Sabtu, 22 November 2008

Kata-Kata Tertentu Yang Terucap Pada Selasa Pagi 31 Juli 2007

Kapan dan dari siapa anda memperoleh kabar tentang kematian Yoakim Gresituli Ata Maran? Terdapat indikasi-indikasi yang sangat jelas, bahwa para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran sendiri yang mula pertama menyebarkan berita tentang kematiannya di Blou. Juga terdapat indikasi-indikasi yang jelas bahwa pada malam itu juga, berita tentang kematian (baca:pembunuhan) Yoakim Gresituli Ata Maran itu tersiar ke Eputobi dan ke luar Flores.

Selasa pagi, 31 Juli 2007, sebelum jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di dalam parit di Blou, seorang pendukung setia Mikhael Torangama Kelen telah menyiarkan berita tentang kematiannya ke suatu kampung lain yang termasuk dalam kawasan Lewoingu. Sebelumnya, pada pagi hari yang sama itu, salah seorang tersangka utama berceritera kepada beberapa orang di Eputobi begini,

"Akim Maran kecelakaan, mati atau hidup kita tidak tahu, mukanya pucat pasi, di Blou dia tergeletak." ("Akim Maran kecelakaan, mata ka mori toi hala', erekeng kuma bura', pe lali Blou nawa.")

Setelah mendengar itu beberapa tukang ojek yang biasa mangkal di dekat rumah Mikhael Torangama Kelen pun mau meluncur ke Blou. Tetapi Lambertus Lagawuyo Kumanireng berusaha mencegah mereka dengan mengatakan,

"Jangan ke sana, nanti orang menuduh kamu yang melakukan."

Kata-kata Lambertus Lagawuyo Kumanireng itu disahut Mikhael Torangama Kelen dengan mengatakan,

"Cabe atau jahe sehingga pedas, dengarlah langsung." ("Sili le lia' nele plate, baing ro' mihi").

Pagi-pagi hari Selasa, 31 Juli 2007 itu juga, Sedu dan Doweng, adik kembar dari almarhum guru Pius Dalu Kelen nonkrong di kubur kedua kakak mereka di Eputobi. Selain almarhum guru Pius Dalu Kelen, Bei Kelen juga dikuburkan di situ. Sebelumnya, Sedu dan Doweng tidak pernah nonkrong di situ. Melihat kejadian yang tidak biasa itu, ada yang bertanya kepada mereka,

"Mengapa pagi-pagi sudah duduk di situ?"

Sedu dan Doweng menjawab,

"Tadi malam kami injak padi di Blou." (Wia bau'ung, kame pusa mang lali Blou).

Perlu dicatat bahwa bersama Bei Kelen dan Keba Kelen, Sedu Kelen dan Doweng Kelen adalah pelaku pembunuhan atas bapak Biku Lein dan anaknya bernama Tube Lein pada tahun 1970. Peritiwa pembunuhan itu pun terjadi pada malam hari di bukit Wairewo, Riang Duli-Lewoingu, ketika bapak Biku Lein dan anaknya itu sedang tidur di pondok. Malam itu mereka menjaga ladang mereka dari serangan babi hutan. Setelah beroperasi di bukit Wairewo, pagi-pagi (keesokan harinya) Bei Kelen duduk di muka rumahnya mengipas-ngipas badannya. Pada malam harinya, setelah pulang dari Wairunu, Keba Kelen pun sempat melayat ke rumah duka di Riang Duli. Keempat kakak beradik itu kemudian ditangkap.

Pada Senin malam, 30 Juli 2007, Mikhael Torangama Kelen, keponakan dari keempat pembunuh bapak Biku Lein dan Tube Lein, mengulang perbuatan mereka dengan rancangan yang berbeda. Dengan menggunakan metode kejahatan modern-kontemporer, para pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran mendesain kejahatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga dapat timbul kesan bahwa kematian Yoakim Gresituli Ata Maran itu murni karena kecelakaan lalulintas. Lantas di Blou ada kebun mente dan ladang padi. Tapi di sana juga ada pondok yang dijadikan tempat penyiksaan dan pembantaian. Waktu kejadiannya pun malam hari. Tetapi pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran bukan hanya dari satu suku. Selain Mikhael Torangama Kelen, terdapat pula pelaku-pelaku dari suku lain, yaitu dari suku Kumanireng. Tiga di antara pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran adalah kakak beradik kandung dari suku Kumanireng Blikopukeng.

