Rabu, 05 Maret 2008

Maju terus, kita bela Romo-Romo MSF di Paroki Lewolaga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur


14 tahun sudah, Romo-Romo (Pastor-Pastor) MSF bekerja di Flores, tepatnya di Paroki Lewolaga dan Lato, di Flores Timur Nusa Tenggara Timur. Yang sedang bertugas di sana sekarang ini adalah Romo Andris MSF dan Romo Lala MSF. Romo Andris MSF termasuk orang yang sudah makan asam garamnya Lewolaga dan Lato. Bahasa Lamaholot versi paroki Lewolaga dikuasainya dengan baik. Kalau ketemu, saya pun kadang-kadang berbicara dengan Romo Andris MSF dengan bahasa Lamaholot versi Eputobi. Dengan Romo Andris MSF, saya sudah sering bertemu. Sedangkan dengan Romo Lala MSF, saya baru sekali bertemu, yaitu pada bulan Oktober 2007. Pada tahun 2004, saya pernah bertemu dengan Romo Edi MSF, dan Romo Lukas MSF. Dengan Romo Lukas, saya sempat berdiskusi cukup lama. Kami bicara tentang pembinaan keluarga dan tantangan yang dihadapi gereja lokal.

Sebagai Pastor, Romo-Romo MSF berusaha menggembalakan umat Paroki Lewolaga dan Lato dengan baik. Tapi akhir-akhir ini Pekerjaan Pastoral mereka di sana terusik oleh gerakan politik yang dilakukan oleh elite-elite politik tertentu di Eputobi-Lewoingu. Beberapa waktu lalu, dalam suatu rapat, Ketua BPD desa Lewoingu menyampaikan usul agar Romo-Romo MSF disuruh angkat kaki dari Lewolaga. Ketua BPD desa Lewoingu itu bernama Eman Weruin, orang Tuakepa, yang bekerja sebagai guru SD Eputobi, dan karena itu tinggal di Eputobi.

Orang bernama Eman Weruin ini adalah salah satu pendukung setia pemerintah desa Lewoingu. Karena itu dia diangkat menjadi Ketua BPD Lewoingu. Ketua BPD adalah suatu jabatan politik. Jabatan ini tidak patut dipegang oleh seorang guru, seorang pendidik, apalagi kalau dia adalah seorang pegawai negeri sipil. Tetapi guru yang satu ini nekad saja menerima jabatan politik itu. Padahal untuk menjadi anggota BPD, seseorang harus menempuh proses pemilihan anggota BPD. Mereka yang sekarang menjadi anggota BPD Lewoingu, termasuk ketuanya, tidak menempuh proses pemilihan sesuai dengan peraturan yang berlaku di republik ini. Mereka itu diangkat menjadi anggota BPD. Padahal yang namanya anggota BPD itu tak lain adalah wakil rakyat.

Yang patut dicermati adalah gerakan-gerakan politik si Ketua BPD Lewoingu. Gebrakan-gebrakan politiknya terbilang "hebat." Misalnya, pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Oktober 2007, Eman Weruin bersama Ma Kumanireng berkasak-kusuk ke klinik Lewolaga. Untuk apa? Untuk mencari visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran. Sebuah sumber yang mengetahui kasak-kusuk itu menceriterakan bahwa kedua orang itu berkasak-kusuk di Lewolaga sampai subuh hari minggu, tanggal 21 Oktober 2007. Sebelumnya, mereka telah berusaha menemui seorang menteri yang bertugas di klinik Lewolaga untuk mengetahui isi visum dokter tentang keadaan jenazah Akim Maran.

Orang-orang yang mengetahui adanya kasak-kusuk oleh Eman Weruin dan Ma Kumanireng itu langsung merasa heran. Pihak keluarga Ata Maran yang berhak mengetahui isi visum dokter saja tidak berkasak-kusuk seperti itu. Orang lain malah berkasak-kusuk untuk mengetahui isi visum tersebut. Apa urusan mereka dengan visum, apa kepentingan mereka dengan visum? Siapa pula yang menyuruh mereka untuk meminta visum tersebut?

Karena gagal memperoleh visum tersebut di klinik Lewolaga, pada hari Senin, tanggal 22 Oktober Eman Weruin pun muncul di Polres Flores Timur di Larantuka. Dia ikut dalam rombongan yang dipimpin oleh Mikhael Torangama Kelen. Mereka menyusul Pite Koten yang sudah mendahului mereka ke Polres Flores Timur untuk mengurus administrasi pengeluaran sepeda motornya yang ditahan sejak hari Selasa, tanggal 2 Oktober 2007 di Polsek Boru. Ceriteranya, Mikhael Torangama Kelen dan Eman Weruin serta kawan-kawan mereka, mau membantu Pite Koten, agar urusannya berjalan sesuai dengan harapan mereka bersama.

