Jumat, 25 Februari 2011

Perlukah hakim yang memvonis bebas ABK dilaporkan ke Komisi Yudisial?

Seandainya JPU tidak menaikkan perkara korupsi yang dilakukan oleh Andreas Boli Kelen (ABK) ke Mahkmah Agung (MA), si ABK tidak perlu kembali menjadi penghuni penjara Larantuka. Soalnya majelis hakim yang menyidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri (PN) Larantuka membebaskan dia dari hukuman. Padahal selama persidangan muncul bukti-bukti bahwa ABK melakukan korupsi. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, JPU menaikkan perkara tersebut ke tingkat MA. Pada tanggal 9 Juni 2010, MA memutuskan menghukum ABK dengan 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 37.800.000. Hukuman ini lebih ringan ketimbang tuntutan JPU, yaitu 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. 

Keputusan tersebut mengindikasikan bahwa keputusan majelis hakim di PN Larantuka pada tahun 2009 itu keliru. Kiranya jelas bahwa vonis bebas bagi ABK itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan subjektif, bukan berdasarkan fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan. Seandainya vonis bebas tersebut didasari dengan fakta-fakta hukum, maka majelis hakim agung di tingkat MA membebaskannya juga. Tetapi ternyata MA memutuskan menghukum ABK. Berdasarkan putusan MA tersebut selanjutnya anda pun boleh menduga-duga, ada apa di balik palu vonis bebas yang diketok oleh hakim di PN Larantuka pada tahun 2009 itu.

Seandainya anda tak membuat dugaan-dugaan pun tak jadi soal. Tetapi ada sesuatu yang ingin saya garibawahi di sini, yakni bahwa sekarang ini era pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia hukum. Bersama pemerintah, kita perlu mengobarkan perang besar untuk membumihanguskan korupsi dari bumi nusantara. Jangan kita membiarkan kota Reinha dinodai oleh praktek-praktek korupsi. Di masa lalu maraknya praktek korupsi di Flores Timur pernah disinggung oleh Romo Frans Amanue, Pr. Saya pernah melakukan diskusi singkat dengan Romo Frans Amanue tentang hal tersebut ketika kami bersama-sama berada dalam perjalanan dengan pesawat ke Jakarta. Saya sendiri menemukan bahwa praktek-praktek korupsi di Flores Timur sudah merambah ke desa. Yang paling jelas adalah praktek korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen di desa Lewoingu. Mikhael Torangame Kelen adalah adik kandung dari ABK. Protes yang dilakukan masyarakat antikorupsi di desa Lewoingu dilawan oleh Mikhael Torangama Kelen dengan membunuh salah satu tokoh dari gerakan antikorupsi tersebut. Tokoh muda dari gerakan antikorupsi itu yang dibunuh oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya ialah Yoakim Gresituli Ata Maran. Ancaman pembunuhan juga dialamatkan kepada beberapa rekan seperjuangan dari almarhum Yoakim Gresituli Ata Maran. Jelas bahwa korupsi di desa Lewoingu itu berdampak kriminal sangat besar. Tetapi penanganan perkara pembunuhan tersebut cenderung berjalan di tempat.

Kiranya jelas bahwa vonis bebas di PN Larantuka itu bermasalah. Dalam semangat perang melawan korupsi dan mafia hukum, saya berpendapat, hakim di PN Larantuka yang memvonis bebas si ABK itu perlu dimintai pertanggungjawabannya oleh KY agar jelas apa dasar dia membebaskan ABK dari tuntutan hukuman. ***

Setelah ABK masuk bui

Gara-gara melakukan korupsi, Andreas Boli Kelen (ABK) akhirnya masuk bui Larantuka. Statusnya kini menjadi narapidana. Eksekusi vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 37.800.000 terjadi pada hari Kamis, 24 Februari 2011. Kini namanya terdaftar sebagai salah seorang koruptor di republik ini. Namanya terpateri sebagai narapidana korupsi, yaitu orang yang melakukan kejahatan korupsi.

Hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 37.800.000 itu terbilang ringan. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Larantuka pada tahun 2009, ABK dituntut 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Meskipun ringan, vonis tersebut terasa pahit, baik bagi pelaku dan keluarganya maupun bagi para penjahat Eputobi. Di kalangan para penjahat Eputobi yang membunuh Yoakim Gresituli Ata Maran, ABK adalah salah seorang tokoh idola. Dalam perjuangan mereka untuk menutup-nutupi kasus pembunuhan tersebut, si ABK memainkan peranan yang sangat signifikan. Dalam urusan tersebut dia berduet dengan DDK (Donatus Doni Kumanireng). Jika polisi setempat serius menangani perkara pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran, ABK dan DDK pun dapat diproses secara hukum.

