Sabtu, 03 Mei 2008

Menanti kejujuran sang tokoh


Pengakuan seorang saksi mata tentang apa yang dilihatnya pada Senin malam, 30 Juli 2007, di Tobi Bele'eng, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, membuat dirinya merasa lega. Kini kepalanya kembali tegak. Matanya pun tak lagi takut untuk memandang wajah sesamanya. Hatinya terasa lebih plong. Ayunan langkahnya tak lagi berat, setelah beban masalah kejahatan dilepaskannya, meski baru sebagian. Apalagi kalau seluruh beban itu ditanggalkan dari hati dan pikirannya. Dia tentu dapat menemukan cahaya baru.

Secara polos dia berceritera, bahwa selama ini dia merasa sangat terbebani oleh kasus kejahatan itu. Dia merasa tidak tenang. Resah dan gelisah senantiasa menghantuinya. Tapi sekarang ini dia merasa lebih enak. Baginya, barang busuk itu tak perlu disimpan terus-menerus dalam hatinya. "Untuk apa barang busuk itu disimpan terus-menerus?" Begitu tanyanya.

Waktu di Polres Flores Timur, dia sempat tertekan oleh sebuah SMS yang masuk ke ponselnya. SMS dari seseorang yang punya jabatan di Larantuka itu membuat dia takut kehilangan statusnya sebagai seorang pegawai negeri sipil. Dia takut, karena pengirim SMS mengancam memecatnya. Gara-gara SMS itu, si saksi mata nyaris membatalkan isi pengakuannya. Tetapi dia kemudian sadar, bahwa dirinya harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kejahatan. Dan kebenaran yang dia ungkapkan itu menjadi kekuatan dia dalam menjalani hari-hari sebagai seorang tahanan. Dia pun mengharapkan bantuan doa agar proses penyidikan berjalan lancar, hingga semua aspek kejahatan tersebut menjadi jelas.

Kejelasan segala aspek kejahatan yang sangat mengerikan itu sangat berarti, bukan hanya bagi Keluarga Besar Suku Ata Maran, tetapi juga bagi segenap lapisan masyarakat beradab di seluruh pelosok Lewoingu dan sekitarnya. Dari situ, barulah kita dapat mengambil langkah-langkah konkret ke arah penataan ulang kehidupan sosial budaya masyarakat Eputobi. Yang perlu ditata ulang adalah tatanan adat Lewowerang dan tatanan politik desa Lewoingu. Kedua tatanan tersebut dirusak oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan. Pemulihannya membutuhkan energi sosial budaya yang tidak sedikit.

Demi kebaikan lewotana (kampung halaman) kejujuran Mikhael Torangama Kelen dan tiga orang rekannya yang kini sedang ditahan di Polres Flores Timur sangat diharapkan. Mereka perlu berkata jujur tentang apa yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007, terhadap Akim Maran. Mereka juga perlu bicara secara apa adanya tentang orang-orang yang terlibat dalam kejahatan tersebut.

Jika selama ini mereka berkata dan bertindak atas nama lewotana, kini lewotana menuntut kejujuran dari mereka. Jika mereka tidak jujur, mereka akan mengalami kebinasaan dan kepunahan. Dengan berpedoman pada kebenaran, lewotana punya cara khas untuk menyelesaikan kejahatan yang ditimbulkan oleh anak-anaknya. Jika benar, engkau tidak membunuh orang yang tidak bersalah itu, engkau akan selamat. Tetapi, jika benar engkau membunuh dia, maka engkau akan binasa dan punah.

Selain berguna bagi diri mereka masing-masing, kejujuran akan mendorong sejumlah orang di Eputobi,yang selama ini berlaku arogan dalam urusan adat maupun dalam urusan politik untuk menjadi lebih rendah hati. Tanpa kerendahan hati, jangan anda bermimpi akan tercipta kembali suasana hidup penuh damai di Eputobi. Kerendahan hati pun sangat diharapkan dari sang tokoh. Tanpa kerendahan hati, dia akan tetap berperan sebagai provokator yang merusak tatanan adat dan tatanan politik desa Lewoingu.

