Selasa, 25 Maret 2008

Ayo Polisi RI, Maju Terus Berantas Kejahatan di Flores Timur


Selama beberapa bulan terakhir terjadi reposisi dalam lingkungan kepolisian di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Setelah dilakukan pergantian Kasat Lantas Flores Timur pada tahun 2007, kemudian disusul dengan pergantian Kapospol Titehena, lalu pergantian Kapolsek Wulanggitang, kini terjadi pergantian Kapolres Flores Timur. Pergantian-pergantian semacam itu merupakan hal yang wajar terjadi dalam suatu organisasi yang berusaha mengoptimalkan pelaksanaan tugas kenegaraan secara profesional.

Sebagai warga negara, yang mengharapkan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, kita mendukung sepenuhnya upaya Pimpinan POLRI untuk menyegarkan dan memantapkan kinerja organisasinya, baik di pusat maupun di daerah. Dan kita sepenuhnya mendukung pelaksanaan tugas aparat kepolisian RI dalam memberantas kejahatan. Secara khusus, kita mendukung Bapak Kapolres Flores Timur, yang baru dan setiap anggota kepolisian setempat yang berusaha membongkar tuntas kejahatan pada Senin malam, 30 Juli 2007 di Blou, yang terletak antara Wairunu dan Lewolaga. Korban kejahatan itu adalah Yoakim Gresituli Ata Maran (Akim Maran). Pelaku kejahatan yang menewaskan Akim Maran adalah orang-orang dari kampung Eputobi, desa Lewoingu, Flores Timur. Tiga di antara pelaku kejahatan itu sudah melarikan diri dari kampung Eputobi.

Setelah kematian Akim Maran, pihak keluarga korban, yaitu Keluarga Besar Suku Ata Maran, mempercayakan penanganan kasus kejahatan tersebut kepada pihak Kepolisian setempat. Meskipun terkesan lamban, pihak keluarga korban dan berbagai elemen masyarakat beradab lainnya di Lewoingu dan di Flores Timur tetap memiliki kepercayaan dan harapan yang besar, bahwa Aparat Kepolisian Republik Indonesia akan berhasil membongkar tuntas kasus kejahatan tersebut. Selama berbulan-bulan, para pencari keadilan dan kebenaran di Lewoingu, berharap agar para penjahat Eputobi, yang membunuh Akim Maran itu bisa diamankan dan diproses secara hukum. Kian lama, harapan semacam itu kian membesar, karena kehadiran para penjahat itu dengan segala macam arogansi yang mereka pamerkan selama ini sungguh-sungguh meresahkan warga kampung Eputobi dan sekitarnya. Mereka menghalalkan segala macam cara untuk meneror, mengintimidasi, dan mengancam orang-orang dan pihak-pihak yang berusaha mengungkapkan kebenaran sehubungan dengan kejahatan yang mereka lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007. Mereka memaksa warga kampung Eputobi dan sekitarnya untuk mempercayai versi pandangan mereka tentang sebab kematian Akim Maran.

Bagi mereka, kematian Akim Maran disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Dan pandangan ini mereka bela secara mati-matian. Padahal, alasan itu tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan sekitarnya. Apa yang disebut kecelakaan lalu lintas itu tidak pernah terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007 atau pun pada Selasa pagi 31 Juli 2007. Suatu kecelakaan lalu lintas yang berhasil menewaskan seorang pengendara sepeda motor tentu meninggalkan jejak-jejak yang jelas. Tetapi jejak-jejak terjadinya kecelakaan lalu lintas di Blou tidak ditemukan. Yang ditemukan di tempat kejadian perkara adalah jejak-jejak terjadinya pembunuhan terencana. Masyarakat Eputobi dan sekitarnya pun sudah mengetahui orang-orang yang membunuh Akim Maran. Dan banyak elemen masyarakat di sana sebenarnya sudah bosan dengan penyangkalan demi penyangkalan, dengan kebohongan demi kebohongan, dengan arogansi demi arogansi yang dipertontonkan oleh para penjahat Eputobi itu.

Di dalam kelompok penjahat itu pun sebenarnya sudah terjadi kejenuhan dengan segala upaya untuk menutup-nutupi kejahatan tersebut. Pada hari Minggu, 16 Maret 2008, misalnya, terjadi pemukulan di antara mereka. Gara-gara si PK bilang dia mau membuka apa yang selama ini dirahasiakan, dia dipukul oleh si MK.

Kelompok penjahat itu pun memiliki tokoh intelektual. Tetapi kehadiran tokoh intelektual ini justru seringkali menimbulkan masalah di kampung Eputobi. Masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya sudah tahu betul peran si tokoh intelektual ini. Si tokoh intelektual ini berperan sebagai perancang kejahatan pada Senin malam 30 Juli 2007. Selain itu dia juga terkenal sebagai penghasut anak-anak didiknya untuk membenci dan memusuhi orang-orang dan pihak-pihak yang dianggapnya musuh. Kehadirannya sering ditandai dengan rapat-rapat gelap. Dalam rapat-rapat gelap itu, dia menghasut orang-orangnya untuk memusuhi sekaligus menghakimi pihak lawannya. Di rumahnya sendiri sering diadakan pertemuan hingga larut malam. Hasil terbesar dari rapat-rapat gelap yang dia gelar selama ini adalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada Senin malam 30 Juli 2007 di Blou. Dan berkat hasutannya pula, maka anak-anak didiknya pun terus memamerkan taring mereka ke seluruh pelosok kampung Eputobi.

Dalam Pekan Suci pun, anak-anak didiknya berkasak-kusuk mencari ayam jago untuk dipersembahkan kepada si dukun, yang diharapkan memenuhi niat jahat mereka. Bahkan Hari Paskah 2008 pun mereka rayakan dengan cara-cara yang arogan, dengan cara-cara provokatif untuk memancing terjadinya kerusuhan sosial. Untung bahwa pihak yang diprovokasi tidak berhasil terpancing. Gara-gara berulah arogan pada hari Minggu Paskah (23 Maret 2008), mereka pun berurusan dengan aparat kepolisian di Pos Polisi Titehena di Lewolaga.

Memang tindakan tegas polisi terhadap para penjahat itu sangat diperlukan guna mencegah terjadinya kejahatan baru yang lebih mengerikan. Terlalu lama membiarkan penjahat-penjahat yang sudah jelas batang hidungnya itu bebas berkeliaran merupakan suatu tindakan yang tidak terpuji. Berbagai elemen masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya, bahkan di seluruh dunia mendukung setiap upaya nyata aparat kepolisian untuk memberantas kejahatan yang mengerikan itu.

Ayo Polisi RI, maju terus berantas kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat Eputobi, di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur itu. Jangan lupa, tangkap tokoh intelektualnya itu. ***