Doni Kumanireng bisa hadir dalama acara tersebut, Mikhael Torangama Kelen menetapkan tanggal 12 Mei 2006 sebagai tanggal pertemuan. Tokoh-tokoh adat dari Suku Lewolein (Lewoema), Doweng One’eng, dan Ata Maran menghadiri pertemuan itu dengan harapan terjadi suatu musyawarah untuk mencapai mufakat guna secara damai menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kelompok pengacau tersebut. Diharapkan Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu mampu memimpin jalan pertemuan tersebut secaran baik. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini justru berpihak kepada kelompok pengacau tersebut. Diharapkan kehadiran Donatus Doni Kumanireng selaku seorang doktorandus dapat memberi pengaruh yang kondusif bagi jalannya pertemuan tersebut. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini menjadi bagian dari persoalan baru. Pendek kata, di dalam pertemuan itu, pihak Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One’eng dipermalukan di muka umum, suatu hal yang baru pertama terjadi dalam sejarah Lewoingu.

Pada tanggal 19 Mei 2006, tiga suku keturunan Gresituli membuat suatu upacara adat di eputobi guna menegaskan batas tanah seperti yang sudah disepakati oleh para leluhur Ata Maran, Lewolein, Doweng One’eng di satu pihak dan Kumanireng dan Lamatukan di pihak lain. Menanggapi hal itu, para pengacau tersebut melakukan pelanggaran batas tanah tersebut. Ketika itu, ulah mereka itu dibiarkan, karena menurut keyakinan para keturunan Gresituli dan para anggota suku-suku lain yang mengetahui sejarah tanah itu dan sejarah adat Lewoingu, cepat atau lambat para pengacau itu akan bertobat.

Di kemudian hari ditemukan adanya tanda-tanda pertobatan di kalangan tersebut. Tetapi mereka tidak pernah mengakui secara terbuka bahwa mereka telah melakukan kesalahan adat dan kejahatan berupa penyerobotan tanah bukan milik mereka. Aktor intelektual mereka malah membenarkan perbuatan jahat semacam itu. Sepak terjangnya itu menimbulkan tanda tanya besar di berbagai kalangan yang mengetahui sejarah Lewoingu termasuk sejarah pemilikan tanah ulayat.

Dikira upaya mereka untuk mengacaukan kampung Eputobi hanya sampai di situ. Pada tahun 2007 para pengacau adat dan pelanggar batas tanah tersenut bersama Mikhael Torangama Kelen dan kaki tangan politiknya menjelma menjadi suatu komplotan yang sungguh-sungguh kriminal. Untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala desa Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen dan para kaki tangannya membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pembunuhan tersebut merupakan tahap awal dari rencana mereka untuk membunuh lima orang yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam gerakan antikorupsi di kampung Eputobi. Mereka beranggapan bahwa lima orang itu menjadi penghalang utama bagi Mikhael Torangama Kelen untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, kursi kekuasaan yang juga dia gunakan untuk melakukan korupsi selama periode pertama pemeritahannya. Hanya karena rencana jahat mereka itu sudah terbuka ke publik, dan karena takut, maka mereka tak merealisasikan rencana jahat mereka untuk empat orang rekan seperjuangan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup empat orang yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi selama ini para tersangka itu tidak jujur mengakui perbuatan jahat mereka di Blou. Padahal makin lama makin ditemukan fakta-fakta bahwa mereka itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Bersama sejumlah oknum polisi nakal, mereka bergotong royong untuk mengalihkan kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas.

Kiranya perlu dicatat bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah bapak kecil dari Arlene  alias Aris Kelen. Yohakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng adalah saudara kandung dari Damianus Kumanireng yang kini bermukim di tanah Papua. Dari catatannya di buku tamu eputobi.net tanggal 5 Juli 2011, saya bisa mengatakan bahwa Aris Kelen pun sudah memiliki kemampuan untuk memutarbalikkan fakta-fakta. Yang selama ini saya ungkapkan melalui tulisan-tulisan saya di internet adalah fakta-fakta yang dengan mudah dapat dibuktikan. Termasuk yang saya ungkapkan adalah peranan Andreas Boli Kelen untuk menghambat bahkan untuk memblokir proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Aris Kelen tentu mengenal dengan baik siapa Andreas Boli Kelen. Coba Aris Kelen bertanya kepada Andreas Boli Kelen mengapa dia mengancam Petrus Naya Koten alias Pite Koten, saksi mahkota? Rupanya Aris Kelen tidak lagi punya rasa malu memiliki bapak kecil yang adalah seorang pembunuh dan pelaku korupsi. Tampak jelas bahwa orang ini tidak tahu lagi mana baik, mana tidak baik, mana benar, mana yang salah. Kepada dia saya perlu menyampaikan bahwa bapak kecilmu itu telah menaburkan kejahatan, maka dia akan menuai badai malapetaka yang mengerikan. Termasuk yang akan menuai badai malapetaka adalah orang-orang yang selama ini ikut berjuang menutup kasus pembunuhan tersebut.

