Minggu, 03 Juli 2011

Siapa yang menunjuk jalan ke pondok penganiayaan itu?

Pondok milik pak Stani Lewoema di Blou, Kecamatan Titehena, Flores Timur  menjadi saksi tentang penganiayaan sangat berat yang dialami oleh Yoakim Gresituli Ata Maran pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada tanggal 2 dan 3 Agustus 2007, saya berada di Blou untuk melakukan investigasi. Tetapi ketika itu saya hanya menfokuskan perhatian pada parit tempat jenazah adik kami itu ditemukan dan sekitarnya. Berbagai situasi di parit dan sekitarnya saya rekam dengan kamera digital dan kamera video. Sedangkan pondok tersebut belum menarik perhatian saya.

Perhatian saya ke pondok tersebut baru saya berikan setelah saya mendengar kabar bahwa selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 Lambertus Lagawuyo Kumanireng bertandang ke situ. Bertandangnya orang itu ke situ pada sore hingga malam hari dalam hari-hari itu membuat saya bertanya dalam hati, “Mengapa dan untuk apa orang itu ke situ?”

Hasil penelusuran jejaknya menunjukkan bahwa di pondok tersebut dia memasang barang-barang tertentu yang dimaksudkannya untuk menutup kejahatan yang ikut dilakukannya pada Senin malam 30 Juli 2007. Maklum, dia adalah salah seorang pengguna ilmu hitam. Dengan cara itu dia ingin menunjukkan kebolehannya dalam menghilangkan jejak.

Pada akhir September 2007 dan minggu pertama bulan Oktober 2007, saya bersama tim pencari fakta dari keluarga korban melakukan penelitian secara lebih cermat baik di parit maupun di pondok milik pak Stani Lewoema itu. Sebelumnya beberapa anggota tim pencari fakta sudah menemukan barang bukti berupa kaos penuh darah di tepi jalan setapak ke Waigema di Blou. Mereka juga sudah mendatangi pondok dan menemukan adanya bekas tetesan darah di sebuah batu yang terletak tak jauh dari pondok. Tetapi mereka belum menemukan darah yang membasahi sebuah bangku kayu yang terletak di sisi luar sebelah timur pondok itu.

Darah di bangku itu saya temukan pada minggu pertama Oktober 2007. Karena sudah mengering, maka sepintas lalu darah yang pernah membasahi bangku itu nyaris tidak kelihatan. Melalui pengamatan berulang kali secara teliti barulah saya dapat memastikan bahwa yang terdapat pada bangku itu adalah darah. Dengan kamera digital, saya merekam darah yang telah mengering itu. Ketika hasil foto itu ditampilkan di monitor laptop tampak jelas bahwa yang terdapat di bangku itu adalah manusia. Hasil pemeriksaan di laboratorium forensik Mabes Polri di Denpasar menunjukkan bahwa darah di bangku itu adalah darah orang yang jenazahnya ditemukan di dalam parit di Blou pada Selasa pagi 31 Juli 2007 itu. Begitu pula halnya dengan darah yang terdapat di kaos yang oleh pelakunya disembunyikan di tepi jalan setapak ke Waigema.

Ketika berada di pondok tersebut saya sempat bertemu dengan salah seorang anak dari pemilik pondok. Ceritera pemilik pondok tentang adanya darah masih segar yang ditemukannya di pondoknya beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007 meyakinkan saya dan tim pencari fakta bahwa di pondok itulah Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tewas oleh para penjahat Eputobi. Adanya darah di pondoknya membuat pemiliknya memasang lilin di situ. Lalu untuk sementara pondok itu tidak didatangi.

Ceritera tentang adanya darah masih segar di pondok tersebut cocok dengan aktivitas Lambertus Lagawuyo Kumanireng di dalam pondok yang sama selama beberapa hari setelah tanggal 31 Juli 2007. Bertandangnya dia ke situ selama beberapa sore setelah tanggal 31 Juli 2007 justru mengundang perhatian tim pencari fakta untuk melakukan penelitian secara serius di pondok tersebut. Soalnya jelas. Seandainya bukan di pondok tersebut Yoakim Gresituli Ata Maran dianiaya hingga tak berkutik, untuk apa Lambertus Lagawuyo Kumanireng perlu meluangkan waktu selama beberapa sore guna melakukan ritual magic di tempat itu.

Keterlibatan aktif Lambertus Lagawuyo Kumanireng dalam peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 tampak jelas. Dia adalah orang yang pada Senin malam 30 Juli 2007 mencopot sandal dari kaki Yoakim Gresituli Ata Maran dan membawanya ke Eputobi. Di Eputobi pada Selasa pagi 31 Juli 2007 dia mengenakan sandal tersebut. Setelah ramai orang bicara tentang sandal tersebut, dia lalu membuangnya di suatu tempat. Itulah sebabnya sandal itu pun raib hingga kini.

Hingga kini, Lambertus Lagawuyo Kumanireng ikut bertahan dalam dusta. Robi alias Obi, anaknya, berkali-kali pernah menyarankan dia untuk mengakui secara jujur apa yang dia lakukan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi dia tetap berusaha bertahan dalam dusta. Padahal dengan bertahan dalam dusta dia pun akan menuai badai malapetaka.

Obi pernah mengingatkan dia, “Kamu harus jujur. Ini bukan urusan uang atau harta. Ini adalah urusan darah dan nyawa orang.” ***