Kehadiran Sedu dan Doweng pada Selasa pagi 31 Juli 2007 di kubur Bei Kelen dan Dalu Kelen mengingatkan kita akan penampilan Bei Kelen pada pagi hari 37 tahun yang lalu. Apakah Sedu dan Doweng pun terlibat dalam peristiwa pembunuhan di Blou pada Senin malam, 30 Juli 2007? Itu tidak jelas hingga kini. Tapi kiranya jelas, bahwa pada Selasa pagi, sebelum jenazah Yoakim Gresituli Ata Maran ditemukan di Blou, Sedu dan Doweng, pada dasarnya sudah mengindikasikan bahwa peristiwa yang menimpa Yoakim Gresituli Ata Maran di Blou pada Senin malam 30 Juli 2007 serupa dengan peristiwa yang menimpa bapak Biku Lein dan Tube Lein di suatu pondok di ladang mereka di bukit Wairewo pada suatu malam di tahun 1970.

Setelah kematian Yoakim Gresituli Ata Maran, banyak orang tua di Eputobi, Riang Duli, dan Lewolaga langsung teringat akan tragedi kemanusiaan di bukit Wairewo itu. Di Riang Duli, ada seorang tokoh sampai mengatakan begini, "Dulu mereka lakukan terhadap Lewolein. Sekarang mereka lakukan terhadap Ata Maran."


Kalau benar bahwa buah-buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka masyarakat beradab di seluruh kawasan Lewoingu pun perlu lebih waspada akan terulangnya ulah jahat dari buah-buah dari pohon-pohon yang jahat itu. Apalagi pohon-pohon yang jahat itu makin banyak bertumbuh di kampung Eputobi. ***

Senin, 17 November 2008

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan)

Dalam SMS, mereka tidak lagi berbicara tentang kecelakaan lalulintas sebagai penyebab kematian Akim Maran. Tetapi mereka tetap berusaha menutup-nutupi kenyataan, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya dari suku Kumanireng dan lain-lain itu sebagai pembunuh Akim Maran. Sejak beberapa waktu lalu mereka juga mengakui bahwa kematian Akim Maran itu akibat pembunuhan. Tetapi menurut mereka, yang membunuh Akim Maran bukan Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Sebagai gantinya, mereka menyebut beberapa nama. Dan mereka pun ingin agar pihak keluarga korban percaya akan informasi yang mereka sampaikan melalui SMS itu. Si pengirim SMS juga menyinggung adanya tiga bukti. Tetapi seperti apa tiga bukti itu tidak disebutkan.

Anehnya nama-nama orang yang mereka sebut sebagai pembunuh Akim Maran dan bukti-bukti versi mereka itu tidak diserahkan kepada pihak berwajib. Malah nama-nama itu diadukan ke RRM. Ya, salah alamat. Jelas bahwa kata-kata mereka itu hanyalah pelipur lara murahan bagi diri mereka sendiri. Semua upaya ini mereka lakukan untuk memenuhi keinginan mereka untuk lolos dari jerat hukum.

Nah siapa yang mau percaya akan kata-kata yang diucapkan oleh para penjahat itu? Pihak Ata Maran dan seluruh lapisan masyarakat beradab di kampung Eputobi dan sekitarnya tentu tidak mau dan tidak akan mempercayai kebohongan-kebohongan yang disebarluaskan oleh mereka. Tidak ada satu pun orang berakal sehat di Eputobi dan sekitarnya yang mau dibodohi oleh para penjahat itu. Hanya orang-orang berakal tidak sehat yang menelan bulat-bulat kata-kata mereka itu. Hanya orang-orang yang takut tidak kebagian raskin dan blt yang mengamini kata-kata para penjahat itu. Hanya tikus-tikus yang diberi kesempatan untuk ikut menggerogoti iuran pasar dan uang desa Lewoingu yang percaya pada kata-kata dusta yang diucapkan oleh para penjahat Eputobi itu.