Setelah si ABK dijebloskan ke penjara Larantuka, para penjahat Eputobi mau tidak mau harus menerima kenyataan, bahwa orang yang selama ini mereka idolakan, dan mereka sanjung-sanjung sebagai orang hebat, orang kuat di Flores Timur itu ternyata seorang koruptor. Apalagi yang mereka banggakan dari si koruptor itu? Kursi jabatan di ruang-ruang kekuasaan di tingkat kabupaten Flores Timur tak akan lagi dia tempati. Mobil dinas yang selama ini dia gunakan, termasuk untuk mondar-mandir Larantuka-Eputobi pun tak dapat lagi dia gunakan sesuka hatinya. Dan mudah-mudahan keangkuhan yang selama ini dia perlihatkan pun ikut runtuh.

Seandainya kepada ABK dikenakan metode pembuktian terbalik, maka menjadi lebih jelas berapa uang negara yang telah dia salahgunakan. Dengan metode pembuktian terbalik, dengan mudah dapat dilacak dari mana kekayaannya diperoleh. 

Meskipun ringan, hukuman yang ditimpakan kepada ABK disambut gembira oleh para tokoh dan masyarakat antikorupsi di Eputobi, Lewoingu, Flores Timur. Setelah si ABK dijebloskan ke penjara Larantuka, mereka pun ingat akan korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen, adik kandung dari ABK. Mereka berharap, kasus korupsi yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen itu pun dapat diproses secara hukum. Jika kasus korupsi dan kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran diproses secara efektif, maka Mikhael Torangama Kelen akan mengikuti jejak abangnya. Mereka menjadi narapidana. ***

Jumat, 04 Februari 2011

Menunggu tanggapan Kapolres Flores Timur

Seperti apa tanggapan Kapolres Flores Timur atas disposisi dari Polda NTT tentang penanganan perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Ata Maran? Jawaban yang jelas atas pertanyaan tersebut belum saya peroleh. Hingga baris ini diketik, saya baru bisa memperoleh jawaban yang samar-samar. Yang jelas, irama penanganan kasus pembunuhan tersebut belum juga berubah dari cara lama, yakni cara bertele-tele. Maklum di Polres Flores Timur masih terjadi tarik menarik antara kepentingan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan kepentingan untuk mengejar kepentingan sesaat. Demi kepentingan sesaat itulah, maka tampil oknum-oknum polisi tertentu yang berusaha mengambangkan penanganan perkara pembunuhan tersebut secara hukum. Bagi mereka, aspek-aspek kriminal yang sudah jelas dari kasus kematian Yoakim Gresituli Ata Maran belum jelas. Padahal ujung pangkal dari perkara pembunuhan yang terjadi di Blou itu sudah terang benderang.

Oknum-oknum polisi semacam itulah yang selama ini berusaha menghambat dan menggagalkan proses hukum atas perkara pembunuhan tersebut. Maka tak mengherankan bila berkas perkara atas nama empat tersangka – Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya – hanya bisa mondar-mandir antara mapolres Flores Timur dan kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur di Larantuka. Sudah beberapa kali dilakukan gelar perkara. Tetapi tindaklanjutnya tidak jelas. Padahal terdapat beberapa celah yang dapat dipakai untuk mematahkan penyangkalan-penyangkalan yang selama ini diperlihatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya. Tanpa upaya-upaya terobosan, berkas perkara pembunuhan tersebut malah mengalami bongkar pasang sehingga statusnya pun cenderung menjadi lemah.

Yang jadi pertanyaan ialah sejauh mana Kasat Reskrim dan Kapolres Flores Timur yang sekarang mengetahui bahwa bertele-telenya penanganan perkara pembunuhan tersebut merupakan akibat dari permainan oknum-oknum polisi tertentu? Entahlah….. Yang jelas adalah apa yang pernah dialami oleh AKBP Syamsul Huda, mantan Kapolres Flores Timur. Beliau ini gagal mewujudkan tekadnya untuk membawa kasus pembunuhan tersebut ke pengadilan. Mengapa? Karena lemahnya dukungan dari para bawahannya di Polres Flores Timur. Padahal tersedia fakta-fakta yang mempermudah pengungkapan kasus pembunuhan tersebut hingga tuntas. Tetapi karena lemahnya dukungan dari bawah, maka fakta-fakta yang ada tidak tergarap dengan mantap.

Mudah-mudahan Kapolres Flores Timur yang sekarang tidak mengulang ceritera kegagalan yang dialami oleh AKBP Syamsul Huda. Selanjutnya, keluarga korban dan segenap komponen masyarakat Lewoingu di luar komplotan penjahat yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen itu mengharapkan adanya tanggapan yang jelas tentang tindak lanjut penanganan perkara pembunuhan tersebut. ***