Jumat, 13 Februari 2009

Setelah Mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur Ditahan

Setelah mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur, Andreas Boli Kelen, ditahan di rumah tahanan (rutan) Larantuka, beberapa orang dari kampung Eputobi pun datang ke rumahnya di Podor, dekat kota Larantuka. Di situ mereka saling berbagi air mata. Tentu air mata itu pun sudah mulai menetes, ketika mereka hendak beranjak dari kampung Eputobi menuju Podor. Tetapi tidak jelas air mata macam apa yang mereka tumpahkan pada hari itu.

Masih segar dalam memori kita gemuruh pesta pora yang selama ini mereka selenggarakan di kampung Eputobi. Belum terhitung ritual-ritual sakti yang mereka kerjakan siang malam selama ini. Sumpah serapah pun sudah mereka lakukan. Dengan itu mereka ingin membuktikan diri sebagai orang-orang yang benar dalam menghadapi kasus pembunuhan Yoakim Gresituli Ata Maran. Tetapi sumpah serapah macam apa pun yang mereka lakukan selama ini tak pernah ada yang berhasil. Bahkan tak ada sedikit pun rasa takut yang timbul dalam diri pihak-pihak yang disumpah. Soalnya jelas. Sumpah itu dilakukan atas dasar dusta. Padahal dasar sumpah adat adalah kebenaran.

Hingga kini belum jelas apakah sudah diselenggarakan atau belum upacara sakti guna membantu Andreas Boli Kelen yang sejak Jumat sore, 6 Februari 2009, diinapkan di rumah tahanan kejaksaan negeri Larantuka. Sebelum hari itu, Andreas Boli Kelen, dengan sepeda motor meluncur ke Eputobi. Di kubur kedua orang tuanya, dia memasang lilin dan berdoa. Kedatangannya dengan sepeda motor pada hari itu mengundang pertanyaan dari sejumlah orang, "Ke mana mobilnya sehingga dia naik sepeda motor?" Seandainya pertanyaan itu diajukan langsung kepadanya, dia tentu tak mau menjawabnya secara jelas juga. Maklum, dia sedang menghadapi persoalan besar.

Yang jelas, penahanan dan proses hukum atas mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur itu merupakan salah satu momentum terbaik untuk memberantas tikus-tikus yang selama ini menggerogoti anggaran pembangunan di Flores Timur. Jika momentum ini tidak dimanfaatkans ecara efektif, maka tikus-tikus itu akan terus berpesta pora di atas penderitaan rakyat Flores Timur. Dan cepat atau lambat Larantuka akan masuk dalam top ranking dalam hal korupsi.

Setelah Kupang dibaptis menjadi kota terkorup pada tahun 2008, banyak orang yang lantas bertanya-tanya, bagaimana dengan Larantuka, bagaimana dengan Flores Timur. Memang belum ada suatu penilaian independen atas praktek-praktek korupsi di Larantuka, atau di Flores Timur. Tapi keluhan-keluhan tentang praktek-praktek korupsi di Flores Timur sudah menyebar ke mana-mana. Dalam suatu seminar yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Jakarta sempat disinggung pula tentang penyakit korupsi yang secara serius melanda Larantuka.

Yang sangat memprihatinkan ialah penyakit itu sudah mulai menjalar ke desa. Kasus korupsi yang paling jelas terjadi di desa Lewoingu, yang terletak 29 km di sebelah barat kota Larantuka. Anggaran pembangunan di desa itu digerogoti oleh tikus-tikus kampung yang leluasa beroperasi selama Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa. Lucunya si kepala desanya sendiri yang memelopori penggerogotan anggaran pembangunan desa itu. Namun laporan sejumlah warga dari desa itu ke Bupati Flores Timur tentang permainan tikus-tikus itu tidak digubris. Pelopor penggerogotan itu malah dilantik menjadi kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua, pada hari Rabu 16 Januari 2008.

Karena ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan, si kepala desa itu ditangkap pada hari Jumat 18 April 2008. Pada hari Sabtu, 16 Agustus 2008, dia dan tiga orang anggota komplotannya dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur dengan status tetap sebagai tersangka. Perbuatan yang dia dan anggota-anggota komplotannya lakukan pada Senin malam, 30 Juli 2007 itu sangat keji. Karena itu tak pantas dia kembali ke kursi kepala desa Lewoingu. Tetapi pada hari Jumat, 23 Januari 2009, Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon mengaktifkan kembali dia sebagai kepala desa Lewoingu. Padahal kasus pembunuhan yang dilakukannya sedang diproses di Polres Flores Timur. Pengaktifan kembali tersebut mirip dengan pemberian posisi Asisten III kepada orang yang jelas terindikasi melakukan korupsi . Padahal tak ada rumus baku bahwa dari Kepala Dinas Pendidikan yang bersangkutan harus menjadi Asisten I, II, atau III? Penempatan posisi-posisi yang terbilang terhormat itu mestinya dilakukan secara lebih objektif, berdasarkan kompetensi real orang yang besangkutan dalam bidangnya dan berdasarkan moralitasnya. Sinergi dari tokoh-tokoh yang bersih dan berwibawa dalam lingkaran dalam seorang kepala daerah akan sangat menentukan kualitas pembangunan di daerahnya.

Syukur bahwa di Flores Timur pun kita masih menemukan adanya semangat memberantas korupsi, meskipun semangat itu kadang timbul kadang tenggelam. Setelah mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur itu ditahan, terbit harapan akan terberantasnya praktek-praktek korupsi secara signifikan. Para warga masyarakat beradab di kampung Eputobi juga punya harapan. Mereka berharap proses hukum yang jelas dan tegas atas mantan Kepala Dinas Pendidikan dapat membuka jalan bagi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh adiknya di desa Lewoingu. Selain itu, mereka juga berharap agar tindakan hukum yang jelas dan tegas terhadap mantan Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur dapat membantu aparat kepolisian Polres Flores Timur untuk mengungkap hingga tuntas kasus pembunuhan dengan tersangka Mikhael Torangama Kelen dan anggota-anggota komplotannya.***