Saya juga menemukan catatan yang dibuat oleh Damianus Kumanireng pada tanggal 4 Juli 2011 di buku tamu eputobi.net. Dari catatannya itu, saya mengetahui bahwa dia termasuk orang yang menutup diri terhadap fakta-fakta bahwa tiga orang saudara kandungnya berperan sebagai eksekutor utama yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada malam itu, tiga orang saudara kandungnya itu secara brutal menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran. Lalu coba Damianus Kumanireng pun bertanya kepada Lamber Liko Kumanireng di mana posisi dia ketika terjadi peristiwa buruk tahun 2006 itu? Tiga peristiwa di 2006 dan peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di 2007 itulah yang merusak kerukunan dan kedamaian di kampung Eputobi.

Dengan mengabaikan fakta-fakta, khususnya fakta-fakta keterlibatan tiga orang saudara kandungnya dalam peristiwa pembunuhan tersebut, Damianus Kumanireng pun sangat berpotensi untuk ikut menutup kasus pembunuhan tersebut. Pembunuhan tersebut merupakan suatu kejahatan luar biasa besar. Juga merupakan suatu kejahatan luar biasa besar upaya-upaya yang dikerahkan untuk menutup pembunuhan tersebut. Menutup kejahatan yang luar biasa besar itu bukan cara untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Eputobi. Tetapi kejujuran untuk mengakui perbuatan jahat tersebut di hadapan masyarakat Lewoingu dan di hadapan pihak berwajib bisa menjadi langkah awal bagi bergulirnya proses perdamaian seperti yang anda harapkan itu, Damianus Kumanireng……..

Ingatlah baik-baik Damianus Kumanireng, siapa yang menabur kejahatan kemanusiaan yang luar biasa besar itu, dia akan menuai badai malapetaka yang luar biasa besar juga. ***

Minggu, 03 Juli 2011

Damai …..??? Barang apa itu?

Sudah sering saya mendengar kabar dari Eputobi tentang kasak-kusuk para penjahat Eputobi untuk berdamai dengan kelompok barat di kampung Eputobi. Kasak-kusuk semacam itu pernah dilakukan antara lain oleh Mikhael Torangama Kelen, juga oleh Donatus Doni Kumanireng. Mikhael Torangama Kelen adalah orang yang memimpin aksi pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Meskipun tidak terlibat langsung dalam aksi pembunuhan yang terjadi pada malam tersebut, Donatus Doni Kumanireng punya andil yang signifikan di belakang layar bagi terlaksananya kejahatan tersebut. Peransertanya dalam upaya-upaya untuk menutup kasus pembunuhan tersebut sangat jelas. Orang ini pun jago dalam memutarbalikkan fakta-fakta sejarah Lewoingu dan fakta-fakta yang terkait dengan kasus pembunuhan tersebut. Hal ini dia lakukan demi kepentingan kekuasaan, baik kepentingan kekuasaan adat maupun kekuasaan politik yang ada dalam genggaman tangan adik iparnya, Mikhael Torangama Kelen. Hasil kerjasama mereka adalah kerusakan-kerusakan yang terjadi di kampung Eputobi sejak 2006 hingga sekarang ini. 

Mendengar adanya kasak-kusuk semacam itu, saya bertanya dalam hati, “Damai…??? Barang apa itu?” Lalu saya juga bertanya dalam hati, “Dengan siapa atau pihak mana mereka sesungguhnya ingin berdamai? Dengan siapa atau pihak mana mereka pernah bermasalah, sehingga sekarang mereka berkasak-kusuk untuk berdamai?”

