Senin, 11 Juli 2011

Siapa yang menabur kejahatan, dia akan menuai ……..?

Sebelum tahun 2006, masyarakat Eptuobi, Lewoingu, di Kecamatan Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur hidup dalam suasana rukun dan damai. Suasana damai itu saya rasakan hingga tahun 2004, ketika saya berlibur ke kampung Eputobi. Pada tahun itu dua kali saya ke kampung Eputobi. Kesempatan itu saya gunakan untuk berbicara dengan beberapa tokoh senior di kampung Eputobi. Ketika itu saya tidak menemukan adanya tanda-tanda akan terjadinya malapetaka besar di kampung Eputobi.

Dua tahun kemudian, yaitu pada bulan April dan Mei tahun 2006, kerukunan dan kedamaian mulai tercabik. Oleh siapa? Oleh sekelompok orang yang mengacaukan tata adat dan melanggar batas tanah milik Ata Maran di kampung Eputobi. Kasus itu membuat saya pulang pada bulan Juni 2006. Untuk apa? Untuk melihat dari dekat apa yang sesungguhnya terjadi. Di lapangan saya menemukan jejak-jejak pelanggaran batas tanah tersebut. Selama berada di Eputobi saya pun berdiskusi dengan sejumlah orang termasuk dengan beberapa pemuka adat keturunan Gresituli. Dari berbagai informasi yang berhasil saya himpun dari berbagai pihak, saya menemukan bahwa pelanggaran adat pada 10 April 2006 dan pelanggaran batas tanah pada 19 Mei 2006 itu dengan sengaja dirancang oleh kelompok pengacau tersebut untuk menunjukkan bahwa merekalah yang menjadi penguasa adat Lewoingu. Kelompok pengacau adat itu dipayungi oleh kekuasaan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Kelompok itu mengandalkan Donatus Doni Kumanireng sebagai aktor intelektual.

Setelah tanggal 10 April 2006, pihak Ata Maran berusaha menyelesaikan masalah tersebut melalui mekanisme musyawarah-mufakat. Upaya itu disampaikan kepada Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu. Agar Donatus Doni Kumanireng bisa hadir dalama acara tersebut, Mikhael Torangama Kelen menetapkan tanggal 12 Mei 2006 sebagai tanggal pertemuan. Tokoh-tokoh adat dari Suku Lewolein (Lewoema), Doweng One’eng, dan Ata Maran menghadiri pertemuan itu dengan harapan terjadi suatu musyawarah untuk mencapai mufakat guna secara damai menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kelompok pengacau tersebut. Diharapkan Mikhael Torangama Kelen selaku kepala desa Lewoingu mampu memimpin jalan pertemuan tersebut secaran baik. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini justru berpihak kepada kelompok pengacau tersebut. Diharapkan kehadiran Donatus Doni Kumanireng selaku seorang doktorandus dapat memberi pengaruh yang kondusif bagi jalannya pertemuan tersebut. Tetapi di dalam kenyataan, orang ini menjadi bagian dari persoalan baru. Pendek kata, di dalam pertemuan itu, pihak Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One’eng dipermalukan di muka umum, suatu hal yang baru pertama terjadi dalam sejarah Lewoingu.

Pada tanggal 19 Mei 2006, tiga suku keturunan Gresituli membuat suatu upacara adat di eputobi guna menegaskan batas tanah seperti yang sudah disepakati oleh para leluhur Ata Maran, Lewolein, Doweng One’eng di satu pihak dan Kumanireng dan Lamatukan di pihak lain. Menanggapi hal itu, para pengacau tersebut melakukan pelanggaran batas tanah tersebut. Ketika itu, ulah mereka itu dibiarkan, karena menurut keyakinan para keturunan Gresituli dan para anggota suku-suku lain yang mengetahui sejarah tanah itu dan sejarah adat Lewoingu, cepat atau lambat para pengacau itu akan bertobat.

Di kemudian hari ditemukan adanya tanda-tanda pertobatan di kalangan tersebut. Tetapi mereka tidak pernah mengakui secara terbuka bahwa mereka telah melakukan kesalahan adat dan kejahatan berupa penyerobotan tanah bukan milik mereka. Aktor intelektual mereka malah membenarkan perbuatan jahat semacam itu. Sepak terjangnya itu menimbulkan tanda tanya besar di berbagai kalangan yang mengetahui sejarah Lewoingu termasuk sejarah pemilikan tanah ulayat.

