Rabu, 09 April 2008

Korupsi di kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur, dan dampak negatifnya


Apa yang disebut korupsi itu sungguh-sungguh sudah menjalar ke pelosok nusantara. Korupsi tidak hanya tumbuh dan berkembang di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, tetapi juga di kampung-kampung dan desa-desa. Di kampung Eputobi, desa Lewoingu pun tumbuh dan berkembang korupsi. Demikian maraknya, praktek korupsi di kampung Eputobi selama beberapa tahun terakhir, sehingga muncul ucapan, bahwa yang terjadi di Eputobi adalah korupsi berjamaah.

Ucapan korupsi berjamaah terungkap setelah hari Minggu, tanggal 17 Juni 2007. Pada tanggal ini diadakan pertemuan di kantor desa Lewoingu untuk membereskan kasus tuding-menuding penyalahgunaan uang iuran pasar. Pertemuan itu diadakan, karena adanya laporan oleh pihak pemerintah desa Lewoingu ke Polsek Wulanggitang di Boru, bahwa ada pihak di bagian barat kampung Eputobi menyalahgunakan uang iuran pasar. Waktu itu orang bernama Mikhael Torangama Kelen besrtatus sebagai mantan kepala desa Lewoingu.

Pada hari Sabtu pagi, tanggal 4 Agustus 2007, sekitar pukul 09:00 waktu setempat, oknum polisi yang menerima laporan itu di Polsek Wulanggitang di Boru, menyampaikan kepada saya, bahwa laporan mantan kepala desa itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pak polisi itu mengatakan, "ternyata uang yang menurut laporan disalahgunakan itu ada." Artinya, uang itu tidak disalahgunakan oleh pihak yang dituduh menyalahgunakannya.

Dalam pertemuan pada hari Minggu, tanggal 17 Juni 2007, barulah terungkap secara jelas bahwa yang menyalahgunakan uang iuran pasar desa Lewoingu selama ini adalah pihak yang melaporkan kasus tersebut ke Polsek Wulanggitang di Boru, bukan pihak yang dilapor. Mulanya, mereka yang selama ini memakan uang iuran pasar desa Lewoingu tidak mengakui perbuatan mereka itu. Setelah diancam dengan sumpah menurut agama, mereka sendiri akhirnya takut akan risiko dari kebohongan yang selama ini mereka pupuk. Mereka akhirnya mengakui secara terus terang, bahwa merekalah yang selama ini menyalahgunakan uang iuran pasar desa Lewoingu. Semua saksi yang mendengar langsung pengakuan itu masih hidup segar bugar tidak kurang suatu apa pun. Kapan dan di mana pun mereka dengan senang hati mau menjadi saksi atas kejadian tersebut.

Bahwa ada penyalahgunaan uang desa Lewoingu, selama masa pemerintahan Mikhael Torangama Kelen, itu diperjelas oleh temuan Banwas Kabupaten Flores Timur. Berdasarkan audit yang baru sebagian dilakukan, Banwas Kabupaten Flores Timur menemukan adanya penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu selama periode 2000-2006 sebesar Rp 14.836.000 (empat belas juta depalan ratus tiga puluh enam ribu rupiah). Temuan penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu ini dilaporkan oleh Kepala Banwas Kabupaten Flores Timur, dalam suatu rapat resmi di Aula Setda Flores Timur di Larantuka pada hari Senin, 14 Januari 2008. Rapat itu dipimpin oleh Asisten Tata Praja, bernama Dominikus Demon. Mendengar itu, seorang pejabat di Kantor Bupati Flores Timur menyesalkan keterlambatan pihak Banwas Flores Timur menyampaikan temuannya itu.

Berdasarkan temuan Banwas tersebut, di kemudian hari, setelah Mikhael Torangama Kelen dilantik bersyarat menjadi Kepala Desa Lewoingu 2007-2013, Bupati Flores Timur mengeluarkan surat agar Mikhael Torangama Kelen mengembalikan uang yang telah disalahgunakan itu. Saya belum sempat mencek ke Eputobi atau ke Kantor Bupati Flores Timur, apakah uang yang dikorupsi itu telah dikembalikan atau belum. Yang jelas, pihak Mikhael Torangama Kelen pernah berkoar bahwa mereka bisa mencari uang untuk mengembalikan uang yang mereka korupsi itu. Sementara itu Mikhael Torangama Kelen sendiri sempat sibuk meminta para warga Eputobi untuk tidak mempercayai berita tentang korupsi di desa Lewoingu, seperti sempat dilansir oleh media cetak lokal.