Saya tidak punya jawaban atas rentetan pertanyaan tersebut. Banyak orang di kampung Eputobi pun tak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertera di atas. Donatus Doni Kumanireng dan Mikhael Torangama Kelen serta anggota-anggota komplotan mereka mungkin punya jawaban akurat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak soal juga seandainya mereka sendiri tidak punya jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena, pada dasarnya, jawaban dari mereka tidak penting.

Yang penting adalah pertanyaan berikut dan jawabannya, “Damai dengan penjahat-penjahat itu?” Jawabannya, “Tidak ada damai dengan mereka?” Ini adalah jawaban standar dari berbagai komponen sosial di Lewoingu, di luar kelompok kecil binaan Mikhael Torangama Kelen. Seandainya persoalannya hanya menyangkut pelanggaran adat dan penyerobotan batas tanah yang mereka lakukan pada tahun 2006, urusan damai lebih mudah diproses. Meskipun di masa lalu kejadian semacam itu bisa mengundang pertumpahan darah yang mengerikan, tapi di era kontemporer kami berusaha menempuh cara lain untuk mengatasi mereka. Tetapi karena kasusnya menyangkut juga pembunuhan terhadap anggota keluarga Ata Maran, maka jalan ceriteranya menjadi sangat lain. Apalagi mereka pun pernah berencana membunuh beberapa orang lain lagi. Karena itu selama ini kami sama sekali tidak tertarik dengan usulan damai dari para penjahat itu. Damai yang mereka usung ke mana-mana itu hanyalah kedok. Di baliknya, terdapat upaya mereka untuk menutup kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Saya harap orang semacam Mikhael Torangama Kelen dan Donatus Doni Kumanireng itu konsisten. Bukankah ikut berjuangnya Donatus Doni Kumanireng dalam upaya pengrusakan adat dan penyerobotan batas tanah Ata Maran di Eputobi itu untuk membawa masyarakat Eputobi ke track yang benar? Bukankah dengan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya berharap dapat mewujudkan suasana kehidupan yang lebih tenang dan lebih damai di kampung Eputobi? Bukankah selama ini mereka tidak pernah mengakui bahwa mereka melakukan pelanggaran adat dan batas tanah yang bukan milik mereka? Bukankah selama ini Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya tidak pernah mengakui bahwa mereka membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran?” Pendek kata, “Bukankah selama ini mereka tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah sumber kerusakan masyarakat Eputobi?”

Dari sudut pandang mereka, semua yang mereka lakukan sejak 2006 hingga sekarang adalah perbuatan-perbuatan baik demi kebaikan kampung halaman. Kalau benar demikian, mengapa selama ini mereka itu berkasak-kusuk untuk berdamai? Masalah apa yang sesungguhnya menghantui hati, pikiran, dan perasaan mereka selama ini, sehingga mereka membutuhkan damai? ***

San Kweng, antara air mata dan aktivitas membela kejahatan

Di antara para pembela kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, nama San Kweng patut disebut. Dia adalah putera dari Kelemeng Kweng. Sebelum meletus peristiwa Blou, dia dikenal sebagai seorang katekis, guru agama Katolik. Setelah meletus peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran, dia dikenal sebagai salah seorang pembela gigih kejahatan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.

Pada hari Senin 30 Juli 2007, setelah Yoakim Gresituli Ata Maran dan Marse Kumanireng pergi ke Lato, San Kweng muncul di rumah keluarga Ata Maran di kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur. Maksud kedatangannya ke rumah itu ialah menemui Yoakim Gresituli Ata Maran.

Kepada ibu Emy Maran, dia bertanya,

“Tanta ibu, kene’ (bapak kecil) ada?”

“Kene’ ke Lato, ada nebo (acara selamatan untuk orang yang meninggal) di sana.” Jawab ibu Emy Maran.

Lalu ibu Emy Maran bertanya kepadanya,

“Ada pesan, nanti tanta ibu sampaikan?”

“Tidak ada.” Jawab San Kweng.

Lalu San Kweng mengatakan,

“Besok jam begini saya akan datang ke sini.”

Keesokan harinya, setelah mendengar kabar bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal, San Kweng muncul di rumah duka di Eputobi. Di hadapan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran, dia menangis tersedu-sedu. Banyak air mata dia tumpahkan di rumah duka. Seraya menangis dia meminta ampun kepada kene’nya yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Dalam tangis, dia berkata, “Minta ampun kene’, karena saya terlambat.” San Kweng pun hadir dalam acara pemakaman Yoakim Gresituli Ata Maran. Seusai acara pemakaman, dia kembali ke Weri, Larantuka.

