Sabtu, 19 April 2008

Pak Tua dan ceritera tentang rancangan kejahatan 30 Juli 2007


Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak. Tua-tua orang, makin tua, mestinya makin bijaksana. Tetapi Pak Tua yang satu ini rupanya ingin tampil beda. Makin tua dia ingin menjadi batu yang makin keras. Di permukaan, Pak Tua dari kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, NTT itu makin menjadi alim. Apalagi, Pak Tua pun rajin sembahyang.

Tapi siapa sangka, kalau di belakang layar, Pak Tua punya permainan lain? Memang di masa lalu sudah beredar sejumlah ceritera tentang permainan Pak Tua itu. Tetapi oleh banyak orang, isi ceritera itu dianggap dongeng.

Pernah terjadi sengketa di antara sesama satu suku. Waktu itu, Pak Tua sempat dituduh sebagai "pemain malam." Tuduhan itu tentu membuat Pak Tua marah. Tetapi pada waktu itu Pak Tua berhasil memendamnya dalam hati. Hanya sang anak yang sibuk membuat pembelaan. Dan Pak Tua sendiri terus berusaha bersandiwara.

Delapan bulan setelah Selasa 31 Juli 2007, Pak Tua bermimpi. Dalam mimpinya, Pak tua mengetahui isi hatinya sendiri. Pak Tua menemukan dirinya sedang didera kesusahan. Ada derita yang tumbuh dalam batinnya. Ada luka yang menyayat jantungnya. Rasa sakit dan derita kian menyatu dalam dirinya. Hatinya yang selama ini keras seperti wadas, kini mulai remuk. Dia pun merintih sedih dalam malam-malam yang dingin. Padahal pesta pora kemenangan belum usai. Mestinya dia terus merasa bangga. Tetapi nyala api kebanggaannya tampaknya telah padam.

Pak Tua rupanya semakin tak kuat menanggung beban sandiwara, yang selama ini dia pentaskan, dari panggung yang satu ke panggung yang lain. Pak Tua akhirnya terpaksa buka mulut. Pada suatu malam yang dingin, Pak Tua berceritera tentang rancangan maut yang mereka persiapkan di kampung lama, pada hari Minggu, 29 Juli 2007. Tanpa sungkan-sungkan, Pak Tua berceritera, bahwa di situ Akim Maran "dibakar." Dengan polos, Pak Tua pun bertutur tentang apa saja yang mereka perbuat di bekas kampung Lewoingu asli itu.

Salah satu tenaga inti yang memungkinkan terlaksananya upacara "pembakaran" itu adalah si cow boy kampung. Setelah Akim Maran meninggal, ada tokoh masyarakat yang bertanya kepada si cow boy, mengapa dia membuat upacara jahat semacam itu di kampung lama. Dengan mantap si cow boy menjawab, "saya mau mencari ketenangan." Itu jawaban yang luar biasa. Baginya, merancang kematian orang lain merupakan jalan untuk memperoleh ketenangan. Yang dia ucapkan itu tentu kata-kata iblis, yang berbicara melalui lidahnya.

Jadi di kampung lama pada hari Minggu, 29 Juli 2007 itu, Pak Tua dan sejumlah pengikutnya memantapkan rancangan aksi kejahatan yang akan digelar pada Senin malam, 30 Juli 2007. Hari Minggu malam, 29 Juli 2007, sebelum tidur, Pak Tua tak lupa berdoa. Tapi kali ini dia tidak berdoa kepada Tuhan. Ujud doanya adalah memohon kematian Akim Maran. Setelah berdoa, dia menjadi tidak sabar menunggu datangnya fajar hari Senin 30 Juli 2007. Ketika fajar itu tiba, dia berharap agar jarum waktu berputar lebih cepat, biar sore cepat datang. Sore yang ditunggu akhirnya datang. Dalam hati Pak Tua berkata, waktunya hampir tiba. Waktu itu Akim Maran dan isterinya berada di Lato. Pak Tua tahu itu. Pak Tua juga tahu kejadian yang bakal menimpa Akim Maran pada malam harinya.

