Senin, 15 Maret 2010

Cara Bupati Flores Timur menyikapi kasus Lewoingu

 

Selama menjadi kepala desa Lewoingu, di Flores Timur, NTT, Mikhael Torangama Kelen berhasil menjadi penyebab terjadinya dua kasus yang memalukan. Kedua kasus termaksud adalah pengrusakan tatanan adat Lewoingu dan kasus korupsi. Dan selama berstatus sebagai kepala desa terpilih, dia merancang dan memimpin aksi pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Dua dari tiga kasus tersebut adalah kasus pidana menurut hukum positif yang berlaku di negeri ini. Korupsi itu pidana khusus. Pembunuhan adalah pidana umum.

Karena terindikasi melakukan korupsi, maka Badan Perwakilan Desa (BPD) Lewoingu menolak Laporan Pertanggung Jawaban yang disampaikan oleh Mikhael Torangama Kelen pada bulan Februari 2007. Laporan penggunaan keuangan yang disampaikannya dinilai penuh dengan kebohongan oleh BPD dan oleh masyarakat antikorupsi di Lewoingu. Karena itu BPD mengajukan permohonan kepada Bupati Flores Timur agar Mikhael Torangama Kelen diaudit. Permohonan ini dikabulkan. Tim Banwasda diturunkan. Mikhael Torangama Kelen diaudit.

Tetapi pekerjaan audit tersebut berhenti di tengah jalan tanpa alasan yang jelas. Meskipun demikian, tim Banwasda berhasil menemukan bahwa Mikhael Torangama Kelen menyalahgunakan keuangan desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta. Penemuan Banwasda itu sudah dilaporkan kepada Bupati Flores Timur sebelum hari Rabu, 16 Januari 2008.  Sebelumnya, sebagian warga Eputobi pun telah melaporkan pula bahwa kemenangan Mikhael Torangama Kelen dalam pilkades 27 Maret 2007 itu dicapai melalui suatu proses yang cacat hukum dan cacat moral.

Laporan dari sebagian masyarakat Eputobi tersebut hanya berhasil membuat Bupati Flores Timur menunda acara pelantikan Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Laporan tersebut dan laporan dari kepala Banwasda tentang adanya penyalahgunaan keuangan desa Lewoingu oleh Mikhael Torangama Kelen akhirnya diabaikan. Dibungkus dengan istilah “bersyarat,” pada hari Rabu, 16 Januari 2008, Bupati Flores Timur melantik Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Mikhael Torangama Kelen ialah bahwa dia harus mengembalikan uang yang telah disalahgunakannya itu dalam tempo enam bulan setelah dilantik. Tetapi hingga kini belum jelas apakah syarat tersebut sudah dipenuhi atau belum.

Selain terindikasi melakukan korupsi, pada waktu itu orang yang dilantik menjadi kepala desa Lewoingu itu pun jelas terindikasi melakukan pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran. Maka jelas pula bahwa keputusan Bupati Flores Timur melantik Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu mengecewakan masyarakat beradab di kampung Eputobi. 

Setelah Mikhael Torangama Kelen ditetapkan sebagai salah seorang tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran, dan karenanya dia pun ditahan di Polres Flores Timur, Simon Hayon menonaktifkan dia sebagai kepala desa Lewoingu. 120 hari lamanya, Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya ditahan di Polres Flores Timur. Karena berkas perkara mereka belum P21, maka pada hari Sabtu, 16 Agustus 2008, Mikhael Torangama Kelen dan tiga anggota komplotannya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur. Beberapa hari sebelum tanggal tersebut Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Flores Timur menegaskan di hadapan keluarga korban, bahwa Mikhael Torangama Kelen dkk tetap berstatus sebagai tersangka. Kepada mereka dikenai ketentuan wajib lapor dua kali dalam satu minggu.

Pada tanggal 23 Januari 2009, tanpa peduli akan status Mikhael Torangama Kelen sebagai seorang tersangka dalam perkara pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran, Simon Hayon mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu. Padahal di lapangan penyidikan telah terjadi perkembangan yang memperjelas status Mikhael Torangama Kelen dkk sebagai tersangka pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Tidak jelas pertimbangan-pertimbangan apa yang mendasari keputusannya itu. Yang jelas, dengan kembali menduduki kursi kepala desa Lewoingu, Mikhael Torangama Kelen kembali menemukan ruang untuk menjalankan kekuasaannya semau selera pribadinya. Dia pun kembali menjalankan kebijakan-kebijakan yang diprioritaskan untuk memenuhi kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Program bantuan langsung tunai (blt) dan beras untuk orang miskin (raskin) terus dipolitisasi sebagai hasil dari perjuangannya. Di masa lalu metode itu pun dipakai untuk meraup dukungan suara dalam pilkades 27 Maret 2007. Padahal pengadaan blt dan raskin murni merupakan program pemerintah pusat.