Lantas seperti apa persisnya keinginan para penjahat itu? Jawaban atas pertanyaan ini ada empat. Pertama, pada masa sebelum hari Jumat 18 April 2008, mereka ingin agar perbuatan jahat yang mereka lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007 dengan korban tewas Akim Maran itu tidak perlu dipersoalkan oleh siapa pun. Untuk itu mereka memaksa publik untuk percaya bahwa kematian Akim Maran murni karena kecelakaan lalulintas. Kedua, selama Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya ditahan di Polres Flores Timur, mereka ingin agar saksi mata menarik kembali keterangannya yang sudah di-BAP-kan. Untuk itu mereka memaksakan kehendak mereka pada saksi mata itu. Dengan ini mereka ingin membuktikan bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawannya bukan pembunuh Akim Maran. Ketiga, pasca 16 Agustus 2008, mereka ingin mengkambinghitamkan orang-orang lain sebagai pembunuh Akim Maran. Keempat, mereka ingin memaksa pihak keluarga korban untuk percaya akan kebohongan-kebohongan yang selama ini mereka ciptakan dan sebarluaskan. Untuk itu ada orang-orang tertentu yang disuruh untuk melobi RRM di Jakarta. Jika mereka berhasil melobi RRM, mereka bermaksud meminta RRM untuk mengakui bahwa pihak Ata Maran yang salah. Dan karena itu pihak Ata Maran diharapkan mau meminta maaf kepada mereka. Jika ini terjadi, maka, menurut mereka, urusannya selesai.

Terhadap semua itu saya hanya ingin mengatakan, bahwa orang yang sangat bodoh pun tidak akan mau memenuhi permintaan para penjahat itu. Apakah kalian kira, bahwa pihak Ata Maran dan segenap kekuatan pendukungnya begitu bodohnya sehingga mau tunduk pada tekanan kalian yang tidak tahu diri itu? Memang kalian mengira bahwa kalian itu yang menentukan arah perkembangan Lewoingu, sehingga kalian pun ingin mendiktekan pihak Ata Maran untuk mengikuti kehendak kalian?

Lalu, saya pun perlu menambahkan kata-kata seperti ini, "Enyahlah hai para penjahat Eputobi, kalian adalah sampah masyarakat yang tidak berguna bagi kelangsungan dan kelestarian hidup budaya Lewoingu." ***

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

Dalam hari-hari selanjutnya Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan menggencarkan penyebaran kabar bohong tentang sebab kematian Akim Maran. Ikut aktif dalam barisan penyebar kebohongan itu adalah Donatus Doni Kumanireng. Dua minggu setelah kematian Akim Maran, orang ini muncul di Eputobi. Pada tanggal 16 Agustus 2007 dia pun terlibat dalam suatu rapat gelap yang diselenggarakan di rumah Lambertus Lagawuyo Kumanireng. 

Di kemudian hari Donatus Doni Kumanireng menulis di internet bahwa kematian Akim Maran itu akibat kepasa' (sumpah) yang dibuat oleh pihak Kumanireng pada hari Jumat, 19 Mei 2006. Baginya, karena sumpah Kumanireng itulah maka Akim Maran mengalami kecelakaan dan tewas di Blou. Tampak di sini, bahwa dia sendiri yang membuka mata publik bahwa yang merancang kematian Akim Maran adalah pihak Kumanireng.

Setelah terungkap bahwa Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya, termasuk beberapa orang dari suku Kumanireng, yang menewaskan Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007, si Donatus Doni Kumanireng pun berjuang keras untuk menutup-nutupinya. Dalam rangka itu dia pun tak segan-segan menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkan pihak keluarga korban dengan kata-kata kotor. Dia juga sibuk memutarbalikkan fakta-fakta tentang sebab terjadinya kekacauan dan kerusakan sosial budaya yang terjadi di kampung Eputobi dan tentang sebab kematian Akim Maran. Pendek kata, dia menggunakan metode "lempar batu sembunyi tangan dan kambing hitam." Tetapi mudah bagi pihak masyarakat beradab di kampung Eputobi untuk membuktikan bahwa Donatus Doni Kumanireng adalah salah satu pentolan dalam gerakan pengacauan dan pengrusakan kampung Eputobi.

Upaya pemutarbalikan fakta-fakta tersebut muncul pula dalam SMS-SMS yang berasal dari kubu komplotan penjahat Eputobi itu. Isi SMS-SMS mereka penuh dengan penghinaan, fitnah dan kata-kata kotor yang dialamatkan kepada pihak keluarga korban kejahatan Senin malam 30 Juli 2007. Meskipun bergonta-ganti nomor, sebagian besar SMS itu berasal dari orang yang itu-itu juga. (Bersambung)