Harapan Pak Tua akhirnya terpenuhi. Senin malam itu juga, 30 Juli 2007, Pak Tua tahu bahwa Akim Maran, orang yang selama ini dia benci itu sudah dihabisi, sesuai dengan skenario yang sudah mereka rancang bersama. Pada malam itu juga, berita tentang kematian Akim Maran cepat beredar dari kuping ke kuping di sekitar rumahnya. Pak Tua merasa puas dan bangga akan keberanian "anak-anaknya" untuk menjalankan "tugas" mereka. Tapi Pak Tua pun menginginkan kepastian. Maka dia pun menjadi tidak sabar untuk menunggu datangnya pagi hari Selasa, 31 Juli 2007.

Untuk memperoleh kepastian termaksud, sebelum terbit surya, beberapa orang meluncur ke Blou. Di dalam parit di Blou, yang terletak di antara Wairunu dan Lewolaga di Flores Timur, jenazah Akim Maran tergeletak. Dari mereka, Pak Tua memperoleh kepastian bahwa Akim Maran benar-benar sudah tewas. Maka Pak Tua pun merasa perlu mempersiapkan diri untuk "menyambut" kedatangan jenazah orang yang diburunya dari malam ke malam, dari hari ke hari. Sesaat setelah jenazah Akim Maran lewat di jalan masuk kampung Eputobi dalam perjalanan menuju rumah duka, Pak Tua bergerak ke arah jalan raya. Dia mengenakan topi. Tangannya memegang parang dan tombak. Di pinggir jalan raya, dia menikam tombaknya ke tanah, lalu melambai-lambaikan parangnya di udara. Tidak jelas arti tindakannya itu. Yang jelas dia telah menikam bumi yang tak bersalah. Dia pun telah mencincang udara yang tak berdosa.

Hari-hari setelah Selasa, 31 Juli 2007 dilaluinya dengan mantap. Bahkan kian hari kian tumbuh keyakinan dalam dirinya sebagai penguasa bumi ini. Suatu hari Pak Tua membandingkan dirinya dengan penguasa langit. Pak Tua merasa perkasa di hari-hari senja hidupnya. Dalam hatinya, dia sering beteriak, "Aku adalah penguasa bumi ini." Tetapi Pak Tua lupa bahwa cepat atau lambat sandiwaranya akan berakhir.

Setelah duri-duri kesusahan kian dalam menancapi jantungnya, Pak Tua sendiri akhirnya menutup layar panggung sandiwaranya. Karena derita dan susah kian tak tertahankan, Pak Tua mengharapkan pertolongan dari orang lain. Kali ini dia mengharapkan pertolongan dari orang-orang yang selama ini dia musuhi, bahkan yang ingin dia habisi juga. Tetapi siapa yang mau menolongnya? Apakah "anak-anak" kebanggaannya itu yang akan menolongnya? Entahlah…..

Yang jelas, "anak-anak" itu kini beralih status, dari orang-orang bebas menjadi orang-orang terbelenggu. Kebenaran yang selama ini mereka tutup-tutupi kini mulai menampakkan diri secara jelas. Maka Pak Tua pun harus bersiap diri untuk menyambut kebenaran itu. Tetapi jika kebenaran itu memang akan tiba di rumahnya, maka derita dan kesusahan yang lebih besar akan menimpanya. Jika itu memang garis hidupnya, Pak Tua harus menempuh jalan derita itu.

Bukankah hidup adalah suatu pilihan? Jika selama ini, dia lebih banyak memilih menempuh jalan gelap, maka tak aneh dia pun pada akhirnya akan terdampar dalam lembah kelam pekat. Dalam gelap pekat, orang tak mungkini berpesta pora.***