Tidak hanya itu. Keputusan Bupati tersebut pun dimanfaatkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan sebagai kesempatan untuk mempertajam jurus dusta, jurus yang mereka pakai untuk mengelakkan diri mereka dari tanggungjawab hukum. Mereka secara membabibuta menuduh orang-orang lain sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Atamaran. Mikhael Torangama Kelen, Yoakim Tolek Kumanireng, Yohanes Kusi Kumanireng, dan Laurens Dalu Kumanireng menyebarkan isu yang menyesatkan, bahwa mereka adalah korban salah tangkap. Dengan segala macam cara, para penjahat itu berusaha memutarbalikkan fakta-fakta kasus Blou. Mereka berusaha secara konsisten untuk menipu serentak menimbulkan keresahan publik. Tidak hanya itu. Melalui kerja sama dengan oknum-oknum polisi tertentu, mereka berusaha untuk mengkriminalisasi keluarga korban.

Melalui corong mereka, yaitu Marsel Sani Kelen, upaya penyesatan publik digenjot pula melalui dunia maya. Meskipun berusaha tampil dengan gaya orang akademik, tetapi yang disuarakannya adalah kebohongan demi kebohongan baik tentang kasus Blou maupun tentang sejarah Lewoingu. Dengan menggunakan argumentum ad ignorantiam, Marsel Sani Kelen berusaha menyesatkan para pembaca blognya. Karena kekurangan data, fakta, dia akhirnya kehilangan cara untuk mengembangkan argumen-argumen rasional yang canggih. Maka tak mengherankan pula bila dia pun akhirnya menghilang dari ring polemik.

Kiranya jelas bahwa keputusan Simon Hayon mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat kampung Eputobi desa Lewoingu. Dalam menyikapi kasus kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen, seorang Bupati seperti Simon Hayon mestinya bersikap lebih arif demi kebaikan masyarakat Eputobi-Lewoingu. Merestui seorang pelaku korupsi yang juga pelaku pembunuhan menjadi kepala desa Lewoingu itu sama dengan mencederai upaya masyarakat beradab untuk mencari kebenaran dan keadilan sehubungan dengan terjadinya kasus pembunuhan terhadap Yoakim Gresituli Atamaran.

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Dengan keputusan yang dibuatnya berdasarkan kekuasaan politik yang ada dalam genggamannya, dia pun ikut berandil bagi perubahan nasi menjadi bubur. Untung bahwa para warga masyarakat beradab di Eputobi dan sekitarnya masih bisa mengendalikan diri sehingga mereka tidak ikut-ikutan mengubah nasib menjadi bubur. Itulah cara arif masyarakat beradab di sana untuk tidak memperparah kerusakan-kerusakan yang selama ini dirancang dan dilaksanakan oleh Mikhael Torangama Kelen dan kawan-kawan.

Masyarakat beradab di kampung Eputobi-Lewoingu yang telah dikecewakan oleh Simon Hayon itu kini mengarahkan pandangan mereka ke depan. Mereka akan menyaksikan seperti apa ujung karir politik dari Simon Hayon dan Mikhael Torangama Kelen. Yang jelas, kasus kriminal yang dilakukan oleh Mikhael Torangama Kelen di Blou terus diproses.  Dia dan anggota-anggota komplotannya akan diajukan ke pengadilan. Kasus korupsinya pun dapat diproses secara hukum. Dia akan menuai hasil dari perbuatan-perbuatan kriminal yang selama ini dia taburkan. Lalu, kalau KPK nanti berhasil menemukan fakta-fakta yang membenarkan dugaan yang telah dilansir oleh Aliansi Masyarakat Flores Timur, maka Simon Hayon mau tidak mau harus bersiap-siap pula untuk menuai sendiri hasil dari cara dia menjalankan kekuasaan politik yang pernah dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Flores Timur kepadanya selama ini. ***