Di hadapan Kasat Lantas Flores Timur di Larantuka, Eman Weruin bicara sebagai Ketua BPD Lewoingu seakan-akan dia membawa aspirasi rakyat desa Lewoingu. Inti pembicaraannya, masyarakat Eputobi-Lewoingu ingin mengetahui secara jelas penyebab kematian Akim Maran. Dan dalam rangka itu mereka pun perlu mengetahui visum dokter. Pada hari itu juga, atas nama masyarakat Eputobi, mereka secara lisan meminta Kasat Lantas Flores Timur untukmenjelaskan atau mengumumkan sebab kematian Akim Maran.

Kasat Lantas kemudian memproses surat undangan kepada pihak keluarga dan unsur-unsur pemerintah desa Lewoingu untuk hadir dalam pertemuan pada hari Kamis, 25 Oktober 2007 di Polres Flores Timur di Larantuka. Surat undangan itu ditandatangani oleh Kapolres Flores Timur. Dan jadilah pertemuan pada hari tanggal tersebut di Polres Larantuka. Dalam pertemuan itu, sebagian isi visum dokter dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibocorkan kepada orang-orang yang tidak berhak untuk mengetahuinya. Pada kesempatan itu juga mereka dan oknum-oknum polisi yang bersangkutan bersepakat untuk mengadakan pertemuan di Eputobi pada hari Jumat, 26 Oktober 2007. Tujuannya ialah untuk mengumumkan kepada masyarakat Eputobi dan sekitarnya bahwa kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Dalam pertemuan di Eputobi itu, seluruh isi visum dan BAP perkara kematian Akim Maran dibacakan hingga tuntas. Pembacaan tersebut mengundang tepuk tangan meriah dari pihak Mikhael Torangama Kelen dan Eman Weruin.

Beberapa bulan kemudian, Eman Weruin merasa perlu membuat gebrakan lain lagi. Kali ini jurus politiknya diarahkan kepada Romo-Romo MSF yang bekerja di Paroki Lewolaga dan Lato. Dalam suatu rapat, dia menyuarakan maksud buruknya, yaitu menyuruh Romo-Romo MSF itu angkat kaki dari Lewolaga. Suara Eman Weruin dalam rapat itu merupakan representasi dari suara kelompoknya, yaitu kelompok yang memerintah di Eputobi-Lewoingu.

Sudah menjadi rahasia umum di sana, bahwa Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan itu melawan pejabat gereja setempat. Nasihat pastoral Romo Kepala Paroki Lewolaga ditantang. Kerja gotong royong merenovasi gereja Eputobi diboikot. Halaman gereja Eputobi, yang merupakan wilayah agama, seringkali dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik yang bernada hasutan kepada para warga Eputobi untuk saling membenci, saling bermusuhan, saling berkelahi. Kalau anda pehatikan ceritera pertengkaran dan perkelahian di Eputobi selama beberapa tahun terakhir, anda akan menemukan suatu pola yang sering terulang. Orang-orang di Eputobi itu sering berantem dan berkelahi pada hari Minggu, setelah kepala desa mereka mengumumkan sesuatu di halaman depan gereja stasi Eputobi itu. Setelah mendapat siraman rohani di dalam ibadat sabda atau misa di gereja, di halaman depan gereja sudah menunggu suatu kekuatan politik praktis yang siap menghancurkan kekayaan rohani itu.

Menggunakan halaman gereja Eputobi sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan politik merupakan suatu kekeliruan yang sudah selayaknya segera dikoreksi. Wilayah politik harus dipisahkan dari wilayah agama. Halaman gereja bukanlah panggung politik. Halaman gereja adalah panggung di mana nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dipertontonkan dan ditumbuhkembangkan. Di situ rasa persaudaraan Kristiani berdasarkan Kasih Kristus mestinya direalisasikan. Halaman gereja bukanlah tempat duduk umat beragama untuk mendengarkan pidato politik kekuasaan. Pesan politik apa pun hendaknya disampaikan kepada masyarakat Eputobi melalui media yang lain. Jika tidak, nilai-nilai kehidupan religius dirusak dari waktu ke waktu oleh kekuatan-kekuatan politik praktis yang tidak manusiawi itu.

Sebagai warga gereja Katolik, kita mesti mendukung tugas pelayanan pastoral yang diemban oleh Romo-Romo MSF di Lewlolaga dan Lato. Hanya para anti-Kristus yang berusaha menyuruh para pewarta Injil Kristus itu untuk angkat kaki dari Lewolaga. Kita tidak boleh membiarkan rencana buruk itu terjadi.

Sebagai orang yang beriman pada Kristus, kita harus maju terus pantang mundur bela Romo-Romo MSF dalam mengemban tugas pewartaan Injil Kristus di Paroki Lewolaga dan Lato.***