Minggu, 02 Maret 2008

Maju terus, pantang mundur berantas korupsi


Maju terus, terus korupsi? Jangan. Korupsi itu perbuatan jahat yang tak pantas untuk dilakukan oleh manusia yang bermoral. Dari segi hukum, korupsi itu perbuatan melawan hukum. Karena itu, di negara hukum, orang-orang yang terbukti melakukan korupsi ditindak secara hukum.

Di Indonesia, gerakan pemberantasan korupsi yang dipelopori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) patut diacungi jempol. Meskipun hasilnya belum optimal, tetapi kita dengan mudah dapat menyaksikan adanya tekad pemerintah untuk memberantas korupsi. Tekad itu pun tampak jelas dalam hari-hari belakangan ini, ketika Gubernur Bank Indonesia menjalani proses hukum, karena terindikasi terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana negara.

Di Indonesia, korupsi tidak hanya terjadi di pusat, tetapi juga di berbagai daerah. Di Flores Timur, misalnya, perkara korupsi yang melibatkan mantan Bupati Kabupaten Flores Timur, Felix Fernandez sedang digelar di pengadilan. Mantan Bupati Flores Timur itu tersandung korupsi senilai Rp 109 juta. Dan sebentar lagi palu keputusan hakim akan diketok di meja hijau pengadilan Larantuka. Jika dalam proses pengadilan terbukti dia melakukan korupsi, dia bisa terkena hukuman penjara selama satu tahun lebih.

Kasus korupsi yang melibatkan Felix Fernandez itu terbilang kecil. Kejaksaan Larantuka pun sedang menangani perkara korupsi di Diknas Flores Timur. Dari pemberitaan media cetak lokal, kita mengetahui bahwa indikasi korupsi yang melibatkan kepala Diknas Flores Timur mencakup dana hampir setengah miliar rupiah. Dalam rangka menentang praktek korupsi di Diknas tersebut, kota Larantuka sempat diguncang aksi demonstrasi pada menjelang akhir September 2007. Para demonstran yang terdiri dari para guru, politisi lokal, dan elemen masyarakat lainnya menggelar aksi demonstrasi persis di depan kantor Diknas Flores Timur. Anggota DPRD, Bachtiar Lamauran membawakan orasinya yang penuh semangat. Di situ kata Lamaholot muna alias monyet diucapkan. Masyarakat di Flores Timur sudah biasa mendengar kata muna diucapkan dalam pidato politik, termasuk dalam pidato Bupati ketika dia melantik seseorang menjadi kepala desa. Jika di Jakarta koruptor dianalogikan dengan tikus, di Flores Timur, koruptor dianalogikan dengan monyet.

Dalam rangka menghadapi aksi demonstrasi di depan kantor Diknas Flores Timur itu, sejumlah orang dari kampung Eputobi pun dikerahkan. Tetapi di hadapan massa demonstran, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun tidak suka dengan aksi demonstrasi yang digelar dengan penuh semarak itu, tetapi mereka terpaksa menyimpan rasa tidak suka dan rasa marah mereka dalam hati masing-masing. Namun mereka tak pernah lupa untuk melampiaskannya.

Nah kepada siapakah mereka melampiaskan rasa marah mereka itu? Apakah kepada para demonstran, atau kepada pembawa orasi yang beraksi di depan kantor Diknas Flores Timur? Tidak. Mana mungkin orang-orang Eputobi itu berani menantang para demonstran? Yang mereka incar adalah sasaran empuk. Di mana? Di mana lagi, kalau bukan di kampung halaman sendiri, Eputobi.

Setelah kembali dari kota Larantuka, mereka pun menyusun strategi untuk melampiaskan rasa amarah mereka akibat aksi demonstrasi menentang korupsi di Diknas Flores itu. Dua sasaran empuk ditetapkan dengan mudah. Kedua sasaran itu adalah Yose Kehuler dan Sis Tukan. Pada malam minggu, 29 September 2007, dua orang perempuan yang dibekingi oleh sekelompok orang dari bagian timur kampung Eputobi menyerang Yose Kehuler dengan kata-kata kasar penuh penghinaan. Tak lama kemudian, Sis Tukan pun dikatai-katai. Salah satu perempuan penyerang adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak Demong Tawa. Yang satunya lagi adalah isteri seorang guru yang mengajar di SD Eputobi.