Setelah terungkap bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou itu akibat pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, dia tampil di garis depan untuk membela kejahatan yang mereka lakukan itu. Dia adalah orang yang membawa surat Petrus Naya Koten alias Pite Koten yang isinya menarik kembali keterangannya dari berita acara pemeriksaan. Waktu itu Pite Koten tinggal di Weri.

Di markas Polres Flores Timur, San Kweng pernah berusaha menunjukkan netralitasnya. Kepada seorang penyidik, dia pernah berceritera bahwa ketika Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal dia pun menangis. Ketika para tersangka membutuhkan pembelaan, dia pun membela mereka. Tampaknya, dia lupa bahwa pembelaan secara membabibuta seperti yang dia lakukan itu sama dengan membela kejahatan yang mereka lakukan.

Aksi-aksi pembelaannya terhadap kejahatan tersebut terbilang gencar. Untuk membela kejahatan tersebut, dia menggelar aksi unjukrasa di Larantuka. Tujuan utama aksi unjuk rasa itu ialah meminta SP3 bagi Mikhael Torangama Kelen dan tiga anak Lamber Liko Kumanireng yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Dalam momen semacam itu dia mengenakan “jubah” PADMA Indonesia. Tetapi sebenarnya tidak jelas apakah aksi semacam itu sinkron dengan visi misi PADMA Indonesia sesungguhnya.

Setelah unjukrasa-unjukrasa yang pernah digelarnya di Larantuka gagal membuahkan hasil, aktivitasnya dalam kaitan dengan kasus pembunuhan tersebut menjadi tidak jelas lagi. Semoga dia sadar bahwa apapun upaya dia untuk membela kejahatan tersebut tidak akan berhasil. “Jubah” PADMA Indonesia yang selama ini dia kenakan itu tak berarti apa-apa. ***

Siapa yang menunjuk jalan ke pondok penganiayaan itu?

Pondok milik pak Stani Lewoema di Blou, Kecamatan Titehena, Flores Timur  menjadi saksi tentang penganiayaan sangat berat yang dialami oleh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada tanggal 2 dan 3 Agustus 2007, saya berada di Blou untuk melakukan investigasi. Tetapi ketika itu saya hanya menfokuskan perhatian pada parit tempat jenazah adik kami itu ditemukan dan sekitarnya. Berbagai situasi di parit dan sekitarnya saya rekam dengan kamera digital dan kamera video. Sedangkan pondok tersebut belum menarik perhatian saya.

Perhatian saya ke pondok tersebut baru saya berikan setelah saya mendengar kabar bahwa selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 Lambertus Lagawuyo Kumanireng bertandang ke situ. Bertandangnya orang itu ke situ pada sore hingga malam hari dalam hari-hari itu membuat saya bertanya dalam hati, “Mengapa dan untuk apa orang itu ke situ?”

Hasil penelusuran jejaknya menunjukkan bahwa di pondok tersebut dia memasang barang-barang tertentu yang dimaksudkannya untuk menutup kejahatan yang ikut dilakukannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Maklum, dia adalah salah seorang pengguna ilmu hitam. Dengan cara itu dia ingin menunjukkan kebolehannya dalam menghilangkan jejak.

Pada akhir September 2007 dan minggu pertama bulan Oktober 2007, saya bersama tim pencari fakta dari keluarga korban melakukan penelitian secara lebih cermat baik di parit maupun di pondok milik pak Stani Lewoema itu. Sebelumnya beberapa anggota tim pencari fakta sudah menemukan barang bukti berupa kaos penuh darah di tepi jalan setapak ke Waigema di Blou. Mereka juga sudah mendatangi pondok dan menemukan adanya bekas tetesan darah di sebuah batu yang terletak tak jauh dari pondok. Tetapi mereka belum menemukan darah yang membasahi sebuah bangku kayu yang terletak di sisi luar sebelah timur pondok itu.

