Selasa, 23 Maret 2010

Ulah Si Sinyo Timur di suatu kota besar

 

Dari desa Si Sinyo Timur merantau ke kota. Mulanya dia terdampar di suatu kota kecil nun jauh dari desanya. Di situ dia sempat menimba ilmu selama tiga tahun.

Berbekalkan ilmu dari kota itu Si Sinyo Timur berusaha mengabdikan dirinya sebagai seorang guru agama di suatu kota besar. Gemerlap kota besar sempat menyilaukan matanya. Dan dia pun nyaris banting setir. Tapi suara hatinya berkata, “Tak apa-apa jadi guru agama, meskipun gajinya kecil. Bukankah pekerjaan semacam itu tinggi nilainya?” Sebagai anak desa, Si Sinyo Timur berusaha patuh pada suara hatinya. Maka bertahanlah dia di sekolah yang telah menerimanya menjadi guru agama.

Selain mengajar, Si Sinyo Timur pun aktif dalam berbagai forum keluarga Timur.  Bersama mereka sering berkumpul dan berpesta keluarga. Sebagai guru agama Si Sinyo Timur sering didaulat untuk mengangkat doa. Setelah mengangkat doa, dia dan mereka yang hadir merasa bahwa doanya naik membubung ke Altar di sorga. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu pasti apakah benar doa yang diangkatnya itu naik hingga ke Altar di sorga.

Tahun-tahun berlalu. Tak terasa beberapa tahun sudah Si Sinyo Timur mengabdikan diri sebagai guru agama di sekolah yang terletak di tengah kota besar itu. Selama itu Si Sinyo Timur sungguh dihormati oleh rekan-rekan dan murid-muridnya. Selama itu Si Sinyo Timur terus menghidupkan mimpinya menjadi seorang manusia yang baik dan berbudi luhur, hingga tiba suatu hari mimpi itu buyar.

Pada hari itu Si Sinyo Timur menjadi orang yang sangat peka rasa. Dia menjadi mudah tersinggung, dan emosinya gampang tersulut api amarah oleh guyon canda seorang rekan guru wanita di sekolah itu. Dalam sekejap api amarah itu membakar seluruh dirinya. Maka tangannya pun gampang melayang hingga menerpa wajah rekannya yang seorang guru wanita itu. Kejadian semacam itu baru pertama kali terjadi di sekolah itu, tempat anak-anak muda dididik untuk menjadi manusia yang berperikemanusiaan. Maka rasa aneh pun cepat menjalar ke seluruh pelosok kompleks sekolah itu.

Meskipun memalukan, tetapi Si Sinyo Timur sempat merasa bangga akan kebolehannya dalam memperlihatkan kekuatan ototnya. Dia juga lupa bahwa tangannya telah membakar bara dendam dalam diri guru wanita itu. Api dendam itu terus membesar tak bisa dipadamkan begitu saja. Dendam itu mengundang pembalasan. Maka datanglah ke sekolah itu seorang saudara laki-laki dari guru wanita itu. Di situ Si Sinyo Timur yang seorang laki-laki dihakimi pula dengan tangan berotot laki-laki juga tanpa ada yang bisa menghalanginya.

Pembalasan itu menimbulkan rasa takut dan malu dalam diri Si Sinyo Timur, yang sebelumnya tampak gagah perkasa. Setelah hari pembalasan itu, Si Sinyo Timur tak pernah kembali lagi ke sekolah tempat dia mengabdikan diri sebagai guru agama selama beberapa tahun. Selama beberapa bulan setelah kejadian itu, dia lebih banyak bertapa di rumahnya yang terletak di pinggir kota.  Selama itu dia merenungkan nasib hidupnya dalam pedih. Tetapi tak ada cahaya yang menerangi hatinya, sehingga sukar pula baginya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan, mengapa dua kejadian yang memalukannya itu dapat menimpa dirinya.

Pada suatu hari dia mencoba menyusuri kembali jalan hidupnya di masa lalu di desanya. Dia menemukan bahwa di masa lalu di desanya, dia pun, tanpa alasan yang jelas, pernah memukul dari belakang kepala seorang pemuda hingga membuat korbannya jatuh dan rebah di tanah. Setelah menjatuhkan korbannya dari belakang, dia langsung kabur tanpa menunjukkan sedikit pun tanggungjawabnya sebagai seorang laki-laki.

Tetapi pertapaan di rumahnya itu hanyalah suatu pelarian sementara, karena rasa takutnya akan pembalasan-pembalasan lebih lanjut. Maka rasa sesal pun tak tumbuh dalam dirinya. Setelah hari-hari dianggap aman baginya, dia kembali melanglang buana di dunia bebas. Tetapi sejak terjadinya dua kejadian yang memalukan itu tadi, dia menjadi orang yang disandera oleh kekerasan yang dihalalkannya.

Waktu kemudian memperlihatkan bahwa Si Sinyo Timur pun menjadi salah seorang pembela suatu kejahatan besar. Padahal wajib hukumnya bagi manusia beragama untuk melawan kejahatan. ***