Apa Yang Diinginkan Oleh Penjahat-Penjahat Eputobi Itu? (Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita temukan dalam kata-kata yang pernah mereka ucapkan. Meskipun tanpa bukti, sejak Selasa pagi, 31 Juli 2007, mereka menyebarkan kabar bahwa Akim Maran itu mati karena kecelakaan lalu lintas. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha mempertahankan kebohongan tersebut. Pada hari Rabu, 1 Agustus 2007, waktu gali kubur, Amsy Making sempat mengatakan begini, "Kene' ini meninggal bukan karena kecelakaan." Mendengar itu, Heri Kelen, anak dari Anis Kelen dan Marta Angin, langsung marah-marah. Dia tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Amsy Making. Bagi Heri Kelen, Akim Maran itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Pada hari Minggu, 5 Agustus 2007, seusai misa di gereja stasi Eputobi, Damasus Likuwatang Kumanireng selaku pelaksana tugas kepala desa Lewoingu mengumumkan bahwa kematian Akim Maran itu murni karena kecelakaan lalu lintas, bukan karena yang lain-lain. Dia lantas meminta masyarakat Eputobi untuk tidak membicarakannya lagi. Pernyataan tanpa dasar dan menyuruh masyarakat untuk tidak membicarakan perihal kematian tersebut merupakan bagian dari arogansi pemangku kekuasaan politik di desa Lewoingu. Dalam kata-kata itu tampak tekad untuk menutup-nutupi pembunuhan yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen pada Senin malam 30 Juli 2007. Dengan cara itu, dia berusaha menumpulkan daya kritis masyarakat dalam menghadapi kejahatan besar itu. Sejak awal upaya itu digencarkan, karena keterlibatan aparatur desa dalam proyek kejahatan itu.

Sejak awal, perbuatan jahat yang bermotifkan politik itu ingin ditutup rapat. Dan mereka ingin agar masyarakat Eputobi mempercayai kebohongan yang mereka ciptakan dan sebarluaskan itu. Bahkan mereka pun berusaha melarang para warga masyarakat Eputobi untuk membicarakan perihal kematian orang yang tak bersalah itu. Mikhael Torangama Kelen sendiri berusaha keras melarang masyarakat Eputobi untuk percaya akan isi tulisan tentang pembunuhan Akim Maran yang dimuat di koran-koran lokal dan di internet. Dia menyuruh masyarakat Eputobi medengarkan dan mempercayai apa yang dia katakan. Upaya pembodohan masyarakat semacam itu dia lakukan untuk menutup rapat kejahatan yang dia dan teman-temannya lakukan pada Senin malam 30 Juli 2007.

Dari mulut Evi Kumanireng, kita pun bisa mengetahui bahwa para penjahat itu pun berusaha mencegah pihak keluarga korban untuk mencaritahu sebab sesungguhnya kematian Akim Maran. Yang mereka inginkan, pihak keluarga korban tidak perlu repot-repot mencaritahu sebab-musabab kematian Akim Maran. Menurut Evi Kumanireng, Akim Maran itu mati karena kecelakaan. Pada hari Jumat, 10 Agustus 2007, Evi Kumanireng bertanya begini, "Akim itu mati karena kecelakaan, atau karena Mike (maksudnya Mikhael Torangama Kelen) dan Lambe (maksudnya Lambertus Lagawuyo Kumanireng) yang pukul?" Keesokan harinya, Sabtu 11 Agustus 2007, Evi Kumanireng marah-marah sambil bertanya, "Jadi Mike dan Lambe yang pukul?" Tetapi dua pertanyaannya itu justru menunjukkan kepada kita apa yang ingin mereka sembunyikan.

Kata pukul (benge dalam bahasa Lewoingu) dipakai juga oleh Yanto Lubur pada hari Minggu 12 Agustus 2007. Sambil berteriak, orang ini bertanya, "Akim meninggal, siapa yang pukul?" Lantas Yoakim Tolek Kumanireng pun menggunakan kata pukul itu pada hari Minggu, 19 Agustus 2007. Waktu pesta sambut baru di Wolo, dia sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Di jalan, saya melihat orang jatuh dari sepeda motor hingga masuk ke dalam got. Saya turun lalu memukulnya.".

Patut dicatat bahwa sejak 31 Juli 2007 hingga 19 Agustus 2007 belum ada orang lain di kampung Eputobi yang menyebut nama Mikhael Torangama Kelen dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng sebagai orang-orang yang memukul Akim Maran hingga tewas. Dan mengapa orang seperti Yanto Lubur dan Yoakim Kumanireng itu pun menggunakan kata yang sama. Dari manakah kata pukul (benge) itu berasal? Tentu dari kenyataan yang menimpa Akim Maran pada Senin malam, 31 Juli 2007. (Bersambung)