Darah di bangku itu saya temukan pada minggu pertama Oktober 2007. Karena sudah mengering, maka sepintas lalu darah yang pernah membasahi bangku itu nyaris tidak kelihatan. Melalui pengamatan berulang kali secara teliti barulah saya dapat memastikan bahwa yang terdapat pada bangku itu adalah darah. Dengan kamera digital, saya merekam darah yang telah mengering itu. Ketika hasil foto itu ditampilkan di monitor laptop tampak jelas bahwa yang terdapat di bangku itu adalah manusia. Hasil pemeriksaan di laboratorium forensik Mabes Polri di Denpasar menunjukkan bahwa darah di bangku itu adalah darah orang yang jenazahnya ditemukan di dalam parit di Blou pada Selasa pagi 31 Juli 2007 itu. Begitu pula halnya dengan darah yang terdapat di kaos yang oleh pelakunya disembunyikan di tepi jalan setapak ke Waigema.

Ketika berada di pondok tersebut saya sempat bertemu dengan salah seorang anak dari pemilik pondok. Ceritera pemilik pondok tentang adanya darah masih segar yang ditemukannya di pondoknya beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 meyakinkan saya dan tim pencari fakta bahwa di pondok itulah Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tewas oleh para penjahat Eputobi. Adanya darah di pondoknya membuat pemiliknya memasang lilin di situ. Lalu untuk sementara pondok itu tidak didatangi.

Ceritera tentang adanya darah masih segar di pondok tersebut cocok dengan aktivitas Lambertus Lagawuyo Kumanireng di dalam pondok yang sama selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007. Bertandangnya dia ke situ selama beberapa sore setelah tanggal 31 Juli 2007 justru mengundang perhatian tim pencari fakta untuk melakukan penelitian secara serius di pondok tersebut. Soalnya jelas. Seandainya bukan di pondok tersebut Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tak berkutik, untuk apa Lambertus Lagawuyo Kumanireng perlu meluangkan waktu selama beberapa sore guna melakukan ritual magic di tempat itu.

Keterlibatan aktif Lambertus Lagawuyo Kumanireng dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 tampak jelas. Dia adalah orang yang pada Senin malam 30 Juli 2007 mencopot sandal dari kaki Yoakim Gresituli Ata Maran dan membawanya ke Eputobi. Di Eputobi pada Selasa pagi 31 Juli 2007 dia mengenakan sandal tersebut. Setelah ramai orang bicara tentang sandal tersebut, dia lalu membuangnya di suatu tempat. Itulah sebabnya sandal itu pun raib hingga kini.

Hingga kini, Lambertus Lagawuyo Kumanireng ikut bertahan dalam dusta. Robi alias Obi, anaknya, berkali-kali pernah menyarankan dia untuk mengakui secara jujur apa yang dia lakukan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi dia tetap berusaha bertahan dalam dusta. Padahal dengan bertahan dalam dusta dia pun akan menuai badai malapetaka.

Obi pernah mengingatkan dia, “Kamu harus jujur. Ini bukan urusan uang atau harta. Ini adalah urusan darah dan nyawa orang.” ***

Jumat, 01 Juli 2011

Sampai kapan mereka dapat bertahan dalam dusta?

Bertahan dalam dusta. Itu yang selama ini coba dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tapi sampai kapan mereka dapat bertahan dalam dusta? Perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou, Flores Timur, pada Senin malam 30 Juli 2007 itu sudah terbuka lebar. Seandainya para penyidik Polres Flores Timur mampu bekerja secara profesional dengan menerapkan metode penyelidikan dan penyidikan yang lebih canggih, segala macam dusta yang selama ini mereka perlihatkan mudah dipatahkan.

Dari berita bohong, yaitu bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas, yang mereka sebarluaskan sejak Selasa pagi 31 Juli 2007, sebelum jenazahnya ditemukan di Blou, bisa dipertanyakan, “Dari mana mereka bisa mengetahui bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas, kalau mereka itu tidak berada di tempat kejadian perkara?” Pagi-pagi hari Selasa 31 Juli 2007, Yohakim Tolek Kumanireng menyampaikan kepada beberapa orang tukang ojek yang biasa mangkal tak jauh dari rumah Mikhael Torangama Kelen di Eputobi kabar begini, “Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup tidak jelas, mukanya pucat pasi, dia sedang tergeletak di Blou.” Kabar itu dia sampaikan setelah dia turun dari ojek yang membawanya dari Berobang ke Eputobi. Ketika menyampaikan kabar itu dia bercelana pendek, berbaju kotor, kusut. Tangan kirinya menjepit kelewang di ketiaknya.