Banyak orang tidak sadar akan suatu kenyataan, bahwa kerusakan adat dan politik di kampung Eputobi berawal dari munculnya "pandangan sesat." "Pandangan sesat" itu kemudian dimanfaatkan secara optimal oleh sang tokoh. Untuk apa? Ya, untuk membangun basis kekuatan. Ceriteranya, mereka mau tampil sebagai penguasa. Mereka juga mau menunjukkan, bahwa pihak merekalah yang lebih pantas memimpin desa Lewoingu ketimbang pihak-pihak lainnya. Dalam rangka itu, rapat-rapat konsolidasi sering digelar, baik di rumahnya maupun di kampung Eputobi. Ibarat pejabat negara orde baru, sang tokoh sering bersafari ke daerah. Bermodalkan lidah yang tak bertulang dan uang, dia dipandang sebagai tokoh idola.

Dan mungkin lantaran itu, maka pada suatu siang bolong sang tokoh bermimpi menjadi penguasa kampung Eputobi. Dalam mimpinya, dia berkata kepada dirinya sendiri "Aku adalah penguasa kampung Eputobi, tidak ada orang di kampung ini yang berani melawan aku." Setelah terjaga, dia menceriterakan isi mimpinya itu kepada seseorang yang belum dia kenal. Dan sejak saat itu juga, secara diam-diam dia berusaha tampil sebagai penguasa kampung Eputobi.

Nafsu menjadi penguasa kampung membuat dia tidak takut kepada siapa pun. Dia pun tidak takut akan Tuhan. Tetapi suatu hari dia merasa khawatir. Dia khawatir mimpinya itu tidak menjadi kenyataan. Dia berdoa meminta jawaban. Tetapi tak pernah ada jawaban yang dia peroleh. Seluruh dirinya diliputi kecemasan. Karena itu dia pun sibuk berhilir-mudik tanpa arah tujuan yang jelas. Dia coba menghibur dirinya sendiri, dengan berusaha tampil penuh percaya diri di sejumlah pertemuan. Tetapi mereka yang hadir dalam pertemuan-pertemuan itu tak mau lagi terkecoh oleh tampilannya yang munafik, terutama oleh lidahnya yang kian tak bertulang.

Suatu hari dia mengeluh tentang apa yang menurutnya "keanehan yang sedang menimpa anak-anak didiknya." Tapi tak ada yang perduli dengan keluh-kesahnya. Dia lalu diam, dan hanya diam saja. Padahal diam bukanlah kebiasaannya. Dalam diam dia coba merakit jurus pemungkas untuk mengalahkan lawannya. Tetapi kali ini dia sungguh-sungguh tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada satu dewa-dewi pun yang datang menolongnya. Tak ada lagi sentuhan magis yang dapat mengubah jalan ceritera tentang kebenaran. Sementara itu, di rumahnya mulai tumbuh duri-duri yang semakin kuat menikam perasaannya. Tapi kecongkakannya masih saja menggunung. Dia belum mau mengakui kebenaran peristiwa kejahatan itu. Dia belum sanggup untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Padahal dia tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada malam itu.

Sepak terjangnya sebagai pahlawan kesorean selama ini terlihat jelas. Suaranya pada malam itu masih terdengar jelas. Dia lupa, bahwaTuhan tak pernah tidur. DIA menyaksikan semua yang terjadi pada malam itu. Dan lewotana pun tak ingin menentang kehendakNYA. Maka lewotana pun kini menuntut kejujuran dari sang tokoh.

Jika di hadapan TUHAN dan lewotana pun engkau masih saja berani berdusta, maka kebinasaan dan kepunahan menjadi ujung dari jalan hidupnya. Masyarakat Eputobi dan sekitarnya menanti kejujuran darimu hai sang tokoh. ***