Dikira upaya mereka untuk mengacaukan kampung Eputobi hanya sampai di situ. Pada tahun 2007 para pengacau adat dan pelanggar batas tanah tersenut bersama Mikhael Torangama Kelen dan kaki tangan politiknya menjelma menjadi suatu komplotan yang sungguh-sungguh kriminal. Untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala desa Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen dan para kaki tangannya membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pembunuhan tersebut merupakan tahap awal dari rencana mereka untuk membunuh lima orang yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam gerakan antikorupsi di kampung Eputobi. Mereka beranggapan bahwa lima orang itu menjadi penghalang utama bagi Mikhael Torangama Kelen untuk kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, kursi kekuasaan yang juga dia gunakan untuk melakukan korupsi selama periode pertama pemeritahannya. Hanya karena rencana jahat mereka itu sudah terbuka ke publik, dan karena takut, maka mereka tak merealisasikan rencana jahat mereka untuk empat orang rekan seperjuangan Yoakim Gresituli Ata Maran.

Berdasarkan bukti-bukti awal yang cukup empat orang yaitu Mikhael Torangama Kelen, Yohakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng alias Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi selama ini para tersangka itu tidak jujur mengakui perbuatan jahat mereka di Blou. Padahal makin lama makin ditemukan fakta-fakta bahwa mereka itulah yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Bersama sejumlah oknum polisi nakal, mereka bergotong royong untuk mengalihkan kasus pembunuhan tersebut menjadi kasus kecelakaan lalu lintas.

Kiranya perlu dicatat bahwa Mikhael Torangama Kelen adalah bapak kecil dari Arlene  alias Aris Kelen. Yohakim Tolek Kumanireng, Yoka Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng adalah saudara kandung dari Damianus Kumanireng yang kini bermukim di tanah Papua. Dari catatannya di buku tamu eputobi.net tanggal 5 Juli 2011, saya bisa mengatakan bahwa Aris Kelen pun sudah memiliki kemampuan untuk memutarbalikkan fakta-fakta. Yang selama ini saya ungkapkan melalui tulisan-tulisan saya di internet adalah fakta-fakta yang dengan mudah dapat dibuktikan. Termasuk yang saya ungkapkan adalah peranan Andreas Boli Kelen untuk menghambat bahkan untuk memblokir proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Aris Kelen tentu mengenal dengan baik siapa Andreas Boli Kelen. Coba Aris Kelen bertanya kepada Andreas Boli Kelen mengapa dia mengancam Petrus Naya Koten alias Pite Koten, saksi mahkota? Rupanya Aris Kelen tidak lagi punya rasa malu memiliki bapak kecil yang adalah seorang pembunuh dan pelaku korupsi. Tampak jelas bahwa orang ini tidak tahu lagi mana baik, mana tidak baik, mana benar, mana yang salah. Kepada dia saya perlu menyampaikan bahwa bapak kecilmu itu telah menaburkan kejahatan, maka dia akan menuai badai malapetaka yang mengerikan. Termasuk yang akan menuai badai malapetaka adalah orang-orang yang selama ini ikut berjuang menutup kasus pembunuhan tersebut.

Saya juga menemukan catatan yang dibuat oleh Damianus Kumanireng pada tanggal 4 Juli 2011 di buku tamu eputobi.net. Dari catatannya itu, saya mengetahui bahwa dia termasuk orang yang menutup diri terhadap fakta-fakta bahwa tiga orang saudara kandungnya berperan sebagai eksekutor utama yang menyebabkan kematian Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007. Pada malam itu, tiga orang saudara kandungnya itu secara brutal menganiaya Yoakim Gresituli Ata Maran. Lalu coba Damianus Kumanireng pun bertanya kepada Lamber Liko Kumanireng di mana posisi dia ketika terjadi peristiwa buruk tahun 2006 itu? Tiga peristiwa di 2006 dan peristiwa pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran di 2007 itulah yang merusak kerukunan dan kedamaian di kampung Eputobi.

Dengan mengabaikan fakta-fakta, khususnya fakta-fakta keterlibatan tiga orang saudara kandungnya dalam peristiwa pembunuhan tersebut, Damianus Kumanireng pun sangat berpotensi untuk ikut menutup kasus pembunuhan tersebut. Pembunuhan tersebut merupakan suatu kejahatan luar biasa besar. Juga merupakan suatu kejahatan luar biasa besar upaya-upaya yang dikerahkan untuk menutup pembunuhan tersebut. Menutup kejahatan yang luar biasa besar itu bukan cara untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Eputobi. Tetapi kejujuran untuk mengakui perbuatan jahat tersebut di hadapan masyarakat Lewoingu dan di hadapan pihak berwajib bisa menjadi langkah awal bagi bergulirnya proses perdamaian seperti yang anda harapkan itu, Damianus Kumanireng……..

Ingatlah baik-baik Damianus Kumanireng, siapa yang menabur kejahatan kemanusiaan yang luar biasa besar itu, dia akan menuai badai malapetaka yang luar biasa besar juga. ***