Jika salah seorang pembela setianya pun terus membantah bahwa Mikhael Torangama Kelen melakukan korupsi, itu salah satu contoh tipikal pembelaan secara membabi-buta terhadap orang yang jelas-jelas menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu. Perlu anda ketahui bahwa sampai dengan detik ini, pihak Mikhael Torangama Kelen sendiri tidak bisa membuktikan bahwa uang tersebut tidak diselewengkan. Jelas sekali bahwa pembelaan semacam itu tidak sesuai dengan fakta. Pembelaan semacam itu dilakukan oleh orang yang hanya pergi-pulang Eputobi, tetapi tidak berusaha menguasai kenyataan-kenyataan sesungguhnya yang terjadi di kampung halamannya sendiri. Karena itu setelah mengetahui adanya kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya, dia lalu sibuk membantah tanpa dasar apa pun.

Selain temuan Banwas Kabupaten Flores Timur tersebut di atas, indikasi korupsi pun tampak dari berbagai item laporan keuangan yang pernah disampaikan oleh Mikhael Torangama Kelen. Setelah mempelajari laporan tersebut dan mendiskusikan dengan pihak-pihak yang mengetahui seluruh ceritera tentang sepak terjang pemerintah desa Lewoingu periode 2000-2006 yang masa pemerintahannya bablas sampai dengan tahun 2007 karena tidak taat peraturan, ditemukan indikasi-indikasi penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di bawah ini.

Dana yang disediakan oleh desa Lewoingu untuk pengresmian Desa Dung Tana Lewoingu sebesar Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Di dalam kenyataan, panitia pengresmian Desa Dung Tana Lewoingu hanya menerima uang sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) plus seekor anak babi milik kepala desa Lewoingu plus beras raskin 2 karung. Benarkah harga seekor anak babi plus 2 karung raskin adalah Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu ripiah)? Ini contoh kecil. Selanjutnya perhatikan contoh berikut.

Pada tahun 2005 gedung TKK Demon Tawa di Eputobi dibangun. Total dana pembangunannya (termasuk pengadaan material dan upah tukang) sebesar Rp 10.215.000 (sepuluh juta dua ratus lima belas ribu rupiah) disediakan oleh WVI. Pembangunan gedung tersebut rampung 100% pada tahun itu. Namun pada tahun yang sama dilaporkan dana pembangunan gedung TKK Demon Tawa sebesar Rp 1.153.000 (satu juta seratus lima puluh tiga ribu rupiah). Pada tahun 2006 dalam LKPJ dilaporkan terjadi pembangunan gedung TKK Demon Tawa lagi dengan dana sebesar Rp 9.062.000 (sembilan juta enam puluh dua ribu rupiah). Padahal pada tahun 2006 tidak ada aktivitas pembangunan gedung TKK tersebut.

Penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu pun mencakup perampasan hak orang lain dan pemalsuan tanda tangan. Pelakunya adalah orang yang itu-itu juga. Tunjangan yang seharusnya diberikan kepada Sekdes 2004 selama 5 bulan, yaitu Pebruari - Juni 2004 sebanyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) ternyata tidak dibayar. Uang tunjangan tersebut dipakai oleh si kades Lewoingu. Padahal SK Pemberhentian Sekdes diterbitkan pada tanggal 2 Juli 2004. Yang lebih memalukan ialah bahwa si kades Lewoingu itu pun memalsukan tanda tangan dua orang mantan perangkat desa Lewoingu untuk mengambil dana TPAD (Tunjangan Penghasilan Aparat Desa) di Kecamatan Titehena. Dana yang diambilnya dipakai untuk kepentingan pribadinya.

Apa yang dicatat di atas hanyalah sebagian kecil dari indikasi-indikasi korupsi yang terjadi pada masa Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu 2000-2006, yang kebablasan sampai tahun 2007. Dengan menyelenggarakan pilkades tanpa peraturan pada tanggal 27 maret 2007, orang ini dinyatakan sebagai pemenang. Dan baru pada hari Rabu, tanggal 16 Januari 2008, orang ini dilantik bersyarat untuk menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Tapi siapa yang mengakui dia sebagai kepala desa Lewoingu 2007-2013? Jawabannya, hanya segelintir orang Eputobi.

Hendaknya kita tidak boleh lupa bahwa sistem pemerintahan yang sangat korup selama periode 2000-2006 berdampak sangat buruk bagi kehidupan sosial budaya di kampung Eputobi, desa Lewoingu, di Flores Timur. Pemerintah yang korup itu telah menimbulkan perpecahan sosial budaya yang sangat serius di kampung tersebut. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada Senin malam, 30 Juli 2007, dengan korban Akim Maran merupakan dampak paling buruk dari upaya segelintir orang di Eputobi, Lewoingu untuk melestarikan rezim yang sangat korup itu.

Guna mencegah terjadinya kerusakan sosial budaya yang lebih dahsyat di kampung Eputobi, Lewoingu, para warga masyarakat beradab di sana kini mengharapkan keberanian Bupati Kabupaten Flores Timur untuk mencabut SK Pelantikan bersyarat Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu periode 2007-2013. Dan kita perlu memperkuat posisi mereka yang selama ini berjuang dengan cara damai untuk merwujudkan suatu sistem pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan manusiawi di Eputobi, Lewoingu. ***