Rabu, 26 Maret 2008

Jangan biarkan kampung Eputobi di Flores Timur menjadi sarang penjahat


Suka atau tidak suka, kampung Eputobi, desa Lewoingu di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur telah memiliki geng penjahat. Geng penjahat itu terdiri dari oknum-oknum suku tertentu yang selama ini berambisi menjadi penguasa adat Lewoingu plus oknum-oknum elite politik, yang berambisi untuk melanggengkan sistem pemerintahan yang korup di desa Lewoingu. Geng penjahat ini bermarkas di sebuah rumah di bagian timur kampung Eputobi. Geng ini memiliki tokoh penasihat "spiritual" dan tokoh intlektual. Kepala geng tersebut adalah orang yang seharusnya menjadi pengayom warga kampung Eputobi. Tetapi di dalam kenyataan, dia menjadi perusak kampung halamannya sendiri.

Sampai dengan tahun 2004, dua kelompok itu masih berseberangan kepentingan. Bahkan pernah terjadi konflik di antara mereka. Konflik itu menggiring mereka untuk berurusan dengan aparat kepolisian setempat. Tetapi setelah itu, mereka berhasil membangun koalisi politik yang saling menguntungkan. Mereka saling memberikan dukungan untuk memenuhi ambisi politik mereka masing-masing. Makin lama, kepentingan-kepentingan mereka makin berpadu. Sehingga hubungan di antara mereka pun makin rapat saja. Padahal sebelumnya, mereka sempat saling membenci.

Pembangunan koalisi politik itu dimungkinkan berkat keuletan lobi si tokoh intelektual. Dia menjadi jembatan yang menghubungkan dua kelompok yang sebelumnya sempat berseteru itu. Keuletan itu dia tunjukan, pertama untuk menebus dosa masa lalunya, dan kedua untuk memenuhi ambisinya untuk tampil sebagai penguasa Lewoingu. Apa dosa masa lalunya?

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa di masa lalu dia sering berkonflik dengan sesama anggota satu suku. Saya masih menyimpan satu dokumen, yang memperlihatkan betapa seriusnya perseteruan di antara mereka. Dalam suasana konflik semacam itu, dia sempat menyebut salah seorang tokoh penting dalam suku mereka sebagai suanggi. Sehingga hubungan di antara mereka pun sungguh-sungguh memanas, pada waktu itu.

Lantas, selama ini orang ini pun rupanya memendam hasrat untuk menjadi penguasa adat Lewoingu, minimal menjadi penguasa adat Lewowerang. Tidak jelas bagi kita, sejak kapan ambisi ini tertancap dalam dirinya. Yang jelas, selama beberapa tahun terakhir orang ini sangat sibuk menggalang kekuatan dan dukungan untuk merebut kekuasaan adat Lewowerang dari tangan Suku Ata Maran. Baginya, perebutan kekuasaan adat itu merupakan suatu keharusan, karena Suku Ata Maran dianggap tidak berhak menjadi pemimpin tertinggi adat Lewowerang-Lewoingu. Jika skenario ini berhasil, maka dia dan kelompoknya akan melangkah lebih jauh, yaitu merebut kekuasaan adat Lewoingu secara keseluruhan.

Dukungan terhadap ambisinya itu dengan mudah dia peroleh dari para elite politik kampung Eputobi. Soalnya jelas. Sebagian elite politik berasal dari kalangan dia. Elite-elite politik yang berasal dari luar kalangannya mudah diajak untuk bekerja sama, karena selama ini telah terjalin suatu hubungan politik yang saling menguntungkan di antara mereka. Setelah berhasil masuk dalam jaringan politik yang sangat korup, mereka dengan mudah memperoleh keuntungan-keuntungan finansial. Maka tak mengherankan bila mereka pun sama-sama berusaha secara membabi-buta untuk melestarikan sistem kekuasaan yang sangat korup itu.