Yose Kehuler diserang secara verbal oleh kedua perempuan itu karena dia dianggap ikut berunjuk rasa di depan kantor Diknas Flores Timur. Padahal kehadiran Yose Kehuler di sana karena kantornya terletak bersebelahan dengan kantor Diknas tersebut. Seandainya Yose Kehuler ikut berdemonstrasi pun, apakah ada orang lain punya hak untuk melarangnya? Di Jakarta, para bawahan pun bisa mendemo atasannya. Karyawan dan dosen di suatu universitas, misalnya, dapat menyampaikan aspirasi mereka kepada pimpinan mereka melalui demonstrasi. George Bush, presiden negara adikuasa AS pun sering didemo dan dia tak marah-marah. Soalnya dia tahu, bahwa demonstrasi adalah suatu mekanisme demokrasi.

Kalau pada hari terjadinya demonstrasi itu, Yose Kehuler berada di Larantuka, Sis Tukan berada di Lewolaga. Di Lewolaga Sis Tukan sibuk membuat video acara 75 tahun perutusan MSF di Jawa dan 14 tahun di Flores. Kedua perempuan itu, yang didukung oleh sekelompok orang yang bersembunyi dalam gelap di rumah Meti Lubur, menghantam Sis Tukan dengan kata-kata kasar penuh penghinaan.

Untung bahwa kedua orang yang diserang itu tidak membalas dengan cara yang sama. Dengan tenang, mereka menghadapi kedua penyerang itu beserta para beking mereka. Seandainya, Yose Kehuler dan Sis Tukan bereaksi emosional, bisa jadi timbul mala petaka. Soalnya, jangan lupa, bahwa nama Yose Kehuler dan Sis Tukan pun masuk dalam daftar orang-orang yang ingin dihabisi oleh penjahat-penjahat Eputobi, yang telah berhasil membunuh Akim Maran.

Tetapi pada hari-hari belakangan ini, pihak yang mencela dan menghina Yose Kehuler dan Sis Tukan, pada hari Sabtu malam, 29 September 2007 itu sedang direpotkan dengan kasus korupsi yang melibatkan orang yang pada 2000-2007 menjadi kepala desa Lewoingu. Soalnya, beberapa waktu lalu sudah terbit permintaan dari Bupati kepada Camat Titehena di Flores Timur untuk memfasilitasi pengembalian uang sebanyak Rp 14 juta lebih yang disalahgunakan oleh si kepala desa tersebut dan kawan-kawannya. Angka Rp 14 juta lebih itu diperoleh dari hasil audit sebagian yang dilakukan oleh Banwasda Flores Timur terhadap kepala desa Lewoingu periode 2000-2007. Angka itu dapat membengkak, jika proses audit dilanjutkan.

Yang perlu dicatat ialah, bahwa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala desa Lewoingu periode 2000-2007, dan kawan-kawannya itu mudah diproses secara hukum, karena perbuatan korupsi itu akhirnya diakui sendiri oleh pihak yang bersangkutan. Sejak kasus itu dicuatkan di media cetak daerah, ada saja orang dari pihak koruptor Eputobi, yang bilang, bahwa mereka dapat mencari uang untuk mengembalikan uang desa Lewoingu yang telah mereka pakai itu. Ini merupakan salah satu bentuk pengakuan yang polos dari orang-orang desa, yang sudah mulai pintar mencuri uang rakyat.

Tetapi anda jangan lupa, bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang tak bisa dihapuskan setelah uang yang dikorupsi dikembalikan oleh si koruptor. Pengembalian uang yang dikorupsi justru merupakan suatu bukti bahwa terjadi kejahatan korupsi. Karena itu, proses hukum perlu dijalani oleh si koruptor.

Dalam rangka itu, kita perlu mengatakan kepada para warga Eputobi yang mencintai keadilan dan kebenaran untuk maju terus, pantang mundur berantas korupsi. Jangan takut dengan siapa dan apa pun. Biar anjing-anjing sering menggonggong dan melolong di siang atau di malam hari di Eputobi atau di mana pun, kita maju terus berantas korupsi. Jangan biarkan para koruptor Eputobi terus berpesta pora dengan uang hasil korupsi.***