Kabar yang disampaikannya pada pagi hari itu membuat beberapa tukang ojek tertarik untuk meluncur ke Blou. Mereka ingin menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dengan Yoakim Gresituli Ata Maran. Melihat itu, Lambertus Lagawuyo Kumanireng yang berada di situ berusaha mencegah dengan mengatakan, “Jangan ke sana! Nanti orang menuduh kamu yang melakukan.” Mendengar kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng, Mikhael Torangama Kelen yang juga berada di situ berkata, “Cabe’ atau jahe sehingga pedes, biar kita tahu sekarang.”

Perlu dicatat bahwa adegan tersebut di atas terjadi beberapa jam sebelum tersiar kabar tentang penemuan jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran di dalam parit di pinggir jalan raya di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Maka yang jadi pertanyaan ialah dari mana Yohakim Tolek Kumanireng bisa mengetahui bahwa Akim Maran (Yoakim Gresituli Ata Maran) mengalami kecelakaan dan sedang tergeletak di Blou? Dari mana dia bisa mengetahui bahwa muka orang yang mengalami kecelakaan itu dalam keadaan pucat pasi? Mungkinkah kabar semacam itu dapat dia sampaikan kepada beberapa tukang ojek di Eputobi, kalau dia tidak berada di Blou, dan kalau dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri wajah orang yang dikatakannya pucat pasi itu?

Jelas bahwa adegan yang dipentaskannya pada pagi hari Selasa 31 Juli 2007 itu merupakan bagian dari suatu sandiwara yang telah dirancang untuk menghilangkan jejak. Kabar bahwa Akim Maran mengalami kecelakaan merupakan suatu kebohongan. Tetapi kebohongan itu secara jelas menunjukkan bahwa si pembawa kabar itu berada di Blou ketika Yoakim Gresituli Ata Maran dalam keadaan tidak berdaya, ketika wajahnya menjadi pucat pasi karena kehabisan darah. Mustahil toh kalau dia tidak berada di Blou, mustahil juga kalau dia tidak menyaksikan sendiri seperti apa keadaan Akim Maran yang dikatakannya sedang tergeletak di Blou, tetapi dia bisa mewartakannya secara jelas kepada beberapa tukang ojek di Eputobi.

Lalu perhatikan juga kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Kalau benar Akim Maran mengalami kecelakaan, mengapa dia harus mencegah orang-orang yang bermaksud ke Blou untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana? Bukankah orang yang mengalami kecelakaan itu perlu ditolong? Dengan menggunakan kata-kata, “Nanti orang menuduh kamu yang melakukan” tampak jelas bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu akibat perlakuan atau perbuatan dari orang tertentu. Dari mana kata-kata semacam itu dia peroleh, kalau dia sendiri tidak mengetahui apa yang menimpa Akim Maran di Blou sana. Lalu kata-kata yang keluar dari mulut Mikhael Torangama Kelen itu hanyalah basa basi. Dengan itu dia ingin menunjukkan bahwa sebelumnya dia tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Yoakim Gresitu Ata Maran di Blou.

Yang jelas pada pagi hari itu Yohakim Tolek Kumanireng, Lambertus Lagawuyo Kumanireng, dan Mikhael Torangama Kelen mementaskan adegan dari suatu sandiwara yang telah mereka rancang untuk menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan bersama-sama di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Kabar bahwa Yoakim Gresituli Ata Maran meninggal karena kecelakaan lalu lintas mereka sebarluaskan ke mana-mana, dengan perhitungan, publik setempat mempercayai apa yang mereka sebarluaskan itu. Mereka lupa bahwa sejak awal, banyak orang sudah mempertanyakan, bagaimana mungkin mereka bisa menyebarluaskan informasi semacam itu, kalau mereka sendiri tidak berada di Blou, kalau mereka sendiri tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka masing-masing keadaan Yoakim Gresituli Ata Maran ketika dia berada dalam keadaan tidak berdaya?

Sejak lama perbuatan sangat keji yang mereka lakukan di Blou itu terungkap jelas. Tetapi mereka tetap coba bertahan dalam dan dengan dusta-dusta mereka. Kelambanan Polres Flores Timur menangani perkara pembunuhan tersebut membuat dusta mereka seakan-akan memiliki kekuatan ampuh untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatan yang mereka lakukan di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007.

Sampai kapan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya bertahan dalam dusta? Jawabannya terserah mereka. Tetapi ingatlah bahwa kejahatan yang mereka lakukan di Blou itu tidak akan tidak diberantas.***