Titik temu kepentingan antara kedua kelompok itu pada perasaan, bahwa mereka perlu saling mendukung agar tujuan-tujuan politik mereka masing-masing terpenuhi. Apalagi mereka pun menyadari bahwa mereka pada dasarnya memiliki musuh politik yang sama. Bagi mereka, musuh adalah orang atau pihak yang berbeda pandangan politik dengan mereka. Termasuk dalam kelompok musuh adalah orang-orang atau pihak-pihak yang bersikap kritis terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mereka lakukan, dan terhadap ketidaksopansantunan mereka dalam menjalankan kekuasaan politik di desa Lewoingu. Bagi mereka, musuh perlu dienyahkan agar tidak menjadi pengganjal upaya pencapaian tujuan-tujuan politik mereka, sekaligus untuk menciutkan nyali para lawan politik, dengan harapan para lawan politik lainnya yang masih hidup tidak berani lagi mengkritisi atau pun menentang praktek-praktek korupsi , kolusi, dan nepotisme yang mereka lakukan.

Rencana untuk menghabisi anggota Suku Ata Maran, dengan kepasa' (sumpah) oleh suku kumanireng misalnya, sudah diakui sendiri oleh penulis "Tanggapan buat Blog Ata Maran." Rencana mereka untuk membunuh Akim Maran, Pius Koten, Dere Hayon, Yosef Kehuler, dan Sis Tukan pun mereka ungkapkan sendiri setelah mereka berhasil membunuh Akim Maran. Bahkan mereka pun mengungkapkan niat jahat mereka terhadap anak-anak almarhum Akim Maran, dan terhadap orang-orang lain yang diposisikan sebagai musuh politik mereka. Pendek kata, tak jemu-jemunya orang-orang jahat itu mengusahakan segala macam cara untuk menghabisi lawan-lawan politik mereka. Salah satu cara favorit mereka adalah santet. Untuk itu, mereka sibuk berkasak-kusuk mencari dukun-dukun santet di daerah Flores Timur daratan dan di tempat-tempat lainnya. Sekali waktu, mereka mengimpor dukun dari pulau Timor.

Selain meminta bantuan dukun-dukun santet, mereka sendiri memasang kekuatan-kekuatan black magic di jalan raya dan gang-gang di kampung Eputobi, di jalan dari kampung lama ke kampung Eputobi, dan di jalan dari Lewolaga ke kampung Eputobi. Pernah mereka sibuk memasang braha'brika di muka rumah lawan-lawan politik mereka. Braha'brika paling banyak mereka pasang di rumah Bapak Pius Koten. Beberapa waktu lalu Oci Koten dirasuki oleh dua orang praktisi black magic, yaitu AT dan MH. Si AT terkenal dengan kemampuannya berubah wujud menjadi anjing siluman berwarna hitam. Si MK dan LK juga terkenal sebagai praktisi black magic. Si MK belajar black magic dari bapaknya dan dari ARK. Dulu sewaktu belajar terbang pada malam hari, si MK pernah tersangkut di sebatang pohon asam, lalu meminta tolong pada seseorang. Tetapi yang dimintai tolong hanya menertawainya. Lalu masih ada OK, SLK, AH, PK, MKB, SDK, dan lain-lain. Pendek kata, dalam geng penjahat itu berhimpun sejumlah pengguna black magic, yang sehari-sehari merancang serangan maut terhadap orang-orang yang mereka benci.

Tetapi setelah menyadari bahwa cara santet ternyata tak mempan, mereka lalu tak segan-segan untuk melakukan kekerasan fisik. Pada Senin malam, 30 Juli 2007, setelah gagal menggunakan cara santet, geng penjahat itu menghadang dan mengeroyok Akim Maran hingga meninggal dunia. Pembunuhan itu terjadi sesuai dengan skenario yang mereka rancang. Si tokoh "spiritual" dan si tokoh intelektual terlibat dalam rancangan maut itu. Mereka berperan aktif dalam menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan bagian timur kampung Eputobi menjadi sarang penjahat.

Dalam menghadapi situasi buruk semacam itu, kita punya tekad yang jelas: Jangan biarkan kampung Eputobi menjadi sarang penjahat.***